Wednesday, August 13, 2008

BUDAYA MENGUNGSI

( Sebuah refleksi sosio-biblis)

Oleh: Valery Kopong*

“SETELAH lepas dari mulut singa, ia masuk (dipaksa masuk) ke dalam mulut harimau”. Ungkapan sederhana ini menunjukkan keperpihakkan yang kental terhadap masyarakat Indonesia, secara khusus mereka yang sedang dilanda duka dan derita akibat bencana. Menelusuri perjalanan Indonesia saat ini tercatat begitu banyak problema yang dihadapi dan mendapat perhatian ekstra. Bencana ini barangkali bermula dari tol Jagorawi, saat presiden lewat terjadi tabrakan beruntun dan beberapa orang terpaksa mengakhiri hidup di atas tol itu. Belum lama berselang, muncul bencana Aceh, Nias, Jogja, Sidoarjo dan beberapa peristiwa lain yang tidak tercatat.

Atas bencana yang mengancam keselamatan jiwa ini maka warga secara keseluruhan mengadakan suatu eksodus, baik dalam jarak dekat maupun jauh. Peristiwa eksodus menjadi suatu peristiwa lumrah, yang secara refleks menggugah kesadaran masyarakat untuk menjauhi tempat-tempat bermasalah itu. Oleh keseringan bencana seakan menghidupkan budaya baru yaitu “budaya mengungsi.” Mengungsi di sini tidak dilihat sebagai upaya untuk tidak mencintai wilayahnya tetapi sebagai trik lama yang tetap dibaharui sebagai pemungkin untuk menjauhi pelbagai bencana yang mengancam eksistensinya.

Menelusuri peristiwa eksodus, aku teringat akan umat Israel yang keluar dari tanah Mesir. Bani Israel terpaksa keluar untuk menghindari kekerasan yang dilakukan oleh Raja Fira’un. Seluruh gerak kehidupan mereka dikondisikan oleh raja. Untuk menyelamatkan situasi ini, Allah orang Israel (baca: Yahwe) melalui Musa, dihantarkannya seluruh warga bangsa Israel untuk keluar dari tanah Mesir ke Kanaan, negeri yang dijanjikan. Peristiwa eksodus ini juga mengalami tantangan dari raja. Upaya pembendungan raja akhirnya diluluhlantakan dengan diturunkan tulah.

Pada tulah terakhir yakni seluruh anak laki-laki Mesir dibunuh, namun orang-orang Israel terselamatkan karena darah anak domba yang dioleskan pada jenang pintu rumah. Dalam konteks biblis dapat dipahami bahwa peristiwa ini disatu sisi menyelamatkan bani Israel tetapi di sisi lain membuka suatu pengembaraan baru melewati padang gurun yang mengancam. Inilah pengalaman awal dilematis bani Israel untuk menerima dua kemungkinan untuk keluar dari tekanan politis raja dan masuk pada tantangan alam saat mengembara.

Kisah eksodus masa lalu memiliki multi makna dan selalu inovatif. Gerak perjalanan eksodus sangat terasa akan intervensi Allah secara langsung. Pengalaman mereka akan Yahwe menunjukkan suatu relasi kondusif dan Yahwe memberikan proteksi riil tanpa mengumbar janji terlebih dahulu. Yahwe tidak pernah memutuskan mata rantai relasi dan keberpihakannya pada umat Israel. Allah menunjukkan kesetiaanNya pada umat tanpa mengenal ujung keberakhiran.

Apabila kita mengaitkan pengalaman eksodus Israel dan bani (bangsa) Indonesia, ada sedikit perbedaan yang menyolok yakni, eksodusnya Israel menggambarkan eksodus permanen dan eksodusnya orang-orang Indonesia yang terkena bencana adalah eksodus sementara. Antara dua peristiwa eksodus di sini terdapat satu benang merah yang menunjukkan adanya ketereratan hubungan adalah kedua bangsa ini berupaya untuk menghindar dari bahaya.

Proses penghindaran bencana untuk bangsa Israel semata-mata atas inisiatif Yahwe sendiri, sedangkan bangsa Indonesia yang terkena bencana terpaksa menghindar atas desakan alam. Di sini dapat dilihat dua gejala yang berbeda yaitu pada bani Israel yang karena kedekatan dan keakraban dalam membangun relasi spiritual dengan Yahwe maka Ia pada akhirnya menunjukkan kemurahan sebagai upah yang layak diterima. Sedangkan orang-orang Indonesia yang terkena bencana, khususnya banjir, menunjukkan relasi yang tidak bersahabat dengan alam yakni telah terjadi ekploitasi alam dan pengerukan kandungan bumi. Mungkin ini saat paling tepat untuk mengatakan bahwa bencana di hampir seantero nusantara ini merupakan “tulah” dari Allah dan menggema bagai “sirene yang mematikan.”

Di tengah deru dan gemuruh bencana yang kian mengancam, perlu kita mengadakan eksodus, keluar dari diri dan lingkungan kita untuk mencari tempat yang aman. Di tempat tujuan kita bereksodus inilah dapat dilihat sejauh mana saya menyadari spirit kedekatanku dengan yang Ilahi dan sejauh mana kita memperlakukan alam semesta, tempat untuk dihuni dan dipijaki. Di tempat pengungsian yang bersifat sementara, di bawah barak beratap terpal berlantaikan tanah, perlu disenandungkan kembali syair-syair lagu Ebiet G.Ade yang merupakan getaran jiwa sang seniman. “Mungkin Tuhan mulai bosan, atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”

Syair lagu di atas telah menembus puing reruntuhan rumah-rumah, bahkan menembus ke telinga-telinga manusia. Kini, di Sidoarjo, warga tengah mengalami eksodus, mencari tempat aman untuk menghindar dari ancaman lumpur panas. Mereka mengungsi sebagai upaya penggenapan ulah perusahaan yang membor perut bumi. Alam Indonesia tidak bersahabat. Mungkinkah kita menjadikan peristiwa mengungsi sebagai budaya baru untuk menghindari diri dari ancaman bencana yang tak kenal putus? Tanya saja pada rumput yang bergoyang.***

No comments: