Monday, September 21, 2009

PENGALAMAN SYUKUR SI KUSTA
Oleh: Valery Kopong*

Kehidupan orang-orang kusta adalah kehidupan yang jauh dari sentuhan masyarakat. Eksistensi mereka terdepak dari pergaulan umum karena penyakit kusta yang menyelimuti diri mereka. Mereka lalu memahami diri sebagai kaum buangan dan masyarakat menilai mereka sebagai manusia yang terkutuk. Stigma ini sepertinya melembaga dalam masyarakat dan setiap orang yang terkena penyakit berbahaya ini menjadi ancaman bagi yang lain dan karenanya perlu ada upaya penyingkiran diri mereka, jauh di luar kehidupan umum. Mereka terpaksa mengalienasi diri sambil menunggu mati secara perlahan. Terhadap persoalan yang dihadapi ini, memunculkan sebuah pertanyaan sederhana. Masih mungkinkah seorang kusta yang tersembuhkan dapat bergabung kembali dalam kehidupan umum?
Peristiwa penyembuhan kesepuluh orang kusta seperti yang terkisah dalam Lukas 17:11-19, menjadi titik awal bagi mereka dalam merombak pola pandang masyarakat terhadap penyakit yang dianggap kutukan tersebut. Dekonstruksi pemahaman ini dibarengi dengan pentahiran diri mereka oleh Yesus. Yesus, sang Tabib sejati secara revolusioner menyembuhkan diri mereka dengan kuasa Allah. Peristiwa pentahiran ini memberikan pemahaman kepada kesepuluh orang kusta akan arti kehadiran Yesus. Kehadiran Yesus menjadikan diri mereka menjadi bernilai dan sekaligus membangun kesadaran baru tentang “bagaimana membuat orang lain menjadi penting” di mata masyarakat.
Setelah melewati penderitaan yang panjang, orang-orang kusta pada akhirnya menemukan titik cerah ketika berhadapan dengan Yesus. Peristiwa yang menggembirakan ini menjadikan alasan utama untuk bergembira setelah menemukan “sebuah permata” tubuh yang tertahirkan. Tetapi mengapa hanya satu orang saja yang bersujud syukur kepada Tuhan? Di manakah kesembilan yang lain yang juga tersembuhkan?
Allah dalam pelawatan-Nya terhadap orang-orang yang tersisihkan, berani memasuki dunia mereka bahkan mengambil titik lemah mereka sebagai bentuk kekuatan dalam mematahkan pola pandang masyarakat. Seorang kusta yang kembali bersyukur menunjukkan bahwa ia menyadari betapa Allah, lewat putera-Nya telah mentahirkan dirinya dan tidak ada alasan lain baginya untuk menengadahkan rasa syukurnya. Sedangkan kesembilan yang lain, yang umumnya dinilai sebagai orang-orang yang tidak tahu berterima kasih, tetapi justeru di sini, secara implisit diperalat oleh Allah untuk menunjukkan diri mereka kepada imam-imam. Mengapa mereka harus menunjukkan diri kepada imam-imam dan bukan kepada orang lain yang tidak memiliki kedudukan penting dalam masyarakat?
Imam-imam adalah mereka yang memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam masyarakat. Mereka juga turut berperan dalam menentukan, apakah seseorang yang pernah terkena kusta dan tersembuhkan dapat diterima kembali dalam pergaulan umum atau tidak. Dengan menunjukkan diri kepada imam-imam, secara implisit mereka mewartakan tentang Yesus yang menjadi utusan Allah yang datang ke dunia untuk menyelamatkan seluruh umat manusia. Dalam pola pikir orang-orang kusta terutama kesepuluh orang yang disembuhkan, keselamatan sudah dan sedang terjadi dalam diri mereka. Allah datang mentahirkan diri sekaligus memulihkan kehidupan mereka kembali setelah sekian lama berada dalam penderitaan. Di sini, Allah mau bersolider, terlibat dengan pergumulan hidup mereka sendiri.
Bersyukur a la orang-orang kusta adalah bersyukur setelah melewati sebuah perjuangan yang panjang. Dalam proses perjuangan yang panjang itu, menempatkan kehidupan mereka ke dalam garis ketidakpastian. Ada beban psikologis dan fisik menjadi tanggungan pribadi. Derita yang mereka alami adalah derita kolektif sekaligus memperlihatkan jeritan “perlawanan dalam diam” saat kehidupan mereka tergusur dari pergaulan umum. Keluhan yang dipertunjukkan adalah keluhan kritis dari mereka yang menderita dengan mulut yang membungkam.
Di tengah masyarakat Indonesia yang plural, kehidupan masyarakat (kaum minoritas) merasa diri selalu tersisihkan karena label “katolik”. Menjadi pengikut Kristus berarti bersedia menjadi “manusia kusta” yang terdepak dari pola pikir dan tindakan dari mereka yang menamakan diri sebagai mayoritas. Salahkah aku bila dilahirkan sebagai orang katolik? Menjadi katolik berarti bersedia untuk membuka diri bagi yang lain. Dan dalam keterbukaan itu, seperti kita (orang katolik) menjadi “keranjang sampah” yang siap menerima dan menampung segala resiko, baik positif maupun negatif. Menjadi pengikut Kristus dan katolik memperlihatkan sebuah keterlibatan yang tak pernah mencapai titik akhir. Tetapi dalam perjuangan mempertahankan iman akan Yesus, kita siap dialienasi, dikucilkan dan semakin kita dikucilkan, kita semakin berarti dan nama Kristus sedang dimuliakan.***
J A N J I

Oleh: Valery Kopong*

“Di sebuah paroki di Wina, Austria, terjadi sebuah peristiwa yang membahagiakan tetapi mengundang keanehan. Satu pasangan suami-isteri meresmikan pernikahannya secara gerejani tepat pada saat mereka merayakan HUT ke 25 pernikahan mereka secara sipil. Putra tunggal mereka berusia 23 tahun. Peristiwa ini menunjukkan bahwa bagi sementara orang membuat sebuah keputusan untuk mengikatkan diri secara abadi pada sesuatu, dengan seseorang tidaklah mudah.”
Model pernikahan di atas menunjukkan sebuah penyelaman secara mendalam akan sebuah kedalaman hati bagi pasangan masing-masing. Dalam rentang waktu 25 tahun hidup di bawah naungan perkawinan sipil, tentu mereka melakukan sebuah refleksi panjang dan mendalam tentang nilai-nilai perkawinan apa yang mau dipersembahkan mereka untuk Tuhan. Bahwa janji untuk hidup semati, setia dalam untung dan malang, merupakan sebuah penggalan hidup yang telah mereka lakoni, sebelum janji itu diikrarkan di altar suci. Bagi mereka, pengalaman suka-duka dalam hidup menjadi landasan baku dan menjadi alasan untuk bergembira dan sebuah kado terindah yang dipersembahkan untuk Tuhan dalam ikrar perkawinan sakramental. Terhadap pasangan yang mengikrarkan janji pada 25 tahun usia perkawinan sipil, memberikan sebuah nokta pertanyaan, apa artinya sebuah janji?
Mengikrar sebuah janji yang membawa sebuah konsekuensi, mengantar kita yang telah dan sedang dalam proses berkeluarga untuk memahami secara bernas akan nilai dan esensi janji itu. Janji tidak hanya menjadi sebuah permainan yang mengasyikan karena hal ini akan mengundang bahaya bahwa penghayatan orang akan janji menjadi kabur makna dan pada akhirnya janji yang merupakan daya ikat tetapi ternyata membawa daya pisah. Dalam drama tragedinya Hamlet, Pangerang Denmark bertanya: Apa artinya sebuah janji? Apa artinya sebuah janji yang pernah diucapkan oleh ibunya kepada ayahnya untuk tidak akan menikah lagi kalau ayah, sang raja itu meninggal? Pertanyaan mendasar ini mengatakan kepada publik bahwa mahalnya sebuah janji dan perlu adanya cara dalam mempertahankannya. Janji berperan sebagai roh yang sanggup menggerak seluruh kesadaran bagi pasangan yang mengikrar janji untuk memahami eksistensi makna dari apa yang diucapkan di sepanjang perjalanan hidup. Apakah nilai sebuah janji terutama perkawinan akan berakhir tatkala salah satu pasangan itu meninggal dunia? Peristiwa meninggalnya salah satu pasangan suami-isteri tidak menjadi alasan dalam pembatalan sebuah esensi janji tersebut. Max Scheller, etikawan Jerman pernah mengatakan bahwa ketika kita mengatakan cinta kepada orang lain, sama halnya dengan mengatakan cinta itu tak akan pernah mati. Di sini, Scheller seakan memburai pemahaman kita akan janji yang sekian banyak ternoda oleh pola tingkah laku yang secara tidak langsung memberikan nokta hitam pada apa yang dijanjikan. Ia (Scheller) dengan gagasan sederhana di atas, menawarkan rasa sanggup kita untuk coba memahami nilai rasa sebuah janji.
Seorang sahabat saya pernah bercerita bahwa suatu ketika isterinya menyadari diri sebagai orang yang tak berarti lagi di hadapan suami dan anaknya karena telah melakukan perselingkuhan. Dia mengatakan, “Pak, aku tidak berarti lagi, aku bagai sampah. Aku tidak layak lagi disebut sebagai isteri.” Dengan santun, suaminya yang dikenal sabar mengatakan bahwa, tidak apa-apa, ibu masih berharga di mata saya. Sampah bisa didaur ulang menjadi pupuk kompos. Ibu akan didaur ulang untuk menjadi manusia yang baik dan berharga di mata semua orang. Aku terkesima mendengar apa yang dikatakan oleh sahabatku terhadap isterinya. Bahwa karena cinta dan janji suci, apa pun bentuk kesalahan yang dilakukan isterinya dimaafkan secara terbuka sambil menata kehidupan ke depan secara lebih baik. Mungkinkah kita sanggup menempatkan diri sebagai seorang pendaur ulang terhadap kehidupan salah satu pasangan yang barangkali pola tingkah lakunya tidak sesuai jalur yang benar?
Dalam konteks perkawinan katolik yang sifatnya monogam, setidaknya diberi pemahaman secara baru yang dilakukan secara terus-menerus agar para pengucap janji menyadari diri dalam mempertanggung-jawabkan janji itu secara baik. Persoalan-persoalan tentang perkawinan katolik semakin marak terjadi saat ini. Ketika salah satu pasangan melakukan sedikit kesalahan maka hal tersebut membawa dampak yang tidak baik bahkan berujung pada perpisahan (kalau tidak disebut sebagai perceraian). Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dapat mendatangkan kelanggengan dalam berumah tangga, pertama, perlu adanya pemahaman secara baik tentang nilai dan esensi sebuah perkawinan katolik. Pemahaman ini harus di tata secara beruntun sehingga setiap pasangan tetap menyadari hal tersebut. Kedua, berani menerima pasangannya apabila pasangan tersebut melakukan kesalahan dan ada keberanian dalam menolak sebuah perceraian.
Dalam wilayah YBHK, ada beberapa kasus yang dapat dikatakan sebagai perceraian terselubung, di mana pasangan tersebut hidup terpisah. Bahkan ada yang berani menikah lagi tetapi dilegalkan di luar gereja katolik. Persoalan ini merupakan keprihatinan bersama yang mungkin juga perlu disikapi oleh pihak yayasan. YBHK bukan lembaga religius tetapi dapat memberikan kontribusi terutama daya dorong agar pasangan-pasangan yang tercerai dapat dihimpun kembali. Saya juga mendengar bahwa dalam PUY yang baru direvisi, salah satu point juga berbicara tentang permasalahan perkawinan ini. Hal ini dapat dilihat sebagai bagian dari keterlibatan YBHK dalam menekan angka perceraian yang sedang menghantui pasangan-pasangan yang barangkali masih mencari identitas diri dan keluarga.
Andaikata model perkawinan di Wina, Austria diterapkan di Indonesia, maka apa yang terjadi? Dapatkah orang bertahan di usia 25 tahun dalam perkawinan sipil dan di usia yang sama itu mereka mengikrarkan janji untuk sebuah perkawinan sakramental? Jawabannya adalah mungkin tetapi ingatlah bahwa “apa yang disatukan oleh Allah, tidak dapat diceraikan oleh manusia.” Kemiskinan yang terburuk, demikian Muder Teresa adalah kesepian dan merasa tidak dicintai lagi***
ASA BOCAH KARDUS
Oleh: Lucee Octavia
Seorang anak berlari keluar kelas dengan gembiranya menuju lapangan, diikuti dengan teman-temannya yang lain. Mereka melompat kegirangan, saling tertawa, saling bersalaman, hingga ada juga yang saling berpelukan. Mereka semua larut dalam kegembiraannya setelah mendapat pengumuman bahwa mereka semua dinyatakan LULUS.
Dito, salah satu dari mereka, begitu terharunya. Bagaimana tidak? Dito yang berasal dari keluarga yang teramat sederhana, dibesarkan dalam ruang lingkup perkampungan pemulung, dengan kehidupan yang “keras” dimana ia sempat putus asa karena keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi harus terhenti karena keadaan ekonomi keluarganya yang tidak memungkinkan. Kini ia telah berhasil lulus SMK, dengan hasil yang cukup memuaskan. Di usianya yang kini telah menginjak 20 tahun, bisa dibilang telat untuk lulus dari jenjang sekolah menengah lanjutan atas, namun Dito, yang awalnya sempat putus asa, kini dapat tersenyum bahagia, berkat “SEKOLAH GRATIS”.
Selepas pulang sekolah, masih dengan suasana hati yang gembira karena telah lulus sekolah, ditengah jalan ketika hendak mnuju ke rumahnya, ia diingatkan pada sebuah kisah kelam masa lalunya. Pada saat itu, di perempatan jalan, ia melihat sesosok anak kecil yang sedang mengorek-ngorek tempat sampah, seperti sedang mencari barang bekas yang sekiranya masih dapat berguna & bisa dijual kembali atau di loak-an. Sejenak ia termenung, terpaku dalam lamunannya setelah menatap sosok anak kecil tersebut. Kejadian itu kontan membawanya pada keadaan 5 tahun yang lalu. Saat itu, setelah tamat SMP, keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi harus terhenti. Hal ini dikarenakan oleh permasalahan ekonomi yang dihadapi keluarganya. Orang tuanya tidak sanggup lagi membiayai sekolah Dito. Bahkan adiknya, Dian, terpaksa harus putus sekolah 1 bulan sebelum mengikuti ujian akhir sekolah untuk SD, pada saat itu Dian duduk di kelas 6 SD. Orang tuanya tak mampu membiayai ujian adiknya, maka dengan terpaksa, Dian tidak mengikuti ujian akhir SD & tidak melanjutkan sekolahnya lagi. Ditto & Dian pun akhirnya membantu kedua orangtuanya mencari nafkah. Dito menjadi pemulung yang berkeliling dari komplek perumahan hingga kampong ke kampong, sedangkan Dian membantu Dito memilah barang-barang hasil dari Dito memulung seperti kardus, botol aqua, gelas aqua dan sebagainya, untuk kemudian dijual ke tukang loak. Dari cara seperti itulah mereka mendapatkan uang untuk biaya kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Suatu ketika, pada saat memulung di tempat di komplek perumahan, ditto bertemu dengan seorang perempuan yang bernama Irene. Irene ini adalah seorang mahasiswi jurusan psikologi di salah satu universitas ternama di Indonesia. Irene juga seorang aktifis sosial, yang tergabung dalam lembaga sosial yang peduli terhadap pentingnya sebuah pendidikan bagi anak-anak generasi penerus bangsa. Irene pun tak sungkan ataupun malu menyapa Dito. Dito pun membalasnya dengan hangat. Mereka saling berbincang. Tak terasa sudah jam 12.00 siang. Irene pun menawarkan Dito untuk makan siang bersama di rumahnya yang kebetulan tak jauh dari tempat mereka berjumpa. Dito yang awalnya malu & merasa minder, akhirnya menerima tawaran Irene untuk makan siang bersama. Tak lama berselang, sesampainya di rumah Irene, mereka langsung menuju ke ruang makan, kebetulan pembantu Irene telah menyiapkan makan siang untuk keluarga Irene seperti biasa. Lalu mereka pun makan bersama. Setelah makan, masih di ruang makan, mereka kembali berbincang-bincang, mulai dari keadaan Dito & adiknya yang tidak melanjutkan sekolah lagi hingga keadaan lingkungan tempat tinggal Dito. Dito juga bercerita bahwa di daerah tempat tinggalnya, ada beberapa teman-temannya yang juga tidak dapat melanjutkan sekolahnya, namun mereka pada dasarnya sangat ingin sekali menimba ilmu. Di daerah tempat tinggalnya juga terdapat preman yang terkadang suka meminta sebagian dari uang hasil jerih payah anak-anak, baik itu dari hasil mengamen, meng-iba, hingga hasil dari penjualan barang bekas hasil memulung. Bila mereka tidak memberikan setoran kepada preman-preman tersebut, mereka akan terus diganggu oleh preman tersebut.
Betapa kerasnya kehidupan yang dijalani oleh anak-anak tersebut. Tak terasa, cukup lama mereka berbincang, dari seluruh pembicaraan mereka berdua, Irene melihat adanya keinginan dan kerinduan dari anak-anak seperti Dito & Dia untuk menuntut ilmu demi meraih secercah harapan di masa depan untuk menjadi lebih baik lagi dalam segala hal.
Waktu menunjukkan pukul 15.00, Dito menyadari bahwa dirinya telah terlalu lama meninggalkan Dian yang telah menunggu hasil memulungnya untuk dipilah-pilah. Dito pun berpamitan pada Irene. Tak tega melihat Dito pulang sendirian, Irene pun menawarkan diri untuk mengantar Dito sampai ke tempat tujuannya.

Sesampainya di daerah rumah Dito yang berada di pemukiman pemulung, Dito pun disambut oleh adiknya, Irene pun dikenalkan Dito kepada Dian. Di tempat itu, terdapat beberapa anak yang sedang mengumpulkan barang-barang bekas hasil dari mereka memulung, lalu ada juga yang sedang duduk-duduk berkelompok dengan peralatan bermusiknya nampak sedang menghitung uang hasil dari mengamennya. Pemandangan seperti itu sudah biasa terjadi dalam keseharian mereka. Hari sudah larut sore menjelang petang, setelah melihat-lihat keadaan sekitarnya dan bertegur sapa dengan masyarakat sekitar, Irene pun berpamitan kepada Dito & keluarganya, dan juga dengan anak-anak sekitarnya.
Sesampainya di rumah, Irene menelpon Iwan. Iwan merupakan teman Irene, mereka sama-sama berkecimpung dalam sebuah lembaga sosial yang peduli terhadap pentingnya pendidikan. Irene menceritakan secara garis besar tentang apa yang baru saja dilihatnya. Kemudian Irene mengajak Iwan untuk bertemu di rumahnya untuk membicarakan hal tersebut lebih lanjut, Iwan pun bersedia menyanggupinya. Keesokan harinya, Iwan berkunjung ke rumah Irene. Lalu mereka pun saling berbincang mengenai hal-hal apa saja yang sekiranya dapat memberikan manfaat bagi anak-anak pemulung & anak-anak jalanan tersebut. Setelah sekian lama berbincang, akhirnya mereka pun sepakat untuk memberikan bantuan kepada anak-anak tersebut dalam bentuk pendidikan. Kebetulan Irene dan Iwan juga sudah berpengalaman dalam hal seperti ini, walaupun pada awalnya mereka sempat meragukan dengan keberadaan mereka di tempat itu nantinya, apakah masyarakat sekitarnya menerima mereka atau tidak. Namun kecintaan serta kepedulian Irene & Iwan terhadap pendidikan anak bangsa, membuat mereka tetap maju terus pantang mundur dalam menjalankan hal tersebut.
Esok harinya, Irene mengajak Iwan untuk mengunjungi lokasi pemukiman pemulung, tempat dimana Dito, Dian, dan anak-anak lainnya tinggal. Kemudian setibanya mereka disana, Iren dan Iwan mendapati Dito, Dian dan beberapa anak lainnya sedang melakukan aktifitas seperti biasannya, memilah barang bekas, mengunpulkan kardus-kardus bekas, hingga mengumpulkan hasil jerih payah mereka dari mengamen. Irene dan Iwan saling berkenalan kepada anak-anak itu, mereka saling bertegur sapa. Setelah saling berbincang, Irene dan Iwan melanjutkannya dengan melihat-lihat keadaan lingkungan sekitar dengan ditemani oleh Dito. Dito mengajak Irene dan Iwan untuk bertamu ke rumah pak RT setempat. Kedatangan Irene dan Iwan ke lokasi tersebut, disambut dengan baik oleh pak RT. Setelah berbincang-bincang cukup lama, dan mengutarakan maksud dan tujuannya ke tempat tersebut, mereka pun berpamitan pulang. Dari hasil pertemuan itu, nampaknya menemui hambatan walaupun pada awalnya kedatangan mereka disambut dengan baik. Namun, sepertinya Irene dan Iwan berniat melanjutkan niatnya utnuk membantu Dito dan kawan-kawannya.
Hari berganti hari, Irene dan Iwan kembali menyambangi anak-anak tersebut, mereka kembali bertemu dengan Dito dan Dian. Secara bertahap Irene dan Iwan memberikan sedikit pengajaran ketrampilan kepada Dito dan Dian tersebut. Dengan berbekal ijin dari seorang pak Haji yang bersedia meminjamkan tempat untuk sarana belajar anak-anak tersebut. Seiring berjalannya waktu, kedatangan Irene dan Iwan yang bertujuan ingin memberikan tambahan ilmu pengetahuan kepada anak-anak di daerah tersebut, ternyata mendapatkan sedikit pertentangan dari beberapa pihak, terutama dari preman-preman sekitar. Hal ini disebabkan karena preman-preman sekitar tidak suka dengan hal-hal yang dapat membuat anak-anak tersebut menjadi pintar, karena secara tak langsung mereka takut nantinya dengan semakin pintarnya anak-anak di daerah tersebut, anak-anak mengurangi jatah setoran bahkan tidak memberikan sama sekali jatah setoran kepada preman-preman tersebut. Namun Irene dan Iwan tetap melanjutkan kegiatannya bersama anak-anak seperti biasanya. Seperti biasa, hari-hari bocah-bocah kardus tersebut diisi dengan kegiatan seperti memulung dan mengamen, ada juga yang bersekolah, namun selepas pulang sekolah, mereka kembali melanjutkan kegiatan sehari-hari mereka dalam membantui orangtua mereka mencari nafkah. Bagi yang tidak bersekolah, seperti Dito & Dian, mereka belajar bersama-sama dengan Irene dan Iwan di pendopo, bocah-bocah tersebut menamakan kumpulan mereka ini dengan sebutan SIGA (SINAR INSPIRASI GENERASI ANAK MUDA). Namun bila ketika saat belajar bersama ada yang ijin untuk bekerja membantu orangtuanya tidak apa-apa.
Seiring berjalannya waktu, dengan kehadiran Irene & Iwan di tempat itu, sedikit demi sedikit memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan pendidikan Dito dan kawan-kawannya. Bagi mereka yang mengamen di lampu merah, yang tadinya kesenggangan mereka menunggu lampu merah nyala diisi dengan bersenda gurau, bercanada tawa, merokok, atau duduk-duduk di pinggir jalan, kini mereka mengisi waktu luang mereka menunggu lampu merah nyala dengan membaca buku yang mereka bawa, mulai dari membaca komik, hingga membaca buku-buku yang ada kaitannya dengan pendidikan. Banyak perubahan positif yang terjadi dalam keseharian anak-anak tersebut.
Pada suatu ketika, saat Irene dan Iwan sedang mengajari SIGA pelajaran bahasa Inggris, datang 2 orang preman daerah tersebut yang mana anak-anak SIGA suka memberikan setoran kepada mereka. Preman-preman tersebut tidak senang anak-anak ini menjadi pintar. Preman tersebut juga marah karena sudah 3 hari anak-anak tidak memberikan setoran kepada mereka. Preman-preman tersebut mengancam akan mengacaukan kegiatan mereka bila mereka terus melanjutkan kegiatan mereka tersebut.
Hari-hari pun berlalu, seiring dengan terus berjalannya kegiatan SIGA bersama Irene & Iwan, semakin sering pulalah mereka mendapatkan ancaman-ancaman dari preman-preman tersebut. Hingga sampai akhirnya Irene dan Iwan berniat menyudahi kegiatan mereka bersama anak-anak SIGA di daerah tersebut. Namun Dito & Dian yang merasakan banyak manfaat yang ia dan teman-temannya dapat dari kegiatan tersebut, tidak tinggal diam, mereka meminta kepada Kak Irene dan kak Iwan untuk mengurungkan niatnya untuk menyudahi kegiatan tersebut. Namun Irene & Iwan tetap ingin menyudahi kegiatan tersebut, karena Irene & Iwan tidak ingin anak-anak tersebut mendapatkan masalah yang lebih besar lagi apabila kegiatan mereka dilanjutkan. Dito, Dian, dan anak-anak SIGA yang lainnya pun tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menahannya. Dito cukup terpukul dengan kejadian ini, harapannya untuk dapat terus belajar, kini harus pupus. Dian dan kawan-kawannya yang turut merasakan kesedihan Dito, mencoba menghiburnya.
Semenjak kepergian kak Irene & kak Iwan dari tempat itu, kini tak ada lagi yang menemani & mengajari anak-anak SIGA untuk belajar & berbagi pengetahuan. Keseharian mereka kini kembali lagi pada saat-saat dimana belum ada Irene dan Iwan, kini semua kembali lagi seperti semula. Keputus-asa-an, kegelisahan, kegundahan, kini mulai kembali menghinggapi diri Dito. Asanya untuk meraih sebuah masa depan yang cerah, kini harus terhenti lagi karena situasi dan kondisi yang lagi-lagi memaksanya untuk mengurungkan niatnya untuk mendapatkan sebuah ilmu pengetahuan. Kini ia tak tahu lagi apa yang harus ia perbuat untuk mewujudkan kembali mimpi dan cita-citanya yang tertunda.
Tetapi Dito beruntung karena memiliki seorang adik yang mampu memberinya semangat. Walaupun berada di dalam keputus-asaannya, Dian yang masih berusia 12 tahun, tetap tegar dalam menghadapi semua cobaan hidup yang ia alami. Justru Dian yang mencoba memberikan semangat kepada kakaknya, Dito, untuk tidak patah semangat dalam mengejar cita-citanya. Nampaknya Dito kesal mendengar perkataan demi perkataan adiknya, Dito merasa bahwa Tuhan tidak adil terhadap orang-orang seperti dirinya. Hari-hari Dito kini hanya terisi dengan kehampaan dan keputusasaannya. Hidupnya tak menentu, Dito mulai menjadi seorang perokok. Bahkan diam-diam, dirinya kini sudah mulai mengenal minuman keras, karena ia sekarang menjadi dekat dengan preman-preman di tempat tinggalnya. Setiap malam, waktunya hanya ia habiskan untuk berkumpul bersama dengan preman-preman tersebut, merokok dan bermabuk-mabukan. Perkataan-perkataan dan nasehat orangtuanya kini tak lagi ia dengar. Yang ia butuhkan saat ini adalah orang-orang yang dapat membantunya melupakan sejenak segala kepahitan hidup yang sedang ia alami.
Suatu ketika, di malam minggu, waktu menunjukkan pukul 23.30, Dito belum juga kembali ke rumah, Dian serta orangtuanya sangat khawatir dengan keadaan Dito. Mereka takut sesuatu yang lebih buruk menimpa Dito. Kemudian orangtuanya dan adiknya, sepakat untuk mencari Dito. Ketiganya berpencar mencari Dito di kesunyian malam. Mulai dari jalan setapak yang tak bertuan, hingga lorong-lorong sempit telah mereka sambangi, namun tak jua menemukan hasilnya. Hingga pada akhirnya, Dian tiba pada sebuah gang sempit, disana ia mendengar suara aduh dari beberapa orang. Dian mencoba untuk berjalan lebih mendekat lagi pada tempat dimana suara itu berasal. Betapa terkejutnya Dian ketika melihat kakaknya, Dito, bersama dengan para preman melakukan pesta minuman keras dan bermabuk-mabukan. Nampaknya Dito menemukan dunia yang baru bersama para preman-preman tersebut. Betapa sedihnya hati Dian mendapati kakaknya sedang dalam pengaruh rokok dan alkohol. Dian mengajak kakaknya untuk pulang, namun Dito tetap bersikeras untuk bertahan di tempat itu. Bermacam cara dan bujuk rayu Dian juga tak membuahkan hasil. Sampai akhirnya, salah seorang preman yang ada disitu memarahi Dian dan mengusirnya dari tempat itu. Tapi Dian tetap tak mau pergi, sambil menangis, ia terus mengajak kakaknya untuk pulang ke rumah. Namun usahanya sia-sia, ia malah mendapatkan perlakuan kasar dari preman-preman tersebut, hingga akhirnya Dian pulang ke rumah dengan kondisi yang teraniaya.
Keesokan paginya, Dito pulang ke rumah mendapati adiknya duduk di kursi dengan luka di lutunya serta wajah yang tampak lebam seperti bekas pukulan, sambil memegangi tangannya yang sakit akibat terkilir, terjatuh karena perlakuan kasar dari para preman-preman tersebut. Kini aktifitas Dian dalam keseharian menjadi terganggu akibat hal tersebut, untuk sementara waktu ia tak dapat membantu orangtuanya. Kedua orantuanya sangat sedih melihat keadaan Dito & Dian sekarang. Dito hanya terdiam melihat hal itu. Ia menghampiri adiknya tercinta memeluknya sambil menangis. Betapa emosi & terharunya Dito. Ia tidak terima melihat adiknya menderita seperti itu..
Dengan emosi, ia bergegas pergi untuk menghampiri para preman tersebut, untuk meminta pertanggungjawaban perbuatan mereka terhadap adiknya. Namun, perasaan emosinya, kesal, kekecewaannya terhadap para preman itu nampaknya harus ia simpan dulu dalam-dalam karena para preman tersebut telah lebih dulu ditangkap polisi ketika Dito pulang ke rumahnya. Beruntung dia bisa pulang lebih dulu ke rumahnya, kalau tidak, mungkin dia juga sudah ikut ditangkap polisi. Dito pun pulang ke rumahnya lagi. Sepanjang jalan pulang menuju rumahnya, ia menyesali sikapnya selama ini, ternyata adiknya benar. Ia tidak boleh terus-menerus putus asa dan patah semangat. Sesampainya di rumah, Dito merangkul adiknya. Dito pun akhirnya memetuskan untuk mengikuti anjuran adiknya, untuk mencari Kak Irene dan mengajaknya kembali lagi untuk mengajari dan membimbing anak-anak SIGA belajar lagi.
Keesokan harinya, Dito berpamitan pada kedua orangtuanya untuk mencari irene dan Iwan. Setelah sampai di rumah Irene, Dito pun menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah sekian lama berbincang, akhirnya Irene pun yang semula ragu untuk mengajar dan membantu Dito dan kawan-kawannya, menyetujui untuk kembali mengajar anak-anak SIGA. Irene pun akhirnya menghubungi Iwan, dan setelah melalui perbincangan yang alot, Iwan pun bersedia menemani Irene untuk mengajar kembali.
Dua hari kemudian Irene dan Iwan datang mengunjungi perkampungan pemulung. Mereka berdua mendapati beberapa “bocah kardus” sedang melakukan aktifitasnya sehari-hari. Mereka berdua juga mendapati Dito dan adiknya yang sedang memilih-milah barang bekas. Kedatangan mereka berdua ternyata mendapat sambutan yang cukup baik dari “bocah-bocah kardus”.
Hari demi hari, kegiatan anak-anak SIGA pun semakin bertambah banyak. Mulai dari belajar bahasa asing seperti bahasa Inggris sampai belajar bagaimana membuat sebuah karya seni. Dito dan Dian merupakan contoh dari beberapa “bocah kardus” yang paling menonjol prestasinya di hampir setiap pelajaran. Sampai akhirnya pada suatu saat Irene dan Iwan yang memahami keadaan Dito dan Dian, mencoba memberikan sebuah rekomendasi kepada Dito dan Dian untuk melanjutkan sekolah lagi.
Setelah melalui beberapa proses yang panjang, termasuk ujian penyaringan masuk sekolah, akhirnya Dito, Dian & beberapa bocah kardus lainnya yang memiliki prestasi bagus, mendapat kesempatan untuk melanjutkan kembali sekolahnya. Sebab hasil-hasil test mereka tidak kalah bagusnya dengan anak-anak lainnya yang berasal dari keluarga menengah ke atas. Para orangtua dari “bocah-bocah kardus” pun merasa senang dengan keadaan anak-anaknya sekarang.. Terlebih orangtua dari Dito dan Dian.
Hari demi hari pun berlalu, tak terasa 3 tahun pun lewatlah sudah. Selama di sekolah, Dito dan Dian cukup berprestasi. Bahkan mereka terbilang anak yang pintar, karena di sekolahnya masing-masing mereka selalu mendapat peringkat 3 besar. Bahkan karena prestasinya tersebut, mereka mendapatkan BEA SISWA dari sekolahnya masing-masing selama mereka bersekolah di tempat itu. Hingga sampai akhirnya Dito dan Dian pun lulus dengan nilai-nailai yang sangat memuaskan. Dian mendapatkan BEA SISWA masuk sekolah SMP dan Dito mendapatkan BEA SISWA untuk melanjutkan pencarian ilmunya ke jenjang yang lebih tinggi. Disamping itu, karena Dito memiliki bakat di bidang otomotif, ia mendapat tawaran bekerja dari salah satu temannya yang orangtuanya memiliki usaha bengkel. Dito pun menerima tawaran tersebut, paling tidak, sambil mengisi waktu luangnya saat kuliah off ia dapat membantu orangtuanya mencari nafkah.

Sunday, August 30, 2009

“MENCURIGAI KEBENARAN”

Oleh: Valery Kopong*

Ketika ledakan Bom bunuh diri membombardir sebuah kehidupan yang mapan, ada segumpal emosi mengental di langit kebencian, sebuah tanda protes atas peristiwa keji itu. Ada gumpalan daging manusia berhambur, ada jerit tangis bagi mereka yang “tertunda kematiannya” dan hanya menderita luka parah. Situasi yang parah ini tidak juga mengundang empati dari kelompok teroris, yang ada dalam diri mereka adalah pesta pora dalam euforia keji. Mengapa dalam kondisi seperti itu para teroris masih mengulum senyum? Apakah senyum yang terumbar adalah senyum yang menyapa ramah atau senyum sinis?
Siapa yang paling dicari oleh pihak kepolisian selama ini? Jawabannya adalah kelompok teroris. Mereka telah terlibat dalam sebuah “jaringan maut” internasional dan menempah mereka menjadi pribadi yang militan, siap membunuh diri dan orang lain. Apa yang mendasari nyali hidup mereka sehingga pada akhirnya memutuskan diri untuk melakukan aksi radikal? Persoalan mendasar terletak pada pemformatan diri mereka dengan ideologi militan yang sedikit dibalut dengan nuansa religius. Janji sorga menjadi tujuan terakhir sangat menghipnotis kehidupannya. Mereka adalah “pengantin” yang siap menempati pelaminan sorga bila berhasil membunuh diri dan orang lain. Pelaminan, the romantic room, menjadi tempat perhelatan akbar setelah melalui perjuangan hidup yang menegangkan. Bagi mereka, perjuangan menuju kematian, barangkali tersulut oleh tasawufnya Martin Heidegger, “zein zum tode, hidup manusia mengarah pada suatu kematian.
Tetapi kehidupan manusia yang mengarah pada suatu kematian seperti yang digagaskan oleh Heidegger, adalah kehidupan yang dijalani secara alamiah, termasuk kematian menjadi tanggung jawab yang Ilahi. Manusia, dalam pemikiran yang jernih, selalu menempatkan Allah sebagai penyelenggara hidup ini. Itu berarti bahwa baik kehidupan maupun kematian selalu berada dalam genggaman-Nya. Apakah kematian yang dipaksa juga merupakan intervensi Allah sendiri? Bagi kelompok teroris, apa yang salah terutama tindakan bunuh diri diyakini sebagai sesuatu yang benar dan mereka yakin bahwa Allah akan menjemput dia yang bunuh diri untuk masuk dalam pelaminan sorgawi.
Arah berpikir yang menegasi kehidupan normatif yang diagungkan oleh kelompok militan ini perlu adanya upaya untuk mengembalikan ke kondisi semula. Ideologi yang dianut oleh kaum teroris harus didekonstruksi supaya ada kemungkinan terjadinya penataan kembali ideologi baru yang lebih humanis, yang lebih menyentuh dasar kemanusiaan manusia. Di sini, dalam upaya dekonstruksi ideologi militan dan konstruksi ideologi humanis, perlu melibatkan kaum agamawan yang moderat dan tahu tentang nilai-nilai keagamaan secara mendalam. Agama dilihat sebagai instrumen penting dalam mengembalikan kehidupan manusia ke arah yang baik. Terapi kehidupan melalui denyut agama sangat penting untuk mengembalikan sebuah arah kehidupan yang telah hilang.
Peranan pemerintah selama proses perburuan kaum teroris, hanyalah upaya dalam melenyapkan aksi terorisme dan tindakan kekerasan. Tentang kekerasan, Dom Helder Camara pernah mengungkapkan bahwa pada dasarnya spiral kekerasan terdiri atas tiga tingkatan. Tingkat pertama, ketidakadilan atau biasa disebut kekerasan struktural. Pada tingkat ini kemungkinan-kemungkinan manusiawi ditekan secara institusional, kecuali bagi mereka yang berkuasa, baik secara politik, sosial maupun ekonomi. Tingkat kedua, pemberontakan. Ketidakadilan yang diciptakan minoritas elite menyebabkan munculnya orang atau kelompok yang merasa tidak puas. Dengan kekerasan atau kekuatan senjata mereka berjuang menegakkan dunia yang lebih adil. Tingkat ketiga, represi. Demi stabilitas umum, pihak otoritas menggunakan kekuatan militer untuk menekan atau membasmi pemberontakan. Tekanan ini dilakukan baik secara fisik maupun mental.
Uraian tingkatan kekerasan di atas membantu kita untuk lebih jauh memahami napak tilas perjalanan hidup kelompok teroris. Seluruh aksi yang diperlihatkan tidak muncul secara spontan tetapi ada situasi yang tidak manusiawi mendorong mereka untuk melakukan sebuah pemberontakan. Sasaran dari aksi ini lebih condong ke Amerika dan negara-negara barat yang dinilai selalu menggenggam negara-negara dunia ketiga dengan kebijakan ekonomi. Tidak hanya ini tetapi para pemimpin dari negara lain yang pro akan kebijakan barat maka akan menjadi sasaran aksi para teroris.
Menghadapi kenyataan ini maka perlu adanya upaya dalam memulihkan situasi ini terutama dalam memandang dunia barat, tidak sebagai rival yang perlu dihanguskan tetapi sebagai sasaran kita dalam mencontohi keberhasilan mereka. Tetapi tetap menjadi persoalan di sini, bersediakah kelompok islam militan untuk membuka diri dan ada bersama yang lain terutama masyarakat barat?
Kaum teroris sepertinya sedang “menjinakkan kematian.” Mereka lebih memuliakan dan mempercepat kematian daripada menyembah dan menghargai kehidupan. Ini menunjukkan sebuah generasi salah arah dan hal ini akan berpengaruh kuat terhadap generasi muda Indonesia. Di tengah gelora romantik Agustusan untuk memperingati hari kemerdekaan, kaum teroris tentu tidak memikirkan bagaimana mengisi kemerdekaan ini secara bertanggung jawab. Mereka tidak sanggup atau tidak disanggupkan untuk melihat masa depan sebagai sebuah kemungkinan yang perlu ditata dalam memaknai kehidupan ini. Wujud kesadaran Indonesia dalam gebiyar kemerdekaan menjadi lain di mata para teroris. Kehidupan bagi dia tidak lagi berupa gugus-gugus penuh makna yang perlu dipertahankan. Yang selalu muncul dalam “file-file” kesadaran mereka adalah rancangan maut dan bayangan kegembiraan akan pelaminan sorga setelah kematiannya secara tragis.
Paham tentang “pengantin” sorga menjadi sebuah daya pikat yang dari waktu ke waktu menyebar ke kehidupan generasi muda Indonesia. Proses penyebaran “virus ideologi” yang dianut oleh kelompok teroris begitu mudah merasuk ke dalam sum-sum kehidupan mereka. Paham yang mematikan ini menjadi sebuah kebenaran untuk sebagian besar kelompok. Tetapi kebenaran ini perlu dicurigai karena menyesatkan sebuah generasi yang sedang terlibat dengan kehidupan. Sasaran terakhir dalam “permainan maut” para teroris adalah “gol kematian.” Semua bergerak dalam rintihan kesakitan dan para teroris tersenyum sipu dalam ragam ekspresi. Bom adalah sebuah keberpihakan pada kelompok kecil dan menjadi momok menakutkan bagi mereka yang menghargai sebuah kehidupan. Dalam penyerangan itu, bom lalu bermetamorfosa menjadi perhatian publik. Bom pada akhirnya menjadi bahasa yang riuh, seperti hidup di terminal dan kota besar dalam nada ketakutan. Tetapi dalam ketakutan itu, mestinya kita selalu mencurigai kebenaran, walaupun kebenaran itu telah menjadi sebuah ideologi baku.***

Monday, August 24, 2009

IDEOLOGI RASA

Oleh: Valery Kopong*

BEDA, nama sahabat saya dari Flores (Adonara). Kami bertemu untuk pertama kalinya di Jakarta. Suatu sore, di bawah gemerlapnya sorotan sinar lampu kota, dengan langkah pasti ia berjalan menelusuri lorong-lorong kota untuk mencari makanan khas Flores. Dalam proses pencarian panjang, ia berjumpa dengan Warteg (warung tegal), Warsun (Warung Sunda), Warung Padang. Lama ia mencari tetapi pada akhirnya ia lelah dan bertanya kepada saya. Di mana letak warung Flores atau NTT yang menghidangkan cita rasa masakan NTT? Aku tersipu dan tersenyum malu karena selama sekian tahun berada di perantauan, tak satu pun orang NTT yang berada di perantauan memperkenalkan jenis-jenis makanan khas kepada publik. Ia pada akhirnya membeli sebungkus nasi yang dilengkapi dengan lauk-pauk di warung tegal. Kita terlalu ego, kataku dalam hati. Kita (orang NTT) selalu memendam rasa yang berbeda dan tak pernah disatukan oleh cita rasa makanan khas NTT.
Pencarian seorang Beda menunjukkan suatu perjuangan untuk mempertahankan aspek rasa lokal yang secara perlahan bisa diperkenalkan ke wilayah publik. Cita rasa yang tertampil lewat masakan khas daerah, terkesan sederhana tetapi lebih dari itu mereka memperkenalkan nama-nama daerah dan masyarakat pembeli dapat menilai, model kepribadian dari sang pemilik warung yang mewakili sebuah etnis secara kolektif. Upaya dalam mencari makanan yang dilakukan Beda, merupakan bentuk terobosan untuk mengenal wilayah-wilayah yang direpresentasikan melalui warung-warung tersebut. Bagi Beda, sebuah cita rasa diberi beban makna oleh pelbagai kekuatan rasa kedaerahan dan dalam cita rasa makanan tersimpan sebuah tanggung jawab dalam mempertahankan nilai khas yang merupakan warisan sejarah.
Tidak memiliki warung dan makanan khas daerah tidak membuat Beda berkecil hati. Ia malah dengan leluasa mencari dalam nilai rasa lain dan berjumpa dengan ciri khas masakan lain. Andaikata, ada warung Adonara, Manggarai, Maumere atau pun Timor, maka ia tak lagi memiliki kesempatan untuk mencari dan berjumpa dengan yang lain. Karena tidak memiliki warung di daerah perantauan maka ia dengan leluasa untuk berani keluar dari dirinya dan menyatu dengan orang-orang lain. Warung adalah ruang publik yang menyuguhkan pelbagai rasa bahkan para politisi mencoba untuk meramu suasana menjadi perdebatan politik sambil menikmati cita rasa daerah.
Memahami cita rasa makanan secara mendalam khas daerah dan bila dikaitkan dengan problematika yang menyerang dan mengganggu kedaulatan negara maka cita rasa kedaerahan perlu sedikit ditinggalkan sambil mecicipi makanan sesuai cita rasa nasionalitas. SBY barangkali memahami cita rasa ini. Ia dan para tim sukses mencoba meramu cita rasa nasional dan memperkenalkan diri melalui iklan milik indomie yang telah disunglap. Banyak perdebatan yang muncul bahwa presiden mencari sesuatu yang instan, yang serba praktis dalam memperkenalkan diri kembali ke hadapan publik. Dengan berlindung dibalik iklan indomie yang disunglap itu, sebenarnya ia (SBY) berpura-pura untuk bersikap adil terhadap semua daerah. Dalam catatan saya, SBY dalam kapasitasnya sebagai presiden, ia baru dua kali ke wilayah NTT. Sebuah kunjungan yang sangat jauh dari nilai empati politik seorang pemimpin. Pertama kali ia mengunjungi Manggarai yang waktu itu terkena bencana. Kunjungan itu pun terkesan ada pemaksaan karena setelah dikritik. Dan kunjungan yang kedua adalah berkampanye di Kupang, itu pun dilakukan untuk mendulang suara. Masih adakah cita rasa seorang pemimpin yang menaruh perhatian pada NTT yang sudah telanjur “dibaptis” sebagai wilayah paling miskin dan terkorup? Berpijak pada cita rasa daerah, SBY bertolak ke cita rasa komersial yang ada dalam indomie. Ia (SBY) tentu tahu bahwa lewat cita rasa kedaerahan tidak menunjukkan solidaritas sebagai bangsa yang utuh. Ia berani merangkum masyarakat lewat “lilitan mie” kepedulian dan menyodok kesadaran masyarakat.
Kehidupan para capres dalam episode politik, memperlihatkan wajah yang penuh pura-pura, jauh dari cita rasa makanan yang tidak dimanipulasi. Atau meminjam bahasa iklan, “soal rasa, lidah tak bisa berbohong.” Momentum pemilu menghantar para capres untuk melakukan sebuah ziarah ke dalam wilayah masyarakat kecil sambil membawa slogan keberpihakkan pada mereka. Politik yang ditampilkan lebih berwajah “warteg,” di mana keberpihakkan berpura-pura melingkar di tengah kehidupan “wong cilik.”
Demokrasi yang hidup memang selalu mengalir dari rakyat tetapi apa artinya demokrasi yang hidup kalau hanya dihidupkan menjelang pilres? Kampanye politik hanyalah sebuah dagelan yang menggelikan tanpa memberi arti bagi kehidupan publik. Visi dan misi yang diusung adalah sesuatu yang biasa tetapi menjadi luar biasa bila sang pemimpin tidak sanggup menerjemahkan visi dan misinya ke dalam kehidupan praksis. Ia (visi-misi) hanyalah jargon politik yang bombastis dan menguap seketika bersama hembusan angin politik kekuasaan.
Tawaran Mega-Prabowo akan perubahan dan membangun ekonomi kerakyatan seakan merobek langit harapan orang-orang kecil. “Dari Bantar Gebang menuju istana,” dari dunia nista menuju tanah terjanji adalah komitmen sentral yang menggerakkan kesadaran orang-orang kecil yang terpinggirkan. Andaikata Mega-Prabowo terpilih, dapatkah mereka mengubah kehidupan para penghuni Bantar Gebang untuk menjadi lebih baik? Andaikata terwujud maka sampah-sampah terus menumpuk karena tidak ada lagi orang miskin yang sebelumnya mengkonsumsi sampah untuk dijadikan sebagai sumber ekonomi.
Kalla tak mau kalah. Berbekal semboyan “lebih cepat lebih baik” dapat memberikan suntikan bagi para pengusaha untuk berpihak padanya. Ia menggerakkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan otak sendiri, menggunakan ilmu sendiri dalam membangun kehidupannya. Sejauh mana negara memberi ruang kebebasan kepada masyarakat dan memberikan suntikan dana? Apakah BLT dapat dijadikan sebagai dana awal dalam membangun kehidupan ekonomi?
Para capres pandai membaca peluang dan meramu situasi politik yang selalu berpihak pada rakyat. SBY dalam iklannya terlihat cemas mengemis suara rakyat, sampai-sampai harus keluar masuk di warung-warung sederhana untuk menjumpai orang-orang kecil. Megawati-Prabowo selalu menjumpai masyarakat di pasar-pasar tradisional sebagai cara pintas dalam mengukuhkan keberpihakkan ekonomi rakyat. Sedangkan Kalla lebih sering menjumpai para Kiay dan Santri yang merupakan basis yang cukup berpengaruh dalam komunitas muslim.
Sebagai calon pemimpin, mestinya berani berbeda namun berani menerima perbedaan sebagai bagian integral dalam mewujudkan cita rasa masyarakat majemuk. SBY tidak hanya berkunjung saja pada warteg dan mencicipi makanan khas Jawa tetapi lebih dari itu berani mencari makanan khas daerah lain yang walaupun tidak terjual di warung-warung publik. Kalla tidak hanya mengunjungi pesantren saja tetapi sesekali bisa mengunjungi biara yang mewakili komunitas agama lain. Dan Mega tidak hanya berpihak pada kekuasaan saja tetapi lebih dari itu harus berpihak pada rakyat sehingga tidak dicap sebagai megawatilomania. Mungkinkah mereka bertarung dan menerima keberbedaan yang lain seperti Beda yang berani menyicip makanan khas lain karena tidak memiliki warung sendiri? Mengolah rasa tidak lebih dari mengolah sebuah ideologi yang selalu menjiwai nafas kehidupan seseorang.***

Thursday, May 28, 2009

JAM DINDING

Oleh: Valery Kopong*

Hampir setiap hari saya selalu melihat jam, entahkah jam dinding atau jam tangan. Bangun pagi aku diingatkan oleh detakan jam dinding yang menunjukkan waktu yang tak lama lagi untuk bergegas menuju tempat kerja. Demikian juga di tempat kerja, aku tak luput dari detakan dinding oleh jarum jam. Memang, membosankan apabila suasana terus berlanjut dalam rutinitas hidup manusia.
Setiap manusia selamanya berada pada rel waktu dan manusia terus diingatkan untuk memanfaatkan waktu secara efektif demi pengembangan diri, sesama dan pada akhirnya bermuara pada waktu keselamatan Allah sendiri. Ketika menjelang sengsaraNya, Yesus selalu mengingatkan para muridNya, saatKu hampir tiba, berjaga-jagalah dan berdoalah. Saat yang dimaksudkan di sini adalah waktu, di mana seorang anak manusia harus diserahkan pada tangan para algoju. Walaupun tidak ada jam dinding yang berdetak menemani saat menjelang sengsara Yesus, tetapi Ia tahu, berapa lama lagi jalan kesengsaraan harus ditapaki.
Waktu, saat yang paling genting akhirnya diterima Yesus dengan lapang dada. Tetapi dalam kemanusiaan Yesus, Ia berani berdoa dalam kesendirian dan ketakutan, “Ya Bapa, kalau mungkin biarlah piala ini berlalu daripadaKu tetapi bukan atas kehendakKu melainkan kehendak Dia yang telah mengutus Aku.” Yesus selalu menunggu saat, menunggu waktu yang pas untuk membiarkan diriNya terbawa dalam arus kehendak Allah. Sebagai manusia yang berada dalam ketakutan, tentunya ada pengharapan akan pembebasan diriNya dari belenggu maut yang bakal mengancam diriNya. “Kalau mungkin, biarlah piala ini berlalu…..” tetapi kuasa Allah lebih besar dan dalam waktu yang berbarengan, jalan kesengsaraan dijalani demi umat manusia yang ditebusNya.
Ketika mengikuti retret di Puspanita, sebuah pertanyaan sederhana tetapi mendesak yang dilontarkan oleh salah seorang panitia retret. “Apabila hidup Anda tinggal 3 hari lagi, apa yang harus engkau lakukan?” Pertanyaan yang terkesan menuding ini membuatku untuk menjawab dengan menuliskannya pada secarik kertas kusam. Apabila hidupku tinggal 3 hari lagi, yang kuperbuat adalah berbuat baik dengan orang lain. Konsep berbuat baik di saat-saat akhir menjadi momentum pembenahan diri sebagai bagian purifikasi diri tetapi lebih dari itu merupakan bentuk pertanggungjawaban hidup. Dalam refleksi yang bernas, ada sebuah kejujuran yang mengental yaitu bahwa setiap manusia perlu bebas dari tekanan tanggung jawab dan dalam “terowongan pertanyaan” yang sama, secara individual sepertinya tergiring untuk masuk ke dalam ruang ketakutan. Tetapi pertanyaan yang diberikan untuk digumuli secara massal maka di sini, ada penegasan kolektif yang seakan menyembunyikan “pemberontakan akhir.”
Melalui puisi Aku, Chairil Anwar pun mengumandangkan kemerdekaan Akunya, Aku yang lepas bebas, Aku yang berani. Namun juga seorang Chairil Anwar ternyata membutuhkan sebuah kelompok, sebuah angkatan, yang siap bersamanya mengangkat suara, agar suaranya sendiri boleh lenyap dalam kebersamaan itu. Dia membutuhkan dan karena itu membentuk sebuah angkatan, yang bersamanya siap mengangkat kepala, supaya kalau hendak dicerca masyarakat karena gagasan individualisme itu, bukan cuma kepalanya sendiri yang dilihat dan dibacok. Chairil mengungkapkan sebuah kerinduan untuk menjadi Aku, namun menyadari perlunya sebuah tembok pelindung bernama kelompok, massa, nafas zaman.
Yesus sendiri, dalam pergulatanNya, secara implisit mengharapkan dukungan dari kelompok muridNya sendiri melalui doa. “Berjaga-jagalah dan berdoalah….” Doa dari murid-muridNya, selain supaya terbebas dari godaan dan dosa tetapi bahwa Yesus melihat doa sebagai pangkal dan benteng terakhir dalam menghadapi sakratul maut. Saat-saat kritis, Ia berdoa dalam kesendirian untuk menunjukkan bahwa pola relasi dengan BapaNya tidak hanya dibangun pada saat-saat normal namun dalam suasana genting pun doa menjadi ‘bekal sandaran’ dalam memaknai “via dolorosa.”
Kristus mengambil waktu yang pas, yang walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan bagiNya namun melalui momentum derita itu Ia selalu mengajarkan tentang bagaimana menghargai waktu. Saat itu, waktu itu, Ia tidak menunda lagi proses penderitaan yang bakal dijalani. Hanya dalam waktu, Ia merunduk pasrah dalam balutan kecemasan. Seluruh hidup Yesus dimulai dalam waktu dan berakhir pada waktunya. Ketika di atas salib, Ia mempertanggungjawabkan seluruh karya dan proses penderitaan yang dijalaniNya. “Bapa, selesailah sudah……” Pada saat itu Ia merunduk kaku di atas salib dan menghembuskan nafas terakhir.
Tidak ada jam dinding yang setia mengontrol seluruh perjalanan hidup Yesus. Namun demikian, dalam waktu yang tidak diwarnai dengan gesekan jarum jam, Ia memulai dan mengakhiri seluruh karyaNya dalam genggaman waktu. Barangkali, suatu saat kita pun mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan kita di hadapan Allah dalam waktu yang sama. “Bapa, selesailah sudah…..***

MARIA DAN EMPATI SOSIAL

Oleh: Valery Kopong*

Ketika almahrum, Pater Sareng Oringbao, SVD menggagas sebuah pahatan patung Maria dengan mengenakan pakaian adat Sikka-Maumere-Flores, mengundang reaksi dari banyak pihak. Ada perdebatan yang muncul di permukaan silang pendapat. Ada yang mengatakan bahwa pakaian Bunda Maria adalah simbol religius yang dapat merangkul semua orang di bawah kepakan mantel sang Bunda, karena itu pakaiannya tidak perlu digantikan oleh pakaian bermotif lokal.
Perdebatan tentunya berlanjut, tetapi dalam kisaran waktu yang lama, pada akhirnya semua pihak menerima keberadaan patung Maria dalam komunitas biara yang terletak di atas bukit teduh itu. Orang-orang yang bersilang pendapat bahkan bersitegang dengan sang penggagas, pada akhirnya memahami arah idealisme sang pencetus. Satu alasan sederhana dari sang pastor dan antropolog itu yakni bahwa sudah waktunya kita mewajahkan wajah Maria dengan wajah seorang ibu dari Asia. Dengan proses perwajahan ini secara implisit menggambarkan sebuah kepedulian dalam menerima pribadi Maria sebagai bagian dari hidup manusia terutama orang-orang Asia (Indonesia). Bunda Maria yang sebelumnya dirasa jauh jaraknya, tetapi sekarang, dengan modifikasi patung Maria yang mengenakan pakaian daerah, seakan membuka jalan bagi orang kampung untuk berdoa sambil tidak segan-segan mengungkapkan segala persoalan hidup.
Kepribadian Bunda Maria selalu memperlihatkan nilai empati sosial yang sangat kuat. Dalam pesta perkawinan di Kana misalnya, Maria selalu mau bersolider dengan tuan pesta untuk kemudian memperkenalkan Yesus ke hadapan umum dalam peristiwa pengubahan air menjadi anggur. Mujizat pertama yang dilakukan Yesus dapat terselenggara karena kehadiran dan peran serta Maria. Kehadirannya di tengah pesta membawa daya pengubah, yang pada akhirnya setiap undangan berhak menikmati anggur kebaikan yang datang dari sang Ilahi.
Ada beberapa nilai kebaikan sekaligus empati sosial yang perlu dipelajari dari Sang Bunda yaitu: pertama, sikap tanggap darurat. Apabila merujuk pada momentum perkawinan di Kana, jelas terlihat bahwa sikap yang ditunjukkan Maria adalah sikap tanggap darurat. Dikatakan demikian karena dalam hitungan waktu singkat, Maria dapat membantu dalam proses penyelesaian masalah kekurangan anggur bagi tuan pesta. Memang, menanggap situasi darurat seperti yang dialami oleh Maria adalah sesuatu yang tidak mudah. Maria, dengan gaya diplomasi otentik, mencoba untuk memahami kekurangan yang dihadapi oleh tuan pesta. Kedua, memperkenalkan Yesus di hadapan umum. Peristiwa Kana barangkali dilihat sebagai peristiwa publik di mana komunitas yang turut serta dalam pesta dapat mewakili umat manusia lain yang dapat menikmati hasil mukjizat yang diperlihatkan oleh Yesus kepada dunia.
Mukjizat perdana pada pesta perkawinan di Kana merupakan hasil rancangan Allah sendiri. Ia mau memperlihatkan Yesus di hadapan publik melalui Maria. Di sini, Maria dilihat sebagai pintu masuk atau gerbang Ilahi yang siap memperkenalkan Yesus kepada siapa saja yang melewati gerbang dunia ini. Tindakan untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik adalah bagian dari rasa cinta Maria terhadap manusia. Apa yang dilakukan oleh Maria untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik merupakan suatu gerakan Allah untuk keluar dari diriNya dan terlibat dalam suasana pesta. Allah adalah penantang, pendobrak, pembebas dan pencinta. CintaNya kepada manusia adalah cinta yang menantang, membebaskan dan mengubah.
Para ekseget berpendapat bahwa kehadiran Maria di tengah pesta, dia tidak hanya datang sebagai seorang undangan biasa tetapi lebih dari itu Ia adalah bagian dari anggota keluarga si tuan pesta. Dugaan ini kuat mengemuka bertitik tolak dari keterlibatan Maria saat berurusan dengan keluarga ketika menghadapi kekurangan anggur. Secara rasional dapat dikatakan bahwa rasa empati sosial Maria dapat muncul karena adanya unsur kedekatan dengan pemilik pesta.
Melalui mukjizat pertama itu, Allah mau berbicara kepada dunia tentang pengalaman pesta di Kana menjadi pesta umum, pesta rakyat di mana setiap orang dipuaskan oleh anggur terbaik. Dengan menikmati minuman berharga itu, kualitas pesta semakin bernilai di mata para undangan. Apakah kita sekarang yang membaca kembali teks Kitab Suci tentang perkawinan di Kana, seperti siapa kita memposisikan diri? Sebagai tuan pesta yang cemas saat mengalami kekurangan anggur? Ataukah sebagai Maria yang selalu membuka diri bagi keselamatan orang lain? Di sini, Maria menyadari “pentingnya menjadikan orang lain penting” terutama tuan pesta. Dalam bulan Mei sebagai bulan rosario ini kita diajak untuk merenungkan kisah keterlibatan Maria dalam diri dan masyarakat kita. Patung Maria seperti dalam kisah di atas, tidak hanya menjadi monopoli kelompok tertentu, namun kita juga membiarkan Maria masuk ke dalam keluarga dan kita berani menawarkan pakaian bermotif lokal daerah kita untuk dikenakan olehnya. Tetapi dalam proses menawarkan dan memberikan pakaian bermotif lokal kepada Maria, kita terbentur pada sebuah pertanyaan sederhana, untuk apa dan mengapa?**

TITIAN HIDUP

Oleh: Valery Kopong*

“Hidup yang tidak dipertanyakan adalah hidup yang tidak pantas untuk dijalani.” Barangkali benar bahwa ketika menjalani hidup terkadang dilihat sebagai sebuah rutinitas maka ada bahaya yang muncul yaitu kita terjebak dalam sebuah rutinitas yang membosankan. Orang tidak melihat pekerjaan yang dilakukan sebagai bagian dari panggilan hidup tetapi lebih dari itu hanya sekedar untuk mengisi waktu. Untuk apa kita perlu mempertanyakan tentang hidup dan kehidupan ini? Lakon hidup apa yang harus aku lakonkan di bawah terik matahari abadi? Tetapi hidup dan kehidupan yang beragam selalu mewarnai perjalanan ini, yang kaya tetap bertahan dengan kemewahannya dan orang-orang miskin tidak takut lagi menghadapi kemiskinan dirinya.
Ketika membaca dan merenungkan perumpamaan yang ada dalam kitab suci, hatiku menjadi tenang dan percaya diri dalam menjalani hidup ini. Salah satu perumpamaan yang menarik dan menjadi sabda peneguh hidupku adalah: “Lihatlah burung-burung di udara yang tidak bekerja tetapi tak satu pun mati kelaparan. Lihatlah bunga bakung yang begitu indah dan Salomo yang dalam kemewahannya pun kalah dari bunga bakung itu.” Perumpamaan ini menjadi sumber inspirasi dalam proses pertarungan hidup ini. Yang miskin tetap berusaha mengais segumpal rezeki di tong-tong sampah untuk mempertahankan hidup. Tempat-tempat sampah barangkali dilihat sebagai bagian dari Allah menabur rezeki untuk burung-burung (baca: orang-orang miskin) yang kehilangan harapan dengan perputaran roda zaman. Allah tidak mau mereka terhempas tak berdaya di tepian pertarungan hidup. Kehadiran mereka di tengah-tengah kota sebagai praisyarat pada orang-orang kaya untuk mengafirmasi diri sebagai orang kaya karena tanpa mereka tidak ada titik pembeda yang tegas.
Perumpamaan yang dilontarkan oleh Yesus memiliki daya magnetis dan sekaligus memberikan daya rangsang pada orang-orang yang sedang berputus asa dan menderita kelaparan untuk bangkit dari ketakberdayaan sembari menatap sebuah “fatamorgana harapan.” Tetapi apakah dalam kondisi yang lapar, mereka yang menderita dikenyangkan oleh sabda dan perumpamaan yang selalu menggema? Seberapa jauh mereka dapat mengalami sentuhan kasihNya?
Penderitaan yang mendera kehidupan manusia, terutama saat-saat di mana manusia kehilangan daya dalam menggapai kehidupan ekonomi yang layak, perumpamaan ini layak untuk dijadikan sebagai hiburan yang menjanjikan. Tetapi tidak hanya menjadi perumpamaan ini sebagai patokan melainkan Kristus dijadikan sebagai landasan dasar dalam menjalani hidup ini. Dalam diri Yesus, seluruh keterputusasaan manusia selalu tercarikan jalan keluarnya. Dalam diri Yesus tertemukan nilai-nilai perjuangan hidup. Ia mengalami dua situasi yang berbeda, situasi Tabor dan Golgota. Peristiwa Tabor memperlihatkan sebuah suasana hidup yang baik dan menjanjikan sebuah masa depan dan peristiwa Golgota memperlihatkan sebuah pergulatan hidup yang penuh penderitaan. Dua situasi inilah yang membuka kemungkinan bagi kita untuk memahami bahkan mengambil situasi tersebut dan menjadikannya sebagai bagian dari hidup. Dalam iman, peristiwa Golgota tidak mengalami titik stagnasi tetapi menjanjikan harapan baru akan sebuah kebangkitan.
Masyarakat miskin tidak dilihat sebagai “penghuni tetap di titian hidup Golgota” tetapi mereka sedang menunggu sebuah kebangkitan baru yang lebih menjanjikan. Mereka juga tidak hanya memuaskan diri dalam “ruang perumpamaan semu” tetapi melalui perumpamaan ini, sebenarnya Yesus menampilkan sebuah proses pembelajaran hidup. Di dalam perumpamaan itu orang dipacu untuk berpikir, untuk pada akhirnya menilai situasi, menentukan keputusan sendiri dan mulai bertindak. Seperti burung-burung yang berkeliaran di alam bebas tanpa tuan, mereka tidak pernah mengalami kelaparan. Allah sendiri sebagai yang Empunya semesta memberikan makanan lewat tanaman-tanaman yang tumbuh liar di sepanjang hidup mereka. Bukankah manusia lebih berharga daripada burung-burung di udara?
Ketika mendirikan sebuah biara di Jerman, Arnold Janssen, sepertinya menjadi figur yang perlu ditertawakan. Mengapa? Karena ia sendiri mendirikan sebuah biara tanpa adanya modal uang. Bagaimana mungkin mendirikan sebuah biara tanpa adanya uang untuk menopang perjalanan biara? Inilah kata-kata pesimis yang datang, baik dari kalangan biarawan maupun awam. Tetapi hanya ada satu keyakinan bahwa Allah Tri Tunggal pasti menyertainya dalam karya misionernya. Bagi dia, “uang masih ada di saku orang.” Itu berarti bahwa ia yakin, Tuhan akan memberikan jalan untuk menghidupkan biara dan sesama yang peduli pasti memberikan sumbangan untuk kelanjutan biaranya. Karena ketekunan dalam doa-doa dan menaruh harapan yang kuat maka pada akhirnya ia mendirikan tiga biara besar yang dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan iman umat manusia sejagat.***
Tuhan membekaskan
telapak peringatanNya
pada debu refleksiku
memapah jejak kakiku
menelusuri lorong kota sepi
pada ujung lelah sebuah pendakian
dengan jantung setengah berdenyut
kudapati tikaman terakhir dariNya
tikaman pedang bermakna kata

Tuesday, April 28, 2009

BELAJAR DARI SANG GURU

Oleh: Valery Kopong*


KETIKA mengunjungi teman yang sakit, ia selalu mengeluh sakit terutama setelah operasi. Pada operasi pertama yang dianggap gagal, ia kemudian dipindahkan ke rumah sakit lain dan dianjurkan oleh dokter untuk dioperasi lagi karena kondisinya semakin parah. Tindakan dalam pengoperasian ulang dilakukan karena dokter bedah pada rumah sakit sebelumnya salah meletakkan posisi usus yang sebenarnya dalam tubuh si pasien. Awalnya ia menolak saat diminta untuk dioperasi ulang tetapi setelah diberi penguatan oleh teman-teman, ia pada akhirnya meyakinkan diri untuk dioperasi.
Secara pribadi, saya memberikan salut dengan keputusan yang diambil oleh pasien. Keputusan yang diambil ini merupakan keputusan yang sangat riskan dengan mempertimbangkan dua aspek yang sama-sama sulit. Mau bertahan dengan hasil operasi yang pertama maka jelas tidak ada perubahan ke arah kesembuhan. Menurut deteksi dokter pada rumah sakit yang kedua dikatakan bahwa peletakan usus setelah operasi pertama tidak pada tempat yang sebenarnya dan usus tersebut tidak dalam kondisi bersih. Itu berarti ada kemungkinan penyebaran virus ke berbagai anggota tubuh lain. Atas dasar inilah maka para dokter memutuskan untuk dioperasi lagi. Operasi yang kedua berjalan cukup alot dan memakan waktu sebelas jam.
Sebelum menjalani operasi untuk kedua kalinya, ia terlihat lesuh dan sepertinya ada pemberontakan dalam diri untuk mengatakan “tidak”. Namun setelah sehari semalam ia dibujuk maka dengan penuh kepasrahan ia menyerahkan diri untuk dioperasi dengan satu harapan tunggal: sembuh. Harapan untuk hidup lebih baik yang tertanam dalam diri sahabatku dilimpahkan sepenuhnya pada Tuhan yang menjamah dirinya lewat tangan-tangan para dokter. Itu berarti bahwa cara kerja para dokter harus menjanjikan kesembuhan dan dalam diri dokter sendiri dilihat sebagai peluang dalam menggapai kehidupan.
Kami semua yang hadir hanya menghantar dia ke ruang operasi melalui tatapan mata. Dari tatapan mata para sahabatnya yang datang, membersitkan sebuah harapan yang sama yaitu: kesembuhan. Kesembuhan adalah nilai yang sangat berharga untuk seorang pasien. Tetapi apakah proses menuju ke arah kesembuhan semata-mata merupakan daya upaya manusia? Ketika berada dalam kondisi sakit, setiap pasien memperlihatkan diri sebagai manusia yang tak berdaya, lemah dan selalu meminta pertolongan dari siapa pun untuk menghantar dia (pasien) keluar dari lingkaran kesakitan. Orang-orang sakit adalah mereka yang selalu merindukan kesembuhan dan dalam diri mereka terlihat perjuangan untuk mempertahankan hidup. Tetapi untuk menggapai kehidupan yang lebih baik, seorang pasien harus melalui peristiwa derita. Pada momentum derita ini, sebenarnya muncul dua kemungkinan yaitu mau sembuh atau tidak.
Pengalaman sahabat saya tidak menjadi pengalaman pribadi tetapi pengalamannya telah membawa banyak pihak untuk membuka mata sambil merenungkan tentang kehidupan ini. Kehidupan yang dijalani memperlihatkan dua sisi yang berbeda yang mesti dijalani oleh setiap manusia. Ada saat di mana seseorang merasakan kegetiran hidup sebagai tantangan sekaligus cobaan. Ada saat di mana seseorang merasakan kegembiraan. Dua aspek kehidupan ini bukan menjadi pilihan pribadi semata-mata tetapi lebih dari itu ada intervensi Tuhan dalam kehidupan setiap manusia. Tuhan memperlihatkan campur tangan secara pribadi melalui warna-warni kehidupan manusia. Tetapi seberapa jauh manusia merasakan sentuhan kasih Tuhan dalam setiap detak perjalanan hidup manusia?
Pengalaman sakit membawa daya pengubah untuk kehidupan seseorang. Melalui sakit membuat seorang pasien yang peka terhadap sentuhan kasihNya dapat mengadakan sebuah refleksi panjang tentang hidup dan kehidupan ini. Sakit yang membawa penderitaan membuat orang merasakan secara amat nyata ketidakpastian hidup, kegoyahan eksistensi. Penderitaan yang dialami membawa bahaya dan mengancam kehidupan itu sendiri. Dengan demikian muncul sebuah model ketergantungan baku dari sang pasien akan peranan orang lain.
Walaupun dalam kondisi tak berdaya, tetapi harapan baru terus digulirkan oleh para sahabat dan anak didiknya sendiri. Hampir setiap hari, rumah sakit selalu ramai dikunjungi oleh orang-orang yang pernah ia didik. Para siswa dan siswi merasakan pendidikan yang baik tidak hanya dalam ruang kelas tetapi lebih dari itu, si pasien yang adalah guru mereka memberikan pendidikan baru untuk mereka yaitu mendidik mereka untuk bertahan dalam peristiwa derita. Barangkali si pasien sungguh memahami perjalanan hidup Sang Guru Agung, Yesus Kristus. Ia (Yesus) tidak hanya mengalami pengalaman Tabor yang menyenangkan tetapi juga turut merasakan secara mendalam akan peristiwa Golgota. Pengalaman kebangkitan seperti yang dialami oleh Yesus harus dilalui dengan derita dan hal ini menyodok kesadaran pasien untuk boleh berharap akan kesembuhan tetapi langkah pertama yang ditempuh adalah mau menderita.
Ada beberapa nilai yang perlu dipelajari dari perjuangan hidup seorang pasien. Pertama, nilai kepasrahan. Sikap pasrah seorang pasien adalah sikap pasrah dengan suatu harapan lain dibalik kepasrahan itu sendiri. Sikap yang ditunjukkan itu memberikan sebuah pelajaran baru tentang bagaimana bersikap pasrah pada setiap kali menghadapi cobaan hidup. Kedua, nilai kebaikan. Kehadiran para sahabat dan para siswa/siswi yang dididiknya yang tak pernah putus, menunjukkan bahwa si pasien yang adalah guru mereka telah menaburkan kebaikan di sepanjang karirnya.
Pengalaman untuk menghadapi penderitaan adalah pengalaman kesendirian. Hidup para pasien seakan teralienasi dari kehidupan ramai. Dalam kondisi hidup yang sangat sunyi ini mereka butuh uluran tangan, bantuan tidak hanya berupa uang tetapi lebih dari itu memberikan dukungan moril untuk pada akhirnya membangkitkan kembali sebuah harapan baru dalam diri seorang pasien. Dengan dukungan konkrit seperti kehadiran para sahabat, ia (pasien) akan menemukan kembali nilai dan semangat hidup yang paling berharga.**

Thursday, April 2, 2009

PEMILU DAN HARAPAN MESIANIK

Oleh: Valery Kopong*

PEMILU sebagai sebuah “mesin demokrasi” yang mengelola dan menghitung suara, sesungguhnya menjadi pesta perhelatan bagi bangsa yang tengah mencari figur untuk memimpin negara. Ketika negara sedang dalam keadaan “kehilangan harapan” dan tidak memiliki lagi animo untuk memilih, maka jalan pintas yang ditempuh adalah tidak memilih alias golput. Kondisi seperti ini tidak bisa dipungkiri pada setiap kali menyelenggarakan pemilu. Apakah memilih untuk tidak memilih (golput) merupakan jalan terbaik dalam kehidupan berdemokrasi? Ataukah masyarakat harus memilih namun pada akhirnya kondisi bangsa tetap morat-marit seperti sebelumnya?
Menyadari betapa pentingnya pemilu ini maka pada beberapa waktu lalu, keuskupan Agung Jakarta, melalui Romo Vikjen menyerukan agar masyarakat mempergunakan hak pilih sebagai wujud kepedulian terhadap bangsa ini. Di setiap paroki, ditegaskan agar umat memberikan suaranya dalam pemilu untuk menentukan figur-figur yang pantas untuk menjadi presiden. Seruan profetis ini membawa dampak positif bagi angin perubahan di negara ini. Pemikiran yang lahir dari sang gembala ini mau menegaskan bahwa sebagai anggota Gereja, perhatian kita harus meluas dan mengarah pada kepentingan publik. Keberadaan seorang anggota Gereja di tengah masyarakat, memiliki peran yang sangat sentral dalam membangun sebuah peradaban manusia yang humanis.
Walaupun seruan itu lebih terfokus pada “ruang pengharapan” untuk masa yang akan datang, namun pijakannya tetap pada pemilu yang lebih realistis dan elegan. Dengan demikian, ukuran sebuah demokrasi yang dewasa dan pemilu yang berbobot tidak hanya berhenti pada tempat pemungutan suara, tetapi masyarakat perlu mengkawal figur-figur yang dijagokan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Memberikan suara berarti ada kemungkinan untuk setiap pemilih menggantungkan harapan pada “pundak” sang pemimpin.
Ketika sebagian besar masyarakat menjatuhkan pilihan untuk tidak memilih, para politikus ramai-ramai memandang situasi ini sebagai bentuk kezaliman politik dan sekaligus kritik atas proses demokratisasi maka “mungkin” seruan sang gembala di atas menjadi sangat menarik dan inspiratif walaupun seruan itu menggema, berbasis dalam lingkungan Gereja. Keberadaan Gereja yang memposisikan diri sebagai minoritas, namun perlu membangun kembali nuansa peradaban bangsa dengan memanfaatkan hak pilih sebagai sebuah alternatif dalam proses pembenahan hidup berdemokrasi. Kepedulian Gereja merupakan bentuk apresiasi positif dan seruan moral politik sebagai bagian dalam penataan hidup berbangsa dan bernegara.
Walaupun keterlibatan Gereja sebatas “pinggiran politik praktis” tetapi seruan yang dilantunkan tidak berada pada pinggiran masyarakat. Seruannya menusuk masuk ke dalam realitas sosial-politik, di mana masyarakat sedang menunggu dengan harapan yang tidak menentu. Mungkinkah masyarakat luas menerima seruan Gereja ini sebagai langkah awal dalam membangun peradaban politik?
Beberapa waktu lalu, mantan presiden Gus Dur, menyerukan kepada publik untuk memboikot pemilu 2009. Seruan Gus Dur ini dilandasi oleh rasa kecewa terhadap partai yang kalah di hadapan Mahkamah Konstitusi. Apakah dilandasi oleh rasa kecewa memacu seorang Gur Dur untuk memboikot pemilu? Apakah tidak ada cara lain yang lebih elegan untuk mengungkapkan rasa kecewa?
Apabila dicermati dua hal di atas dan dikaitkan dengan realitas sosial, maka akan tertemukan persoalan yang sangat pelik. Masyarakat sendiri dibingungkan oleh seruan-seruan dari lembaga ataupun orang-orang yang berpengaruh. Kebingungan barangkali menjadi faktor utama dalam menentukan proses penilaian dan menentukan sikap yang tegas. Masyarakat sendiri harus jernih melihat dan secara bijak dalam mengambil keputusan sebelum memberikan hak-hak politik pada pemilu mendatang. Di sini, masyarakat sendiri menilai dan secara bebas menentukan arah perjalanan hidup bersama dalam sebuah perahu yang bernama “Indonesia.” Kebebasan dalam menentukan sikap politik terhadap dua model seruan di atas, bukan cuma terlepas dari suatu ikatan, melainkan mengikat diri pada sesuatu untuk sesuatu. Mengikat diri di sini lebih dimaksudkan dengan memberikan keputusan final dalam menyumbangkan suara pada pemilihan umum nanti.
Suara yang disumbangkan pada pemilu dapat memberikan denyut nadi peradaban dan sejarah bangsa ini akan terus berlanjut karena kebulatan suara masyarakat. Seperti para donatur yang menyumbangkan darah untuk mereka yang membutuhkan pada saat-saat kritis dan pada akhirnya menyelamatkan nyawa manusia, demikian juga dalam kehidupan berbangsa, pemilu menjadi momentum berharga, karena pada saat itu, para “donatur” (masyarakat pemilih) memberikan sebagian “darah” (suara) untuk menyelamatkan “nyawa” bangsa yang masih terkapar ini.
Gereja, melalui suara sang gembala (imam) seakan memberikan “suntikan” melalui “jarum seruan” sebagai cara terbaik dalam upaya menyelamatkan bangsa ini. Proses penyelamatan bangsa, dimulai dari lingkup paling kecil yaitu paroki. Lewat basis utama Gereja ini, tertanam sebuah komitmen untuk membangun peradaban, sambil menunggu sang penyelamat (mesias) atau pemimpin yang dirindukan oleh bangsa ini. Bagaimana masyarakat melihat hal berpikir dan mengungkapkan pikiran sebagai satu bentuk kerasulan, sebagai satu bentuk komitmen terhadap persoalan kemasyarakatan dan Gereja?***

MENCARI ORANG JUJUR

Oleh: Valery Kopong*

Komisi pemberantasan korupsi pernah membuka sebuah warung dan diberi nama “warung kejujuran.” Banyak barang yang dijual diletakkan di etalase dan diberi harga masing-masing. Setiap orang yang mengunjungi warung tersebut dibiarkan untuk memilih dan membeli sesuai dengan harga yang tertera pada masing-masing barang dagangan dan uang yang merupakan hasil pembelian diletakkan pada tempat yang telah disediakan. Apa yang merupakan tujuan utama dari adanya pembukaan warung kejujuran tersebut? Apakah cara sederhana ini menjadi sarana pembelajaran bagi warga agar selalu bersikap jujur tanpa perlu dikontrol?
Mencari orang jujur pada saat ini untuk menjadi pemimpin merupakan suatu pekerjaan yang amat sulit. Menjelang pemilu 2009, banyak orang beramai-ramai menampilkan diri sebagai orang baik dan jujur. Ada yang mau mencalonkan diri sebagai calon legislatif, dan ada pula yang mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Ada kelompok kaum muda yang ingin tampil di atas pentas politik dan menawarkan jalan baru menuju sebuah tujuan yang mau dicapai yaitu kesejahteraan masyarakat. Tawaran yang dikedepankan dibarengi juga dengan afirmasi diri maupun partai. “Pilih aku sebagai caleg yang bersih dan peduli. Atau pilih partai X yang tidak korup.” Apa yang dikatakan oleh caleg maupun partai, hanyalah merupakan jargon politik yang bersifat sesaat dan kemudian lenyap dari permukaan hidup setelah mendulang suara yang mengantarnya pada kursi kekuasaan.
Realitas telah membuktikan bahwa ketika orang terjun ke dalam dunia perpolitikan, secara perlahan menisbikan kejujuran yang seharusnya menjadi bagian penting dalam membangun kesadaran dan moralitas politik. Kejujuran menjadi “batu sendi” dalam menegakan sebuah nurani yang bersih. Berpolitik dengan mengabaikan kejujuran, sama halnya berpolitik tanpa nurani maka akibat yang muncul adalah pengabaian beberapa aspek penting bahkan tujuan yang mau dicapai tidak mengena pada sasaran.
Berpolitik perlu diimbangi dengan tatanan hati nurani yang bersih sebagai bagian integral dalam mewujudkan sebuah masyarakat yang sejahtera. Berpolitik dengan hati tidak lain adalah berpolitik dengan bersikap santun dan humanis. Politik hati nurani, seperti yang digagaskan oleh almahrum Romo Mangunwijaya, lebih menitikberatkan pada hati sebagai pusat dari aktivitas berpolitik. Wacana politik hati nurani seakan membongkar episteme masyarakat bahkan merombak mindset seorang politikus. Apakah pemilu yang berlangsung ini, baik untuk memilih anggota legislatif maupun eksekutif benar-benar berjalan sesuai tuntutan moralitas politik yang bersih?
Moralitas politik yang bersih seperti dicanangkan oleh beberapa partai maupun caleg menjadi sesuatu yang sia-sia. Dikatakan demikian karena ketika seseorang (caleg) atau partai mengatakan diri sebagai partai yang bersih, pada saat yang sama mereka sedang memproklamirkan diri sebagai orang yang tidak bersih, jauh dari sentuhan moral politik. Dengan kata lain, para politikus sedang menegakkan sebuah nilai, tetapi pada saat yang sama mereka sedang menodai nilai itu sendiri. Nilai utama yang sering dikesampingkan adalah nilai kejujuran.
Bangsa Indonesia yang hidupnya sekian parah oleh pelbagai krisis, diakibatkan oleh ketidakjujuran yang diperlihatkan oleh elite politik bangsa ini. Menyadari betapa pentingnya nilai kejujuran sebagai upaya dalam mendongkrak kepercayaan masyarakat, maka tidak mengherankan bahwa para calon politisi yang memanfaatkan momentum pemilu sebagai “peluang reklame” diri dengan mengedepankan nilai-nilai utama kejujuran sebagai koridor politik dalam merebut suara masyarakat.
Seruan politis dari para politisi memberikan warning pada masyarakat tentang sebuah kehilangan akan jati diri bangsa. Di sini, seorang politikus, terlepas dari bombastisnya, tampil sebagai perintis jalan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Boleh jadi, seorang politik, yang karena keberaniannya dapat disejajarkan dengan seorang seniman. Chairil Anwar pernah menulis tentang seniman. Menurutnya, seorang seniman menjadi seorang perintis jalan, penuh keberanian dan tenaga hidup. Ia tidak segan memasuki hutan rimba penuh binatang-binatang buas, mengarungi lautan lebar tak bertepi. Seniman adalah tanda dari hidup yang melepas bebas.
Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa para politikus menjadi seorang perintis sekaligus reformis yang memiliki “daya pangkas” dalam upaya membenah bangsa ini. Mereka (para caleg) akan tampil memangkas segala kepincangan yang terjadi selama ini dan memberikan arah baru dalam menuntun masyarakat luas menuju “rimba negeri” yang makmur. Tetapi dalam proses menuntun masyarakat ini perlu adanya komitmen dan garansi politik sebagai ikatan normatif bagi para politisi agar dalam melaksanakan aktivitasnya, mereka selalu bercermin pada “janji dan komitmen.” Berapa jumlah politisi yang berpegang teguh pada komitmen dan setia pada rakyat yang telah memberikan hak pilih dalam memuluskan jalan politik? Ada waktu lampau yang mendorong kita untuk berseru: “Kami ingin menuntut agar para politisi berlaku jujur dan adil.” Tetapi ada politik ingatan, ada politik melupakan. Keduanya menganggap bahwa “sejarah” adalah semacam fotokopi dari pengalaman yang telah tersimpan.
Dalam sejarah perjalanan “mesin politik” bangsa ini, selalu diwarnai dengan kecurangan. Ada janji yang baik di luar gedung dewan terutama saat kampanye tetapi seketika itu mereka lupa janji seusai pulas duduk di kursi empuk. Maka konklusi politik yang muncul di permukaan yakni bahwa politik Indonesia adalah politik yang absurd yang kini mencapai titik kulminasinya. Istilah politik yang absurd mengungkapkan sebuah kegagalan bahasa seorang politikus yang tidak sanggup menerjemahkan janjinya ke dalam politik praktis. Absurditas politik mengungkapkan secara vulgar tentang kesia-siaan rakyat dalam memberikan suara dan politikus yang gagal dalam menata kehidupan bersama. Yang ada adalah pemutlakan diri untuk mencapai kepentingan pribadi dan kelompok partai. Lalu siapakah pemimpin yang jujur untuk bakal tampil di istana untuk menjawabi kerinduan masyarakat luas? Penulis khawatir, kerinduan masyarakat akan pemimpin yang jujur dan tulus, hanyalah sebuah kerinduan hampa, tidak jauh berbeda dengan “Waiting for Godot,” menunggu lakon yang tak pernah muncul di permukaan pentas.**

CALEG, “FACEBOOK DAN FACE TO FACE”

Oleh: Valery Kopong*

PEMILU sudah diambang pintu. Dengan keterdekatan waktu, sedikitnya memaksa para caleg (calon legislatif) untuk mencari alternatif dalam merebut suara masyarakat terutama daerah pemilih (Dapil). Pemilu dilihat sebagai “pasar politik” yang berani menawarkan pelbagai kemungkinan pada masyarakat pemilih. Tetapi dalam proses tawar-menawar, setiap caleg tentunya mencari terobosan yang berarti. Cara-cara mana saja yang sedikit lebih efektif dalam mempengaruhi massa? Media apa saja yang lebih mempan dalam memasarkan konsep, memasarkan wajah dan program-program yang bakal dilakukan oleh caleg?
Ketika melakukan perjalanan panjang, dari rumah menuju tempat kerja, ada satu pemandangan umum yang terlihat adalah wajah-wajah para caleg bergantungan pada tiang-tiang listrik dan pohon-pohon di tepi jalan. Gambar wajah para caleg sepertinya bergentayangan dan seakan menyapa para pejalan kaki dan orang-orang yang melintasi jalur ramai dengan mengendarai kendaraan. Para caleg berani masuk ke wilayah ramai, tempat kerumunan orang-orang yang barangkali memberikan suara untuk memuluskan perjalanan politik mereka.
Tidak hanya wajah yang terpampang tetapi lebih dari itu ada tulisan-tulisan singkat yang merupakan moto perjuangan mereka dan sekaligus sebagai kalimat sakti yang memiliki daya hipnotis-politis yang tinggi. Ada yang menuliskan kalimat di spanduk: “saatnya hati nurani yang berbicara.” Membaca tulisan sederhana ini memiliki pesan yang syarat makna. Pertama, bertitik tolak dari pengalaman masa lalu, para pejabat yang terlibat dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara ini seolah-olah mengabaikan bisikan nurani sehingga sebagian kebijakan yang diambil agak jauh dari sentuhan kemanusiaan dan mengorbankan masyarakat kecil. Kedua, politik hati nurani seperti yang dikedepankan oleh almahrum Romo Mangunwijaya belum menjadi bagian integral dalam kehidupan politik praktis. Yang lebih ditekankan adalah rasionalitas diri yang berujung pada pembelokan nilai-nilai politik.
Para caleg dan capres maupun cawapres tidak mau ketinggalan dalam penggunaan media sebagai sarana dalam menjalin komunikasi aktif dengan masyarakat luas. Model baru perluasan wilayah politik melalui dunia maya merupakan pengaruh yang dimunculkan oleh Obama dalam berkampanye terselubung melalui facebook. Obama, yang kehadirannya dalam pentas politik seakan menjadi magnet kehidupan bagi para politisi. Tetapi apakah mungkin, target gemilang yang dicapai Obama juga menjadi “mimpi emas” para elite politik kita?
Ketika membuka facebook, aku melihat wajah-wajah para elite politik yang juga nongol di dunia internet dan dijadikan sebagai lahan subur dalam berkampanye. Mereka coba menggugah kesadaran masyarakat terutama pengguna facebook untuk melihat diri mereka, gagasan dan opini yang dibangun bersamaan dengan niat untuk merebut kursi kekuasaan. Para elite politik terutama yang berdomisili di kota-kota, memanfaatkan internet sebagai jaring sosial-politik untuk menggenggam massa dalam menentukan sikap di saat-saat menjelang pemilu. Para elite politik kota lebih cepat dalam bermobilitas. Barangkali mereka tersihir dengan kata-kata Plato, “Mereka yang lambat, tak ikut bermain.” Mereka (para elite) secara sepintas dilihat sebagai orang-orang lihai dalam berkompetisi. Hidup mereka selalu dibayangi dengan kursi kekuasaan yang menjadi sasaran terakhir dari perjuangannya. Karena kursi kekuasaan maka mereka selalu membangun strategi dalam permainan politik. Charles Baudelaire mengatakan bahwa hidup hanya mempunyai pesona tunggal yakni permainan. Jika kita masuk ke dalam suatu permainan maka pertanyaan filosofisnya adalah: “Maukah Anda menang atau kalah?”
Pertanyaan filosofis ini menjadi landasan dasar untuk bertarung dan menguji kedewasaan dalam berpolitik. Para politisi kita kebanyakan menyiapkan diri untuk bertarung di pentas politik tetapi belum sepenuhnya menyiapkan diri untuk menerima kemenangan atau kekalahan. Dua konsekuensi dari pertarungan ini menjadi bagian yang tak terpisahkan. Ketika kemenangan yang diraih, apakah elite politik yang bersangkutan sanggup menerjemahkan seluruh gagasan ke dalam rencana strategis yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat? Tetapi apabila kekalahanlah yang dialami dari proses pertarungan itu, sanggupkah ia (elite politik) menerima dengan lapang dada? Kekalahan menjadi pengalaman yang pahit dan memalukan dan justeru orang-orang Indonesia belum menunjukkan sikap legowo dalam berpolitik untuk menerima kekalahan sebagai proses dalam pendewasaan diri. Para pengamat sosial-politik menilai bahwa tingkat stres masyarakat semakin meningkat setelah pemilihan umum pada bulan April. Analisis yang terkesan dadakan ini dapat diterima dengan melihat fenomena caleg yang semakin menjamur yang kebanyakan tidak memiliki pekerjaan alias pengangguran. Di sini, mereka membaca peluang untuk memanfaatkan momentum pemilu sebagai bagian dari proses mencari kerja dengan resiko yang begitu berat. Apabila mengalami kegagalan maka hal ini dapat menambah matriks kekecewaan dan stres.
Seminggu yang lalu, aku mendapat SMS dari sahabatku yang menginformasikan bahwa Yos (bukan nama sebenarnya) yang menjadi caleg di kabupaten Tangerang-Banten, meninggal dunia. Diperkirakan ia meninggal karena kecapaian dalam melakukan pendekatan ke masyarakat sebagai calon pemilih. Ia hidup di kota kecil tetapi ia tidak memanfaatkan dunia internet sebagai sarana dalam berkampanye. Baginya, pendekatan pribadi (face to face) jauh lebih berharga dan jarak sosialnya tidak terlalu lebar. Kebetulan dia adalah caleg katolik maka strategi awal yang disusun adalah menemui para ketua lingkungan dan anggota-anggotanya. Ia menunjukkan wajah secara terbuka dan meyakinkan umat dalam menentukan pilihan terhadap dirinya. Sayangnya, Tuhan lebih dahulu memilih dia sebelum ia dipilih oleh masyarakat.
Para politisi meramu metafor untuk kehidupan yang ternyata membawa konsekuensi yang berat. Di dalam perpolitik, ada pergulatan dengan kerasnya kehidupan yang tidak selalu berakhir dengan kemenangan. Ada tragedi dan tangis bagi yang kalah. Ada komedi dan gelak tawa bagi yang menang. Dan karena dinamika kalah menang itulah, maka berpolitik menjadi perhelatan yang paling banyak digemari.***