Thursday, September 25, 2008

AMIR HAMZAH DAN KESADARAN HISTORIS

(Telaah Atas Puisi “Hanya Satu”)

Oleh: Valery Kopong*

PUISI sebagai bagian dari karya sastra yang dihasilkan oleh para penyair, mengedepankan pelbagai aspek yang membentuk bangunan puisi dan seluruh aspek yang membentuknya menarik untuk dikaji. Dikatakan menarik karena di dalam puisi itu termuat pelbagai dimensi kehidupan yang terangkum dalam penggalan kata. Pemilihan kata (diksi) oleh penyair merupakan suatu seni untuk memperhadapkan dua realitas berlawanan, yakni realitas batin dan realitas sosial. Walaupun berlawanan tetapi keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Realitas sosial membentangkan kenyataan dan sekaligus memberikan inspirasi pada penyair untuk mengakumulasikan realitas itu ke dalam olahan jiwa.

Untuk memahami lebih jauh tentang puisi dengan penggalan kalimat yang pendek sekaligus mewakili realitas sosial, membutuhkan sebuah penafsiran yang mendalam. Dalam interpretasi subjektif, seorang penafsir dapat menemukan unsur batin dan unsur sosial yang masih tersembunyi bagi pembaca. Penafsiran yang dilakukan terhadap puisi harus dilihat secara komprehensif tentang latar belakang kehidupan seorang penyair dan alasan penulisan puisi tersebut. Hal ini berarti bahwa seorang penafsir mestinya masuk ke kedalaman wilayah pribadi seorang penyair.

Amir Hamzah dan puisi-puisinya sulit dipahami oleh para pembaca. Kesulitan pembaca dalam menafsir puisinya dikarenakan oleh penggunaan kata-kata lama dan kata-kata dalam bahasa daerah mengkonstruksi puisinya. Dalam tulisan ini, penulis hanya membatasi diri pada puisi berjudul “Hanya Satu” untuk ditelaah dari aspek teologis, sosiologis dan filosofis.

Kekuatan Makna Puisi

Seorang penyair memiliki kesanggupan untuk membahasakan alam semesta hanya dengan beberapa penggalan kalimat. Setiap kalimat yang dipakai memiliki makna dan mewakili sisi tertentu dari objek yang diimajinasikan. Pada momen ini seorang penyair berkutat dengan daya ratio yang dibangkitkan untuk berimajinasi dan mempertemukan pelbagai unsur dalam suatu kerangka kalimat.

Penyair tidak hanya membangun relasi dengan sesama lewat puisi yang dihasilkannya tetapi juga ia menjalin hubungan vertikal-transendental dengan Yang Maha Ada.

Dalam puisi “Hanya Satu”, karya Amir Hamzah terdiri dari dua bagian, bagian pertama melukiskan kebesaran dan kekuasaan Tuhan.

HANYA SATU

Timbul niat dalam kalbumu:

Terban hujan, ungkai badai

Terendam karam

Runtuh ripuk tamanmu rampak

Pada bait pertama ini Amir Hamzah menggambarkan kehendak Tuhan yang bebas. Kebebasan ini nampak ketika Tuhan sendiri menurunkan hujan dan mendatangkan sebuah bencana. Walaupun Tuhan tahu bahwa bencana itu menyiksa manusia tetapi toh Ia anugerahkan juga sebagai pemusnahan tingkah laku dan pribadi manusia sendiri yang telah membangun sebuah hidup di luar kontrol peringatan Tuhan.

Membiarkan manusia untuk berada dalam kebinasaan adalah suatu keharusan bagi Tuhan dan sebagai tindakan purifikatif. Dunia telah dinodai manusia yang ditempatkan oleh Tuhan dan atas kehendak Tuhan yang sama diadakan sebuah pemulihan. Pemulihan tidak berarti dilakukan dengan jalan damai, melainkan dengan sebuah konfrontasi. Bencana lalu menjadi sarana penyapaan Tuhan terhadap manusia yang selama itu telah menutup pintu batinnya terhadap intervensi Tuhan. Bencana yang diturunkan Tuhan mendatangkan ketakutan mendalam dari manusia seperti dilukiskan penyair pada bait yang kedua.

Manusia kecil lintang pukang

Lari terbang jatuh duduk

Air naik tetap terus

Tumbang bungkar pokok purba

….

Sebagai manusia biasa, tentunya mereka lari dari bencana untuk dapat meluputkan diri. Manusia boleh berusaha tetapi kehendak Tuhan lebih mendominasi untuk berusaha melenyapkan nyawa manusia. Manusia boleh lari namun pelariannya menemukan titik kulminasi keberakhiran. Pada momen yang mendebarkan itu, Tuhan, dengan bantuan air bah melenyapkan nyawa manusia. Peristiwa pemusnahan manusia ini memunculkan suatu ketakutan yang mendalam sebagai gambaran manusiawi manusia.

Teriak riuh redam terbelam

Dalam gegap gempita guruh

Kilau kilat membelah gelap

Lidah api menjulang tinggi

….

Harapan akan keselamatan nyawa manusia yang meninggal akibat bencana menjadi serba suram. Kematian yang tragis tidak menjadikan mereka untuk meraih sebuah keselamatan sebagai upah terhadap hidup yang pahit tetapi malah Tuhan sendiri, di dalam kegelapan peristiwa tragis itu memberikan tanda bahwa mereka akan ditempatkan di neraka, yang di dalam puisi dilambangkan dengan api yang membara. Di sini, penulis melihat kemarahan Tuhan yang mendendam terutama kepada manusia yang sudah ditegur oleh Tuhan namun tidak mau bertobat. Tuhan hanya mementingkan pribadi seorang Nuh dan keluarganya yang bersikap tanggap terhadap bisikanNya ketimbang nyawa orang banyak. Pada peristiwa ini Tuhan mengedepankan kualitas iman dan bukannya kuantitas manusia yang mengingkarinya.

Terapung naik jung bertudung

Tempat berteduh Nuh kekasihmu

Bebas lepas lelang lapang

Di tengah gelisah, swara sentosa

….

Kisah Nuh pada bait di atas ini mengingatkan kita akan keberpihakan Tuhan pada orang yang dikasihinya. Mengasihi manusia, bagi Tuhan memiliki hubungan relasional. Itu berarti bahwa ketika manusia dikasihi Tuhan, pada saat yang sama ia menunjukkan partisipasi aktif, ada tanggap balik di dalam hubungan relasional itu. Tuhan menegur dengan suatu harapan untuk menata kehidupan manusia dan di sini dituntut kepekaan hati untuk mendengar dan menanggapi bisikan Tuhan.

Nabi Nuh dalam relasinya dengan Tuhan diibaratkan oleh Amir Hamzah sebagai kekasih. Sebagai kekasih berarti sama-sama menunjukkan suatu keterlibatan secara penuh dan aktif. Nuh dalam kerangka perlindungan pada akhirnya menuai keselamatan. Keselamatan Nuh dimengerti sebagai upah yang ditanam olehnya pada tahun-tahun selama keberadaannya dengan Tuhan.

Dalam bait yang terakhir, Amir Hamzah menyatakan rahmat Tuhan kepada nabi Ibrahim serta kedua puteranya, Ishak dan Ismail.

Bersemayam sempana di jemala gembala

Duriat jelita bapaku Ibrahim

Keturunan intan dua cahaya

Pancaran putera berlainan bunda

….

Amir Hamzah dalam puisi ini menampilkan tokoh-tokoh dalam Perjanjian Lama yang mempunyai kharisma dan kesalehan untuk kemudian dijadikan sebagai panutan dalam kehidupan publik. Ibrahim (Abraham) dipilih oleh Allah menjadi Bapa Bangsa. Penunjukkan dirinya menjadi Bapa Bangsa berarti bersedia menanggung apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Tuhan (Yahwe) memberikan cobaan yang menunjukkan bukti kesetiaannya pada Tuhan. Pengorbanan anaknya Ismail (menurut teologi Islam) memperlihatkan keterbukaannya pada Tuhan. Baginya, memberikan sesuatu kepada Tuhan merupakan suatu keharusan dan wujud ketaatan, walau pemberian itu berupa nyawa sekalipun. Ibrahim yang dicobai dengan mempersembahkan puteranya tidak menampilkan prinsip “do ut des” (saya memberi untuk kemudian saya menerima). Tetapi di sini berlaku hukum loyalitas-spiritual, di mana seluruh ketaatan selalu terpancar dari spiritualitas hidup.

Amir Hamzah dan Kesadaran Historis

Penyair Amir Hamzah selalu berada dalam waktu dan daya imajinasinya cukup fleksibel untuk masuk ke dalam ruang-ruang waktu. Dalam puisinya “Hanya Satu”, Amir Hamzah menampilkan keterlibatannya secara imajinatif bersama tokoh-tokoh dan peristiwa masa lampau yang tidak dialaminya secara langsung. Melalui kisah biblis, ia mengembangkan sebuah “teologi puisi” yang memiliki nilai teologis dan sosiologis. Untuk memahami masa lampau peristiwa ini, seorang penyair, secara khusus Amir Hamzah mencoba mengasah kesadaran historis untuk melihat masa lampau dan turut terlibat di dalamnya.

Kehebatan Amir Hamzah dalam puisi ini adalah mengedepankan masa lampau dan memperhadapkan dengan masa kini serta memberikan suatu proyeksi untuk masa yang akan datang. Tiga dimensi waktu ini dikaitkan secara berantai untuk ditemukan multi makna. Baginya, saat sekarang (masa kini) menyatukan masa silam dan masa depan. Pada masa kini, masa lampau dilihat sebagai kenangan dan berdasarkan kenangan itu orang bisa membuat ‘retrospeksi’ dan ‘retrodiksi’ (mengatakan sesuatu tentang masa lampau)

Melalui cerita biblis, Amir Hamzah menghidupkan kembali peristiwa yang menyejarah itu lewat penggalan puisi. Puisi menampilkan ‘bahasa kesadaran’ masa lampau dan dengannya para pembaca menerima peristiwa dan nilai masa lampau itu sebagai yang terberi. Di sini, seorang penyair sekaligus dilihat sebagai sejarahwan yang membangkitkan ingatan masa lampau penuh kenangan. Terhadap peristiwa ini, aliran idealisma dalam filsafat menegaskan bahwa masa silam harus diterima sebagai sesuatu yang hidup dan diperbaharui lagi untuk memenuhi tuntutan masa kini.

Dalam kaitan dengan pandangan yang diberikan oleh aliran idealisme, memunculkan suatu perbedaan yang tajam antara ‘historie’ dan ‘geschichte’. Historie menunjuk pada himpunan fakta-fakta historis yang menjadi bahan mentah untuk diteliti dan diberi arti agar manusia dapat memahaminya. Sedangkan ‘geschichte’ menunjuk pada usaha menafsirkan dan memahami perjalanan manusia dalam waktu, sejauh itu terungkap dalam kejadian-kejadian. Geschicte merupakan cara khusus untuk menjawabi tuntutan-tuntutan untuk memahami pertanyaan menyangkut arti eksistensi yang berakar pada masa lampau, dihayati pada masa kini dan terarah ke masa depan.

Puisi “Hanya Satu” milik Amir Hamzah dilihat sebagai puisi bernilai sejarah. Originalitas puisi menggagas manusia dalam tindakannya, yang satu menunjukkan keberpihakan dengan Tuhan dan yang lainnya membelok dari hadapanNya. Seluruh perilaku manusia dilukiskan lewat kata yang membentuk kalimat dan menunjukkan kebermaknaan. Martin Heidegger, filsuf eksistensialis menegaskan kekuatan kata-kata yang sanggup memberikan arti tertentu berdasarkan zamannya. Komunikasi verbal dalam puisi sengaja dibangun untuk mengantar orang sebagai mitra bicara agar terlibat dengan kehidupan imajinasi seorang penyair. Penyair adalah sosok yang menghidupkan kembali masa lampau, mengungkapkan pesan-pesan tertentu dari zaman yang jauh dan menghadirkannya pada masa kini dengan nilai sejarah berharga lewat untaian kata.***

Wednesday, September 24, 2008

Lonceng Kematian Sekolah Swasta
Rabu, 24 September 2008 00:20 WIB
S BELEN
Tahun 2009, anggaran pendidikan mendapat tambahan Rp 46,15 triliun hingga menjadi Rp 224 triliun (20 persen APBN). Penghasilan guru dan dosen PNS terendah minimal Rp 2 juta, belum termasuk kenaikan kesejahteraan sekitar 14-15 persen gaji pokok.
Kabar menggembirakan bagi guru dan dosen PNS itu ternyata tak dinikmati guru sekolah swasta. Bagi mereka, ketentuan itu hanya menjadi pelipur lara. Guru nonsarjana hanya mendapat subsidi tunjangan Rp 50.000 dan guru S-1 Rp 100.000 per bulan (Kompas, 10-12/9/2008).
Tambahan ini akan digunakan untuk menaikkan dana bantuan operasional sekolah (BOS), menambah guru madrasah, rehabilitasi sekolah, peningkatan sarana sekolah, peningkatan kualitas pendidikan nonformal, dan penelitian pendidikan.
Lonceng kematian
Pada era reformasi, gaji PNS—termasuk guru PNS—berkali-kali dinaikkan pemerintah. Hal ini memaksa yayasan swasta menyetarakan gaji guru dengan guru PNS. Akibatnya, alokasi dana untuk gaji guru di sekolah swasta favorit di perkotaan yang dulu sekitar 60 persen dari total anggaran kini 70 persen hingga 85 persen. Jika ditambah insentif pemerintah daerah, terutama di Jakarta dan Kalimantan Timur, jurang penghasilan guru PNS dan swasta kian lebar.
Bantuan dana BOS bagi swasta tak memecahkan masalah karena terbanyak untuk gaji guru. Nasib guru sekolah swasta menyedihkan. Sebuah SMA swasta di Jakarta hanya mampu menggaji Rp 1 juta bagi guru yang sudah mengabdi 12 tahun. Di Yogyakarta ada guru yang masih digaji Rp 300.000. Banyak sekolah seperti ini. Kesejahteraan guru PNS akan kian cerah pada masa depan. Dapat diramalkan, sekolah swasta akan gulung tikar. Ini merupakan lonceng kematian sekolah swasta.
Dampak
Banyak sekolah swasta—Taman Siswa, Muhammadiyah, sekolah NU, sekolah swasta Islam lain, sekolah Katolik maupun sekolah Kristen—akan terkubur. Ada yang bertahan hidup, tetapi ibarat kerakap di atas batu. Mereka akan sulit mempertahankan mutu karena dana untuk proses belajar-mengajar (PBM) dan pelatihan guru drastis berkurang.
Padahal, sekolah-sekolah ini amat berjasa dalam perjuangan kemerdekaan dan pencerdasan bangsa. Di seluruh Indonesia sekolah swasta umumnya lebih bermutu daripada sekolah negeri. Data nilai evaluasi murni UN menunjukkan kenyataan ini. Jika sekolah swasta hilang dari peredaran, bangsa ini akan ”kehilangan” besar.
Yayasan sekolah swasta yang besar berkiprah tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di pedesaan, bahkan di wilayah terpencil. Untuk bertahan hidup, digunakan subsidi silang. Kebijakan diskriminatif pemerintah akan berakibat tewasnya sekolah di kota. Selanjutnya sekolah di pedesaan akan ditutup. Mengapa pemerintah memilih menaikkan gaji guru PNS saja? Jika sekolah swasta di pedesaan ditutup, angka partisipasi anak usia wajib belajar pasti menurun. Karena itu, DPR hendaknya mempertimbangkan dampak ini dalam membahas alokasi dana tambahan ini.
Negara lain
Perkembangan di dunia menunjukkan gejala yang mirip. Pemerintah Inggris membangun sekolah negeri, tetapi juga tetap mempertahankan sekolah swasta yang berciri khas. Dana pendidikan termasuk gaji guru tidak dibedakan. Gejala ini juga terjadi di Malaysia dan Barat. Sekolah swasta umumnya tetap mempertahankan ciri khas meski hampir seluruh pembiayaan ditanggung pemerintah.
Di Malaysia hampir 50 tahun pemerintah berusaha menghapus sekolah swasta China, Tamil, dan Islam, tetapi sekolah-sekolah itu tetap bertahan hidup. PM Mahathir Mohamad bahkan secara khusus berusaha menghapus sekolah swasta Islam yang disebut sekolah agama rakyat (SAR), tetapi tak berhasil. Untuk sekolah swasta China, Tamil, dan Islam yang independen, pemerintah memberi subsidi sarana dan gaji guru.
Dulu Presiden Soeharto pernah berkata kepada Gubernur NTT Ben Mboy. ”Sekolah negeri dan swasta memang masih dibedakan. Namun, pada masa depan jika pemerintah sudah mampu, tidak akan dibedakan. Dana untuk pembangunan gedung, sarana, dan gaji guru sekolah swasta ditanggung pemerintah.”
Saat itu, perbedaan sekolah negeri dan swasta hanya pada papan nama sekolah. Kini tiba saatnya pemerintah mengakhiri tindak diskriminatif terhadap sekolah swasta saat 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan.
Argumen
Argumen yang mendasari usul ini adalah, pertama, uang negara, yakni uang rakyat yang juga berasal dari pajak rakyat. Karena itu, perlakuan pemerintah harus sama. Sekolah swasta juga mendidik anak bangsa.
Kedua, sekolah negeri menunjukkan ciri pengelolaan seperti lembaga pemerintah. Kurang efisien, tak bersemangat wirausaha, dan kurang motivasi meningkatkan mutu. Adapun sekolah swasta memiliki elan vital mewujudkan visi dan misi khas serta bergantung kepercayaan masyarakat. Lebih inovatif karena didorong nilai tambah yang ditawarkan untuk meningkatkan nilai jual. Penerapan asas subsidi silang menjamin kelangsungan hidup sekolah di pedesaan. Sekolah dikelola seperti bisnis. Prinsip efisiensi konsisten dilaksanakan.
Ketiga, di suatu negara selalu ada kelompok masyarakat yang berjuang mewariskan nilai-nilai khas budaya, etnis, agama, dan ideologi. Upaya pemerintah menghapus sekolah swasta cenderung tak berhasil. Hal ini juga terlihat di AS. Sekolah swasta Kristen tetap hidup sejak akhir abad ke-19 hingga kini meski pemerintah selalu berusaha menghapus. Mutunya lebih baik dan penggunaan dana tetap efisien. Gejala ini juga terlihat di Indonesia. Di berbagai daerah, mutu sekolah swasta cenderung lebih unggul. Sekolah negeri yang bermutu umumnya hanya satu-dua di kota besar. Tibalah saatnya pemerintah menggunakan bisikan nurani dalam mengambil kebijakan pendidikan.
S BELEN Pemerhati Pendidikan

Monday, September 22, 2008

Latar belakang

Karol Wojtyła pada usia 12 tahun.
Karol Wojtyła pada usia 12 tahun.

Karol Józef Wojtyła (dilafazkan sebagai: voi-TI-wa; IPA: /ˈkarɔl ˈjuzef vɔjˈtɨwa/) lahir pada 18 Mei 1920 di Wadowice, Polandia selatan, sebagai seorang anak opsir pada Tentara Kekaisaran Habsburg Austria, yang juga bernama Karol Wojtyła. Pada 1941, Karol sudah kehilangan ibunya, ayahnya dan kakak lelakinya. Masa kecilnya terpengaruh kontak intensif dengan komunitas Yahudi di Kraków, yang kala itu berkembang dan pengalaman buruk pendudukan Nazi. Semasa itu Karol bekerja di tambang batu dan pabrik kimia. Pada masa mudanya, Karol adalah seorang olahragawan, pemain sepak bola, pemain sandiwara, penulis sandiwara, dan menguasai bermacam-macam bahasa. Ketika menjabat di kemudian hari, bahasa yang dikuasainya secara fasih adalah: Bahasa Polandia, Slovakia, Rusia, Italia, Perancis, Spanyol, Portugis, Jerman, dan Inggris, ditambah dengan pengetahuan akan Bahasa Latin Gerejawi.

Karol Wojtyła ditahbiskan sebagai pastor pada 1 November 1946. Karol kala itu mengajar ilmu etika di Universitas Jagiellonian, Kraków dan kemudian di Universitas Katolik Lublin. Pada 1958 Karol diangkat menjadi uskup pembantu (auxiliary bishop (?)), Uskup Kraków dan empat tahun kemudian meneruskannya menjadi Uskup dengan gelar Vicar Capitular. Pada 30 Desember 1963, Paus Paulus VI mengangkatnya sebagai Uskup Agung Kraków. Sebagai uskup dan uskup agung, Wojtyła ikut serta menghadiri Konsili Vatikan II, dan memberikan kontribusi pada dokumen-dokumen penting yang kelak menjadi Pernyataan tentang Kebebasan Beragama (Dignitatis Humanae) dan Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern (Gaudium et Spes), dua hasil utama Konsili, ditilik dari sudut pandang historis dan pengaruhnya.

Pada 1967 Paus Paulus VI mengangkatnya menjadi Kardinal. Pada Agustus 1978, pada wafatnya Paus Paulus VI, Karol menghadiri konklaf Paus yang memilih Albino Luciani, Kardinal Venesia, sebagai Paus Yohanes Paulus I. Pada usia 65, Luciani bisa dikatakan masih muda sebagai Paus. Wojtyła pada usia 58 masih bisa mengharapkan untuk menghadiri sebuah konklaf Paus lainnya sebelum mencapai usia 80 tahun (usia maksimal dalam mengikuti konklaf). Namun tidak dikira bahwa ternyata konklaf selanjutnya datang begitu cepat pada 28 September 1978, hanya 33 hari setelah menjabat, Paus Yohanes Paulus I wafat. Pada Oktober 1978 Wojtyła kembali ke Vatikan untuk menghadiri konklaf kedua dalam waktu kurang dari dua bulan.

Paus Yohanes Paulus II

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Yohanes Paulus II
Nama lahir Karol Wojtyla
Mulai menjabat 16 Oktober 1978
Sampai 2 April 2005
Pendahulu Yohanes Paulus I
Pengganti Benediktus XVI
Lahir 18 Mei 1920
Wadowice, Polandia
Wafat 2 April 2005
Istana Apostolik, Vatikan
Paus bernama Yohanes Paulus lainnya
Catatan kaki
{{{footnotes}}}

Paus Yohanes Paulus II (nama asli: Karol Józef Wojtyła, lahir di Wadowice, Polandia pada tanggal 18 Mei 1920 dan wafat pada 2 April 2005), adalah Paus, Uskup Roma, dan kepala Gereja Katolik Roma sejak 16 Oktober 1978 hingga kematiannya. Dia juga pemimpin dari Negara Kota Vatikan, negara berdaulat dengan luas terkecil di dunia.

Paus Yohanes Paulus II diangkat pada usia 58 tahun pada tahun 1978. Dia adalah Paus non-Italia pertama sejak Paus Adrianus VI, yang menjabat untuk sesaat antara tahun 1522-1523. Dia memerangi komunisme, kapitalisme yang tak terkendali dan penindasan politik. Dia dengan tegas melawan aborsi dan membela pendekatan Gereja Katolik Roma yang lebih tradisional terhadap seksualitas manusia.

Dia telah melakukan lawatan ke luar negeri lebih dari 100 kali dan menarik perhatian masyarakat yang besar. Selain itu, masa tugasnya sebagai Paus adalah yang ketiga terlama dalam sejarah, setelah Paus Pius IX dan Santo Petrus. Pada tahun 1989, beliau mengunjungi Indonesia. Kota-kota yang dikunjunginya adalah Jakarta, Medan (Sumatra Utara), Yogyakarta (Jawa Tengah dan DIY) dan Dili (Timor Timur). Setelah berkunjung ke Indonesia, komentarnya ialah: "Tidak ada negara yang begitu toleran seperti Indonesia di muka bumi." [sic]

Sang Paus telah didiagnosa dengan penyakit Parkinson sejak tahun 2001 sehingga pendengaran dan pergerakannya terbatas. Pada 31 Maret 2005, Paus terkena "demam tinggi yang disebabkan infeksi pada saluran uriner" namun tidak dibawa ke rumah sakit di Roma, karena keinginannya untuk meninggal di Vatikan. Pada hari yang sama, dia diberikan Sakramen Perminyakan oleh Gereja Katholik Roma, pertama kalinya sejak percobaan pembunuhan terhadapnya pada tahun 1981 oleh Mehmet Ali Ağca, seorang ekstremis sayap kanan berwarganegara Turki dan berfaham fasisme.

Keadaannya semakin memburuk hingga akhirnya dia meninggal pada 2 April pukul 19:37 UTC (02:37 WIB), pada usia 84 tahun. Sri Paus dimakamkan enam hari kemudian pada 8 April di Basilika St. Petrus. Pada awalnya, Mehmet Ali Agca, penembak Paus ingin datang ke pemakaman Paus di Vatikan dengan menggunakan haknya untuk keluar penjara selama 72 jam. Sayangnya, permohonan tersebut ditolak pemerintah Turki namun keluarganya, Adnan Agca, dapat menghadiri pemakaman tersebut.

Friday, September 19, 2008

Lukisan Yesus versi Jawa

29 November 2007



Alkitab mengatakan, Yesus Kristus atawa Isa Almasih lahir di Betlehem, Palestina, negerinya mendiang Yasser Arafat. Namun, lukisan-lukisan Yesus yang beredar selama ini menampilkan sosok pria berwajah Eropa, berkumis, rambut gondrong. Sebagai pelukis asli Jawa, berproses cukup lama di Jogjakarta, Stevanus Djoko Lelono mengaku sangat tidak sreg.

"Yesus kok potonganne kayak Londo. Kok nggak kayak wong Palestina utowo Arab?" ujar Djoko Lelono kepada saya di rumahnya, Sidoarjo. [Yesus kok potongannya seperti bule Eropa? Kok tidak seperti orang Palestina atau Arab.]

Dia lalu menceritakan keresahan batinnya pada 1970-an di Jogja dulu. Setiap menjelang Natal, Djoko berusaha mendalami kisah kelahiran Yesus Kristus di Injil Lukas. Ada gembala sederhana. Kandang hewan. Orang-orang kecil yang sangat menderita. "Saya akhirnya bisa membayangkan kok mirip banget dengan keadaan di desa-desa Jawa saja. Kayak wong cilik di sawah, kampung-kampung."

Dari sinilah, Djoko mulai berani memainkan kreativitasnya untuk menggambarkan beberapa peristiwa Kristiani. Mau tahu bagaimana Yesus lahir dulu? Djoko melukis seorang ibu berkebaya biru dengan bayi dan gentong. Mirip dengan peristiwa kelahiran biasa di kampung-kampung.

Tidak ada gembala, kandang hewan, malaikat, tiga majus, dan seterusnya. "Soalnya, saya bayangkan Yesus itu lahir di Tanah Jawa," ujar Djoko Lelono, serius.

Djoko juga menggambar 'Perjamuan Terakhir' antara Yesus dengan 12 muridnya. Lagi-lagi gayanya khas wong tani di Jawa. Yesus duduk di tengah-tengah, badannya kurus, pakai topi khas petani Jawa. Tiga belas orang itu mengelilingi makanan rakyat yang siap disantap.

"Perjamuan itu kayak petani yang syukuran atau pesta panen. Saya menganggap Yesus dan murid-muridnya, ya, seperti itu," ujar pria kelahiran Sidoarjo, 21 Agustus 1959, itu.

Tak lupa Djoko Lelono menampilkan Yudas Iskariot, rasul yang mengkhianati Yesus. Si Yudas ini berada di bagian belakang dan tampak menyembul senjata tajam (arit) di balik bajunya.

Lukisan-lukisan semacam ini, kata dia, cukup banyak penggemarnya namun sulit berkembang di Jawa Timur, khususnya Sidoarjo. Selain apresiasi masyarakat masih jauh dibandingkan Jogja, "Di Sidoarjo dan Surabaya belum ada tempat untuk memamerkan karya-karya yang dulu sangat sering saya buat di Jogjakarta," ujar seniman yang
pernah membuat rekor lukisan terpanjang versi Museum Rekor Indonesia (MURI).

Mengapa Djoko begitu getol 'men-Jawa-kan' cerita-cerita Alkitabiah? Ia mengaku tak punya pretensi apa-apa, tak punya motivasi teologis, selain keresahannya sebagai orang Jawa belaka. Bertahun-tahun ia melihat gambaran Yesus yang sangat khas Eropa, jauh dari potret manusia Jawa, dan itu membuatnya merasa asing.

"Gereja dan Yesus menjadi barang asing di masyarakat karena gambaran yang sangat Eropa tadi," tukasnya.

Ulah Djoko Lelono ini sebetulnya sudah banyak dilakukan seniman-seniman di Jepang, Korea, atau Afrika.Mereka sejak lama membuat lukisan Yesus sesuai dengan budaya dan adat-istiadat setempat. Jangan heran ada 'The Black Jesus', gambaran Yesus
ala kaum negro, dan seterusnya.

Ternyata, proses 'Jawanisasi' ala Djoko Lelono ini mendapat apresiasi positif dari pimpinan Gereja Katolik. Pada 1993 lalu Djoko mendapat medali 'Redemptor Hominis' dari Paus Yohanes Paulus II lewat Duta Besar Vatikan untuk Republik Indonesia. "Mungkin di seluruh Indonesia baru saya sendiri yang mendapat medali itu," ujar Djoko lalu memperlihatkan medali kecil tersebut.

Jagung titi dan Pater Gregorius Kaha SVD

17 September 2008




Saya baru saja bertemu Pater Gregorius Kaha SVD di Gereja Katolik Roh Kudus, Rungkut, Surabaya. Pater kelahiran Menanga, Solor Timur, ini pastor paroki di situ. Terletak di Perumahan Puri Mas, Paroki Roh Kudus merupakan paroki terbaru di Keuskupan Surabaya. Tadinya, stasi dari Paroki Gembala Yang Baik.

Pater Goris pun sebelumnya bertugas di Gembala Yang Baik. Dia dikenal di dunia maya karena mengelola situs Yesaya (Yesus Sayang Saya), webiste Katolik yang sangat terkenal di Indonesia. Setelah pindah ke Rungkut, Yesaya pun 'dibawa' ke Rungkut. "Tiga orang yang rutin memasok bahan untuk Yesaya. Sekarang situs kami sudah masuk catatan Vatikan," ujar pastor yang sangat ramah ini.

Bertemu Pater Gregorius Kaha, bagi saya, sangat menyenangkan. Kami sama-sama berasal dari Flores Timur. Sama-sama etnis Lamaholot. Sama-sama berbahasa daerah Lamaholot. Maka, percakapan kami di ruang atas pastoran pun diwarnai bahasa daerah. Logat Solor (dia) dan logat Ile Ape, Lembata (saya), memang beda, tapi secara umum kata-kata Lamahalot sama.

Sebetulnya tujuan saya menemui Pater Goris cuma satu: ambil jagung titi. Ini makanan kecil, camilan khas Lamaholot, di Flores Timur. Bahasa Indonesianya lebih tepat emping jagung. Mula-mula jagung disangrai, kemudian 'dititi' (dipukul) dengan batu. Jagung pun menjadi pipih. Enak sekali... bagi kami, apalagi para perantauan Flores Timur.

Ceritanya, jagung titi ini dibawa oleh teman saya, Marselina. Sekarang Suster Marselina OSA, bertugas di Ketapang, Kalimantan Barat. Dia baru pulang kampung sambil membawa oleh-oleh jagung titi. Sayang, saya tidak bisa menemui Marselina di Pelabuhan Tanjung Perak. "Kalau begitu saya titip sama Pater Gregorius Kaha," kata teman yang sekarang biarawati itu.

Nah, berkat jagung titi itulah saya beroleh kesempatan untuk berbincang empat mata dengan Pater Goris. Dia sudah lama bertugas di Surabaya, tapi saya tidak pernah omong-omong dengannya. Saya pun tak menyangka bahwa dia berasal dari Solor Timur. Baru setelah saya telepon, untuk menanyakan jagung titi, tahulah saya Pater Goris ternyata sama-sama Lamaholot.

"Wah, wah, orang Lamaholot banyak yang jadi pastor paroki di kawasan Surabaya Selatan. Pater Goris Kaha SVD, Pater Yosef Bakubala SVD, Pater Sonny Keraf SVD. Wah, tuan-tuan nepe tite lewuken amuken. Pastor-pastor itu ternyata sama-sama dari kampung kita, Lamaholot," kata saya.

Pater Goris tertawa kecil. Yah, harus diakui sejak lama paroki-paroki di kawasan Surabaya selatan 'dikuasai' pastor-pastor asal Flores. Ordonya Societas Verbi Divini alias SVD. Tidak aneh juga karena Keuskupan Surabaya memang mengajak SVD untuk membina sebagian paroki di Keuskupan Surabaya.

Lha, kalau bicara SVD, ya, mau tak mau, suka tak suka, didominasi pater-pater Flores. Lha, kebetulan saat ini pater-pater Lamaholot alias Flores Timur cukup banyak di Surabaya. "Ini semua rencana Tuhan. Saya sendiri juga tidak pernah membayangkan akan ditugaskan sebagai pastor paroki di Rungkut," kata Pater Goris.

Dia ditahbiskan di kampung halamannya pada 5 September 1988 itu. Tahbisan imamat Pater Goris Kaha SVD terbilang unik karena berlangsung di kampung yang mayoritas penduduknya Islam. Banyak anggota panitia tahbisan juga bukan orang Katolik.

"Tetapi mereka bekerja luar biasa dan sangat rukun. Warna macam ini dalam refleksi pribadi saya sebenarnya melukiskan latar belakang karya perutusan kami yang ditahbiskan," tulis Pater Goris di laman pribadinya.

Sambil menikmati makanan kecil, minum air putih, makan buah, saya dan Pater Goris bicara ngalor-ngidul tentang hal-hal kecil seputar kampung halaman. Apalagi, dia baru pulang kampung sehingga sedikit banyak tahu perkembangan masyarakat dan gereja di Lamaholot. Termasuk kelakuan beberapa oknum pastor yang lucu-lucu. Hehehe....

Sebetulnya, saya tidak berbicara lebih lama dengan putra Bapak Marcelinus Kaha ini. Namun, saya tahu Pater Goris itu pastor paroki di gereja besar dengan jemaat yang sangat dinamis. Banyak umat yang juga ingin menemuinya sekadar say hello, konsultasi, atau berdiskusi seputar bulan kitab suci.

Maka, saya pun pamit pulang.

Muri ahan beng tite tutu koda balik!

Tantowi Yahya dan country manado

21 September 2007



BALADA PELAUT

By Ferry Pangalila

Sapa bilang pelaut mata keranjang
Kapal bastom lapas tali lapas cinta
Sapa bilang pelaut pamba tunangan
Jangan percaya mulut rica-rica

So balayar sampe so ka ujung dunia
Banya doi... baroyal abis parcuma
Dorang bilang pelaut obral cinta
Dompet so kosong baru inga rumah

ULANGAN

Mana jo ngana pe sumpah
Mana jo ngana pe cinta
So samua kita pe punya
Ngana so minta....

Kita bale ngana so laeng
Kita bale ngana so kaweng
Cikar kanan...
Vaya condios cari laeng



Orang Manado cukup banyak di Jawa Timur. Mereka menggeluti berbagai profesi dan menjadi orang sukses. Siapa saja mereka? Silakan cari sendiri. Salah satunya Bapak Eddy Pirih, pengusaha besar, pentolan olahraga tinju, punya kebun binatang pribadi, giat di Gerakan Nasional Antinarkoba.

Karena orang Manado banyak, maka lagu-lagu Manado pun sering terdengar di kafe, televisi, pergelaran musik, hingga hajatan kelas bawah sampai atas di Jawa Timur. Teman akrab saya, Albert Pieter Lasut, bekas ketua PMKRI [Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia] Cabang Surabaya, pun asli Manado. Logatnya Manado, pandai memasak makanan khas Manado, yang pedasnya minta ampun. Juga suka lagu-lagu Manado. Salah satunya, BALADA PELAUT.

Di kalangan TNI Angkatan Laut, nyanyian khas pelaut ini pun sangat populer. Pak Putut, marinir asli Jawa yang suaranya macam Broery Marantika, suka menyanyikan BALADA PELAUT. Alasannya, lirik lagu karya Ferry Pangalila tersebut cocok sekali dengan kehidupan pelaut.

Di mana-mana dicurigai mata keranjang lah, obral cinta lah, suka pacaran lah, boros lah, dan seterusnya. Lagu pop terkenal, JAMAICAN FAREWEL, yang sangat saya sukai, pun sedikit banyak menceritakan 'kegemaran' para pelaut memadu kasih di mana kapal mendarat.

Pak Putut membawakan BALADA PELAUT dengan sangat enak. "Nggak kalah dengan penyanyi beneran. Malah suaranya Pak Putut lebih dahsyat," ujar Pak Hartono, bos sebuah kafe di Sidoarjo, kepada saya. Dulu, Pak Putut ini saban malam sumbang suara di kafe. Penonton terhibur, Pak Hartono tak usah bayar. Wong Pak Putut itu uangnya sudah banyak.

Coba anda main-main ke pelabuhan, mampir ke atas kapal. Kalau ada live music, saya pastikan lagu-lagu Manado, Ambon, atau Indonesia Timur umumnya terdengar. Iramanya membuai ala musik Hawai. Cocok untuk dansa karena rata-rata cenderung bercorak country. Kata-katanya juga sederhana: menceritakan pengalaman orang-orang kampung di Manado, Flores, Maluku, Papua.

"No napa sekarang hidup sandiri di negri orang? So setenga mati cari makan sendiri," begitu petikan lirik lagu PULANG JO [karya Ricky Pangkerego]. Kesannya cengeng, tapi begitulah musik pop ala Indonesia Timur.

Belum lama ini saya mendapat bingkisan kasetnya TANTOWI YAHYA bertajuk COUNTRY MANADO. Isinya 10 lau pop Manado yang musiknya digarap oleh Ricky Pangkerego. Lagu BALADA PELAUT jelas masuk, bahkan ada versi minus-one [musik saja] di sisi B.

Tantowi memang cukup getol memperkenalkan musik country di Indonesia. Suaranya sih tidak bagus, namun orang Palembang ini sangat konsisten di jalurnya: jalur country. Tantowi punya program musik country di TVRI dan Metro TV. Dia juga berusaha menghidupkan lagu-lagu pop lama macam PATAH HATI [Rachmat Katolo] atau ARYATI [Ismail Marzuki] dalam irama country.

Sambutan masyarakat cukup bagus. Ini terlihat dari beberapa konsernya di Surabaya dan Sidoarjo yang dipadati penonton. Ibu-ibu, bapak-bapak, remaja, serta anak-akan sangat menikmati alunan suara Tantowi. Tentu saja, jangan dibandingkan dengan band-band pop papan atas macam Peterpan, Ada, Dewa 19, Padi, dan seterusnya. Sebab, musik country sejatinya belum punya basis pendukung yang kuat di negara kita.

Kenapa Tantowi Yahya merilis album COUNTRY MANADO?

Presenter papan atas itu mengaku sejak lama bercita-cita membuat album country daerah. Sebab, lagu-lagu daerah di Indonesia memang bagus-bagus dan bisa di-country-kan. Country itu, menurut Tantowi, hanya sekadar format musik saja. Dia kompatibel dengan lagu apa saja.

"Saya terkesan ketika membawakan lagu-lagu daerah Sulawesi Utara. Karakternya sangat dekat dengan country yang menedepankan kesederhanaan dan kejujuran," papar Tantowi Yahya.

Nah, berkat bantuan musisi asal Sulawesi Utara seperti Ricky Pangkerego, Hanny Pangkerego, jadilah album countri dengan nuansa Manado yang sangat kental. Kita, khususnya orang Indonesia Timur, bisa menjadikan album ini sebagai musik pengantar tidur sambil bernostalgia dengan kampung halaman.

"Biar busu-busu, itu kampung sendiri...," salah satu lirik di album ini. Maksudnya: Biar jelek-jelek, itu kampung sendiri. Jangan karena sudah tinggal lama di Jawa, kawin dengan orang Jawa, menikmati berbagai fasilitas hidup di Jawa, lantas lupa sama kampung halaman di pelosok Indonesia Timur. Begitu kira-kira pesan utama album COUNTRY MANADO.


KONSER TANTOWI DI SIDOARJO

Beberapa waktu lalu, sebelum merilis album Manado, saya sempat menyaksikan konser Tantowi Yahya di halaman Makro, Pepelegi, Kecamatan Waru, Sidoarjo. Saat itu Tantowi juga menjadi juru lelang pusat grosir terkenal itu.

“Saya baru kali ini diberi kesempatan tampil di Sidoarjo," ujar Tantowi Yahya di hadapan sekitar 800 penonton.

Pria murah senyum yang memulai debut sebagai presenter GITA REMAJA di TVRI pada 1990-an ini membawa serta The Old Friends. Ini kelompok band country yang biasa mengiringi Tantowi di Country Road TVRI dan Metro TV.

Kalau tidak salah ingat, ada sembilan personel yang sudah tak asing lagi di kalangan penggemar musik country Indonesia. Mereka YUNUS HIDAYAT (gitar akustik), IMAN SATRIA (piano), SAM QOMAR (violin), DOLF WEMAI (bas), MELLI WEMAI (drum), RICHARD MAKASUCI (gitar utama), VERA VERIAL (vokal), PINKY WAROUW (vokal). Mas TANTOWI YAHYA sebagai vokalis utama.

Tanpa banyak basa-basi, Tantowi Yahya bersama teman-teman lamanya membawakan beberapa lagu berirama country. Di antaranya, I’m Gonna Miss You (Kenny Rogers/Dolly Parton), Aryati (Ismail Marzuki), Kisah Kasih di Sekolah (Obbie Messakh). Di dua lagu pop Indonesia, yang di-country-kan ini, Tantowi memberi kesempatan kepada penonton untuk menyanyi bersama-sama.

“Wuenaaak tenan Sidoarjo,” ujar Tantowi di atas panggung.

Kepada saya, beberapa personel The Old Friends mengaku gembira bisa memainkan musik country di Sidoarjo. “Respons penonton di sini sangat bagus. Mereka bisa menikmati irama country, bernyanyi bersama, goyang-goyang kepala, enjoy deh,” ujar Dolf Wemai, pemain bas, yang pada 1990-an pernah merilis album pop.

“Ini berarti musik country sudah menyebar dan bisa dinikmati masyarakat dari berbagai golongan,” Dolf menambahkan.

Oposisi di Indonesia


Oleh Ignas Kleden


SALAH satu agenda reformasi politik Indonesia saat ini adalah meninjau kembali masalah oposisi dalam politik. Ada dua pertanyaan yang dapat diajukan. Pertama, kalau politik dijalankan dengan cara Orde Baru tanpa oposisi yang dilembagakan, dapatkah dijamin bahwa kesalahan-kesalahan Orde Baru berupa KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), tidak terulang lagi? Kedua, apakah kekuasaan di Indonesia demikian khusus sifatnya sehingga tidak diperlukan suatu oposisi yang secara resmi dan terus-menerus melakukan pengawasan terhadap penggunaan kekuasaan?

Pertanyaan kedua di atas berhubungan dengan soal apakah kekuasaan itu mempunyai kecenderungan yang sama di mana-mana atau apakah ada kekhasan budaya yang menyebabkan kekuasaan berbeda wataknya dari suatu negara ke negara lainnya. Pertanyaan ini dapat dijawab secara umum bahwa penguasa dengan kekuasaan besar di tangannya perlu diawasi karena kecenderungan penguasa untuk memperluas kekuasaannya serta menyelewengkan penggunaan kekuasaan adalah berkali-kali lebih besar dari kemampuannya untuk mengawasi dirinya. Perbedaan budaya hanya terlihat dalam caranya suatu penyelewengan dilakukan, sedangkan kecenderungan kepada penyelewengan adalah sama di mana-mana. Ini psikologi kekuasaan yang sudah konstan dalam sejarah sehingga tidak perlu dibuktikan lagi.

Pertanyaan pertama berhubungan dengan cara bagaimana penguasa memandang kekuasaannya. Kekeliruan Orde Baru misalnya adalah menganggap bahwa pembatasan politik dapat dijalankan oleh penguasa sampai saatnya penguasa sendiri merasa pembatasan itu dapat dilonggarkan lagi berdasarkan pertimbangan penguasa sendiri. Pemegang kekuasaan dianggap demikian bijaksana sehingga atas inisiatif dan kehendak sendiri dia akan memberikan kembali kebebasan dan keterbukaan politik bilamana hal itu dianggapnya tepat dan perlu. Bagaimana mantan Presiden Soeharto melansir isu keterbukaan dan kemudian dengan sigap dan dalam waktu singkat memangkasnya kembali, masih segar dalam ingatan kita semua.

Setiap penguasa jelas akan berbicara tentang kepentingan rakyat, kepentingan bangsa dan negara sebagai suatu keharusan retorika dan kampanye politik, tetapi para warga sebaiknya awas bahwa kepentingan pertama penguasa adalah mempertahankan, memperbesar dan memperkuat kekuasaan yang sudah dipunyainya. Orang tidak perlu membaca Machiavelli untuk memahami hal ini, karena pengalaman langsung akan selalu membuktikannya. Karena itu sejauh mana kekuasaan itu dipergunakan untuk sebesar-besar kepentingan rakyat jelas tidak dapat dipercayakan begitu saja kepada penguasa tetapi kepada pihak-pihak yang bertugas dan berwajib mengawasi kekuasaan. Ini realisme politik elementer, yang kalau diabaikan, akan membawa kita langsung kembali ke situasi politik ala Orde Baru.
***

NAMUN demikian, oposisi rupanya dibutuhkan bukan hanya untuk mengawasi kekuasaan. Oposisi diperlukan juga karena apa yang baik dan benar dalam politik haruslah diperjuangkan melalui kontes politik dan diuji dalam wacana politik yang terbuka dan publik. Adalah naif sekali sekarang ini untuk masih percaya bahwa pemerintah bersama semua pembantu dan penasihatnya dapat merumuskan sendiri apa yang perlu dan tepat untuk segera dilakukan dalam politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan kebudayaan pada saat ini.

Di sanalah oposisi dibutuhkan sebagai semacam advocatus diaboli atau devil's advocate yang memainkan peranan setan yang menyelamatkan kita justru dengan mengganggu kita terus-menerus. Dalam peran tersebut oposisi berkewajiban mengemukakan titik-titik lemah dari suatu kebijaksanaan, sehingga apabila kebijaksanaan itu diterapkan, segala hal yang dapat merupakan efek sampingan yang merugikan sudah lebih dahulu ditekan sampai minimal. Tragedi-komedi dalam politik Orde Baru adalah bahwa oposisi hanya dipandang sebagai devil (setan) dan tidak pernah diakui sebagai advocate (pembela).

Manfaat lainnya adalah bahwa dengan kehadiran oposisi masalah accountability atau pertanggungjawaban akan lebih diperhatikan pemerintah. Tidak segala sesuatu akan diterima begitu saja, seakan-akan dengan sendirinya jelas, atau beres dalam pelaksanaannya. Kehadiran oposisi membuat pemerintah harus selalu menerangkan dan mempertanggungjawabkan mengapa suatu kebijaksanaan diambil, apa dasarnya, apa pula tujuan dan urgensinya, dan dengan cara bagaimana kebijaksanaan itu akan diterapkan.

Socrates, filsuf Yunani kuno yang konon suka mengajar filsafat dari pasar ke pasar pernah mengemukakan tiga kriteria untuk menguji perlu-tidaknya sebuah tindakan. Pertanyaan pertama: apakah sebuah tindakan adalah benar dan dapat dibenarkan? Kalau tindakan itu terbukti benar, maka menyusul pertanyaan kedua: apakah tindakan yang benar tersebut perlu dilakukan atau tidak perlu dilakukan? Kalau tindakan itu ternyata benar dan perlu, maka pertanyaan ketiga adalah: apakah hal tersebut baik atau tidak untuk dilaksanakan?

Korupsi misalnya mutlak tak dapat dibenarkan, dan jelas tidak baik, sekalipun mungkin perlu (misalnya karena harus menolong sanak keluarga yang sedang menderita sakit payah dan memerlukan ongkos besar untuk perawatan di rumah sakit). Seterusnya mengangkat saudara sendiri untuk jabatan-jabatan dalam birokrasi mungkin dapat dibenarkan (kalau sanak saudara itu terbukti kompeten untuk kedudukan bersangkutan) tetapi tidak perlu (karena akan mengurangi integritas dari orang yang mengangkat sanak-saudaranya sendiri). Demikian pun bekerja sama dalam birokrasi dan jabatan politik dengan seorang pengusaha untuk menambah dana birokrasi, mungkin dapat dibenarkan dan dibuktikan keperluannya, tetapi jelas tidak baik, karena akan menimbulkan konflik kepentingan pada pejabat bersangkutan dan mengurangi independensinya dalam berhadapan dengan orang luar.

Oposisi tidak saja bertugas memperingatkan pemerintah terhadap kemungkinan salah-kebijaksanaan atau salah-tindakan (sin of commission), tetapi juga menunjukkan apa yang harus dilakukannya tetapi justru tidak dilakukannya (sin of omission). Adalah kewajiban oposisi untuk melakukan kualifikasi apakah sesuatu harus dilakukan, atau tidak harus dilakukan, atau malahan harus tidak dilakukan sama sekali.
***

PERLU-tidaknya oposisi sangat tergantung kepada pandangan dan persepsi tentang kekuasaan. Kalau kekuasaan dianggap berasal dari sumber supernatural, berupa pulung, wangsit dan semacamnya maka oposisi tidak dibutuhkan, karena penguasa hanya merasa bertanggung jawab terhadap pihak yang telah memberinya pulung dan wangsit tersebut. Demikian pun masalah legitimasi kekuasaan menjadi tidak relevan, karena hubungan kekuasaan dan wangsitnya berlangsung dalam suatu lingkaran logika-tertutup.

Dalam suatu logika-tertutup seperti itu tidak pernah bisa diketahui apa membuktikan apa. Kalau kita bertanya: apa buktinya bahwa seseorang mendapat wangsit, maka jawabannya: karena orang itu terbukti berkuasa (tanpa wangsit dia tidak mungkin berkuasa). Sebaliknya kalau ditanyakan: mengapa si Anu kok bisa menjadi presiden, maka jawabannya: karena dia memang mendapat wangsit. Dengan demikian, adanya kekuasaan dibuktikan oleh adanya wangsit, dan adanya wangsit dibuktikan oleh adanya kekuasaan.

Dengan demikian, langkah pertama untuk memperlakukan kekuasaan secara demokratis, adalah mengadakan desakralisasi kekuasaan. Kekuasaan tidak berasal dari sumber-sumber yang gaib, mistik dan magis, tetapi berasal dari rakyat. Adalah rakyat yang memberikan kekuasaan dan rakyat jugalah yang memungkinkan sebuah kekuasaan dijalankan melalui ketundukannya kepada kekuasaan tersebut.

Kalau kekuasaan berasal dari rakyat, dan kalau rakyat kemudian tunduk kepada penguasa yang telah menerima kekuasaan dari mereka, maka adalah kewajiban penguasa untuk membuktikan bahwa dia layak mendapat kepercayaan rakyatnya, dan bahwa ketundukan rakyat kepada kekuasaannya mempunyai alasan-alasan yang dapat dibenarkan. Legitimasi adalah kelayakan sebuah orde politik untuk mendapatkan pengakuan dari rakyatnya, suatu Anerkennungswuerdigkeit einer politischen Ordnung, begitu kata seorang ahli filsafat politik, Juergen Habermas.

Kedua, kekuasaan mempunyai tendensi bukan saja untuk memperbesar dan memperkuat dirinya tetapi juga memusatkan dirinya. Karena itulah pemikiran demokratis tentang kekuasaan selalu menekankan pembagian kekuasaan dan keseimbangan kekuasaan. Pengalaman dalam Orde Baru menunjukkan bahwa pemusatan kekuasaan ini telah berjalan dengan amat ekstrem, baik dalam bidang politik dengan demikian besarnya kekuasaan Presiden Soeharto pada waktu itu, maupun dalam bidang ekonomi dalam bentuk berbagai praktek monopoli dan oligopoli.

Pemusatan kekuasaan politik ini amat ditunjang oleh gambaran bahwa penguasa adalah seorang bapak keluarga yang baik hati yang akan berbuat segala sesuatu untuk kepentingan anak-anaknya. Anak-anak selayaknya mempercayakan segala urusan kepada bapak mereka, dan etos politik yang berlaku adalah "terserah Bapak". Analogi ini jelas keliru dengan akibat yang amat pahit. Penguasa adalah penguasa dan bapak keluarga adalah bapak keluarga. Keluarga adalah lingkungan personal yang termasuk dalam private sphere, tetapi kekuasaan pemerintah semata-mata bersifat fungsional dan termasuk dalam public sphere.

Dengan demikian langkah kedua untuk memperlakukan kekuasaan secara demokratis adalah depaternalisasi kekuasaan. Penguasa jangan lagi dipandang secara paternalistis seakan-akan mempunyai watak kebapakan, tetapi harus dipandang secara lugas sebagai seorang yang mempunyai potensi menyalahgunakan kekuasaan yang kalau tidak diawasi dapat berkembang sampai tingkat sewenang-wenang.
***

PERSOALAN tentang bagaimana oposisi dapat dijalankan dengan efektif tanpa terlalu banyak menimbulkan keguncangan politik, haruslah dibahas sebagai suatu uraian tersendiri, dengan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan riil yang ada dalam politik Indonesia saat ini. Yang perlu ditekankan dalam tulisan ini ialah bahwa oposisi dibutuhkan pertama-tama sebagai kritik kepada kekuasaan dan pengawasan terhadap kekuasaan agar tidak semena-mena.

Sudah jelas bahwa adanya partai oposisi merupakan sebuah jalan formal untuk menjalankan peran tersebut. Namun demikian, oposisi dan kritik kepada kekuasaan tidaklah perlu diidentikkan seluruhnya dengan kegiatan sebuah atau beberapa buah partai. Oposisi dan kritik kepada kekuasaan pertama-tama adalah sebuah fungsi dan aktivitas politik yang dapat dijalankan di dalam maupun di luar partai politik.

Kalau pers bisa memainkan peranannya dengan lebih leluasa tanpa pengekangan oleh kekuasaan, maka pers dan media elektronik dapat menyumbang banyak kepada kontrol terhadap kekuasaan. Demikian pun kelompok-kelompok kritis seperti kalangan LSM, atau organisasi-organisasi profesional, dan terutama sekali para mahasiswa dan kalangan kampus umumnya, dapat menyumbang kepada kontrol sosial dan kritik terhadap penggunaan kekuasaan, berdasarkan keahlian dan pengalaman mereka dalam bidang yang digelutinya. Penolakan para aktivis Walhi terhadap Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam kabinet yang sekarang adalah contohnya.

Demikian pun kontrol terhadap kekuasaan dapat dijalankan melalui pembentukan pendapat umum, sehingga pendapat ini bisa menekan suatu pendirian atau pendapat pemerintah yang tidak disetujui. Contoh yang sempurna tentang ini adalah isu KKN sendiri yang dibentuk di jalanan oleh para mahasiswa dan kemudian disambut dengan antusias oleh seluruh masyarakat politik di Indonesia, dan kemudian berkembang menjadi pendapat umum yang sanggup memaksa berakhirnya rezim Orde Baru, suatu orde politik yang dalam pendapat umum yang sebelumnya (sebelum lahirnya KKN) selalu dibayangkan sebagai tak tergoyahkan.

Namun demikian, membela oposisi tidak dengan sendirinya berarti mengandaikan bahwa oposisi yang dijalankan dengan sendirinya akan selalu tinggi mutunya. Politik di Jerman dari pertengahan tahun 1980-an sampai 1990-an dianggap merosot mutunya, karena tidak adanya oposisi yang bermutu dari Partai Sosial Demokrat (SPD) di sana. Dengan demikian, kekurangan-kekurangan dalam politik Helmut Kohl buat sebahagian besar dipersalahkan bukan saja kepada rezim Helmut Kohl tetapi juga kepada oposisi politik yang lemah dan tidak efektif.

Ini berarti kritik politik berlaku juga terhadap oposisi dan dia sendiri harus dikritik terus-menerus untuk menjalankan peranannya bukan demi kepuasan perlawanan semata-mata, tetapi demi suatu politik di mana kekuasaan digunakan dengan cara yang terawasi. Dalam hal ini berlaku prinsip: musuh yang pintar akan lebih menolong daripada teman yang bodoh, dan lawan yang jujur lebih bermanfaat daripada kawan yang culas.

( * Ignas Kleden, sosiolog; tinggal di Jakarta. )

MAK

Pada suatu peringatan 1 Mei, sejumlah buruh ditangkap, termasuk Pavel—dan Maksim Gorky menulis novel Mat’. Pramoedya Ananta Toer menerjemahkannya dengan Ibunda. Saya kira kata yang lebih cocok adalah ”Mak”.

”Ibunda” memang mengandung rasa hormat dan hangat, dan tokoh novel ini, Pelagedia Nilovna, perempuan yang mendampingi anaknya dalam perjuangan buruh itu, patut disebut dengan sungkan dan sekaligus mesra, bak Maria yang melahirkan Yesus. Tapi, dalam bahasa Melayu, ”ibunda” adalah kata panggilan di kalangan atas. Panggilan ”mak” lebih lazim di lapisan rendah masyarakat.

Namun Pramoedya tak sepenuhnya keliru. Pilihan judul itu mencerminkan paradoks karya sastra yang hendak mengobarkan semangat perjuangan: menyatakan diri bagian dari ”realisme” tapi condong ke arah mitologi.

Tokoh Mat’ didasarkan pada kisah nyata Anna Zalomova yang berjalan ke mana-mana menyebarkan pamflet revolusi setelah anaknya ditahan polisi dalam sebuah aksi massa. Tapi, dalam novel ini, sang ibu—dengan iman Kristennya yang masih utuh, dengan cintanya kepada Pavel, sang anak yang berubah dari si bandel jadi pejuang buruh—senantiasa hadir sebagai bayang-bayang sang suci; si mak terasa lebih agung ketimbang manusia sehari-hari.

Di bab terakhir ucapannya fasih-lidah kepada orang ramai, ketika polisi mulai mengepung:

”Untuk mengubah hidup ini, untuk membebaskan semua, membangunkannya dari kematian, sebagaimana aku dibangunkan, beberapa orang telah datang, mereka yang secara bersembunyi-sembunyi telah menyaksikan kebenaran dalam hidup. Bersembunyi-sembunyi, sebab, kalian tahu, tak seorang pun dapat mengucapkan kebenaran itu dengan lantang. … Sejauh ini kebenaran adalah musuh bebuyutan dari si kaya, musuh yang tak akan dapat diajak damai selama-lamanya! Anak-anak kita tengah membawa kebenaran ke dunia.…”

Rangkaian kalimat itu mirip khotbah seorang nabi di depan kenisah: kata ”kebenaran” disebut berkali-kali. Dan ketika akhirnya polisi menyerbu, Pelagedia Nilovna tak berhenti. Perempuan ini seakan-akan martir yang tak bisa luka.

Pendek kata, ia tokoh ideal; ia lahir dengan takdir yang didesain sang pengarang. Mungkin itu sebabnya novel ini tak punya banyak kelok yang rumit tak disangka-sangka. Sekali kita tahu pesan yang hendak disampaikan Gorky, kita segera temukan garis lurus antara bab pertama yang melukiskan kehidupan kumuh kaum proletar dan bagian akhir yang menunjukkan kegagahberanian.

Mungkin itu pula sebabnya novel yang begitu menggugah ketika dibaca di awal abad ke-20 di Rusia, di awal abad ke-21 ini akan disambut dengan satu tarikan napas: tak ada yang baru di situ.

Zaman memang tak seperti dulu. Kini mitos kian goyah, realisme problematis. Kini manusia adalah ”orang”, makhluk yang lebih mengasyikkan tapi juga menjengkelkan. Lebih dari satu dasawarsa setelah Gorky menuliskan novelnya, Freud menunjukkan bahwa kita semua (juga para nabi dan pahlawan) punya bawah-sadar yang penuh nafsu, naluri, dan hasrat kenikmatan. Kini kita lebih skeptis memandang pokok & tokoh.

Dan apa arti ”realisme”, jika ”realitas” kian disadari sebagai dunia hasil konstruksi yang didukung bahasa sendiri?

Dalam Bab XIX, Pavel, buruh muda yang akhirnya jadi kebanggaan maknya, berdiri di samping bendera merah yang berkibar: ”Kawan semua! Kita telah putuskan untuk menyatakan secara terbuka siapa kita; kita junjung bendera kita hari ini, bendera nalar, kebenaran, kebebasan!”

Begitu meyakinkankah ”nalar”?

”Hidup rakyat pekerja!” Pavel berseru pula, dan ratusan suara menyahut, ”Hidup Partai Pekerja Sosial Demokrasi, partai kita… ibu rohani kita.”

Bagaimana mungkin Partai jadi ”ibu rohani”?

Menjelang Revolusi Oktober 1917, ”nalar” dan partai sebagai ”ibu rohani” adalah bagian dari iman gerakan Bolsyewik. Tapi, September 1980, kaum buruh Polandia mengibarkan gerakan mereka, Solidarnosc, yang menentang Partai Komunis yang berkuasa atas nama proletariat. Kita pun diingatkan kembali: kaum pekerja lahir dari kerja—bukan dari ideologi. Ideologi adalah hasil dari ”nalar”. Kaum pekerja tumbuh dari bawah, dari otot dan peluh, sedangkan Partai, ”sang ibu rohani”, akhirnya tak bersentuhan dengan otot dan peluh, elemen jasmani para proletar.

Bahkan sang buruh, yang bukan mitos, tak selamanya ingin menghabisi kapitalisme. Di Indonesia, ada yang lebih menderita: para penganggur, yang tiap kali buruh memperoleh upah minimum yang lebih tinggi, tiap kali pula para tunakarya itu kehilangan kesempatan kerja.

Tapi Gorky bisa dimaafkan. Pada tahun 1907, ketika Mat’ terbit, Partai, ”si ibu rohani”, belum berkuasa dan berubah jadi Bapak yang streng. Baru pada 1918, setelah majalahnya, Novaya Zhin, diberangus Partai, Gorky tahu apa yang ia hadapi; ia menulis sebuah buku yang kritis—yang baru bisa diterbitkan di Rusia setelah Uni Soviet runtuh.

Tapi mengherankan, hari-hari itu bahkan Gorky tak mengingat Engels (dalam Anti-Dühring) yang menunjukkan pentingnya elemen jasmani dalam kerja dan sejarah.

”Kerja”, bukan ”karya”, berasal dari badan yang tegak, ketika manusia tak lagi menggunakan tangannya untuk merangkak. Tangan yang bebas itulah yang membentuk kerja: menenun dan meniup serunai, menulis alkisah dan Alkitab. Otak pun berkembang amat jauh, hingga ”nalar” seakan-akan lepas dari jasmani.

Yang jasmani memang tak kekal dan tak pasti. Mungkin itu sebabnya dalam novel ini Si Rus Kecil berseru: ”Kawan-kawan! Kita telah memulai sebuah prosesi suci atas nama Tuhan yang baru, Tuhan Kebenaran dan Cahaya, Tuhan Nalar dan Kebaikan!”

Jangan-jangan ini nostalgia tubuh kepada ”roh”, agama yang ngumpet di balik ”materialisme dialektik”, mitologi yang berbaju ”realisme”. Tak aneh jika para pejuang sering lupa: yang merasa benar dan kekal akan terasing dari sejarah.

~Majalah Tempo Edisi. 11/XXXVII/05 - 11 Mei 2008~

Meneliti Nilai Puitika di dalam Esai Jurnalistik*)

Oleh: Septiawan Santana Kurnia **)
Abstrak: Di esai jurnalisme Catatan Pinggir, asosiasi dan metafor puitik digunakan. Susunan diksi dan pola kalimat serta majas puitik menjalin utuh dan padu di antara teks-teksnya. Walau tidak seketat dan setajam puisi, seperti dalam sajak-sajaknya, Goenawan Mohamad menggunakan suasana kepenyairan yang amat kuat pada gaya penyajian esai-esai Catatan Pinggir-nya di Majalah Berita Mingguan Tempo. Hal ini menyebabkan esai tersebut Catatan Pinggir memiliki kekhasan. Ide-idenya memiliki ketajaman dan kejelian yang tidak biasa. Materi disajikan secara personal, akrab, dan intim. Penyajiannya amat berbeda dibanding prosa jurnalistik umumnya. Semua itu antara lain disebabkan oleh gaya kepenyairan yang kuat. Nilai puitik dipergunakan dalam diksi, pola kalimat, dan majas di antara kata atau kalimat Catatan Pinggir. Hasilnya: sebuah gaya bertutur ekspresif, padat, singkat, dan individual. Melalui studi literatur, tulisan ini mengamati bagaimana nilai puitik dihadirkan di dalam teks prosa; bagaimana asosiasi dan metafor puitik muncul di dalam penulisan esai jurnalistik.
Kata kunci: Esai Jurnalistik, Nilai Puitik, Diksi, Pola Kalimat, Majas.

1. Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Esai jurnalistik, dalam beberapa hal memiliki kesamaan dengan penulisan sastra. Seperti drama, esai jurnalistik menyentuh emosi pembaca. Berbagai hal yang bersifat dramatis dimanfaatkan pula oleh penulis esai.
Sifat puitis kerap digunakan pula. Gaya penyajian puisi yang singkat dan padat misalnya, sangat berguna. Halaman yang terbatas menyebabkan sajian jurnalistik harus singkat dan padat. Gaya singkat dan padat puitika memberi sentuhan estetis pada esai jurnalistik.
Bentuk tulisan tidak menentukan kepenyairan. Prosa pun dapat melahirkan seorang penyair ketika tulisannya dapat menumbuhkan keterharuan pembaca.
Persentuhan puisi dengan pembacanya ditentukan antara lain oleh rasa haru. Rasa haru puisi bukan sekadar kecengengan dari gaya ungkap sentimentil. Akan tetapi, lebih terkait dengan kandungan makna yang luas dan mendalam. Rasa haru merupakan segmentasi tersendiri di dalam kepenyairan. Perspektif romantisme menunjukkan jalinan tese kepenyairan yang menggali pengalaman kemanusiaan seperti sedih, senang, tangis, tawa dan sebagainya. Jadi, ketika pembaca tersentuh rasa kemanusiaannya karena menemukan sesuatu di dalam asosiasi, konotasi, dan simbolisme yang diterapkan penulis prosa, pada dasarnya pembaca telah bertemu dengan sebuah nilai puitik. Bagaimana bila itu terjadi dalam esai jurnalistik?
1.2 Rumusan Masalah
Catatan Pinggir ditulis dengan gaya penuh metafor dan penuh teks konotatif melalui asosiasi dan simbolisme penyair (Ignas Kleden, 1989, pengantar Catatan Pinggir 2: iii & xi). Penulis tidak memaparkan pandangan atau gagasan yang bersifat instan, seperti yang biasa didapat dalam teknik penulisan bergaya How to do it.
Yang harus diperhatikan dari rubrik ini, menurut pengamat budaya Ignas Kleden (1989), isi dan bentuk penyajiannya yang khas dan disampaikan secara pendek dan cepat. Banyak lontaran pendapatnya yang dikemukakan secara puitik. Semua itu terjadi karena Catatan Pinggir lahir dari seorang penulis yang memiliki latar belakang kepenyairan yang kuat. Ignas Kleden mencontohkan komentar penulis Catatan Pinggir tentang demokrasi:
“…suatu sistem di mana tak ada orang dijatuhi hukuman hanya karena berbeda pendapat, di mana tak ada orang kehilangan tanah dan rumah hanya karena yang kuat dan kuasa menghendakinya, di mana, seperti kata pepatah Melayu, ‘raja adil raja (dapat) disembah, raja lalim raja (dapat) disanggah’….” (Tempo, 18 April 1991).
Perbedaan pendapat diungkapkan melalui metafor dan asosiasi. Berbagai simbol seperti “hukuman, tanah, dan rumah” dipadukan dengan persoalan beda pendapat, “yang kuat dan kuasa” dan kutipan pepatah “raja adil” dan “raja lalim”. Semua itu mengisyaratkan petanda dan penanda ihwal tesis demokrasi.
Rangkaian makna konotatif, asosiasi, dan simbolisme ini merefleksikan pemikiran Goenawan Mohamad terhadap realitas sosial-politik Indonesia. Gaya tuturan prosa seperti itu lahir dari latar belakang kepenyairannya. Tulisan jurnalistik yang mesti faktual dipenuhinya. Tetapi, melalui sebuah gaya ungkap yang estetis, potongan-potongan fakta muncul konkrit namun padat makna secara asosiatif dan metaforis.
Gaya penulisan seperti itu mengindikasikan penulisan jurnalistik yang berciri pribadi, deskriptif-informatif, berteknik persuasif-estetis, dan bersudut pandang penyair. Dalam kaitan itu, maka studi ini hendak menganalisis masalah bagaimanakah jadinya bila nilai puitik diangkut ke wacana prosa jurnalistik?
Puisi bukan lagi sekedar variasi tetapi memang direncanakan jadi gaya penyajian. Puisi mengorganisasikan bahasa secara khas dan memunculkan gaya penulisan yang khas pula. Hal ini terlihat di antaranya melalui penggunaan rima, ritma dan metrum serta tipografi. Namun, tentu saja ada perbedaan antara penulisan prosa dengan puisi. Dalam Catatan Pinggir, tipografi puisi tentu tidak dipakai. Begitu pula dengan penggunaan rima, ritma dan metrum, tidak diacunya dengan ketat.
1.3 Tujuan Studi
Catatan Pinggir merupakan salah satu upaya mengembangkan bahasa prosa Indonesia agar tidak mandeg, tumpul, dan kehilangan kreatifitas. Dengan kata lain gaya penulisan Catatan Pinggir merupakan sebuah bentuk kreatifitas dan inovasi. Narasi puitik yang dihadirkan seperti menolak bahasa pers Orde Baru. Narasi puitik itu dilepaskan melalui penulisan jurnalisme. Dengan demikian, upaya yang dilakukan melalui penggabungan kekuatan penulisan jurnalisme dan sastra.
Dua spektrum penulisan itu memang terkait dengan kelahiran Tempo sebagai majalah berita mingguan pertama di Indonesia tahun 1970-an. Melalui penyampuran kaidah sastra dan pers majalah ini menerbitkan pemberitaan news story ke dalam wacana kehidupan pers Indonesia. Dalam perkembangannya (1980-an), majalah ini juga dinilai sebagai penerbitan pers yang selalu menolak bila didefinisikan ke dalam golongan pengguna bahasa pers yang telah dinormalisasikan kekuasaan Departemen Penerangan, yang saat itu begitu berkuasa menetapkan jaringan bahasa birokratis.
Dari keadaan itulah, Catatan Pinggir diterbitkan. Melalui adonan kepenyairan yang kuat dari orang yang punya gema di sastra Indonesia, Catatan Pinggir memberi alternatif ke tubuh pers Indonesia. Memberi semacam aura lain bagi budaya baca-tulis di Indonesia – di tengah upaya pengikisan masyarakat buta huruf, dan serangan media elektronik (televisi dan radio) yang menerpa ruang-ruang informasi masyarakat. Dalam kaitan itu pula, mengapa studi ini dilakukan.
Berbagai pola makna puitika yang tidak biasa dan bersifat khas diterapkan dengan bukan tanpa tujuan. Di situ ingin dicapai mutu prosa yang baik. Mutu sebuah prosa, menurut Goenawan, tergantung pada kecakapan penulis ketika menggabungkan dua unsur tulisan yaitu ide dan gaya dalam keadaan yang seimbang. “Ide tidak membebani gaya, dan gaya tidak menyebal dari ide.”
Ini berarti bagaimana menyajikan tulisan dengan baik, bukan semata kepada apa yang disajikan. Penulis mesti mampu menjaga ide dan tahap-tahap penyajian persoalan. Bagaimana suspens ditampilkan dalam pengaturan yang baik, sehingga pembaca tidak menyudahi bacaannya di tengah jalan.
Penyajian itu juga terkait dengan upaya mencari kata-kata baru dan tidak mengulang kata-kata yang sama serta tidak menggunakan klise-klise buatan sendiri; namun, mencoba memanfaatkan khasanah bahasa kebudayaan yang ada seperti perumpamaan, idiom, dan peribahasa. Di situ juga diajukan ekspresi-ekspresi baru yang diambil dari judul buku, film, lagu bahkan pernyataan-pernyataan seseorang atau ekspresi unik dari para tokoh. Dari upaya itulah tampak lahir kekuatan puitik pada prosa Catatan Pinggir Goenawan Mohamad.
2 Kajian Literatur
Bentuk penulisan puisi yang bertipografi unik itu, menurut sastrawan Aoh K.Hadimadja (1981), tidak menentukan tingkat kepenyairan seseorang. Dari sebuah tulisan prosa, pembaca dapat menemukan sesuatu yang memiliki nilai puitik dan di situ bisa terungkap gaya kepenyairan si penulis terutama, menurut Aoh, ketika tulisannya dapat menumbuhkan rasa keterharuan pembaca.
Bagaimanakah mengukur nilai kepenyairan dalam sebuah prosa? Karakteristik puitis dalam satu perspektif tertentu, tampaknya dapat menjadi satu ukuran. Sastrawan Leo Tolstoj mengungkapkan, kalau ia ingin menulis secara sangat padat dan dengan kekuatan maksimal maka ia akan memilih puisi dibandingkan dengan prosa. Puisi menurut Tolstoj, yang dikutip Jan Van Luxemberg et.al. (1989), memang bersifat singkat, padat, dan ekspresif.
Lux dkk (1984) memerikan berbagai jenis puisi seperti ode, epigram, soneta, kwatrin, puisi klasik yang teratur, dan puisi modern yang bebas. Perkembangan puisi kemudian meluas. Penyajian puisi menerobos batas-batas sastra sampai ke wilayah ungkapan pepatah, pesan iklan, semboyan politik, syair lagu-lagu pop, dan doa-doa.
Dibanding bentuk karya sastra lain, puisi bersifat lebih konotatif. Bahasa puisi meluaskan kemungkinan makna bisa ditafsir; lebih mengkonsentrasikan, atau memadatkan segenap kekuatan bahasa (Reeves, 1978: 26). Organisasi bahasanya sangat khas. Gaya penulisan di antaranya bersifat paralel. Setiap bagian teks saling berhubungan, secara sistematis, melalui persamaan atau perlawanan. Sewaktu puisi Chairil Anwar menghubungkan citra “hari hujan” dan “berkabut” dengan rasa “putus asa”: terjadi hubungan persamaan dalam tataran isi (Lux dkk., 1989). Keparalelan itu, menurut Herman J.Waluyo (1981), dibangun oleh struktur sintaktik dan tematik. Struktur sintaktik (struktur fisik) ialah apa yang tersurat atau ditulis; dan secara tradisional disebut “bentuk, atau bahasa, atau unsur bunyi”. Diksi dan pola kalimat merupakan unsur-unsur struktur sintaktik. Apa yang tersirat, atau tidak tertulis, tapi terpahami disebut struktur tematik (struktur batin atau makna). Majas dan simbol merupakan unsur-unsur struktur tematik. Selain unsur-unsur itu, ada unsur lain di antaranya adalah penggunaan rima, ritma dan metrum, serta tipografi.
2.1 Diksi
Penyair sangat cermat memilih kata. Kata-kata dipilih dengan mempertimbangkan makna, komposisi bunyi rima dan iramanya, serta kedudukan katanya di tengah kata lain dan keseluruhan tulisan. Tiap kata jadi memiliki makna. Tiap kata menjadi konkrit dan khusus, atau abstrak dan umum (Lux, dkk., 1989).
Diksi puitis, menurut Waluyo (1981), mengalami penyimpangan bahasa yaitu dengan ciri-ciri berikut.
(1) Penyimpangan semantis
Makna puitis berjumlah banyak, tidak hanya mewakili satu makna, tidak selalu sama dengan makna kata sehari-hari, serta tidak dikonotasikan sama oleh para penyair. Kata sungai akan berarti bencana bagi penyair dari daerah banjir. Tapi jadi bermakna rejeki bagi penyair yang hidup di wilayah penangkap ikan dan penambang sungai.
Goenawan Mohamad, dalam Sajak New York (Asmaradana, 1992) melihat “bulan”: . . . . dari hutan Manhattan/ ia lari / ke Central Park hitam / meluncur, / di arena es, / ketika daun mapel / memainkan orkes. Dalam sajak ini, “bulan” bagai orang yang tengah melakukan kegiatan jalan-jalan di suasana malam kota New York. “Bulan” menjadi “ia”, seseorang yang tengah menikmati malam di kota besar, Amerika, sekaligus suasana New York yang pada musim dingin yang hanya menampakkan taman kota yang “hitam”, menjadi tempat berseluncur es, dalam keriuhan angin memainkan “daun mapel”, menimbulkan musik seperti “orkes”: penggambaran seorang penyair yang bertemu dengan suasana puitik dari pranata sosial megapolis New York, di malam hari.
(2) Register
Register adalah ragam bahasa, dari sebuah kelompok atau sebuah kelas sosial. Dialek register disebut juga dialek profesi. Dialek Register sering tidak dikenali lagi walau kerap diambil (berasal) dari kosa kata daerah. Kata lembu peteng, misalnya: yang sering diucapkan aristokrat Jawa, ketika menunjuk anak hasil hubungan gelap. Contoh lain, ialah: kumpul kebo, procotan, Paman Doblang, simbok, den mas, sungkem, bihten.
(3) Kata-kata sugestif (memiliki daya sugesti)
Daya sugesti dipertimbangkan penyair ketika memilih kata. Kekuatan sugesti ditimbulkan oleh makna. Pilihan dan penempatannya seolah memancarkan daya gaib hingga menyugesti pembaca untuk ikut sedih, terharu, bersemangat, atau marah.
(4) Kata imajis (menyiratkan imaji)
Ialah susunan kata yang mencitrakan pengalaman sensoris seperti melihat, mendengar dan meraba. Pembaca seolah melihat benda (imaji visual), seolah mendengar suara (imaji auditif), atau seolah dapat merasa, meraba, dan menyentuhnya (imaji taktil) setelah penyair mencoba mengkonkritkan obyeknya menjadi mirip musik, gambar, atau citarasa tertentu.
Chairil Anwar mengimajikan rasa ngeri dan tercekam menghadapi maut ketika menulis: “Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin” (Yang Terempas dan Yang Terputus, 1949).
Goenawan Mohamad melihat “….malam/tinggal separoh/ dan bulan/ pelan/ seperti pemain Noh”, dalam Hiroshima, Cintaku (1989-90). Ia memvisualisasikan suasana malam yang memanjang dan memberat melalui imaji “bulan” yang melambangkan waktu, yang bergerak lambat seperti gerakan tarian Noh dari penari tradisionil Jepang.
(5) Kata konkrit (terasa konkrit)
Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus diperkonkrit. Kata-kata jadi mengias ke realitas. Seperti pengimajian, pengonkritan menggunakan kiasan dan lambang yang membuat pembaca seolah melihat, mendengar, atau merasa.
Chairil Anwar mengungkapkan pertemuannya ke jalan Tuhan, dengan kata-kata: “Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling” (Doa, 1943). Sutardji Calzoum Bachri mengungkapkan kegelisahan mencari Tuhan, dengan: “semua orang membawa kapak/ semua orang bergerak pergi/” (Kapak, 1977).
Goenawan Mohamad, dalam Don Lopez de Cardenas di Grand Canyon, Amerika (1998) menulis:
Di pagi hari / di tahun 1540 itu / Don Lopez de Cardenas tiba / dari dataran tinggi / yang membosankan. // Ia hentikan kudanya / di dekat / sebatang panderosa tua / yang tumbang, // dan ketika ia / lepaskan kaki / sebentar / dari sanggurdi, / untuk membetulkan taji pada lars sepatunya, / ada seorang Navajo / yang datang, / setengah telanjang, / berlari-lari, / menunjukkan arah / ke sebuah ngarai / yang kemudian/ disaksikannya sendiri / dengan kaki gemetar.” //
2.2 Pola Kalimat
Menurut Lux dkk. (1989: 60-64) kalimat puitis biasanya dikonstruksi dengan cara lain. “Gaya sebuah teks ditandai tidak hanya oleh pilihan kata,”, “tetapi juga oleh panjangnya kalimat, sifat kalimat, dan cara konstruksi kalimat”
Stilistika kalimatnya bisa disusun menyimpang, bisa pula dibangun dengan keteraturan tertentu. Hal itu membentuk pola sintaksis tertentu yang terdiri dari Pengulangan, Pembalikkan, dan Penghilangan.
(1) Bentuk Pengulangan
Kalimat ini terbentuk oleh pengulangan kata atau bagian kalimat yang paralel.
Menurut Lux et.al. (1989: 91-94), bentuk pengkalimatan ini dikembangkan dari teori retorika ketika menjelaskan tentang gaya ulangan kata atau kelompok kata. Kalimat pengulangan ini terlihat antara lain dalam kesamaan struktur kalimat, atau bagian kalimat, yang terbentuk oleh kata, frasa, atau konstruksi gramatikal yang sama. Contoh popular bentuk kalimat ini, ucapan Julius Caesar, veni, vidi, vici: saya datang, saya lihat, saya menang.
Bila dicontohkan lewat puisi, ini bisa dilihat dari karya Sutardji Calzoum Bachri (1976), Tapi: Aku bawakan bunga padamu / tapi kau bilang masih // aku bawakan resahku padamu / tapi kau bilang hanya //
(2) Bentuk Pembalikan (Inversi)
Ialah urutan kata yang terpola tidak normal, disebut juga pola infrastrukturisasi. Dalam kalimat normal, urutan terpola berdasarkan subyek, predikat, dan objek; serta terurut berdasar Hukum D-M. Dalam Pembalikan, kalimat dapat menjadi: cantik wanita itu, atau itu cantik wanita.
Inversi mengekspresifkan sesuatu, dan menekankan makna tertentu. Contoh, bisa terlihat dalam pengucapan, “lahir / pujangga / di hari senja” (Subagio Sastrowardoyo), atau “tiga kali / menyebut beta / punya nama” (Chairil Anwar).
(3) Bentuk Penghilangan
Elips dan Zeugma termasuk dalam bentuk Penghilangan.
Dalam Elips, terjadi penghilangan bagian kalimat tertentu. Dalam Zeugma, penghilangan terjadi ketika sebuah bagian kalimat dihubungkan dengan dua bagian lainnya, seperti dinyatakan William Shakespeare dengan kalimat: Nor God, nor I, delights in prejured men (Tidak Tuhan, tidak juga aku, suka pada pengkhianat). Kalimat ini menghilangkan verba delights namun sekaligus menghubungkan nor God dan nor I dengan verba delights. Secara gramatikal, susunan yang benar ialah Nor God delights, nor I delights in prejured men.
Penghilangan kerap dilakukan karena banyak hal. Di antaranya karena kebutuhan untuk membedakan kalimat sehari-hari, yang dianggap datar, agar menjadi lain. Atau untuk menunjukan proses pemikiran yang tak utuh karena kepentingan tertentu.
2.3 Majas
Puisi memola berbagai makna. Pola tersebut mengenalkan pembaca pada sesuatu yang dihayati penyair. Makna biasanya terpola pada isi dan bentuk. Isi: tersirat melalui bahasa kiasan atau pengungkapan tidak langsung. Bentuk: merupakan makna tambahan yang terkias lewat tipografi puisi yang unik, serta penggunaan rima, ritma dan metrum.
Lux dkk. menyamakan kiasan dengan majas: sebuah gaya semantik yang memakai kata dan kalimat sebagai medium. Perrine menyebut bahasa majas atau kiasan dengan bahasa Figuratif (1974: 616-617), yang dikutip Waluyo (1981: 83).
Bahasa figuratif (majas) dipandang efektif oleh penyair karena (a) mampu menghasilkan kesenangan imajinatif, (b) membuat imaji abstrak menjadi kongkret, dan membuat lebih nikmat dibaca, (c) mengintensifkan perasaan dan sikap penyair, (d) mengkonsentrasikan makna dari tema yang luas dan ragam, dengan bahasa yang singkat
Selain itu, terjadi paralelisme makna. Penyair menggunakan suatu citra ketika menyampaikan sebuah gagasan. Paralelisme terbentuk, menurut Lux dkk., tatkala sebuah citra memparalelkan gagasan pada suatu makna. Kata-kata yang dipilih dan dikombinasikan serta membentuk sebuah citra menghasilkan sebuah gaya bahasa tradisi atau modern.
Jenis kiasan yang bersifat tradisi umumnya telah dikenali. Berbeda dengan gaya majas yang bersifat modern, gaya kiasan (majas) bisa menjadi sama sekali baru, tak dikenali secara langsung. Namun dari kedua bentuk itu, umumnya pelbagai jenis gaya majas terdiri dari: Metafora (Kiasan Langsung), Persamaan (Kiasan Tidak Langsung), Personififikasi, Hiperbola (Overstatement), Sinekdoce, dan Ironi.
(4) Metafora : kiasan langsung
Ini adalah majas yang hendak mengiaskan sesuatu secara langsung. Dalam contoh klasik terungkap lewat lintah darat, kambing hitam, dan sebagainya. Pada puisi modern, metaforanya tidak sekonvensional itu.
(5) Perbandingan
Nama lainnya ialah Simile. Majas ini mengiaskan sesuatu secara tidak langsung. Yang dikiaskan ada bersama pengiasnya dan disambungkan oleh kata penghubung seperti laksana, bagaikan, bagai, atau bak. Contoh yang klasik, misalnya: matanya bagai bintang timur, larinya bagai anak panah.
Pada contoh yang modern, Sapardi Djoko Darmono membuat perbandingan secara tajam, peka, dan sugestif pada sajak Aku Ingin, yang mengiaskan upaya mencintai seseorang dengan imaji-imaji alam: aku ingin mencintaimu / dengan sederhana: // dengan kata / yang tak sempat diucapkan / kayu kepada api / yang menjadikannya abu // …. dengan isyarat / yang tak sempat disampaikan / awan kepada hujan / yang menjadikannya tiada.
(6) Personifikasi
Ialah majas yang mengiaskan peristiwa alam dengan pengalaman manusia. Pelbagai peristiwa alam yang merupakan benda mati dikiaskan menjadi barang hidup: karena setelah dipersonifikasikan, peristiwa itu jadi tak ubahnya orang yang mengalami suatu peristiwa manusiawi. Pembaca mengenalinya karena kiasan sifat human yang ditampilkan.
(7) Hiperbola
Mengiaskan sesuatu secara berlebih-lebihan. Majas ini menggunakan perbandingan dalam melebih-lebihkan kiasannya. Tujuannya menarik atensi pembaca agar untuk lebih seksama memperhatikan hal yang diungkapkan. Hiperbola tradisional, ada dalam ungkapan: bekerja membanting tulang, menunggu seribu tahun lagi.
(8) Sinekdoce
Adalah menyebutkan “sebagian” untuk maksud keseluruhan, atau menyebutkan “keseluruhan” untuk maksud sebagian. Berdasarkan pengertian itu, sinekdoce terbagi dua: pars pro toto (menyebut sebagian untuk keseluruhan), dan totem pro parte (menyebut keseluruhan untuk maksud sebagian).
(9) Ironi
Ironi ialah kiasan yang mengkonotasikan makna sebaliknya, dan dipergunakan untuk memberi sindiran. Majas ironi pada tahap tertentu berubah menjadi sinisme dan sarkasme: sindiran yang disajikan secara keras dan kasar tanpa menggunakan upaya penyiratan melalui pembalikkan makna.
Subagio Sastrowardoyo, misalnya, menulis ironinya nasib bangsa Afrika di negerinya sendiri ketika apartheid masih berlangsung – dan jejaknya sampai kini masih terasa – dalam sajak Afrika Selatan. Dalam kumpulan sajaknya yang terakhir, beberapa sajak Subagio menampakkan banyak persoalan sosial. Kekuatan gaya “bacaan akademis”-nya melahirkan banyak ketajaman ironi permasalahan sosial tanpa terjatuh menjadi amarah dan seruan caci-maki. Afrika Selatan adalah sajak lamanya namun tampaknya, menunjukkan gaya Subagio sebenarnya yang tidak hanya berkutat di persoalan individualitas: .. . . . / Mereka boleh memburu / … membakar / … menembak // Tapi istriku terus berbiak / seperti rumput di pekarangan mereka / seperti lumut di tembok mereka / seperti cendawan di roti mereka . . . . / Mereka boleh membunuh / … // Sebab / mereka kulit putih / dan Kristos / pengasih putih wajah //
3. Metodologi
Melalui studi literatur, studi mengamati nilai puitik digunakan untuk mengetahui bagaimana asosiasi dan metafor puitik itu muncul di penulisan esai jurnalistik. Catatan Pinggir diletakan sebagai esai jurnalisme yang memakai gaya penulisan sastra.
Studi ini memakai unsur-unsur diksi, pola kalimat, dan majas sebagai alat ukur nilai puitis. Jadi, asosiasi dan metafor puitik diteliti melalui penggunaan sintaktik dan tematik puitis.
Unsur-unsur seperti rima, ritma dan metrum, serta tipografi tidak dipergunakan sebagai alat ukur. Hal ini dikarenakan obyek studi ini adalah teks prosa, bukan teks puisi. Tujuan studi ini bukan hendak menyamakan (atau menyimpulkan) teks prosa sebagai teks puisi.
Unsur-unsur sintaktik dan tematik puisi yang dikemukakan Waluyo menjadi referen. Berbagai karya tulis puisi dan prosa Goenawan Mohamad menjadi sampel acak. Bentukan-bentukan puitik Catatan Pinggir dicari.
Majas, di dalam Catatan Pinggir, dilihat penjadiannya pada sebuah kalimat. Kalau pun ada sebuah kata dinilai mengandung majas, hal itu akan diperspektif dari kedudukan kata tersebut di dalam rangkaian kalimat yang mewadahinya. Jadi, tidak seketat di dalam pencarian majas di dalam sebuah teks puisi.
Tata Bahasa Indonesia (1986: 254) menjelaskan bahwa kalimat merupakan bagian terkecil dari ujaran atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran secara utuh. Keutuhan pokok pikiran penulis, di Catatan Pinggir, banyak diungkap melalui kalimat-kalimat kiasan. Pelbagai kalimatnya kerap ditemukan mengandung makna-makna kiasan. Pemaknaan tersirat itu terbentuk oleh rangkaian diksi dan kalimat yang unik, personal, dan khas; serta menggambarkan asosiasi dan metafor yang bersifat puitik
4. Hasil dan bahasan
Kata dan kalimat di Catatan Pinggir dipakai secara unik. Nilai puitik terkandung di dalamnya. Hal itu terlihat pada bahasan berikut ini yang terdiri dari: Diksi, Pola Kalimat, dan Majas.
Diksi dilihat dari kata-kata yang mengandung Penyimpangan Semantis, Penggunaan Register, kata-kata Sugestif, kata-kata Imajis, dan kata-kata Konkrit. Pola Kalimat diukur dari kalimat yang menggunakan bentuk Pengulangan, bentuk Pembalikkan, dan bentuk Penghilangan. Pada Majas, amatan ditujukan pada kata dan kalimat yang mengandung kiasan-kiasan seperti: Metafora, Perbandingan, Personifikasi, Hiperbola, Sinekdoce, dan Ironi.
Hasil dan bahasannya adalah sebagai berikut.
4.1 Diksi
(1)Penyimpangan Semantis
Dalam Catatan Pinggir, penyimpangan semantis itu dilakukan. Dalam salah satu tulisan Matinya Politik (7 Agustus 1993) misalnya, terjadi penyimpangan semantis melalui kata “aku”.
Kamus (2001) menyatakan bahwa “aku ialah pronomina (kelas kata yang meliputi kata ganti, kata tunjuk, dan kata tanya)” yang menunjukkan seorang yang tengah “berbicara atau menulis (dalam ragam akrab)”, atau bisa juga berarti yang menunjukkan “diri sendiri; saya”.
Namun, di dalam Catatan Pinggir semua pengertian itu diubah. Kata aku digunakan untuk menerangkan individualitas, sosok ke-aku-an seseorang, “gelora hati yang bersemangat”. Arti aku dipakai Goenawan ketika menerangkan kehidupan politik Orde Baru di Indonesia, ketika sebuah partai politik – dalam hal ini Partai Demokrasi Indonesia – berhenti menjadi sebuah partai politik pada tahun 1993. Konsep masa mengambang yang diterapkan negara saat itu menyebabkan tindakan politik hanya berlangsung di pusat-pusat pemerintahan. Akibatnya, “politik cuma jadi intrik: hantam-menghantam, di suatu arena nun jauh di luar wilayah orang ramai – dan tak pernah dipertanggungjawabkan …”. Setiap rakyat, warga negara yang memiliki hak bersuara, berkumpul, dan bersikap menjadi elemen yang diharuskan tunduk dan tidak berdaya. Di depan kekuasaan, ke-aku-an rakyat pupus, jerih, dan cacat harga diri.
Keadaan itu diterangkan Goenawan sebagai berikut:
Aku bukan lagi manusia yang konkrit, yang beragam, punya nafsu, budi, mungkin pula perbedaan hati dan tubuh yang encok. Aku hanya sebuah rol. Aku hanya sebuah elemen. Aku bukan lagi aku.
Aku bukan lagi aku: sering ada sesuatu yang indah di dalam perasaan ketika aku adalah sebagian dari sesuatu yang lebih agung baik itu “tanah air” atau “keyakinan” atau “Revolusi”.
Penyimpangan semantis, dengan demikian, dilakukan dengan pengubahan kata tunjuk aku. Aku bukan lagi menunjuk seseorang yang tengah berbicara atau menulis secara intim. Aku telah menjadi konsep individualitas seseorang.
(2) Penggunaan Register
Dalam el supremo (Catatan Pinggir, 30 Januari 1988), ditemukan kata-kata sejenis register:
Dalam kediktaturan, di mana hanya ada satu orang yang berhak memberi makna dan definisi bagi sejumlah orang lain, adakah sebenarnya beda antara monolog dan dialog?
Tak ada. Pendapat lain yang tinggal hanya, “Benar, Paduka.” Selebihnya bungkam. “Bila orang biasa tak pernah berbicara kepada dirinya sendiri, maka Sang Diktatur Agung terus-menerus berbicara kepada orang lain,” demikian tertulis dalam salah satu dokumen. Bahkan “kediamdiriannya pun mengandung titah.”
Berbagai kata register dipakai beberapa kali dalam tulisan mengenai kediktaturan di Amerika Latin. Seting tulisan diangkat Goenawan, di Catatan Pinggir melalui sebuah novel karya Augusto Roa Bastos, Yo el Supremo: yang menurut Goenawan merupakan “satu prosa panjang tentang sebuah kediktaturan yang hampir tanpa henti di abad silam Paraguay.” Naskah aslinya terbit di Argentina tahun 1974, dan ketika 12 tahun kemudian terbit dalam versi Inggrisnya, “pengalaman Amerika Latin itu pun berbicara juga dengan dunia kita”.
“Dunia kita” di sini berarti Indonesia, pada 1980-an. Dan dengan baiknya, Goenawan mengungkapkan suasana kekuasaan tiran di Amerika Latin itu melalui paparan-paparan yang terkait dengan kekuasaan raja-raja Indonesia. Salah satu indikasinya adalah penggunaan bahasa register seperti paduka, Sang, Agung, titah, syak, mangkat. Pilihan kata-kata ini menyiratkan penguasaan bahasa yang begitu peka dengan sosio historis masyarakat di mana penulis Catatan Pinggir mengorientasikan pemikirannya pada saat itu.
(3) Kata-Kata Sugestif
Catatan Pinggir memakai sugestifitas kata-kata tatkala menguraikan risalah Hannah Arendt mengenai hipokrisi, melalui pilihan kata berikut ini: “Seorang hipokrit akhirnya tak punya saksi yang sejati itu: semacam tatapan Tuhan, yang lebih dekat ketimbang nadi di leher: selepas ia dari pentas, setelah topeng ia tanggalkan, ia tetap tahu ia bukan Rambo.
Kata-kata sugestif banyak dipakai Goenawan di Catatan Pinggir. Ambil contoh lain dalam tulisannya berjudul jonestown (2 Desember 1978), ketika menggambarkan peristiwa bunuh diri yang mengenaskan di kota Jonestown, di hutan Guyana 18 November 1978.
1000 orang lebih mati di Jonestown. Pemimpin mereka, Pendeta Jim Jones, memerintahkan mereka bunuh diri. Anak-anak disuntik racun. Orang-orang dewasa antre bergiliran mereguk cyanide. Satu demi satu roboh.
Koloni di hutan Guyana itu kemudian sepi. Sebuah papan di dekat tanaman, yang kini dikitari tebaran mayat, seakan memperingatkan langit tropis yang kosong sehabis hujan: “Awas racun serangga.”
Kata-kata yang dipilih terasa kuat menciptakan gambaran prosesi kematian. Kekuatannya mengawali renungan penulisnya mengenai kekosongan masyarakat Amerika saat itu dari spiritualisme. Maka, kegiatan macam Kenisah Rakyat yang dipimpin Pendeta Jones atau ajakan Guru Maharaj atau Pendeta Sun Myung Moon banyak didekati. Mereka menyumbang dan bertakwa. Ketaatan mereka fatalis. Bunuh diri pun dianggap titah yang tak bisa ditolak. Dan, “dunia terkejut oleh kejadian yang hampir tak masuk akal di ke-20 ini – yang justru diciptakan orang-orang dari bangsa paling modern,” tulis Goenawan.
(4) Kata-kata Imajis
Dalam Catatan Pinggir berjudul labbaika (14 Juli 1990), suasana imajis muncul. Materinya membicarakan tentang perjalanan haji, ritual umat Islam berkunjung ke Kabah di Mekah Arab Saudi. Esai dibuka dengan lukisan suasana perjalanan haji melalui sudut pandang penulis yang memotretnya lewat makna kematian.
Yang datang, menerima panggilan itu, ke negeri yang kering, ke kolong langit dalam dengus suhu 40 derajat, ke haribaan Kabah dalam kelimun jutaan orang, mengikuti perlambang Bapa Ibrahim; yang datang – setelah impit-mengimpit di terowongan Al-Muaisim itulangsung ke hadirat-Nya, ke tempat baik yang telah dijanjikan, apakah yang mereka lihat di bumi yang mereka tinggalkan?
Mungkin mereka akan mengatakan, “Lihat. Anak kita bersedih. Mereka tak akan melihat kita lagi.”
Kematian bisa berbicara banyak, dalam pelbagai isyarat. Panggilan Tuhan tidak bermakna tunggal. Kematian bisa … merendah-hinakan harkat manusia … ketika kita melihat … seseorang membunuh orang lain. Tetapi kematian juga bisa berbicara tentang sesuatu yang luhur, … ketika kita melihat mereka yang mati tanpa kemarahan, tanpa kedengkian, tanpa kebencian, ya, … dalam sujud kepada sesuatu yang lebih besar ketimbang hidup dan mati itu sendiri: Tuhan.
(5) Kata-Kata Konkrit
Kata-kata konkrit di dalam Catatan Pinggir bisa dilihat melalui gambaran pegawai negeri kita pada tahun 1980-an yang banyak dinilai negatif:
Memang, sebagian orang suka membayangkan pegawai negeri sebagai sebuah invetaris lama dalam sebuah kantor. Kantor itu Republik Indonesia, dan benda yang disebut “pegawai negeri” itu sebuah kursi yang rotannya sudah kusam. Ada sebuah meja, penuh bekas api rokok. Ada sebuah ruang, yang tak pernah lagi dipel. Ada sederet map kertas, yang tak jelas fungsinya ….
Tapi betapa keliru, betap tak adilnya bayangan itu.
Setidaknya karena orang lain bisa membayangkan secara lain. Yakni tentang orang-orang bersafari yang gagah. …. Yang, bila dapat peran dalam proyek pembangunan, akan dapat pula honor tambahan, fasilitas tambahan dan perhatian tambahan – dan begitu repot tapi penting hingga orang akan senang hati memberikan tambah-tambahan lain kepada mereka.
Jangan salah paham. Bila bayangan itu salah dan mengandung rasa iri, ada gambaran lain yang bisa ditawarkan: pegawai negeri adalah orang-orang yang tidak lemah, tidak pula sepele.
Sebab merekalah yang bisa menentukan surat nikah kita dan surat talak kita, juga surat izin usaha kita. Merekalah yang menentukan pajak kita, status rumah kita, kelancaran perjalanan kita, keterangan berkelakuan baik untuk kita, nasib sekolah anak kita …. Bahkan mereka juga bisa mengatur sekeras apa kita boleh marah, atau sejelas mana kita dapat berterus terang.
….
Pegawai negerilah, bukannya para pahlawan, yang benar tak mati-mati.
Dengan judul pegawai negeri tak mati-mati (27 Febuari 1982) ini, gambaran pegawai negeri itu diteropong dari sisi birokrasi. Goenawan tidak menolak birokrasi. Ia membahas kelemahan kerja birokrasi di pemerintahan Indonesia. Juga upaya-upaya yang gagal menyingkirkan kelemahan itu, seperti yang dilakukan Lenin di Uni Soviet dan Mao Ze Dong di RRC. Semua itu akibat birokrasi yang cuma jadi perpanjangan tangan kekuasaan. Bukan mesin pemerintahan yang bertugas melayani rakyat.
4.2 Pola Kalimat
(1)
Bentuk Pengulangan
Penutup tulisan Catatan Pinggir, berjudul Sejarah (6 Juli 1991), mengakhiri tulisannya, dengan kalimat:
Tidak ada lagi kepastian. Tidak ada lagi hak, bahkan untuk membela diri. Sekian puluh tahun yang lalu, sekian puluh tahun kemudian ….”
Kalimat ini mengakhiri paparan esai tentang sejarah pembredelan pers di Indonesia, dari sejak jaman kolonial Belanda (1933) sampai 1990-an.
Dalam tulisan berjudul boh (18 Januari 1992), penulis Catatan Pinggir mengutip terjemahan kata-kata penyair Burma abad ke-18, Let-We Thondara – yang menggambarkan pujian kepada tokoh pergerakan kemerdekaan Burma Aung San:
Betapa unggulnya pun siasat perang, betapa dahsyatnya senjata, tanpa menemukan tempat di hati rakyat, tanpa mempercayai kekuatan rakyat, ujung pedang akan hancur dan tombak akan bengkok.
Aung San ialah ayah Suu Kyi, pemimpin oposisi hak-hak asasi di Myanmar, dan penerima Hadiah Nobel Perdamaian 1991, yang juga (seperti melanjutkan jejak ayahnya) kemudian jadi tokoh penting di negeri itu.
Bukan kekuasaan yang merusak watak, melainkan ketakutan,” katanya (Suu Kyi). “Takut kehilangan kekuasaan merusak mereka yang memegang kekuasaan, dan takut akan dilanda kekuasaan merusak mereka yang dikuasai.”
(2) Bentuk Pembalikkan (Inversi)
Dalam Iman (Catatan Pinggir, 10 November 1990), tertulis:
“…. Banyak umat Islam tak senang dengan catatan harian almarhum Ahmad Wahib yang pernah diterbitkan dan kini tak ada dijual itu, banyak yang curiga kepada pemikiran Nucholish Madjid dan tak tenteram dengan pendapat-pendapat Abdurrahman Wahid ….
Tapi di zaman ini kita hidup dengan terlalu banyak rasa was-was …..”
Dalam tulisan tersebut struktur subyek-predikat-obyek tak tertata dalam kemestiannya. Penggunaan kata tak senang, yang curiga, dan tak tenteram diletakkan pada posisi predikat. Berbagai kata keterangan memenuhi struktur kalimat majemuk setara. Sisipan kata yang menyampaikan adanya keterangan yang terkait dengan subyek (umat Islam) dan obyek (catatan Ahmad Wahid, pemikiran Nurcholish Madjid, pendapat Abdurrahman Wahid).
Namun, dalam keseluruhannya, pola infasrtukturisasi jadi lebih menguatkan makna. Penggunaan gaya tutur percakapan, yang kerap tak terurut secara S-P-O-K, menjadi terasa impresif pemaknaannya. Segala tindak tokoh publik yang mengandung “rasa was-was” jadi kuat terasa – disebabkan oleh keberaniannya atau keanomaliannya dalam berpikir sehingga terlihat kontraversil.
Tulisan itu dibuat pada tahun 1990 ketika wacana publik Indonesia dipenuhi soal-soal Islam-fobia. Kedua tokoh, Cak Nur dan Gus Dur, berada di garis yang berseberangan dengan kekuasaan Orde Baru; dan masyarakat dimanipulasi untuk menolak kedua tokoh Islam itu.
(3) Bentuk Penghilangan
Goenawan dalam Shanghai (Catatan Pinggir, 26 Oktober 1991) menulis kalimat seperti ini:
“Revolusi Kebudayaan Mao menghantam salah satu sisi segitiga itu: Partai. Dan di bawah Bapa Deng, sisi yang lain kena: Ideologi Marxisme-Leninisme. Modal asing pun diundang. Para petani dibiarkan jadi kapitalis. Sosialisme masih disebut, pikiran Mao masih dikutip, tapi terasa bahwa semua itu diperlukan buat mempertahankan kekuasaan, bukan keyakinan. Seperti bedil-bedil di Tiananmen.
Kalimat kedua menampilkan pola elips yang menghilangkan beberapa unsur normal di dalam struktur kalimat yang lengkap. Demikian pula, pada kalimat keenam terjadi penghilangan subyek dan predikat. Pemaknaan menjadi tergambarkan dengan kuat terutama dalam menegaskan keadaan Cina, seusai Revolusi Kebudayaan dan kapitalisme diterapkan.
Akan tetapi, kepemimpinan represif masih diberlakukan. Deng Xiao Ping hanya meminjam liberalisme (sampai 1991 ketika tulisan itu dibuat), untuk menggeser orientasi Lenin yang diacu Mao Ze Dong. Bapa Deng tidak merubah otoritarianisme. Cina Komunis tetap membunuhi para mahasiswa Cina yang menuntut liberalisme. Kekuatan bedil-bedil membubarkan demonstrasi mahasiswa di Tianamen
4.3 Majas
(1) Metafora : kiasan langsung
Dalam metafora yang tidak sekonkrit puisi Marsman, namun lebih memiliki nilai sejarah, paparan Goenawan di dalam Balon (Catatan Pinggir - Tempo, 11 Juli 1999) memperlihatkan kekuatan kiasan metafor puitik. Melalui cerita “cogito Rene Descartes, tokoh pemikir Perancis, ketika membahas “pengertian manusia sebagai subyek” yang otonom, Catatan Pinggir ini menulis:
Pada suatu hari di abad itu, setelah meragukan segala-galanya tentang Tuhan dan dunia, setelah berbulan-bulan risau oleh kehidupan yang dirundung perang antarkelompok Katolik dan Protestan, sehingga mana yang benar dan tak benar menjadi kabur, Rene Descartes pun menemukan bahwa satu-satunya kepastian tentang hal ihwal adalah cogito: di dunia ini yang pasti ada adalah aku-sebagai-subyek-yang-merenungkan. “Aku berpikir, maka aku ada,” kata Descartes. Tak dipersoalkan adakah “aku” budak atau majikan, dari negeri dan kelas mana pula “aku” datang.
Secara metaforis, catatan sejarah lahirnya konsep cogito diungkap. Descartes dan “cogito”-nya muncul dalam perebutan politis (antarpenganut Katolik dan Protestan) mengenai makna agama. Kemudian, diskusi diluaskan ke dalam perdebatan mengenai kemerdekaan manusia untuk menyatakan “aku” – melalui torehan konsep “konflik antarkelas sosial” Marxis.
Metafora-metafora itu menahbiskan tuturan puitik yang jarang dilakukan penulis prosa. Ungkapan pada suatu hari di abad itu menunjukkan metafor yang langsung merujuk pada satuan waktu riil. Ungkapan Rene Descartes pun menemukan satu-satunya kepastian hal-ihwal yang prosais tidak saja mengandung telaah filsafat melainkan terkait pula kepadatan dan ekspresif yang puitik. Metafora puitik begitu kuat hadir dalam ungkapan: Tak dipersoalkan adakah “aku” budak atau majikan, dari negeri dan kelas mana pula “aku” datang. Cara mengungkap ini punya daya kias puitik dalam menerakan soal-soal besar jadi konkrit dan riil, di mana pembaca dapat menemukan langsung padanan soalnya dalam kehidupan sehari-hari. Kata budak, majikan, negeri, kelas, yang dikaitkan dengan si aku, bukankah hal-hal yang punya gema dalam kenyataan hidup masyarakat.
(2) Perbandingan
Melalui judul Seragam, Catatan Pinggir (3 Agustus 1985) membuat perbandingan produk makanan asing dengan Indonesia:
Kolonel putih yang tua itu akhirnya belum juga membunuh Mbok Berek. Ayam goreng Amerika yang menyebar itu, alhamdulillah, tak menjadi ayam goreng tunggal. Coca-Cola memang mendesak pelbagai pabrik minuman lokal yang kecil, ketika ia baru tiba di sini; tapi kemudian muncul Teh Botol Sosro. Lalu, yang lain-lain. Cendol, wedang ronde, dan sekoteng bahkan tetap tak tergantikan – biarpun tak ada pidato khusus di RT-RT untuk membela mereka.
Apa yang terjadi, tentu saja, bukanlah “lokal” versus “asing”, atau “modern” lawan “tradisional”. Dalam gejala di atas, yang terjadi hanyalah bukti bahwa kita – paling sedikit dalam urusan biologis kita, di perut – tampaknya selalu menampik untuk diseragamkan. Betatapun mulianya Sumpah Pemuda, kita sampai hari ini toh belum sampai berikrar agar soto Madura, soto Kudus, dan soto Bandung bersatu menjadi soto Indonesia.
Fenomena sajian khas makanan Indonesia menunjukkan kekuatan usaha pribumi melawan dengan dunia industrialisasi asing. Ketika ayam goreng buatan kolonel putih yang tua (Kentucky Fried Chicken) dibandingkan dengan Mbok Berek, ini menunjukkan perbandingan produk makanan Amerika dengan Indonesia. Perbandingan dalam bentuk lain dilakukan pula, ketika ikrar Sumpah Pemuda – sebagai konsep yang mempersatukan tanah air, bangsa, dan bahasa itu – dibandingkan dengan ikrar soto Indonesia – sebagai konsep yang hendak mempersatukan berbagai makanan jenis soto.
Pelbagai perbandingan tersebut mengilustrasikan penolakan upaya penyeragaman yang dibakukan pola hidup industrialisasi. Dengan perbandingan itu, kekuatan makna menjadi kuat. Goenawan (1989) dengan jeli mengupas soal “modern” lawan “tradisional” melalui perbandingan “dalam urusan biologis kita, di perut”.
Kejelian itu hadir tampaknya dari kekuatan kepenyairan dalam menangkap berbagai penanda di dalam kehidupan masyarakat. Tentu saja bukan hendak menampik kejelian penulis prosa. Akan tetapi, kepenyairan kerap memiliki ketajaman kiasan tatkala menyoroti makna peristiwa kemanusiaan
(3) Personifikasi
Dalam Catatan Pinggir berjudul Raine, yang mengawali waktu-terbit Tempo (12 Oktober 1998) ketika pertama kali muncul setelah dibredel sejak 1994, terjadi upaya personifikasi puitik:
Burung di pohon ceri itu tak datang untuk menjemput roh ataupun kesucian. Ia sebuah warta sederhana: bahwa hidup tetap berharga, juga bagi yang lemah, yang tak suci, seperti nyanyi yang sejenak, di sebuah hari musim gugur.
Burung, ia, warta, nyanyi: adalah beberapa personifikasi. Tujuan: menggambarkan kesalahan menganggap suara burung, pada saat peristiwa semacam malapetaka menjadi sebuah tanda buruk. Dalam kisah Raine, hal itu terjadi pada pengalaman Nancy Venable Raine, yang pada tahun 1985, diperkosa. Dan, baru 9 tahun kemudian menuliskan pengalamannya di The New York Review Magazine, lalu 4 tahun kemudian di dalam sebuah buku After Silence: Rape and My Journey Back. Isinya, menerangkan perjuangannya menahan rasa malu, bersalah, dan marah setelah diperkosa.
Bukunya dinilai telah memberi pesan kepada orang yang menjadi korban perkosaan dan penindasan lain, untuk tetap rendah hati, bijaksana, tidak memanfaatkan penderitaannya dieksplotasi secara politis – dalam mencapai simpati masyarakat. Burung di-personifikasi-kan menjadi ia (seseorang) yang hendak memberikan warta (kabar, berita, atau amanat) bahwa segala persoalan kehidupan masyarakat harus didiskusikan secara bijaksana, karena optimisme harus ada dan kegembiraan harus ditumbuhkan. Di tengah penderitaan, manusia toh harus dan tetap bisa menghargai keindahan nyanyi di sebuah hari musim gugur walaupun hanya sejenak. Personifikasi nyanyi mengiaskan optimisme kemanusiaan.
(4) Hiperbola
Tulisan Pers, Catatan Pinggir 2 Maret 1985, mendeskripsikan secara hiperbol bagaimana kegunaan dan penerimaan masyarakat terhadap isi pers atau koran.
Pers adalah sebuah cermin. Mungkin karena itu seorang tokoh dalam sebuah sandiwara John Osborne, The Hotel in Amsterdam, memberi nasihat, “Jangan sekali-kali mempercayai cermin, ataupun koran.”
Katakanlah pagi ini – atau sore nanti – saya membeli selembar koran. Lalu duduk di tepi jalan. Halaman pertama saya buka. Apa yang akan saya lihat di sana? Wajah saya?
Barangkali. Apa yang saya simpulkan – apa yang saya rasakan – dari lembaran itu, pada akhirnya mungkin tergantung benar pada bagaimana hati kita saat itu. Koran itu akan merengut bila wajah kita memang perengut. Jika saya seorang yang menyangka – dengan agak yakin – bahwa tampang saya seperti Mel Gibson, mungkin saya bisa selalu senyum tiap kali melongok ke sana. Di depan saya, yang terhidang hanya puja-puji.
Sebaliknya, jika saya begitu kecewa pada karunia Tuhan dan menilai wajah sendiri sebagai celurut, mungkin, siapa tahu, di koran itu yang tampak hanya sang celurut: pantulan dari kecemasan saya sendiri.
Karena itu, “Jangan sekali-kali mempercayai cermin, ataupun koran,” kata nasihat itu. Artinya, jangan berharap, bahwa di dalam koran, seperti dalam cermin, akan ditemukan persepsi yang benar.
Tapi toh, tanpa memandang ke cermin, tanpa koran, dengan menolak untuk percaya, tak otomatis kita sudah beroleh cara untuk memandang diri sendiri secara tepat. Sonder cermin, yang dusta, tak berarti kita bebas dari angan-angan kosong tentang diri sendiri. Petuah dalam The Hotel in Amsterdam itu, dengan demikian, bisa hanya sebuah petuah untuk menunda kepalsuan lain.
Tapi ada juga benarnya petuah seperti itu. Ia bisa diterjemahkan begini: tiap kali Anda membuka suratkabar, sebaiknya cek dulu adakah Anda sakit gigi. Sebab, bagaimana Anda membaca, akhirnya sama pentingnya dengan bagaimana sebenarnya pers itu bercerita.
…. Artinya, bagaimana membaca tanpa terpengaruh oleh ada atau tidak sakit gigi.
Pers sama dengan cermin adalah kiasan awal dari ulasan tentang pembaca pers. Suasana hiperbol puitik menjadi terasa ketika, dalam bahasa prosais, pendapat penulis Catatan Pinggir melebih-lebihkannya ke dalam tese-tese Jangan sekali-kali mempercayai cermin, ataupun koran. Kutipan tokoh sandiwara John Osborne menjadi ringkas, efektif, dan tajam. Begitu pula saat ditandaskan Apa yang akan saya lihat di sana? Kata di sana merujuk pada halaman-halaman koran, dan diloncatkan pada acuan Wajah saya.
Susunan diksi dan kalimat prosa Catatan Pinggir, seperti telah dicontohkan sebelumnya, banyak melahirkan asosiasi dan metafor puitik. Asosiasi hiperbol puitik, dalam esai ini, terjadi ketika penulis mengarahkan tese persepsi pembaca “tergantung benar pada bagaimana hati kita saat itu”. Yakni, koran itu akan merengut, atau koran itu akan menampakan wajah celurut, atau sebaliknya koran itu akan menghidangkan puja-puji.
Permainan asosiasi dan metafor seperti itulah yang menyebabkan nilai puitik kerap hadir. Lewat kata-kata, frasa, dan susunan kalimat prosais, pembaca diajak masuk ke dalam renungan personal penulis Catatan Pinggir untuk mengamini: koran = cermin = tak otomatis kita sudah beroleh cara untuk memandang diri sendiri secara tepat = sebuah petuah untuk menunda kepalsuan lain.
Apalagi ketika penulis Catatan Pinggir menerjemahkan asosiasi hiperbolnya ke dalam argumen: tiap kali Anda membuka suratkabar, sebaiknya cek dulu adakah Anda sakit gigi. Bila, ditambahkan dengan hiperbol bagaimana Anda membaca (koran) = pers itu bercerita, serta bagaimana membaca tanpa terpengaruh oleh ada atau tidak sakit gigi. Di sini terjadi upaya mengiaskan teori reseptif pembaca media, yang melebih-lebihkan karena upaya penulis yang hendak menunjukkan buruknya kesadaran masyarakat terhadap fungsi koran di dalam kehidupan sehari-hari.
(5) Sinekdoce
Dalam Catatan Pinggir, berjudul Mukjizat (Tempo, 13 Juni 1999), yang mengomentari pelaksanaan pemilu 1999, ada satu fragmen pikiran yang mencatat fenomena keindonesiaan menjelang detik-detik perubahan kepemimpinan diserahkan ke tangan kelompok “reformis.” Catatan, yang tercakup di dalam satu paragraf dan terdiri dari dua kalimat pendek dan panjang, tersebut mengiaskan dua sinekdoce puitik sekaligus.
. . . . Sejak Mei 1998, Indonesia terdiri dari sebuah deretan laporan tentang kekejian. Sejumlah perempuan diperkosa di Jakarta, sejumlah kepala orang Madura dipotong di Kalimantan Barat, beberapa puluh leher ditebas dan perut dirobek di Ambon, beberapa puluh rumah peribadatan dibakar di Jakarta atau Kupang. Kemudian, begitu pemilihan umum yang baru disiapkan, di Jawa Tengah orang PKB berhantam dengan orang PPP, di Bali orang PDI bentrok dengan orang Golkar. Suasana tegang, mencemaskan. Tiba-tiba, April 1999, sebuah bom meledak di Masjid Istiqlal. “Inilah saatnya Indonesia berakhir,” kata seorang bankir asing yang tinggal di Jakarta. Ia menduga bahwa segera setelah perusakan itu akan ada gelombang pembalasan, dan gereja-gereja akan dibumihanguskan, dan di tempat lain, masjid akan dihabisi.
Kalimat Indonesia terdiri dari sebuah deretan laporan tentang kekejian mengiaskan pemaknaan pars pro toto: yang mengungkapkan gambaran sebagian permasalahan Indonesia akibat ketidakstabilan politik. Gaya ungkap ini menjadi puitik karena penjelasan selanjutnya. Rincian fakta-fakta (yang diberi garis) mendeskripsikan pelbagai asosiasi dan metafor deretan laporan kekejian yang tegang dan mencemaskan – pada masa-masa transisi selepas represifitas Orde Baru.
Dalam kalimat-kalimat yang diberi garis – yang rata-rata memiliki tingkat kemajemukan kalimat setara secara berlapis-lapis, dikandung muatan kiasan totem pro parte. Rincian kejadian, yang memetakan pelbagai peristiwa perusakan yang dramatis, itu mewakili keseluruhan pemaknaan, yakni, kesadaran politik masyarakat yang dipenuhi dengan “kekerasan” ketika menyelesaikan dinamika konflik sosial politik. Nilai puitik totem pro parte menguat ketika penulis esai ini mengutip seorang asing yang berkata “Inilah saatnya Indonesia berakhir”, dan akan menimbulkan gelombang pembalasan.
Tafsiran sinekdoce puitik ini memang mengurut kepada pola berpikir penulis esai ini ketika menggambarkan persoalan masyarakatnya melalui penggunaan diksi dan struktur kalimat prosais yang khas dan personal. Struktur kalimat yang tidak terurut dalam kelengkapan subyek-predikat-obyek, misalnya, tampil dengan kematangan mengukur efek persuasif bacaan hingga terasa betul nilai dramatisnya.
Padahal, berbagai penulis artikel Indonesia telah banyak yang menggunakan kata-kata dan kalimat seperti itu. Tapi, dalam Catatan Pinggir ini mungkin yang terjadi adalah kesadaran akan berbahasa, dan menyajikannya dalam bentuk yang dikenali betul apa efeknya. Efek puitik, dari latar kepenyairan penulisnya, antara lain ialah hasilnya.
(14) Ironi
Haruskah kita selalu menyalahkan harapan?
Kalimat tersebut ditulisnya, sebagai kalimat pertama dari sebuah paragraf pembuka untuk tulisan berjudul Mukjizat di rubrik Catatan Pinggir (Tempo, 13 Juni 1999). Kalimat selanjutnya merangkai gambaran suasana pemilu 1999, yang ternyata tidak mengakibatkan berbagai kejadian buruk yang semula diduga. Kalimat pertama membuat satu ironi – selain sebagai sebuah kalimat tunggal, kalimat ini telah memiliki nilai ironi dan sinisme yang kuat terhadap kalangan yang menganut garis pemikiran pesimisme ataupun nihilisme. Keironiannya bisa terlihat di kelanjutan kalimat sesudahnya, berikut ini:
Saya ada dalam arus manusia di jalan-jalan itu. Saya berada dalam sebuah kampanye politik yang tanpa kemarahan, tanpa kebencian, mirip sebuah Mardi Gras yang gembira dan berjela-jela. Di sebuah jalan di Jakarta Tengah, ribuan anggota PAN bersisipan dengan puluhan anggota Partai Republik, jubelan anggota PDI Perjuangan bersisipan dengan Partai Masyumi. Kendaraan bisa bersentuhan, tapi tak ada caci maki. Di sebuah sudut di Matraman, para pemuda kampung yang berbendera PPP menanti di tepi jalan, dan menyiramkan air ke orang-orang PAN dan Partai Keadilan yang naik kendaraan terbuka, tapi kedua belah pihak saling tertawa. Sebuah bus penuh dengan anggota PDI Perjuangan memberi tempat kepada seorang anggota PRD yang melambai-lambaikan bendera partainya, sendirian. Peserta kampanye partai yang satu tampak saling bertukar stiker dengan partisipan partai yang lain.
Ironi dalam berbagai kalimat lanjutan ini ialah penampakan gugurnya asumsi ketidakpercayaan politik terhadap kematangan rakyat jelata dalam melaksanakan pemilu 1999. Nilai puitiknya menguat dalam cara penggambaran momen pertemuan di jalanan, yang diduga akan mengakibatkan bentrokan, ternyata tidak. Pelaksanaan pemilu berjalan tanpa kemarahan, kebencian, caci maki; yang terjadi malah saling tertawa dan saling bertukar stiker, mirip suasana karnaval Mardi Gras di Brazilia, yang gembira dan berjela-jela. Maka, kekuatan ironi di sini berkebalikan dengan kebiasaan mengungkap nilai ironi yang biasanya menyedihkan. Esai ini malah memaparkan ironinya sebuah harapan di tengah lingkungan yang menolak adanya “harapan” pada Pemilu 1999.
5. Simpulan dan Saran
5.1 Simpulan
Di dalam Catatan Pinggir, asosiasi dan metafor puitik terlihat terbentuk. Susunan diksi dan pola kalimat serta majas puitik menjalin utuh dan padu di antara teks-teksnya. Walau tidak seketat dan setajam puisi, seperti di dalam sajak-sajak Goenawan Mohamad, namun suasana kepenyairan tampak membayangi gaya penyajian esai-esainya di Majalah Berita Mingguan Tempo ini.
Hal ini tampaknya yang menyebabkan esai Catatan Pinggir memiliki nilai kekhasan. Bahkan, pada beberapa kalangan – seperti dituturkan wartawan Tempo, kerap sulit memahami isinya. Penyebabnya, antara lain tampak dikarenakan oleh ide dan gaya penyajiannya.
Ide-idenya memiliki ketajaman, dan kejelian, yang tidak biasa. Walaupun bergerak di rentang permasalahan aktual kemasyarakatan, yang dimiliki jurnalisme Tempo, amatan persoalan yang diungkapkan kerap tak terduga. Penulisnya tampaknya tak mau terjatuh pada kebiasaan media memaparkan permasalahan. Ia mengambil tema pers misalnya, lewat ide klise tentang pers sebagai cermin masyarakat. Namun, dibawakan dengan asosiasi dan metafor yang terkait dengan humanitas pembaca itu sendiri. Pembaca yang bersuasana hati pemarah, perengut, atau pemimpi bintang selebritis, diambil jadi bahasan penjelasnya.
Melalui ide semacam itu, ia melaporkan pengisahan yang disajikan lewat cara personal seperti ketika seseorang bercerita kepada orang terdekatnya akrab, intim. dan menghabiskan ruang-ruang formalitas.
Pada titik inilah, gaya penyajian sastranya muncul. Sastra yang dipakainya adalah gaya kepenyairan. Sebuah gaya bertutur secara ekspresif, padat, singkat, dan individual. Pilihan kata (diksi) dan susunan kalimat pun menjadi tak se-prosais sebagaimana mestinya. Gayanya menyebal dari kebiasaan penulis jurnalistik Indonesia.
Semua itu disebabkan pula oleh orientasinya yang hendak mengembangkan kekayaan bahasa Indonesia. Ia menolak pada pengulangan atau repetisi dari bahasa media massa pada umumnya. Ia mengelak untuk patuh kepada gaya bahasa jurnalisme biasa.
Nilai puitik itu tampaknya muncul dari sana.
5.2 Saran
Studi ini pun tidak membuat simpulan yang rigid dan ketat.
Pembahasannya coba membuka ruang penjelajahan penelitian teoritik antardisiplin ilmu: yakni, menghubungkan puisi (sastra) dengan jurnalistik (ilmu komunikasi). Secara konsepsi, unsur-unsur puisi terjalin dalam gaya penulisan yang berbeda dengan prosa. Padahal, secara teoritik pula, esai jurnalisme terkait dengan kaidah penulisan prosa
Hasilnya bersifat tentatif, sebuah hipotesa yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Pustaka Acuan
Anwar, Chairil, 1986. Aku Ini Binatang Jalang (ed.Panusuk Eneste). Jakarta: Gramedia
Bachri, Sutardji Calzoum, 1981. O Amuk Kapak. Jakarta: Sinar Harapan
Darmono, Sapardi Djoko, 1994. Hujan Bulan Juni. Jakarta: Grasindo

Hadimadja, Aoh K., 1981. Seni Mengarang. Jakarta: Pustaka Jaya

Lindsay, Jennifer, 1994. Sidelines: thought Pieces from Tempo Magazine. Jakarta: Yayasan Lontar

Luxemberg, Jan Van, et al, 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia

————, 1989. Teori Sastra, Jakarta: Intermasa
Moeliono, Anton M., & Soenjono D., 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka & Gadjah Mada University Pers, Cet.ke-1
Mohamad, Goenawan, 1982. Catatan Pinggir 1. Jakarta: Grafitti Pers
————-, 1989. Catatan Pinggir 2. Jakarta: Pustaka Utama Grafitti
————-, 1991. Catatan Pinggir 3. Jakarta: Pustaka Utama Grafitti
————-, 1992. Asmaradana. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia
————-, 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus
————-, 1995. Catatan Pinggir 4. Jakarta: Pustaka Utama Grafitti
————-, 1996. Pengantar di dalam buku kumpulan kolom Mahbub Djunaedy, Kolom Demi Kolom. Jakarta: Inti Indayu
————-, 1998. Misalkan Kita di Sarajevo. Jakarta: Penerbit Kalam
Sastrowardoyo, Subagio, 1995. Dan Kematian Semakin Akrab. Jakarta: Grasindo
Waluyo, Herman J., 1981. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Penerbit Erlangga



*) Studi deskriptip analitik meneliti teks puitis yang terdapat di dalam prosa jurnalistik di Rubrik Catatan Pinggir, MBM TEMPO
**) Septiawan Santana Kurnia adalah penyair dan dosen jurnalistik di FIKOM, UNISBA