Thursday, June 19, 2008

Mak


Mak
Pada suatu peringatan 1 Mei, sejumlah buruh ditangkap, termasuk Pavel—dan Maksim Gorky menulis novel Mat’. Pramoedya Ananta Toer menerjemahkannya dengan Ibunda. Saya kira kata yang lebih cocok adalah ”Mak”.
”Ibunda” memang mengandung rasa hormat dan hangat, dan tokoh novel ini, Pelagedia Nilovna, perempuan yang mendampingi anaknya dalam perjuangan buruh itu, patut disebut dengan sungkan dan sekaligus mesra, bak Maria yang melahirkan Yesus. Tapi, dalam bahasa Melayu, ”ibunda” adalah kata panggilan di kalangan atas. Panggilan ”mak” lebih lazim di lapisan rendah masyarakat.
Namun Pramoedya tak sepenuhnya keliru. Pilihan judul itu mencerminkan paradoks karya sastra yang hendak mengobarkan semangat perjuangan: menyatakan diri bagian dari ”realisme” tapi condong ke arah mitologi.
Tokoh Mat’ didasarkan pada kisah nyata Anna Zalomova yang berjalan ke mana-mana menyebarkan pamflet revolusi setelah anaknya ditahan polisi dalam sebuah aksi massa. Tapi, dalam novel ini, sang ibu—dengan iman Kristennya yang masih utuh, dengan cintanya kepada Pavel, sang anak yang berubah dari si bandel jadi pejuang buruh—senantiasa hadir sebagai bayang-bayang sang suci; si mak terasa lebih agung ketimbang manusia sehari-hari.
Di bab terakhir ucapannya fasih-lidah kepada orang ramai, ketika polisi mulai mengepung:
”Untuk mengubah hidup ini, untuk membebaskan semua, membangunkannya dari kematian, sebagaimana aku dibangunkan, beberapa orang telah datang, mereka yang secara bersembunyi-sembunyi telah menyaksikan kebenaran dalam hidup. Bersembunyi-sembunyi, sebab, kalian tahu, tak seorang pun dapat mengucapkan kebenaran itu dengan lantang. … Sejauh ini kebenaran adalah musuh bebuyutan dari si kaya, musuh yang tak akan dapat diajak damai selama-lamanya! Anak-anak kita tengah membawa kebenaran ke dunia.…”
Rangkaian kalimat itu mirip khotbah seorang nabi di depan kenisah: kata ”kebenaran” disebut berkali-kali. Dan ketika akhirnya polisi menyerbu, Pelagedia Nilovna tak berhenti. Perempuan ini seakan-akan martir yang tak bisa luka.
Pendek kata, ia tokoh ideal; ia lahir dengan takdir yang didesain sang pengarang. Mungkin itu sebabnya novel ini tak punya banyak kelok yang rumit tak disangka-sangka. Sekali kita tahu pesan yang hendak disampaikan Gorky, kita segera temukan garis lurus antara bab pertama yang melukiskan kehidupan kumuh kaum proletar dan bagian akhir yang menunjukkan kegagahberanian.
Mungkin itu pula sebabnya novel yang begitu menggugah ketika dibaca di awal abad ke-20 di Rusia, di awal abad ke-21 ini akan disambut dengan satu tarikan napas: tak ada yang baru di situ.
Zaman memang tak seperti dulu. Kini mitos kian goyah, realisme problematis. Kini manusia adalah ”orang”, makhluk yang lebih mengasyikkan tapi juga menjengkelkan. Lebih dari satu dasawarsa setelah Gorky menuliskan novelnya, Freud menunjukkan bahwa kita semua (juga para nabi dan pahlawan) punya bawah-sadar yang penuh nafsu, naluri, dan hasrat kenikmatan. Kini kita lebih skeptis memandang pokok & tokoh.
Dan apa arti ”realisme”, jika ”realitas” kian disadari sebagai dunia hasil konstruksi yang didukung bahasa sendiri?
Dalam Bab XIX, Pavel, buruh muda yang akhirnya jadi kebanggaan maknya, berdiri di samping bendera merah yang berkibar: ”Kawan semua! Kita telah putuskan untuk menyatakan secara terbuka siapa kita; kita junjung bendera kita hari ini, bendera nalar, kebenaran, kebebasan!”
Begitu meyakinkankah ”nalar”?
”Hidup rakyat pekerja!” Pavel berseru pula, dan ratusan suara menyahut, ”Hidup Partai Pekerja Sosial Demokrasi, partai kita… ibu rohani kita.”
Bagaimana mungkin Partai jadi ”ibu rohani”?
Menjelang Revolusi Oktober 1917, ”nalar” dan partai sebagai ”ibu rohani” adalah bagian dari iman gerakan Bolsyewik. Tapi, September 1980, kaum buruh Polandia mengibarkan gerakan mereka, Solidarnosc, yang menentang Partai Komunis yang berkuasa atas nama proletariat. Kita pun diingatkan kembali: kaum pekerja lahir dari kerja—bukan dari ideologi. Ideologi adalah hasil dari ”nalar”. Kaum pekerja tumbuh dari bawah, dari otot dan peluh, sedangkan Partai, ”sang ibu rohani”, akhirnya tak bersentuhan dengan otot dan peluh, elemen jasmani para proletar.
Bahkan sang buruh, yang bukan mitos, tak selamanya ingin menghabisi kapitalisme. Di Indonesia, ada yang lebih menderita: para penganggur, yang tiap kali buruh memperoleh upah minimum yang lebih tinggi, tiap kali pula para tunakarya itu kehilangan kesempatan kerja.
Tapi Gorky bisa dimaafkan. Pada tahun 1907, ketika Mat’ terbit, Partai, ”si ibu rohani”, belum berkuasa dan berubah jadi Bapak yang streng. Baru pada 1918, setelah majalahnya, Novaya Zhin, diberangus Partai, Gorky tahu apa yang ia hadapi; ia menulis sebuah buku yang kritis—yang baru bisa diterbitkan di Rusia setelah Uni Soviet runtuh.
Tapi mengherankan, hari-hari itu bahkan Gorky tak mengingat Engels (dalam Anti-Dühring) yang menunjukkan pentingnya elemen jasmani dalam kerja dan sejarah.
”Kerja”, bukan ”karya”, berasal dari badan yang tegak, ketika manusia tak lagi menggunakan tangannya untuk merangkak. Tangan yang bebas itulah yang membentuk kerja: menenun dan meniup serunai, menulis alkisah dan Alkitab. Otak pun berkembang amat jauh, hingga ”nalar” seakan-akan lepas dari jasmani.
Yang jasmani memang tak kekal dan tak pasti. Mungkin itu sebabnya dalam novel ini Si Rus Kecil berseru: ”Kawan-kawan! Kita telah memulai sebuah prosesi suci atas nama Tuhan yang baru, Tuhan Kebenaran dan Cahaya, Tuhan Nalar dan Kebaikan!”
Jangan-jangan ini nostalgia tubuh kepada ”roh”, agama yang ngumpet di balik ”materialisme dialektik”, mitologi yang berbaju ”realisme”. Tak aneh jika para pejuang sering lupa: yang merasa benar dan kekal akan terasing dari sejarah.
~Majalah Tempo Edisi. 11/XXXVII/05 - 11 Mei 2008~

Kaligrafi

Kaligrafi
Sepotong sajak Turki dari zaman Usmani tertulis di antara bingkai yang dilukis dengan warna keemasan: sebuah sajak yang cantik dan sebuah karya kaligrafi yang piawai. Di sudut disebutkan: inilah buah tangan Rikkat Kunt (1903-1986).
Penjelasan lain menyusul: Rikkat adalah seorang perempuan juru kaligrafi Turki yang terkemuka justru di masa ketika Kemal Attaturk mendekritkan bahwa Turki baru harus mengganti huruf Arab dengan huruf Latin. Artinya, para seniman kaligrafi adalah makhluk yang terpencil dan hampir punah, dan Rikkat Kunt lolos dari keterpencilan.
Ia menang dalam kompetisi nasional seni kaligrafi dan dapat posisi mengajar di Akademi Seni Rupa Istanbul. Tapi ia tak akan diingat orang seandainya karyanya tak ikut dipamerkan di Museum Louvre pada tahun 2000. Dan seandainya tak ada Yasmine Ghata.
Pada 2004, dari perempuan yang waktu itu berumur 31 itu terbit sebuah novel pertama, La Nuit des Caligraphes.
Hidupku berakhir pada 26 April 1986: umurku delapan puluh tiga. Istanbul sedang merayakan Pesta Kembang Tulip di Emirgan…. Kematian tak membuatku takut. Ajal hanya kejam terhadap mereka yang takut kepadanya.
Dengan kalimat pembuka seperti itu, novel ini—bertolak dari riwayat hidup Rikkat Kunt—memang mempesona. Dunia sastra Prancis menyambutnya dengan hangat.
Bisa dimengerti kenapa. Prancis, seperti halnya seluruh Eropa, sedang sibuk dengan dua nama: ”Turki” dan ”Islam”. Imigran Turki ada di mana-mana, Turki ingin jadi bagian dari Uni Eropa, dan Islam dilihat terkait dengan kekerasan dan ketidakbebasan perempuan, tapi juga sebagai bagian dari nasib si miskin yang menanggung sebuah peradaban yang terluka.
Pendeknya, ”Turki” dan ”Islam” adalah nama kini bagi ”Si Lain”. Bagaimana memperlakukan ”Si Lain” dalam sebuah demokrasi? Sebagai sesuatu yang harus dibuat ”tidak beda”, agar tak membelah masyarakat? Atau ditoleransi sebagaimana dia adanya, agar tak terjadi kesewenang-wenangan?
La Nuit des Caligraphes tak bermaksud menjawab persoalan itu. Yasmine Ghata, anak seorang novelis dan penyair Libanon, lahir di Prancis dan hidup di negeri itu. Ia tergerak menulis karena satu hal yang intim: Rikkat Kunt adalah neneknya sendiri.
Tapi novel tentang nenek sendiri ini justru menarik bagi pembaca Eropa karena dari dalamnya ”Turki” dan ”Islam” tetap ajaib: ”Si Lain” yang tak mudah dijelaskan. Nostalgia kepada sesuatu yang eksotis terasa meruap dalam prosa Yasmine Ghata: daya imajinatif, yang selalu menghidupkan prosanya, menyebabkan La Nuit des Caligraphes seakan-akan tak bercerita tentang abad ke-20 melainkan bagian dari dongeng 1001 malam. Tapi dengan itu pula kisah Rikkat Kunt menunjukkan bahwa sejarah adalah proses yang tak mudah, tak gampang diputus-putus. Kaligrafi—seni tua yang tak juga punah, goresan tinta yang mengalir membentuk kata dari huruf—adalah perumpamaan yang baik tentang kontinuitas.
Sejarah dalam kontinuitas itulah yang menyebabkan masalah besar seperti ”agama” dan ”modernisasi”—yang membayang di belakang novel ini—tak tampil bagaikan dua tenaga yang berhadap-hadapan dan tak kait berkait. Ini agaknya nilai tambah ketika La Nuit des Caligraphes diterjemahkan ke bahasa Indonesia (dengan judul Seniman Kaligrafi Terakhir, oleh Ida Sundari Husen, terbitan Serambi, 2008). Di Indonesia, sebagaimana di Turki, orang berada di tengah masalah yang sama: konflik atas nama kemajuan, dan konflik atas nama Tuhan.
”Tuhan tak tertarik abjad Latin,” kata Rikkat. Napas Tuhan, katanya pula, tak dapat meluncur di atas huruf-huruf yang pendek, tambun, dan terpisah-pisah itu. Kemal, yang memimpin Turki agar negerinya maju seperti Eropa, hendak membuat masa lalu lenyap dan membuat masa depan lekas datang: ia memaksakan penggunaan alfabet Latin ke seluruh negeri. Istilah lama dari bahasa Arab terkadang diganti dengan istilah Prancis. Para seniman kaligrafi ”terluka”, kata Rikkat.
Luka itu bukan karena kehilangan posisi, tapi karena sebab yang lebih dalam: seni kaligrafi adalah ibadah yang tulus dan tragis. Semua seniman kaligrafi berusaha ”menangkap kehadiran Ilahi”, tapi tak seorang pun berhasil. Tapi mereka ingin terus.
Maka kata ”malam” (la nuit) dalam judul asli novel ini mengandung kiasan untuk suasana sunyi dalam ibadah itu dan juga suasana gelap karena terancam. Dalam arti tertentu, Seniman Kaligrafi Terakhir mengandung sebuah pembelaan bagi sikap religius di hadapan sekularisasi yang agresif.
Dengan latar Eropa sekarang, pleidoi itu punya nilai yang penting. Novel ini jadi suara pengimbang di tengah sebuah masyarakat yang memandang iman dengan cemooh atau curiga. Tapi perlu dicatat: dalam novel ini, ”iman” dan ”agama” dan ”Islam” dijalani dengan imajinasi yang subur.
Rikkat percaya pada hantu Selim (”seniman kaligrafi yang berumur 100 tahun”, yang ”menulis di bawah pengawasan ketat Rasulullah”), percaya pada patung-patung kecil darwis yang ”bergerak tiap kali mendengar suara orang mengaji”, percaya bahwa alat-alat tulis bisa bergerak sendiri, terkadang menari erotis, juga dalam memuja Yang Maha Suci.
Di hadapan imajinasi yang subur, yang hidup, yang mesra kepada fantasi seperti itu, dan fantasi yang tumbuh terus dalam kreasi, apa yang lebih yang diberikan ”modernisasi”? Sesuatu yang terasa terlalu datar, dangkal, dan hanya memikirkan ”guna” dan ”hasil”.
Tapi demikian juga yang diberikan ”agama”—jika ”agama” adalah keyakinan yang cuma mengerti hukum, yang lurus, kering, dan kaku. Menarik bahwa bukan jalan yang lurus yang diingat Rikkat menjelang akhir. Ia malah bicara tentang ”zigzag”, ”labirin”, dan ”spiral”—yang mengembalikannya kepada yang membahagiakan dan menyusahkan dalam hidupnya. Ya, hidupnya.
~Majalah Tempo Edisi. 08/XXXVII/14 - 20 April 2008~

Jalan


Jalan
Jalan juga sebuah laku. Di sana orang ambil keputusan, ambil risiko, hanya mengulang tapi bisa juga melakukan yang tak terduga-duga. Di sana ia bisa menemui rezeki atau ajal. Dan jika kita bicara tentang lingkungan kota besar, jalan bisa juga berarti satu wilayah untuk mengelak.
Ada sepatah kata bahasa Indonesia yang sering dipakai tapi tak menarik perhatian: ”kluyuran”. Dalam kata ini tergambar bagaimana ruang yang sambung-menyambung dan berkelok-kelok itu dapat merupakan tempat kita iseng, main-main, atau mengikuti rasa ingin tahu. Saya kluyuran jika saya berjalan menyusuri kota besar ini, tanpa ingin menghasilkan apa-apa, tanpa didesak waktu, tapi asyik mengamat-amati seraya terus-menerus mengalihkan fokus.
Laku semacam itu bukanlah laku yang cocok dengan apa yang dikehendaki sebuah kota besar: rasionalitas, efisiensi, produktivitas. Baudelaire, penyair Les Fleurs du Mal (”Bunga Mala”) dan Le Spleen de Paris (”Limpa Paris”), telah membuat kata flâneur—yang artinya tak jauh dari ”Bung Kluyur”—jadi begitu penting dalam telaah ilmu sosial dan filsafat, karena ia dapat menggambarkan bagaimana ”kluyuran” di kota yang telah diubah jadi modern merupakan sebuah sikap politik dan estetik. Flâneurie seakan-akan menampik rasionalitas yang diterapkan di Paris mengikuti planologi Baron Georges-Eugène Haussman selama dua dasawarsa sejak 1852. Sang flâneur menjelajah secara acak, santai, dan seenaknya sebuah metropolis, semacam ikhtiar mempertahankan yang sepele, percuma, lemah, dan kuno. Sang flâneur, seraya tampil sebagai pesolek yang keren, merayakan tapi sekaligus memandang dengan berjarak dunia Paris yang berubah secara menakjubkan dan mencemaskan itu.
Di Indonesia, ”kluyuran” tentu saja tak sepenuhnya sama dengan flâneurie. Di sini kontras antara kota dan udik bisa begitu besar, tapi kota tak terputus secara radikal dari yang bukan-kota. Seperti pernah dikatakan seorang pakar sosiologi perkotaan, Jakarta tak cuma mengalami urbanisasi, tapi juga ”ruralisasi”. Rancangan yang rasional, ketertiban yang efisien, kapital yang mencoba menguasai pembagian ruang dengan perhitungan laba-rugi, tak henti-hentinya berbenturan dengan arus deras dari bawah yang datang dari desa-desa, barisan yang tiap kali kalah tapi tiap kali menyerbu kembali.
Kota ini sendiri bukanlah tauladan rasionalitas. Birokrasi begitu korup dan tak becus hingga planologi tak ada artinya. Kelas menengah tak secara serius menegakkan hukum. Kemiskinan begitu luas dan juga pengangguran, hingga bukan efisiensi yang terjadi, melainkan involusi.
Involusi adalah cara kelas bawah kota besar berbagi hidup: dalam ruang yang sempit, dalam pekerjaan yang terbatas, dalam milik yang tak seberapa. Involusi adalah sebuah kiat hidup dalam keadaan berjejal.
Ketika saya menonton Je.ja.l.an yang dipentaskan Teater Garasi di Teater Luwes Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 25 Mei yang lalu, saya merasa seakan-akan saya ikut dalam sebuah ”kluyuran”: menyusur jalan-jalan kota, mengamati involusi yang terjadi di sana, terpisah tapi terpaut.
Jarak antara pentas dan penonton dibuat demikian rapat, hingga mereka yang duduk di meja VIP (dengan gelas berisi anggur dan bir) juga tak bisa mengelak. Seperti di rumah makan tepi jalan, pengamen, penjaja kitab dan lain-lain mudah masuk ke sela-sela tamu. Hanya setengah meter dari sana: barisan drum band, pekerja seks, orang mati melarat, orkes keliling, perempuan berdandan keren, pengkhotbah yang marah, petugas ketertiban kota yang hendak menegakkan tertib, banci yang hidup di luar tata. Je.ja.l.an bagi saya mengandung makna ”jejalan”.
Memang banyak adegan yang tak baru: kita telah sering melihatnya, setidaknya di berita televisi dan koran. Tapi itu justru menunjukkan bahwa yang terpapar bukanlah sesuatu yang eksotis, bukan pula yang dramatis. Di kota-kota besar Indonesia, kita menemukannya tiap kali di tiap sudut. Kluyuran bukanlah sebuah darmawisata: karya teater Yudi Ahmad Tajudin dan kawan-kawan menegaskan hal itu karena ia tak mengajak menyaksikan hal yang menakjubkan.
Namun tiap karya teater adalah sebuah intervensi terhadap apa yang tak menakjubkan yang kita temukan di tiap sudut. Realisme dalam teater pada akhirnya mengakui bahwa ”realitas” bukanlah das Ding an sich. ”Realitas” mengandung sejarah sosial: ia dihadirkan oleh bahasa dan percakapan. Maka di pentas, kluyuran merupakan konstruksi ganda. Di pentas, ia diberi bentuk jadi sesuatu yang lebih intens. Demikianlah teater lahir, membuka peluang bagi dunia yang tampil sebagai beda, juga ketika ia seakan-akan menampilkan yang itu-itu juga.
Dalam beda itulah hadir sebuah tamasya—tapi bukan tamasya yang tertangkap secara panoptik, bukan gambaran utuh yang hanya bisa dilihat dari atas. Justru ambisi kota besar untuk mengikuti sebuah rencana agung terbentur oleh centang-perenang yang mencemooh perubahan budaya dalam ”urbanisasi”.
Itu sebabnya bagi saya Je.ja.l.an bukan hendak terdiri dari satu statemen, misalnya sebuah protes sosial karena kemiskinan. Pidato Bung Karno berapi-api, tapi rekamannya yang diputar tak mendominasi ruang. Kisah seorang miskin yang bunuh diri dibacakan, tapi si pembaca seperti lelah di ujungnya. Keduanya tak menimbulkan perubahan di pentas itu.
Dialektik antara beda dan sama, antara yang menusuk dan yang banal, antara teriak dan sikap acuh tak acuh, memantulkan kembali yang kita alami kini: sebuah fragmentasi pengalaman, sebuah khaos dalam perhatian.
Michel de Certeau, yang juga merenungkan makna kluyuran dalam hidup sehari-hari, seakan-akan berbicara tentang jalanan kota yang terpapar di pentas malam itu: ”Pengguna kota memungut fragmen tertentu dari statemen itu, dan dengan demikian mengaktualisasikannya dalam rahasia”.
~Majalah Tempo Edisi. 15/XXXVII/02 - 8 Juni 2008~

Hoppla!
… Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam.
Hari-hari ini, ketika ada rasa cemas bila puisi jadi suara yang tak taat dan seni tak alim, saya ingin mengingat Chairil Anwar. Ia meninggal, mati muda, 28 April 1949. Bagian penting dari 27 tahun dalam hidupnya intens, bergairah, gemuruh, dan khaotis.
Ada satu kalimat goresannya sendiri yang tertulis di secarik kertas:
…wijsheid + inzicht tidak cukup, musti stimulerende kracht + enthousiasme.
Chairil tak ingin cuma punya kearifan dan wawasan. Baginya manusia perlu ”daya rangsang” dan antusiasme.
Dalam sebuah pidato pada 1943 Chairil mendahului paragraf pertamanya dengan sebuah sajak:
Mari berdiri merentakDiri-sekeliling kita bentak
Kehendak menggugah (me-”rentak” dan mem-”bentak”) itu bagian dari yang disebutnya sebagai ”vitaliteit” atau ”tenaga hidup”. Dalam seni, menurut Chairil, ”tenaga hidup” itu selalu muncul sebelum keindahan, berupa ”chaotisch voorstadium”, tahap pendahulu yang galau, yang khaotis.
Kreativitas memang diawali rasa gelisah mencari, kegalauan ingin menemukan, juga niat merombak. Sesuatu yang destruktif tersirat di dalamnya. Seorang ”pujangga”, kata Chairil (pada 1943 itu ia masih menyebut sastrawan demikian) tak gentar akan apa pun. ”Pohon-pohon beringin keramat” ia panjat. Bahkan ia akan ”memotong cabang-cabang yang merindang-merimbun tak perlu…”.
Inilah statemen Chairil: ”Aku berani memasuki rumah suci hingga ruang tengah! Tidak tinggal di pekarangan saja.”
Dengan keberanian menerobos itu ia pun mempertanyakan—bahkan sedikit mencemooh—ajaran agama.
Kita ingat sajak Sorga. Sang penyair mula-mula mengikuti tradisi orang tua: ia berdoa agar masuk surga. Sebab, ”kata Masyumi + Muhammadiyah”, surga itu ”bersungai susu” dan bertaburan beribu-ribu bidadari. Tapi dalam diri sang penyair ada suara yang ”nekat mencemooh”: benarkah dengan demikian surga lebih asyik ketimbang dunia? Tidakkah kehidupan yang berlimpah itu justru membuat manusia kehilangan gairah seperti ketika pelaut melihat ”gamitan dari tiap pelabuhan”?
Dalam pertanyaan itu, Tuhan praktis ”mati”: tak ada lagi satu sumber yang diakui sebagai maha-penjamin segalanya, juga hal yang paling ganjil.
Atau Tuhan telah redup: ”caya-Mu panas suci/tinggal kerdip lilin di kelam sunyi”, demikian kita temukan dalam sajak Doa. Atau Tuhan jadi penyebab tamatnya pengembaraan: sang kelana tak lagi menemui dunia dengan takjub dan cemas seperti di sebuah negeri asing. ”Aku mengembara di negeri asing,” kata Chairil. Tapi kemudian, ketika ”di pintu-Mu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.”
Dengan kata lain, setelah pintu itu, ”tenaga hidup” kehilangan rangsang untuk mencari, untuk gelisah, untuk berbeda. Tiap kekuasaan yang mengontrol cenderung membuat hidup terbatas pada yang hadir dan dikenali, berpegang pada satu ensiklopedia yang sudah tersusun rapi. Dengan demikian, pintu ditutup bagi kebenaran yang tak terduga-duga.
Tapi bisakah pengembaraan yang membuka diri bagi yang tak pernah dikenal itu dihabisi? Dalam adaptasinya atas sajak Hsu-Chih Mo (1897-1931), A Song of the Sea, Chairil menghadirkan seorang dara yang sendiri, ”berani mengembara/Mencari di pantai senja”. Ketika si gadis diseru agar pulang, ia menolak:
”Tidak, aku tidak mau!Biar angin malam menderuMenyapu pasir, menyapu gelombangDan sejenak pula halus menyisir rambutkuAku mengembara sampai menemu.”
Penolakan itu menegaskan kebebasan. Tak mengherankan bila Chairil menyambut jatuhnya kekuasaan Jepang dengan teriakan, ”Hoppla!” Di bawah fasisme Jepang, yang tumbuh adalah ”kebudayaan paksaan.” Diawasi oleh sensor dan doktrin, sastra dan seni harus mengikuti arahan tertentu. Pada masa pendudukan Jepang, yang harus dipatuhi adalah ”garis-garis Asia Raya”, seruan agar rakyat menanam pohon jarak, melipatgandakan panen, menabung, bikin kapal…. Banyak seniman yang patuh. Bagi Chairil, mereka telah ”mendurhaka kepada Kata”.
”Kata” dalam pengertian Chairil bukanlah Logos. ”Kata” tak dibentuk oleh aku-yang-berpikir, tapi aku-yang-ada-di-dunia. Dalam pemikiran Chairil, ”Kata adalah yang menjalar mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, mimpi, pengharapan, cinta, dan dendam.”
Artinya ”Kata” praktis sama dengan ”hidup”. Maka ia tak bisa diperbudak; ia bebas-lepas. Tapi hidup juga selamanya riskan, bisa tak disangka-sangka, bisa gelap. Manusia dan ”Kata”-nya bukanlah makhluk yang transparan, lurus, dan koheren. Dalam satu coretan pendeknya yang dikutip H.B. Jassin dalam Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45, Chairil menyebut bahwa dalam diri manusia ada ”gedong besar dan gelap tempat jiwa kita yang sejati bersembunyi.”
Itu sebabnya ”Kata” atau ”hidup” punya sifatnya yang tak cerah, bahkan tragis. Dalam sajak Chairil yang terkenal, Aku, kita dapatkan manusia yang terbuang dan luka. Ia berlari, kesakitan, berteriak, ”aku ingin hidup 1000 tahun lagi”, tapi keinginan itu justru menunjukkan kekurangannya. Ia fana. Ia terbatas.
Mungkin itu sebabnya sajak Hsu-Chih Mo oleh Chairil diberi judul Datang Dara, Hilang Dara. Di balik kehadiran itu ada ketiadaan. Di akhir sajak, terdengar suara yang memanggil si dara dari tepi laut yang hampir gelap itu. Tapi ternyata
Di pantai, di senja, tidak ada daraTidak ada dara, tidak ada, tidak….
Sang penyair mengakui yang ganjil, yang misterius, dan tak terpahami di luar sana. Puisi jadi berarti bukan karena menjejalkan isi, melainkan karena menemui sebuah pantai senja yang kehilangan. ”Aku…,” kata Chairil kepada Ida [Nasution?], ”bukan pendeta atau kiai tentang sesuatu.”
Sajak-sajak Chairil terus-menerus mempesona kita justru karena itu.
~Majalah Tempo Edisi. 37/IX/21 - 27 April 2008~

B.O

B.O.
POTRET yang tertinggal dari awal abad ke-20 itu menggambarkan Mas Wahidin Sudirohusodo seakan-akan bagian dari Jawa yang lembek. Atau jinak. Ia tak tampak cakrak, dengan kepala bangga. Ia malah terkesan mengambil postur seorang yang sopan sekali. Tak ada kumis yang perkasa. Blangkon di kepalanya tampak ditimpa waktu.
Saya terkadang tak paham kenapa ”dokter Jawa” ini jadi tokoh utama Hari Kebangkitan Nasional. Saya tak pernah membaca teks pidatonya yang berapi-api. Saya tak pernah melihat sehelai foto pun yang menunjukkan ia berdiri dengan tangan mengepal. Bagaimana mungkin dengan itu ada ”kebangkitan nasional”? Apanya yang ”bangkit”? Mana yang ”nasional”?
Saya lupa: ketika ia merintis jalan yang akhirnya melahirkan organisasi ”Boedi Oetomo” pada tanggal 20 Mei 1908 itu, Wahidin sudah seorang pensiunan. Tapi ia pensiunan yang tak hendak mandeg. Sejak 1906, Wahidin berkeliling dari kota ke kota untuk menjajakan idenya: membentuk dana buat beasiswa bagi anak-anak Jawa. Selama dua tahun ia gagal terus. Baru ketika ia bertemu dengan para siswa STOVIA gayungnya disambut.
Sekolah itu seperti sudah menantikannya. Sejak awal abad ke-20, STOVIA diperbaiki agar jadi tempat untuk para pemuda—terutama mereka yang datang dari kalangan yang disebut ”bumiputra”—dilatih jadi tenaga kesehatan. Para lulusannya disebut ”dokter”, tapi dengan tambahan: ”dokter Jawa”.
Dari nama ini saja dapat dilihat bagaimana struktur sosial dan ideologi kolonial Belanda waktu itu. Dari sini pula dapat dimengerti kenapa STOVIA jadi tempat di mana ada api dalam sekam, hingga ide Wahidin berkembang di sini.
Para mahasiswa STOVIA bukan dari keluarga petinggi daerah, melainkan dari kalangan priayi rendah. Wahidin sendiri, misalnya, bukan seorang ”raden”. Demikian pula Cipto Mangunkusumo dan adiknya, Gunawan: mereka anak guru. Bahkan pernah tercatat anak pembantu rumah tangga di sekolah kedokteran itu. Seperti dikemukakan Robert van Niel dalam The Emergence of the Modern Indonesian Elite, status sosial para ”dokter Jawa” tak dipandang tinggi di masyarakat kolonial. Bahkan tak banyak yang tertarik masuk ke sana. Untuk mempromosikannya, sejak 1891 pemerintah memberi pelbagai kemudahan bagi murid yang ingin masuk STOVIA.
Dalam sejarahnya, STOVIA disiapkan melayani kepentingan pemilik perkebunan di Sumatera Timur: para buruh yang didatangkan dari Jawa perlu dijaga kesehatannya agar tak membebani perusahaan. Untuk itu perlu dokter. Pendidikan yang disiapkan cukup serius. Sejak 1904, diploma STOVIA dapat mengantar seorang lulusan ke sebuah sekolah kedokteran di Belanda di tingkat lanjut, hingga ia bisa mendapatkan gelar dokter tingkat Eropa hanya dalam waktu setahun.
Tapi lulusan itu akhirnya toh hanya dijuluki ”dokter Jawa”. Gajinya di perkebunan tak sebanding dengan ”dokter Eropa”. Kolonialisme selamanya ingin mengukuhkan diri dengan membedakan sang penjajah dari si terjajah. Kalaupun si inlander diberi kesempatan meniru, peniruan itu harus dijaga agar ”hampir sama, tapi tak benar-benar sama”, untuk memakai kata-kata Homi Bhabha tentang bagaimana masyarakat kolonial disusun. Demikianlah semasa kuliah para calon dokter itu—kecuali mereka yang beragama Nasrani—tak boleh mengenakan pakaian Eropa.
Dalam latar yang panas itu, ide Wahidin akhirnya berkembang melampaui soal beasiswa. ”Budi Utomo” dibentuk oleh para mahasiswa kedokteran itu—dan peran dr Wahidin segera berakhir. Para pemuda mengambil alih. Bagi mereka, ikhtiar akhirnya mesti bersifat politik, sebab ketidakadilan yang mereka alami adalah bagian dari kekuatan struktural.
Jika politik adalah penggalangan kekuatan alternatif untuk mengubah keadaan, mau tak mau sebuah aksi masuk ke dalam sebuah paradoks. Di satu sisi, aksi itu harus menegaskan identitas tersendiri. Tapi di sisi lain, ia harus menjangkau yang bukan dirinya, hingga identitas itu tak seperti baju besi yang terkunci rapat. Dan itulah yang terjadi pada ”Budi Utomo”.
Organisasi ini pada awalnya bertumpu pada segala sesuatu yang ”Jawa”. Tapi ketentuan organisatorisnya sepenuhnya ”Barat”. Bahkan dengan segera ”Jawa” tak hanya berarti sekitar Yogya dan Surakarta, tapi juga mereka yang biasa disebut ”Sunda”, ”Madura”, dan ”Bali”. Akhirnya identitas pun terbongkar: semuanya tak jelas batasannya. Salah satu yang menarik pada ”Budi Utomo”: untuk berkomunikasi, organisasi ini tak menggunakan bahasa Jawa, melainkan Melayu.
Bukankah gerakan politik ke arah keadilan akan selalu terdorong menjangkau yang universal?
Tapi sejumlah orang tua, para aristokrat Jawa, menampik. Bagi mereka, ”Budi Utomo” harus tetap ”Jawa”. ”Berpolitik” harus dihentikan. Pada Oktober 1908, orang-orang konservatif itu mengambil alih pimpinan ”B.O.”.
Bentrokan terjadi. Dari sinilah muncul dua nama yang kekal dalam sejarah kebangkitan Indonesia—dua orang yang tak sesopan Mas Wahidin: Cipto Mangunkusumo, dokter; ia dengan sengaja memasang bintang penghargaan dari Ratu Belanda di pantat sebagai protes. Suwardi Suryoningrat, pemuda bangsawan keturunan Paku Alam; ia akhirnya meninggalkan STOVIA dan menulis sebuah pamflet cemooh. Ia gugat pemerintah Hindia Belanda ketika berencana membuat pesta besar ulang tahun ke-100 kemerdekaan Belanda dari penjajahan Prancis—pesta yang diadakan di tanah yang tak punya kemerdekaan.
Als ik eens Nederlander was, tulis Suwardi. Seandainya aku seorang Belanda…. ”Aku juga patriot, dan sebagaimana seorang Belanda yang dengan semangat nasionalis mencintai tanah airnya, juga aku mencintai tanah airku….”
Kalimat itu betapa menggigit: seorang hamba menyatakan diri bisa sama dengan si tuan—bukan dalam kuasa, tapi dalam menghargai kemerdekaan.
Hal itu mungkin tak diduga Mas Wahidin: yang ”Jawa” bisa dan seyogianya lebur dalam sesama. Nasionalisme bukan suara igauan sendiri.
~ Majalah Tempo Edisi. 13/XXXVII/19 - 25 Mei 2008~

Aladin



Aladin
JAKARTA mungkin kota dengan sebuah lampu Aladin rahasia. Kini kita hanya lupa-lupa ingat apa yang tak ada sebelum April 1966, sebelum Ali Sadikin diangkat oleh Presiden Soekarno jadi gubernur kota ini.
Saya coba susun sebuah daftar dari luar kepala: Jalan H.R. Rasuna Said–Jalan Casablanca–Taman Ismail Marzuki–sejumlah gelanggang remaja–taman hiburan di pantai Ancol–sebuah pusat perfilman–museum tekstil, wayang, seni rupa–stasiun bus kota–halte–lampu-lampu lalu lintas–taksi–taman-taman kecil–kampung-kampung yang dihubungkan dengan jalan yang rapi….
Mereka yang lahir atau datang terlambat di kota ini tak akan merasakan proses yang menakjubkan dari ”tak-ada” menjadi ”ada” itu.
Saya datang ke kota ini pada 1960, untuk jadi mahasiswa Universitas Indonesia, di fakultas psikologi yang waktu itu terletak tak kentara di seberang rumah sakit umum yang masih disebut ”CBZ”. Saya tinggal indekos di satu rumah tak jauh dari Salemba, di mana kampus Universitas Indonesia terselip praktis tanpa halaman. Kadang-kadang saya naik sepeda dari Grogol.
Dulu ada sebuah kebun binatang yang nyaris kosong di tempat yang kini jadi Taman Ismail Marzuki. Dulu ada bus-bus Robur yang hampir mirip kotak yang gemuk bikinan Cekoslowakia, sudah peyot, dengan penumpang yang berimpitan seperti ikan teri dalam kuali. Atau opelet yang separuh kayu persegi untuk tujuh orang dengan seorang kenek yang mengatur penumpang. Atau trem yang bergerak seakan-akan enggan melanjutkan zaman Batavia dalam cerita Si Jamin dan Si Johan saduran Merari Siregar.
Semua itu surut ke belakang kepala, tak lama setelah Ali Sadikin jadi gubernur. Mereka tak tampak lagi. Kota ini berubah, bergegas.
Saya tak mengenang masa pra-Ali Sadikin dengan nostalgia. Saya kira Jakarta bukanlah kota yang cocok buat merindukan masa lalu: penduduk bertambah hampir 6 persen setahun, baik dari kelahiran maupun dari urbanisasi, dan anak + remaja membentuk dasar yang luas di piramida demografi. Dengan kata lain, mayoritas bukanlah mereka yang punya pengalaman yang bisa diingat dari kota ini. Mayoritas penduduk dilecut untuk sibuk dengan kini dan esok.
Ketika Bung Karno melantik Ali Sadikin, Presiden itu bicara tentang impiannya: Jakarta yang dikagumi dunia. Saya tak tahu apakah Ali Sadikin ingat kata-kata itu. Tapi baginya yang mendesak bukanlah apa kata dunia, melainkan apa kata penghuni Jakarta sendiri.
Dan ia pun bekerja. Dan Jakarta berubah.
Ali Sadikin sendiri juga berubah—meskipun ada hal-hal yang tetap dalam hidupnya: kerja kerasnya, keberaniannya untuk membuat sebuah gebrakan dan melawan pendapat yang ingar-bingar, kemauannya untuk mendengar dan belajar sesuatu yang baru, kharismanya, kepemimpinannya, dan juga daya tariknya.
Ia perwira tinggi Marinir yang harus mengurus 5 juta manusia yang begitu beraneka dan berantakan. Cepat atau lambat, ia harus mengambil sikap lain: ia tak bisa terus-menerus membentak. Saya ingat pada hari-hari pertama ia mencoba menertibkan bus kota. Waktu itu puluhan bus kota menggunakan Lapangan Banteng sebagai tempat parkir dan calo-calo menguasai lalu lintas penumpang. Sebuah khaos besar berkuasa di sana. Pada suatu hari, Ali Sadikin datang mendadak. Ketika ia menghadapi seorang calo yang rupanya menjengkelkannya, ia mengayunkan tinju. Orang itu terjerembap.
Tapi ada yang membuat Ali Sadikin tak dibenci: ia mau meminta maaf. Ia bisa melihat kelemahannya sendiri dan kelemahan orang lain. Di Lapangan Banteng itu ia tahu orang yang cari nafkah dengan kasar dan kacau itu bukan oknum yang bersalah. Ia perlu lebih sabar. Sebab yang bersalah adalah kemiskinan. Tak lama kemudian di Lapangan Banteng dibangun sebuah stasiun bus yang bagus dan rapi. Para bekas calo diberi pekerjaan di situ. Tempat itu jadi tempat yang nyaman bagi siapa saja.
Salah satu anekdot terkenal terjadi dengan pelukis Srihadi di sebuah pameran. Salah satu kanvas seniman terkenal itu menggambarkan Jakarta dengan pencakar langit, tapi juga dengan kekalang-kabutannya. Ali Sadikin melihat kanvas itu; ia naik darah. Ia ambil bolpoin dan ia coret-coret karya Srihadi. Para seniman pun protes. Ali Sadikin, yang telah memberi mereka fasilitas dan menghargai kebebasan kreatif, tak membalas dengan mengingatkan mereka akan apa yang telah diberikannya. Malah ia minta maaf. Srihadi kemudian menyimpan karyanya tak untuk dijual; baginya, coretan Bang Ali adalah kenangan tentang seorang pemimpin yang jarang didapat di Indonesia: begitu berkuasa tapi bersedia meminta maaf dan mengoreksi kesalahannya sendiri.
Ali Sadikin memang berbeda dari yang lain di tatanan Orde Baru itu. Ia tokoh yang berdiri agak sendiri, di tepi wilayah Soeharto. Ia diangkat Bung Karno, tak lama sebelum Bung Karno jatuh. Ia seorang perwira KKO, ketika rezim dikuasai Angkatan Darat. Dengan tubuh tinggi dan paras mirip bintang film, ia menonjol mengatasi yang lain—dan ia punya kebanggaan sendiri untuk tak merunduk. Dengan segera orang tahu: Jakarta mempunyai seorang pemimpin, bukan pejabat.
Pada zaman ketika pemimpin dan calon pemimpin dibabat—ketika Soeharto-lah yang menunjuk ketua partai apa pun, memilih panglima angkatan dan kepala daerah mana pun—ketika cara kerja, perilaku, dan bahkan bahasa jadi bagian dari birokratisasi, Ali Sadikin tak tenggelam.
Ia memang memanfaatkan struktur yang dibangun Orde Baru: kepala daerah bisa jadi pemegang otokrasi. Tapi ia punya rasa percaya diri yang besar pada dirinya yang menyebabkannya—seorang otokrat par excellence—tak gentar mendengar kritik, tak takut akan ide baru dan saran orang.
Seandainya ia jadi presiden republik….
Tapi ia tak mau. Ia mengajukan kritiknya yang fundamental kepada ”Orde Baru”, tapi ia membuktikan kritik itu bukan karena rasa iri dan getir orang yang sudah tak berkuasa lagi.
Saya belum pernah menjumpai orang sebesar dia dalam sikap. Bertahun-tahun lamanya bagi saya hanya dia presiden saya.
~Majalah Tempo Edisi. 14/XXXVII/26 Mei - 01 Juni 2008~