Tuesday, June 29, 2010

DI TANGKAI LANGIT
(Sebuah elegi sang perantau)
Siapa yang tahu persis, kapan kematian itu menjemput seseorang? Di sore yang sedikit mendung dengan awan sisa menggelantung di tangkai langit, seolah menerima keramahan dan senyuman terakhir bagi mereka yang melewati pos satpam Vireta. Ia pamit pulang karena jam kerjanya sudah selesai. Makan sore pun mulai. Piring yang ada di tangan menjadi saksi bisu kepergian Frans De’ona, lelaki dari pulau lomblen yang telah lama merantau.
Semua pada panik karena kondisinya kejang. Ia dilarikan ke Rumah Sakit tapi dalam perjalanan ia menghembuskan nafas terakhir. Kami yang menunggu dengan jantung setengah berdenyut, tiba-tiba hanyut dan larut dalam kemelut dingin. Ia mati sebagai seorang security. Ketika bertugas berjaga, mata-mata para satpam belalak liar mengintai pencuri atau musuh yang datang tapi kali ini ia tak sanggup lagi mengintai kedatangan maut. Ia hanyat terbawa dalam arus sakratul maut. Ia mati selamanya.Dan tentang kematian, seorang sahabat saya yang meninggal setelah menulis puisi ini, menuangkan nilai-nilai puitis bernada demikian:
Kuusung jenasahku sendiri
Menyinggung tepian samudra
Angin yang mengawal pantai
Menebar bau kematian ini
Kumakamkan diriku sendiri di sini
Tanpa kembang seribu janji
Tiada pula syair-syair kebangkitan…
Puisi yang bernilai eskatologis ini ditulis oleh teman kelas saya waktu ia masih hidup dan bergelut dengan panggilan hidupnya sebagai calon imam tetapi gagal di persimpangan kebingunan. Kematian menjadi sebuah pilihan yang mau tidak mau diterima sebagai bagian dari hidup itu sendiri. Apa gunanya berbicara tentang hidup kalau kita takut berbicara tentang kematian? Kematian itu pasti, ia (kematian) lebih pasti daripada ilmu pasti. Seperti dalam urat nadi puisi di atas yang menggambarkan secara implisit tentang heroisme seorang seniman yang tidak takut akan kematian yang digambarkan pada kalimat “kuusung jenasahku sendiri.” Ini menunjukkan bahwa ia sedang mempersiapkan diri menuju hidup yang lain. Ia berpihak pada kehendak-Nya dan mengusung kesadaran untuk pada akhirnya menerima kematian yang waktu itu terjadi secara tragis sebagai sesuatu yang terberi. Kekuatan bagi seorang seniman mengandalkan puisi sebagai benteng harapan dan meneguhkan imannya sendiri. Puisi itu lahir dari kesadaran dan karenanya kekuatan puisi itu dapat menembus ruang-ruang sunyi, seperti sinyal yang menembus ke segala arah.
“Hidup mengarah pada kematian” (Zein Zum Tode), demikian Martin Heidegger memproklamirkan tentang jejak terakhir dari hidup ini. Kematian bagi om Frans hanyalah sebuah langkah awal untuk memulai hidup baru. Semasa hidupnya, ia selalu menyempatkan diri untuk berdoa malaikat Tuhan (Angelus) walau ia hanya mengikutinya dibalik jendela bersama anak-anak SD Vireta. Ia yakin bahwa kekuatan doa sanggup memulihkan hidupnya dan pada akhirnya ia diterima dalam pangkuan-Nya. Allah tentu tidak bertanya, berapa kali Anda berdoa tetapi Ia bertanya berapa kali Anda berbuat baik dengan orang selama hidup.
Dewa, anak semata wayang yang barusan duduk dibangku kelas III SD, kelihatan tegar bahkan sekali-kali menghibur ibunya yang meluruhkan air matanya.“ Bu, relakan bapak pergi, “ demikian ucapan yang keluar dari mulut seorang Dewa. Dia seolah tegar tetapi semestinya ia belum paham arti kepergian dalam konteks kematian. Ia baru sadar dan menangis ketika peti jenazah yang terbaring di pekuburan sela pajang ditutupi tanah. Ia menangis bersama ibunya sambil memegang salib yang belum kuat berdiri di timbunan tanah yang lembab. Apa yang kita kenang pada sosok seorang Frans? Ia bukan seorang penyair seperti Gorki, Tolstoi atau Destoyevski yang walaupun sudah meninggal tetapi masih dikenang denyut nadi mereka pada karya-karya sastera bahkan orang-orang yang mengaguminya membuat patung untuk mengabadikan sosok orang yang pernah hidup dan berkarya. Ia (om Frans) hanyalah seorang perantau dari tepian kampung dan bekerja sebagai satpam. Yang dikenang adalah keramahan terakhir dan senyumnya yang begitu memukai beberapa orang di saat-saat menjelang kepergian terakhir.
Tak ada karya sastera yang terbaca dan tak ada catatan perjalanan yang ternoktah pada selembar kertas, yang mengisahkan liku-liku hidup sebagai perantau. Tapi amat menyedihkan ketika sidang perkabungan datang melayat, menatap dengan sedih jazatnya terbaring pada kontrakan yang begitu sempit. Tapi dalam kesederhanaan itu membahasakan sebuah filosofi hidup yang mendalam bahwa ia dan keluarganya hidup apa adanya. Kesederhanaan menjadi puncak pertarungan hidup dan mungkin ia mengalami “kekayaan baru” di tanah seberang. Di liang lahat dengan kembang melati yang harum menyengat, seakan membuka diri menerima anggota komunitas baru. Kami semua khusyuk dalam doa runduk pasrah. “Tanpa kembang seribu janji. Tiada pula syair-syair kebangkitan…” Hampir seminggu ia meninggal, tak ada tanda-tanda kebangkitan yang berarti. Seperti ingatan yang kabur tentang kapan kematian itu menjemput? Hanya hamburan semerbak bunga mewangi yang paham tentang kematian sebagai titik akhir di dunia ini. (Valery Kopong)***
Rumah
DI ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, sebuah dusun di Flores Barat mencoba mengingat.
Di Desa Wae Rebo itu, orang membangun kembali rumah adat mereka yang berbentuk kerucut—setelah entah berapa lama hanya empat yang tertinggal dari tujuh yang pernah berdiri, setelah pohon kayu worok tak mudah lagi didapat untuk bahan tiang utama, setelah sawah ladang tak cukup bisa membuat surplus. Generasi silih berganti selama 1.000 tahun; mereka membentuk sejarah, dibentuk sejarah. Kebutuhan baru datang, dan desa didefinisikan oleh kekurangan yang dulu tak ada. Pada abad ke-21, ingatan tak lagi berwibawa: hanya sebuah gudang berisikan hal-hal yang aus.
Waktu memang bukan teman untuk Wae Rebo—sebagai nama yang dicoba disimpan dalam ingatan dan dilambangkan oleh rumah adat. Waktu bukan teman bagi banyak dusun tua lain di Indonesia, di mana rumah pernah memiliki ”kosmisitas”, di mana (jika saya tafsirkan pengertian Bachelard ini) orang bisa merasakan getar dari tiang yang menjulang, seakan-akan tiap saat bumi menjangkau yang kosmis.
Kita, hidup di kota yang makin padat, mungkin bahkan tak lagi sempat mempedulikan yang kosmis nun di atas. Yang vertikal di tempat tinggal dan tempat kerja kini dilambangkan oleh bangunan bertingkat yang tiap lantai bisa didatangi dengan lift. Ia jadi sesuatu yang horizontal. Tubuh kita tak mendaki.
Berbeda dengan nenek moyang orang Wae Rebo, kita tak berteman dengan ruang. Penghuni Wae Rebo yang hidup di antara gunung itu menyadari mereka bagian dari tamasya yang lebih luas ketimbang dusun. Sementara itu, di Jakarta, para pembangun rumah susun memaksa ruang atau dipaksa ruang; konstruksi mereka lahir dari impuls geometris.
Impuls ini—”geometrisme”, kata Bachelard—menggariskan batas yang lurus-kaku, dan dengan itu memisahkan apa yang di luar dan di dalam. Di hampir semua segi kehidupan, ruang terbuka dianggap serasa ancaman, karena akan datang yang ajaib dan tak dapat dikalkulasi. Manusia tak takut klaustrofobia; mereka menanggungkan agorafobia.
Tapi barangkali akan berlebihan bila kita terus-menerus mengeluhkan kota-kota zaman ini dan menyesali modernitas. Modernitas, yang memacu dan dipacu waktu, mendorong X, Y, Z ke masa lalu, dan kemudian mengubah semua itu jadi nostalgia. Namun nostalgia justru menunjukkan bahwa kita terpaut pada masa kini: kita memandang X, Y, Z dari posisi manusia masa sekarang yang sedang takut kepada lupa.
Maka nostalgia adalah ingatan yang memperindah ingatan. Sebab itu kita tak perlu mencemoohnya: ia bagian yang memperkaya hidup kita sekarang, karena mengakui ada dari masa silam yang begitu penting, begitu bagus, dan kita ingin tahu.
Maka jika sejumlah arsitek muda dari Jakarta pada suatu hari di tahun 2009 berjalan berjam-jam mendaki ke Dusun Wae Rebo, dan di sana mengagumi konstruksi rumah adat itu, jika mereka kemudian membentuk sebuah yayasan buat menghidupkan lagi kepiawaian arsitektural di pelosok-pelosok Indonesia, jika kemudian ada dermawan yang membiayai usaha untuk mensyukuri tanah air dengan cara yang kreatif itu—itu semua menunjukkan bahwa nostalgia itu adalah bagian dari pencarian hal-hal yang baru dan berbeda. Buku yang kemudian mereka terbitkan, Pesan dari Wae Rebo (editor Yori Antar, terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2010) adalah rekaman semua itu.
Rasa ingin tahu itu sebenarnya mengandung kritik. Di situ ia sebenarnya bagian dari modernitas, yang tak mau hanya menerima apa yang ada. Dan modernitas bergerak karena kritik itu juga tak jarang ia tujukan ke dalam dirinya sendiri.
Salah satu otokritik yang terkenal menunjuk kepada ketakmampuan kita untuk merasakan tempat kita tinggal sebagai bagian dari Hidup yang tiap kali membuat takjub. Kini kita kehilangan pesona dunia: harum kembang, suara burung, warna fajar, telah jadi ”pengetahuan”. Rumah telah jadi kamar persegi panjang.
Heidegger, yang dengan suara berat melakukan otokritik kepada abad ke-20, mengingatkan kita akan makna kata bauen. Baginya, makna kata itu bukan saja mengacu kepada ”membangun”, tapi juga hidup di bawah langit, hidup di antara semua yang fana, tapi juga bagian dari apa yang tumbuh—baik karena benih sendiri atau diolah jadi kebudayaan.
Tapi di mana kini kita bisa bicara seperti itu?
Ini abad ke-21. Otokritik itu juga perlu kritik. Manusia tak lagi, untuk menggunakan kalimat penyair Hölderlin di Jerman abad ke-18, ”berdiam secara puitis” (dichterisch wohnet der Mensch). Di kota-kota Indonesia yang padat, manusia berhubungan dengan ruang hidupnya sebagai prosa dengan angka-angka di akta tanah.
Tapi tak hanya itu. ”Berdiam secara puitis” agaknya hanya bisa diutarakan oleh mereka yang punya rumah yang sejuk dan tenang, mungkin bahkan dengan hutan dan sungai di dekatnya. Tak semua orang punya privilese itu. Kuli bangunan yang menginap dari tempat ke tempat, para pemulung yang membuat kereta-kotak jadi kamar tinggal mereka yang bisa diparkir di mana saja, punya pengertian lain tentang ”rumah”.
Pada akhirnya, rumah adalah respons kepada kebutuhan tubuh, yang berkembang jadi rencana dan imajinasi. Ingatan tentang rumah masa lalu hanya penting jika ia bagian dari respons itu. Di situlah rumah adat dan rumah darurat punya titik temunya. Bukan dalam bentuk, tapi dalam kreativitas: kemampuan menemukan cara yang pas, di suatu masa, di suatu tempat, di sebuah kondisi berkelebihan dan berkekurangan.
Maka kita akan dapat sesuatu yang berharga jika dari Desa Wae Rebo kita temukan sesuatu yang baru di dalam bentuk fisik yang tampak lama. Kita mengingat, tapi kita tak mengulangi. Sejarah tak bisa diulangi. Sejarah berubah. Antara lain melalui kreasi.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 28 Juni 2010 (Catatan Pinggir Gunawan Mohammad)
Z A K H E U S

Oleh: Valery Kopong*

KETIKA saya diminta oleh ketua lingkungan untuk mencari nama pelindung lingkungan yang baru dibentuk waktu itu, saya menyodorkan satu nama sebagai pelindung lingkungan yaitu Zakheus. Nama yang saya tawarkan sepertinya menjadi racun bagi setiap telinga yang mendengarnya. Orang-orang lingkungan secara serta merta menolaknya dengan alasan yang beragam. Ada yang mengatakan bahwa ia (Zakheus) terlalu pendek orangnya sehingga nama ini menjadi bahan tertawaan lingkungan lain. Ada lagi yang mengatakan bahwa ia sang koruptor.
Saya coba menampung aspirasi umat sambil tetap mencari alasan apa yang mendasar sebagai bukti otentik untuk meyakinkan masyarakat bahwa Zakheus juga berharga di mata dunia. Waktu itu, kebetulan seorang pastor menginap di rumahku selama seminggu dan saya coba berkonsultasi dengan dia dan herannya, nama yang saya tawarkan ini menjadi kisah yang menarik dan menjadi bahan diskursus yang hangat antara saya dan romo. Romo sendiri mengiakan kepantasan nama itu (Zakheus) karena walaupun dunia memandangnya dengan sebelah mata, tetapi justeru ia membuka diri bagi Yesus untuk datang dan berada di rumahnya.
Rumah Zakheus adalah sebuah “ruang publik” yang dapat memungkinkan siapa saja yang masuk ke dalamnya. Yesus adalah orang pertama yang berani masuk ke dalam rumahnya. Kehadiran Yesus menjadi tanda yang mengingatkan peristiwa masa lampau yang serba kelam. Dan kehadiran Yesus sendiri seakan merombak pola pikir masyarakat tentang dia dan keluarganya. Labelisasi yang dikenakan padanya yakni sebagai koruptor perlahan hilang oleh sebuah kejujuran yang mengantarnya menuju jalan pulang. Kehadiran Yesus di rumahnya membukakan matanya untuk secara tajam melihat seluruh sepak terjang perjalanan karirnya yang manipulatif dan koruptif. Kehadiran Yesus juga merupakan saat teduh baginya untuk berefleksi serta menuding diri, berapa ribu orang yang telah diselewengkan pajak-pajaknya.
Kerinduan terbesar dalam diri seorang Zakheus adalah mau melihat, siapakah Yesus sebenarnya. Kerinduan ini tersembul dari balik tumpukan uang yang merupakan hasil pemerasan pada rakyatnya. Memang, menjadi pengalaman dilematis seorang pegawai pajak ketika berhadapan dengan tumpukan uang. Mau menghamba pada “mamon” ataukah percaya pada Allah, sumber kekayaan itu sendiri. Peristiwa pertemuan antara Yesus dan Zakheus adalah sebuah peristiwa iman yang sanggup mengembalikan hati yang pernah berpaling dari Allah sendiri. Zakheus, selama dalam menjalani kehidupan yang oleh masyarakat dilihat sebagai pekerjaan haram, menjadikan ia semakin jauh dari sentuhan kasih Allah sendiri. Karena tenggelam dalam perbuatannya yang tak terpuji maka ia sendiri menjadi “buta” dan tidak sanggup melihat Yesus sebagai penyelamat. Badannya yang pendek tidak semata-mata diartikan secara fisik tetapi lebih dari itu membahasakan kekurangan iman sehingga ia harus naik ke pohon ara, “pohon iman” agar mata batinnya dibuka untuk melihat Tuhan yang lewat.
Di tengah jejalan manusia yang ingin melihat Yesus dalam perjalanan-Nya dari desa ke desa, dalam hati Yesus, Ia ingin berjumpa dengan seorang bernama Zakheus. Kalau dianalisis lebih jauh, memunculkan beberapa pertanyaan rujukan untuk memahami kedekatan batin antara sang koruptor dan Mesias. Zakheus tentu sebelumnya menjadi bahan pembicaraan yang menarik dan mungkin menjadi pemberitaan lisan tentang tingkahnya yang mengecewakan masyarakat. Di sini, kontrol sosial menjadi kuat, namun tidak menyanggupkan hati seorang Zakheus untuk berbalik.
Yesus yang lewat, tidak dibiarkan begitu saja menghilang ditengah jubelan manusia namun ia menyadari betapa pentingnya ia mencari seorang penyelamat untuk mengembalikan reputasi dan harga diri yang selama ini jatuh tertindih tumpukan uang. Kehadiran Yesus membuka jalan baru, jalan keselamatan. Kehadiran Yesus tidak bertindak sebagai penggeleda kekayaan Zakheus tetapi hanyalah ungkapan solidaritas dan silahturahmi. Yesus bukanlah penyidik yang menuding, siapa-siapa lagi yang terjebak dalam kasus yang sama. Dengan mengatakan “Zakheus, turunlah, Aku mau ke rumahmu,” dilihat sebagai “interupsi ilahi” di mana Yesus sendiri menciptakan peluang sunyi bagi introspeksi diri seorang Zakheus. Ia mau ke rumahnya, menunjukkan betapa Yesus peduli terhadap pribadi dan keluarganya. Kunjungan Yesus ke rumahnya merupakan titik awal Ia menanamkan nilai-nilai pertobatan. Rumah Zakheus setelah dikunjungi Yesus sepertinya mengalami sebuah transformasi, dari rumah “berlandaskan” strategi kebohongan menjadi rumah “bertiangkan” metanoia. Rumahnya juga menjadi ruang publik dan “ruang produksi nilai-nilai pertobatan” dan akan didistribusikan kepada siapa saja yang membuka diri pada keselamatan.
Yesus sudah berkunjung ke rumahnya, tetapi di mata masyarakat, ia tetap sebagai koruptor. Zakheus menjadi ikon pemanipulasian pajak dan menjadi hidup di setiap generasi yang berbeda. Orang-orang dan dunia umumnya seperti telah memancangkan prasasti abadi tentang Zakheus sehingga orang tidak mudah melupakannya. Tetapi Zakheus mengalami kegembiraan dan kehormatan ketika si Tuhan datang menemui dia dalam kondisi tak berdaya oleh cara pandang yang keliru dari masyarakat umum. Kegembiraan yang dialami juga bukan merupakan “kegembiraan instan” karena ia menghayati kegembiraan ini dalam terang iman pertobatan.
Orang-orang di lingkungan saya menolak keras bila nama Zakeus menjadi pelindung lingkungan itu. Dan apabila setiap instansi pemerintah mencari seorang kudus sebagai pelindung, maka Direktorat Pajak pasti berpelindungkan Zakheus, sebuah nama yang membuka historia biblis dan mengingatkan setiap pegawai pajak akan uang-uang pajak yang ditagih dari masyarakat. Dunia dan Indonesia khususnya membenci Zakheus, tapi herannya pola perilaku koruptif yang merupakan warisannya ditumbuh-suburkan dalam lahan “republik korupsi” ini. Andaikata Zakheus masih hidup sampai dengan saat ini pasti ia berujar, “hari gini masih korupsi, apa kata dunia?” ***

Monday, June 28, 2010

“AIR SUSU IBU MENGERING”
Oleh: Valery Kopong*

Melihat cuplikan film “Tanah Air Beta” garapan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen mengisahkan tentang detik-detik terakhir ketika Timor-Timur (Timor Leste) yang menyatakan diri merdeka dan lepas-pisah dengan NKRI, ada rasa yang memiris kemanusiaan. Opsi yang digulirkan pemerintahan Habibie waktu itu membuka peluang besar bagi orang-orang Timor Lorosae (Timor matahari terbit) untuk menghirup nafas kebebasan. Tetapi apakah penentuan diri untuk merdeka menjadikan orang-orang yang pro kemerdekaan dan pro integrasi sama-sama merasakan kebahagiaan? Dua kelompok ini sama-sama merasakan penderitaan. Yang pro kemerdekaan juga masih mengalami derita dalam mempertahankan hidup. Sedangkan mereka yang pro integrasi, juga sampai sekarang kurang diperhatikan oleh pemerintah. Film “Tanah Air Beta” menjadi menarik dan memiliki nilai sejarah yang mendalam karena dengan film ini sanggup menggugah kesadaran masyarakat umum, baik pemerintah daerah maupun Gereja untuk dapat memperhatikan kehidupan mereka ke depan.
Menurut catatan sosiolog dari Universitas Nusa Cendana, Yanuarius Koli Bau, bahwa kehidupan para pengungsi eks Timor-Timur saat ini lebih memprihatinkan dari pelbagai sisi kehidupan. Banyak tindakan kriminal dan asusila mulai terkuak ke permukaan hidup karena didorong oleh kehidupan yang serba tak menentu. Kehidupan saat ini saja tidak menentu, apa yang dapat diharapkan untuk waktu yang akan datang? Banyak anak yang terjerumus dalam aksi premanisme dan cara ini dilakukan sebagai bentuk pertahanan diri dari tuntutan ekonomi. Ada perempuan yang berani melacurkan diri dan hal ini juga dilakukan demi menyambung hidup.
Apa yang disoroti oleh seorang sosiolog ini bukanlah sebuah rekayasa tetapi merupakan sebuah fakta yang sedang berpihak pada penderitaan rakyat miskin. Kemiskinan yang sedang dialami oleh para pengungsi eks Timor-Timur merupakan kemiskinan yang terstruktur dan korban dari sebuah guliran opsi yang tidak mempertimbangkan aspek humanitas. Apa yang harus dilakukan agar kehidupan mereka sekarang dan pada masa yang akan datang dapat terus berlanjut? Pertama, pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur perlu memperhatikan secara serius kehidupan yang tengah mereka jalani. Perhatian pertama ini ditujukan untuk pemulihan kehidupan ekonomi dan penataan perumahan yang layak pakai. Barangkali pemerintah menggalang dana dari para donatur dan disalurkan pada mereka sebagai modal awal untuk mengembangkan usaha-usaha kecil. Apabila pemerintah membuka dompet kemanusiaan untuk mereka, pasti banyak orang yang membantu, asalkan bantuan yang diberikan tepat pada sasaran.
Kedua, pihak Gereja katolik juga turut membantu kehidupan mereka. Keterlibatan Gereja dalam persoalan kemanusiaan merupakan suatu panggilan. Konsili Vatikan II menegaskan ciri pelayanan klerus sebagai orang-orang terpanggil demi pelayaan (Lumen Gentium 28, Prebyterorum Ordinis,2). Imam Katolik, dalam persatuan dengan uskup, dipanggil untuk meneruskan karya pelayanan Kristus kepada umat demi pertumbuhan roh dan perwujudan keadilan (LG, 21). Imam sebagai rekan kerja Uskup memperjuangkan keadilan karena tugas ini tidak terpisahkan dari karya penginjilan. Iustitia in Mundo, Sinode Para Uskup tahun 1971 menegaskan “Bertindak atas nama keadilan dan partisipasi dalam pengubahan dunia tampak sepenuhnya bagi kami sebagai suatu dimensi pokok untuk mewartakan Injil atau dengan kata lain, dimensi yang pokok tugas Gereja bagi penebusan bangsa manusia dan pembebasan dari setiap keadaan yang menekan.”
Memang, keterlibatan Gereja terutama para imam, suster dan awam yang tergabung dalam TRUK-F waktu itu, begitu banyak menyelamatkan para pengungsi yang terbengkelai hidupnya. Tetapi apakah aksi penyelamatan korban merupakan akhir dari pelayanan? Aksi-aksi pelayanan nyata kelihatan kendor saat ini dan dengan penayangan film “Tanah Air Beta” di pentas nasional turut menggugah kembali kesadaran baik pemerintah daerah NTT dan Gereja Regio Nusra untuk berpacu dalam menyelamatkan generasi bangsa yang sedang mengalami pergulatan yang tidak mengenal titik batas penyelesaikan.
Karya pastoral saat ini yang paling mendesak adalah bagaimana menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang sedang dihadapi oleh masyarakat dan juga adalah umat Allah. Apa yang dilakukan oleh Gereja merupakan panggilan profetis sebagai bagian integral warga negara Indonesia. Bahwa demi “Merah-Putih,” para pengungsi eks Timor-Timur tetap bertahan walau dalam kondisi yang lapar. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan umat Allah (baca: rakyat) harus juga menjadi kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para gembala (bdk. Gaudium et Spes artikel No. 1). Pemerintah dan Gereja mestinya sepakat dalam mengurus warga eks Timor-Timur yang sedang menunggu uluran tangan. Kedua lembaga terhormat ini jangan berhenti melepaskan tanggung jawab di “persimpangan hidup” mereka. Mereka butuh bantuan, baik moril maupun materiil. Tanpa uluran kemanusiaan dari mereka yang peduli maka hidup yang tengah dijalani “mungkin” bertahan untuk satu generasi ini. Dalam catatan keprihatinan Yanuarius Koli Bau, ia mengisahkan bahwa seorang bayi meninggal di tengah pelukan ibunya. Bayi itu tak berdaya dan ingin meminum air susu ibu, ternyata air susu ibu kehabisan karena ibunya sudah dua minggu tidak makan dan minum. Ia akhirnya meninggal ketika mulutnya sedang menyundut puting susu ibunya yang telah kering. “Gereja mesti solider dan peka dengan masalah kemanusiaan yang terus diderita umat sederhana jika gereja tidak ingin kehilangan jati diri sebagaimana yang dicita-citakan Yesus saat mendirikannya.” ***

Wednesday, June 16, 2010

P A M I T

DELAPAN TAHUN menggeluti dunia pendidikan, membuka “ruang” pemikiran dan keterbukaanku untuk belajar tentang banyak hal. Belajar tentang ilmu sosial memungkinkan saya untuk menganalisis pelbagai hal dan seluruh permasalahan yang sedang dihadapi oleh manusia. Disiplin ilmu sosial yang tidak memiliki alat ukur yang pasti dan hal ini mengharuskan aku untuk terus menganalisis dengan “pisau pemikiran” yang tajam. Tetapi apakah setelah tidak mengajar lagi sosiologi, aku harus berhenti dari segala kegiatan berpikir terutama menganalisis pelbagai persoalan sosial, baik politik, ekonomi dan persoalan-persoalan lain? Menganalisis sebuah persoalan tidak perlu mengharuskan saya sebagai seorang guru. Guru hanyalah sebagai profesi yang sedikit membantu untuk mempelajari ilmu yang digeluti. Tetapi selepas dari guru, aku memutuskan diri untuk menganalisis pelbagai persoalan sambil tetap menjalani tugas utama saya sebagai seorang Penyuluh Agama Katolik di Kementerian Agama Kabupaten Tangerang.
Tanggal 12 Juni 2010, hari Sabtu waktu itu. Di atas meja saya ada tergeletak sebuah surat dari Yayasan Bunda Hati Kudus yang isinya tidak memperpanjang kontrak kerja sebagai guru sosiologi di SMA Vianney, Cengkareng. Begitu cepat, mendadak dan surat ini seperti mengharuskan saya untuk segera meninggalkan Vianney. Aku lalu bertanya, inikah potret Bunda tak berhati?
Aku mulai berkemas. Seluruh soal mata pelajaran sosiologi aku singkirkan semua. Buku-buku pribadi dan foto-foto kenangan yang terpajang di meja kuambil sebagai kenangan berharga dan mengingatkan aku bahwa aku pernah menjadi guru. Pada tanggal 12 Juni pagi itu, bertepatan dengan pelepasan siswa-siswi kelas XII yang telah lulus ujian akhir, aku sepertinya terhanyut dalam suasana pelepasan. Ada elegi pisah yang terbangun sejak dimulainya perayaan ekaristi dan acara ramah tamah. Aku masih ingat bahwa sebelum Yesus menjalani sengsara, Ia lebih dahulu makan bersama para murid-Nya. Dalam acara makan bersama, Yesus juga meninggalkan sebuah tradisi pelayanan yang terlihat pada peristiwa pembasuhan kaki para murid-Nya. Pembasuhan kaki menjadi tanda kerendahan hati seorang “guru” terhadap para murid-Nya. Dalam perayaan ekaristi itu, teks Injil yang dibaca tentang bagaimana Yesus menampakkan diri pada Petrus dan beberapa murid-Nya yang sedang menjala ikan. Teks Injil ini menjadi menarik karena Yesus menyuruh Petrus untuk melabuhkan jalanya di sebelah kanan. Apa jawab Petrus? Sudah semalaman kami mencari ikan tetapi tak satu pun yang kami dapat! Ini merupakan reaksi manusiawi seorang Petrus tetapi karena Ia mengenal Yesus sebagai guru dan Tuhan maka apa yang dikatakan-Nya dijalani juga.
“Bertolaklah lebih ke dalam.” Apa yang dikatakan oleh Yesus menjadi sebuah pertanyaan besar dalam diri Petrus dan kawan-kawan yang hendak menangkap ikan lagi. Tetapi di sini, dapat dilihat bahwa Yesus begitu paham tentang kondisi laut dan daerah-daerah mana saja yang menyimpan banyak ikan. Wawasan bahari Yesus yang luas terbukti di sini. Ketika melabuhkan jala di sebelah kanan perahu, mereka mendapatkan ikan yang begitu banyak. Mereka menuai kegembiraan karena telah mendapatkan ikan yang begitu banyak.
Sebagai murid Yesus, saya pun menyadari bahwa selama delapan tahun menggeluti dunia pendidikan, “mungkin” saya sedikit sekali memberikan keberhasilan demi pengembangan SMA Vianney. Banyak siswa-siswi yang mungkin pernah tidak lulus atau tidak naik kelas karena pelajaran sosiologi yang saya ajarkan. Pelajaran saya sepertinya menjadi batu sandungan bagi mereka yang ingin mengalami kesuksesan. Barangkali “jala” sosiologi yang saya pasang tidak memenuhi kriteria sehingga target yang didapatkan juga tidak maksimal. Melalui injil yang diperdengarkan pada acara temu-pisah membuka “horizon” baru bagi saya untuk melabuhkan jala di tempat yang lain dan mungkin oleh Tuhan sendiri, jala itu sudah disiapkan, tinggal saja bagaimana membuka hati bagi Tuhan untuk mendengar bisikan-Nya agar jala yang dilabuhkan lebih mengena pada sasaran.
“Jangan labuhkan jala lagi di dunia pendidikan.” Ini merupakan bahasa pelesetan yang mengharuskan seorang penjala mesti pandai membaca tanda-tanda zaman. Membaca tanda-tanda zaman berarti mengasah kepekaan sosial dan berani membenamkan diri dalam “lautan zaman.” Allah senantiasa menuntun umat-Nya hingga akhir zaman. Seperti umat Israel yang dibimbing oleh Allah lewat Musa menyeberang laut merah dan mengembara menuju tanah terjanji, dan tentunya Allah yang sama sedang menuntun saya menuju “tanah” yang baru yang telah disediakan bagiku. Di sana terdapat kelimpahan susu dan madu. Mungkinkah pamitku dari Vianney menjadi titik awal pengembaraan menuju tanah terjanji? (Valery Kopong)

Tuesday, June 15, 2010

“BERILAH KAMI REJEKI PADA HARI INI…”
Itulah penggalan doa Bapa Kami yang keluar secara perlahan dari mulut seorang Aurel, anak saya yang masih TK. Dia belajar untuk menghafal rumusan doa Bapa Kami. Sambil belajar berdoa, terkadang ia bertanya pada saya, mengapa ada rumusan berilah kami rejeki pada hari ini dan bukannya besok? Pertanyaan seorang anak kecil yang berbau teologis-filosofis, mengundang reaksi saya untuk segera memberikan jawaban. Lama aku bermenung sambil mencari tahu tentang makna rumusan doa-doa bapa kami. “Secara gamblang, saya katakan bahwa orang-orang tentu membutuhkan kebutuhan primer (kebutuhan utama) pada hari ini dan tidak mungkin tertunda sampai besok. Doa ini juga membuka “ruang pengharapan” bagi setiap orang yang percaya pada Allah untuk mendapatkan rejeki untuk menghidupi kebutuhan hidupnya. Tetapi sejauh mana manusia menaruh harap pada Allah yang murah hati?
Memang persoalan tentang hidup berpulang pada pribadi manusia. Ada yang bekerja seharian di bawah terik matahari tetapi rejeki yang diperoleh hanyalah sedikit. “Apa gunanya manusia berjerih lelah di bawah terik matahari?” demikian kata Sang Pengkhotbah. Manusia boleh menjalani hidup dengan amat keras tetapi belum tentu memperoleh hasil sesuai yang diharapkan. Keterlibatan Allah sangat penting karena intervensi Allah membuat seluruh apa yang kita kerjakan menjadi lebih bermakna atau dengan kata lain, Allah membuat hidup ini menjadi lebih hidup dengan mendatangkan rejeki yang secukupnya. Penggalan doa bapa kami di atas menjadi semacam prolog bagi setiap manusia untuk menjalani hidup ini. Membuka hari baru, sepertinya kita membuka selubung rejeki dari Allah dan Allah membiarkan kita bergumul dengan dingin dan terik matahari untuk bekerja. Di sana, di ufuk batas matahari terbenam kita akan melihat, seberapa besar rejeki yang diperoleh.
Di bawah remang-remang matahari yang beringsut pamit dari dunia ini, kadang kita gerutu sambil mempersalahkan Allah yang memberikan rejeki tidak sesuai dengan porsi keinginan manusia. Salahkah Allah dalam memberikan rejeki di luar porsi yang diharapkan? Tapi ingatlah bahwa Allah tentu memberikan rejeki untuk dikonsumsi pada hari ini. Besok ada rejekinya tersendiri karena itu jangan menggabungkan rejeki pada hari ini dan pada hari-hari yang akan datang untuk diterima hari ini. Rejeki yang kita terima adalah bagian terbaik yang diberikan oleh Allah. Dapatkah kita mensyukuri rejeki yang telah diterima dengan lapang dada? Setiap orang memahami hidup ini sebagai sebuah anugerah maka rejekipun merupakan bagian integral dari anugerah hidup itu sendiri. “Bagi orang yang percaya (beriman), hidup adalah sebuah anugerah, dunia adalah lahan lubur, tempat kita mengais rejeki. Tetapi bagi orang yang tidak percaya, mereka melihat hidup ini sebagai penyakit, dunia adalah rumah sakit dan mati adalah jalan keluar yang terbaik.” Anugerah Allah itu indah dan dalam keindahan kita digenggam-Nya.*** (Valery Kopong)
K E M A H

Oleh: Valery Kopong*

TANGGAL 21 malam, bulan November 2009 waktu itu. Di tengah mendung menggelayut langit sekolah Tarsisius Vireta, ada banyak kemah berdiri tegak di jantung halaman sekolah. Dalam sorotan api unggun yang memikat, seakan membakar kesadaranku untuk selalu berjaga dan berjaga. Anak-anak SD Vireta tengah mendesis di ruang kemah itu yang seakan mengundang kemarahan dari kak Pembina. Tapi apakah mereka yang berkemah adalah potret simpel dan simbol dari sebuah kehidupan yang fana?
Sembari menjaga anak-anak yang berkemah, beberapa guru sedang asyik menonton film yang mengisahkan tentang dunia akhirat yang bakal terjadi di tahun 2012. Dengan tatapan yang sedikit mengecil, mereka mulai berdiskusi, apakah kiamat benar-benar terjadi di tahun 2012? Film yang ditonton adalah sebuah potret gelisah manusia saat berhadapan dengan akhirat, sebuah lembar kehidupan akhir yang ditutup secara tragis. Tapi benarkah itu?
Menonton film dan mengamati anak-anak yang sedang berkemah membuka ruang pemikiran untuk membersitkan 2 sisi kehidupan yang bersinggungan makna. Film akhir zaman, garapan Amerika memprediksikan keberakhiran dunia dan perkemahan merupakan simbol kesementaraan waktu. Kemah, simbol kesementaraan hidup menjadi titik dasar pemahaman bahwa hidup hanyalah sebuah singgahan sementara. “Suatu saat Allah akan datang dan membongkar kemah kehidupan kita.” Jika kemah itu dibongkar maka tamatlah riwayat hidup ini dan manusia hanya menunggu saat yang paling genting untuk membiarkan diri dan kemah dibongkar oleh Allah sendiri. Allah, di satu sisi menjadi Sang Arsitek dan pada sisi lain, dalam pandangan dunia akhirat, Allah yang sama datang sebagai pembongkar kehidupan ini.
Dunia dan penghuni di bawah kolong langit masih berbincang dalam nuansa kecemasan akan datangnya kiamat. Seolah-olah apa yang difilmkan memaksa sebuah kenyataan untuk segera merealisasi kiamat. Film hanyalah sebuah miniatur yang memburai kesadaran manusia untuk memahami masa parusia. Komersialisasi film perlahan terwujud ketika manusia semakin panik sambil mencari sekeping kaset sebagai dokumentasi hidupnya.
Allah dalam kesunyian sedang merekam kepanikan manusia yang seakan menggantungkan nasibnya pada sang sutradara film. Ia (sang sutradara) telah sanggup menembus pasaran dunia dan mengganggu ketenangan manusia lewat sekeping VCD. Dalam penyerangan kesadaran manusia melalui film yang aktif itu, film mengenai kiamat lalu bermetamorfosa menjadi milik orang banyak. Dengan kata lain, film adalah sebuah keberpihakan. Dan ketika seluruh penikmat film bergemuruh oleh riuh gerak, wicara dan kata-kata, tontonan yang asyik pun berubah menjadi sebuah prosa. Radhar Panca Dahana menyebutnya sebagai bahasa yang riuh, seperti hidup di terminal, di kota besar, di sehari-hari kita. Allah telah membimbing kita ke tempat yang lapang (Ehr Fuhrte mich inz weite) untuk ditantang dan membuat sebuah refleksi, tentang hidup, perjuangan dan kiamat. Malam semakin larut, kutemukan diriku sedang menatap kemah yang sementara dan tontonan film yang manipulatif. ***

Thursday, June 10, 2010

MEMBACA DERITA AYUB
Dalam sejarah perjalanan umat manusia, selalu terlihat pengalaman derita yang dialami oleh manusia dan ketergantungan manusia terhadap Allah. Ketika pengalaman ini mendera manusia, pada saat yang sama, refleksi batin pun muncul sebagai bentuk kesadaran untuk mendekatkan diri pada Allah. Allah menjadi sungguh terlibat dalam “puing-puing” derita dan kekecewaan. Dari mana semua penderitaan itu bersumber? Dari Allah atau dari ulah manusia sehingga penderitaan itu tetap “menghujani” manusia?
Ayub dalam pengalaman menghadapi penderitaan, ia sungguh teruji kesabaran oleh Allah sendiri. Baginya, Allah adalah sandaran pertama dan terakhir, tempat ia mempertahankan diri. Ayub kehilangan segala-galanya: anak, ternak dan harta bendanya. Bahkan, isteri dan sahabat-sahabatnya pun “meninggalkan” dia; mereka mempersalahkan dia. Tiada tara beban deritanya. Tetapi, ia tetap beriman kepada Tuhan, Allahnya. Dengan kondisi ketakberdayaan ini, Ayub masih setia dengan Allah, yang sedang memberinya ujian. Apa yang sesungguhnya membuat ia bertahan di “pergelangan” derita? Ayub tidak kehilangan harapan. Harapan yang bertumpuh dalam dirinya menjadi titik topang yang membuat ia tegar dalam menghadapi cobaan yang luar biasa. Iman dan harapan adalah “benteng” pertahanan bagi orang yang beriman. Mungkinkah kita rela menerima cobaan dari Allah seperti Ayub?***(Valery Kopong)

Tuesday, June 8, 2010

JENDELA

SETIAP rumah tentu mempunyai sebuah jendela atau paling kurang fentilasi sebagai jalan sirkulasi udara. Umumnya rumah-rumah, baik tradisional maupun yang sudah modern memiliki jendela sebagai “ruang tembus pandang” bagi mereka yang berada di dalam rumah maupun mereka yang berada di luar rumah. Dengan adanya jendela maka para penghuni dapat memantau seluruh aktivitas yang dijalankan oleh orang-orang yang berada di luar rumah. Jendela rumah membuka peluang “perjumpaan jarak jauh” untuk mereka yang berada di luar rumah.
Sebelum Konsili Vatikan II, kehidupan Gereja Katolik terkesan kaku dan bahkan mengurung diri dari pergaulan umum dan mau berdialog dengan agama-agama lain. Gereja sendiri mengklaim diri sebagai sarana keselamatan. “Extra ecclesia nulla salus,” di luar Gereja tidak ada keselamatan. Dengan paham ini maka Gereja memposisikan diri sebagai satu-satunya jalan kebenaran dan penentu keselamatan. Apakah paham ini benar dan bertahan sepanjang sejarah? Ternyata tidak!
Setelah Konsili Vatikan II, Gereja menyerukan dialog yang intens dengan kebudayaan dan agama-agama lain. “Sudah waktunya Gereja harus membuka jendela-jendela Vatikan agar udara luar (baca: pengaruh luar) dapat masuk ke dalam Gereja. Gereja perlahan membuka diri dan menerima pelbagai perubahan demi pengembangan Gereja itu sendiri. Dapatkah kita membuka jendela hati kita agar kita berani berdialog dan berubah sesuai dengan tuntutan zaman?***(Valery Kopong)
GURU

“Hanya satu yang saya tahu yaitu saya tidak tahu apa-apa.”


Sedari dulu, guru dilirik sebagai sosok yang menyimpan ilmu dan pemberi teladan bagi siswa. Tumpuan kepintaran para siswa sangat bergantung pada guru, si pemberi ilmu. Ilmu yang didalami guru selama di bangku kuliah, seakan menuntut “penetasan” kembali pada “sangkar sekolah” sebagai bukti keterbukaannya pada siswa yang dengan setia menyadap ilmunya. Melirik konsep publik tentang guru yang selalu mengada dalam waktu, membuat penulis melahirkan sebuah pertanyaan tuyul. Masih relevankah bila guru dianggap sebagai pengajar dan pendidik?
Di mata siswa, guru menjadi salah satu tumpuan di mana mereka boleh menimbah ilmu. Di hadapan siswa pula, guru adalah cerminan masa depan siswa yang masih berada dalam mayanda suram. Masa depan siswa yang masih dalam taraf impian, seakan disibaki oleh guru. Di sini, guru boleh tampil sebagai gembala tradisi dan nabi untuk masa depan siswa.
Oleh peralihan ilmu, secara gamlang dapat dikatakan bahwa siswa ditransformasikan sebagai penerus ilmu sedangkan guru dijadikan oleh siswa sebagai tempat untuk menerima ilmu. Di sini, tertampilkan peran mutualistik dan dalam konteks yang lebih simpel, guru adalah sebuah “sapaan” bagi persentuhan antara pemberi dan penerima, antara orang yang berpengetahuan lebih (baca: guru) dengan siswa yang masih mendiami “wilayah tabula rasa.”
Visi dan misi seorang pengajar dan pendidik terungkap dalam sapaan yang “menyejarah.” Misi seorang guru dalam memproklamasikan ilmu sambil menyiapkan masa depan siswa sebagai perwujudan visi-futuris. Guru yang bermodalkan ilmu, “bersentuhan” secara langsung dengan siswa sebagai “lahan riil” dan sanggup membuka mata siswa untuk menangkap dan merasakan pergulatan dengan ilmu yang ditawarkannya. Keterlibatan guru dalam upaya pemberdayaan siswa merupakan sebuah langkah awal dalam pencerahan masa depan.
Sebagai agen perubahan masa depan siswa, guru perlu juga membekali diri secara lebih mendalam dengan ilmu tambahan, selain yang telah diperoleh pada masa lalu di bangku kuliah. Oleh pembelajaran yang kontinu ini, ilmu yang telah diperoleh mengalami ‘peremajaan’ dan sanggup menempatkan diri sesuai dengan perubahan zaman. Usaha guru untuk terus belajar dan meremajakan ilmunya merupakan bukti pertanggung jawaban terhadap masa lalu. Tanpa kesadaran akan sejarah dan keberanian untuk menggumuli kembali ilmu di masa lalu, guru hanya tampil sebagai pelaku sejarah yang pasif.
Antara ilmu dengan siswa sebagai penerima ilmu, terdapat guru yang membenang-merahi proses pengalihan ilmu kepada para siswa. Tindakan komunikatif dari guru tidak saja menukarkan gagasan tentang sesuatu, melainkan dalam memberikan gagasannya, guru disanggupkan sebagai pendidik yang memberikan contoh atau teladan yang terbaik bagi siswanya. Tersebab oleh pendemonstrasian teladan inilah maka guru tetap memposisikan diri sebagai pengajar dan sekaligus sebagai pendidik.
Sapaan ‘guru’ mengandung dua aspek secara serentak. Guru tidak hanya tampil sebagai pengajar dengan mengesampingkan nilai-nilai pedagogisnya, melainkan dalam diri seorang guru mestinya ada penyatuan dua aspek ini yakni sebagai pendidik dan pengajar. Barangkali di sini, terdapat persoalan urgen yang dihadapi oleh para guru. Di satu sisi, sebagai pengajar, seorang guru sanggup memindahkan ilmu dari “gudang pemikiran” kepada siswa sebagai alamat terakhir di mana ilmu itu tersalur. Namun di sisi lain, terkadang guru tidak sanggup sebagai pendidik dalam memberikan teladan.
Dari sisi edukatif, ada sejumlah pertanyaan meragukan yang dialamatkan kepada guru sebagai pengajar dan pendidik, misalnya pertanyaan tentang ketidak-sanggupannya dalam membidangi sebuah ilmu atau tentang kegagalannya sebagai pendidik. Dua hal ini mestinya melekat dalam diri seorang guru secara utuh. Dalam proses mengajar dan mendidik, seorang guru tidak luput dari kekurangan kedua aspek ini. Tetapi kekurangan itu bisa teratasi bila ada keterbukaan hati untuk mau belajar dan berendah hati. Dari segi keteladanan, seorang guru baru, boleh mengaca diri pada guru yang telah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan karena darinya dapat diperoleh pelbagai hal dalam mereparasi kekurangannya. Dari segi ilmu pengetahuan, seorang guru mestinya belajar pada “intellectual modesty” milik Sokrates. “Hanya satu yang saya tahu yaitu saya tidak tahu apa-apa.” Berpijak pada pemikiran ini maka guru tak pernah berhenti menggumuli ilmu pengetahuannya.***(Valery Kopong)
LAUT

Di atas geladak kapal, aku selalu melepaskan pandangan ke arah hamparan samudera yang begitu luas. Kapal yang pernah kutumpangi delapan tahun lalu, begitu besar. Tetapi ketika berada di tengah laut dan mencoba mencari jalan tanpa jejak yang pasti untuk menggapai dermaga harapan, ia tak berarti apa-apa. Betapa besar Allah menempatkan seluruh isi muka bumi dengan nama masing-masing. Allah mengumpulkan sungai-sungai di suatu tempat dan menamainya laut. Setiap hari sungai-sungai dari penjuru dunia terus mengirimkan air ke muara terakhir, laut. Tetapi sampai kapankah, laut itu menjadi penuh?
Merenung dan bertanya, sampai kapankah laut menjadi penuh adalah kesia-siaan, demikian kata Sang Pengkhotbah. Segala sesuatu adalah sia-sia. “Sungai-sungai terus mengalir ke laut tetapi laut juga tidak menjadi penuh.”
Laut adalah lambang kemurahan hati Allah. Segala yang baik dan buruk ditampung dalam satu naungan. Dapatkah kita menjadikan diri sebagai “laut” yang sanggup menerima kebaikan dan keburukan orang lain?***(Valery Kopong)
AYAM

Setiap kali melihat ayam meminum air, ada sesuatu yang baik diperlihatkannya. Sebelum mereguk air itu ia selalu menengadah ke langit, seolah mengucapkan syukur atas rezeki yang diperolehnya. Ayam tak memiliki akal seperti aku tetapi mengapa hal yang sama tetap dilakukan secara baku pada setiap kali mereguk air?
Bersyukur merupakan suatu kewajiban yang dilakukan oleh seorang manusia terhadap Allah. Allah telah memperlihatkan kebaikan, memberikan kelimpahan rezeki setiap hari walau dalam porsi yang berbeda? ***(Valery Kopong)
PELANGI

Di bawah rintik hujan, anak-anak itu terus bermain gasing, seolah memberi tanda protes pada alam yang menghalangi mereka bermain dengan menurunkan gerimis. Di ufuk Timur, bentangan pelangi memanjang dan memperlihatkan warna warni dan menawan. Bentangan pelangi yang memancarkan kemilau warnanya seolah tidak digubris oleh anak-anak desa. Mereka terus bermain.
Pelangi, simbol perpaduan dari sebuah keberbedaan. Kita berbeda karena terlahir dari dan dibentuk dalam budaya yang berbeda pula. Kita berbeda karena berhaluan agama yang berlainan. Tetapi perbedaan itu tidak menjadi pemicu untuk memunculkan cara baru untuk membangun pertentangan dalam warna yang berbeda pula. Pelangi juga merupakan suatu peringatan. Seperti nabi Nuh yang mengalami tanda pelangi dari Tuhan yang menunjukkan bahwa Allah berjanji untuk tidak lagi menurunkan air bah? Mungkinkan sebuah pertentangan juga merupakan bentuk lain dari air bah zaman ini?***(Valery Kopong)
RUMPUT DAN SAPI

Ketika musim kering tiba, para penggembala kewalahan mencari rumput yang hijau dan dijadikan sebagai makanan ternak. Suatu ketika di musim kering, seorang penggembala membeli sebuah kaca mata berwarna hijau dan dikenakan pada kedua mata sapi. Di samping sapi tersebut, tertumpuk rumput-rumput kering yang sebelumnya tidak bisa dimakan oleh sapi. Namun ketika mengenakan kaca mata berwarna hijau, sapi itu memakan rumput dengan lahapnya. Ia (sapi) menyangka bahwa rumput yang dihidangkan oleh tuannya adalah rumput yang masih segar. Sang penggembala tersenyum legah karena sapinya sudah bisa bertahan hidup dari rumput yang kering itu.
Dalam hidup ini banyak hal kita jumpai terutama menyangkut segala penipuan yang terjadi. Para pedagang ikan kakap merah misalnya, berusaha mengelabui pembeli dengan memberi zat pewarna (warna merah) pada kakap putih agar kakap tersebut laris terjual dengan harga yang melambung tinggi. Banyak cara yang dilakukan, baik oleh kita sendiri maupun oleh orang lain untuk mengorbankan lawan. Dapatkan kita hidup tanpa menciptakan resiko bagi orang lain.***(Valery Kopong)
ANAK DOMBA

Mengapa Yesus mengatakan diri sebagai Anak Domba Allah dan bukannya yang lain? Apabila melihat tingkah laku anak domba, kesan pertama yang muncul adalah sifat keluguan dan kepolosan serta pasrah pada siapa dan apa pun yang menganiayanya. Model kepasrahan yang ditampilkan anak domba dan jika disejajarkan dengan julukan Yesus sebagai Anak Domba Allah, barangkali ada miripnya. Kemiripan sifat di sini, dimengerti sebagai bentuk kepasrahan Yesus yang rela membiarkan diri-Nya untuk taat menderita, sengsara bahkan wafat di kayu salib. Tetapi kepasrahan Yesus memiliki arah yang jelas yaitu penyelamatan umat manusia.
Dalam Paskah Yahudi, hewan yang menjadi kurban istimewa adalah anak domba. Peristiwa pengorbanan anak domba ini mengingatkan bangsa Israel yang diselamatkan dari darah anak domba yang dioleskan pada masing-masing jenang pintu rumah bani Israel yang saat itu masih dibawah penjajahan bangsa Mesir. Paskah Yahudi adalah mengenangkan kembali peristiwa pembebasan, di mana Allah datang melawat umat pilihan-Nya. Dengan pembunuhan anak sulung bangsa Mesir ini memungkinkan mereka untuk keluar dan memulai pengembaraan hidup menuju tanah terjanji.
Dalam dunia Perjanjian Baru, kehadiran Yesus memberi arti baru dalam hidup manusia. Yesus menamakan diri sebagai Anak Domba karena Dialah yang mengorbankan diri di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Salib baginya adalah sebuah pilihan yang sangat pahit untuk dijalaninya. Yesus telah meminta kayu salib untuk membebaskan kita. Apa yang harus kita minta untuk menawarkan jalan yang benar bagi orang lain.***(Valery Kopong)
ANAK DOMBA

Mengapa Yesus mengatakan diri sebagai Anak Domba Allah dan bukannya yang lain? Apabila melihat tingkah laku anak domba, kesan pertama yang muncul adalah sifat keluguan dan kepolosan serta pasrah pada siapa dan apa pun yang menganiayanya. Model kepasrahan yang ditampilkan anak domba dan jika disejajarkan dengan julukan Yesus sebagai Anak Domba Allah, barangkali ada miripnya. Kemiripan sifat di sini, dimengerti sebagai bentuk kepasrahan Yesus yang rela membiarkan diri-Nya untuk taat menderita, sengsara bahkan wafat di kayu salib. Tetapi kepasrahan Yesus memiliki arah yang jelas yaitu penyelamatan umat manusia.
Dalam Paskah Yahudi, hewan yang menjadi kurban istimewa adalah anak domba. Peristiwa pengorbanan anak domba ini mengingatkan bangsa Israel yang diselamatkan dari darah anak domba yang dioleskan pada masing-masing jenang pintu rumah bani Israel yang saat itu masih dibawah penjajahan bangsa Mesir. Paskah Yahudi adalah mengenangkan kembali peristiwa pembebasan, di mana Allah datang melawat umat pilihan-Nya. Dengan pembunuhan anak sulung bangsa Mesir ini memungkinkan mereka untuk keluar dan memulai pengembaraan hidup menuju tanah terjanji.
Dalam dunia Perjanjian Baru, kehadiran Yesus memberi arti baru dalam hidup manusia. Yesus menamakan diri sebagai Anak Domba karena Dialah yang mengorbankan diri di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Salib baginya adalah sebuah pilihan yang sangat pahit untuk dijalaninya. Yesus telah meminta kayu salib untuk membebaskan kita. Apa yang harus kita minta untuk menawarkan jalan yang benar bagi orang lain.***(Valery Kopong)
MALAM

Malam selalu diidentikkan dengan kegelapan dan mendatangkan suasana ketakutan. Situasi ini terasa menyeramkan apabila seseorang tidak mau berdamai dengan keadaan (malam) yang selalu datang dalam sebuah kepastian. Karena itu tidak perlu ditakuti tentang malam yang tiba tetapi cobalah selalu untuk membiarkan diri untuk mengakrabi situasi yang tenang, aman dan selalu menjanjikan inspirasi.
Memang, bagi orang yang suka merenung, kehadiran malam merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu. Bagi sang perenung, kehadiran malam dapat membangkitkan memori dan nuansa inspiratif menyertainya untuk melewati malam yang sepi. Malam yang sepi adalah saat berahmat yang dapat mendatangkan berkah bagi sang inspirator. Lihat saja karya-karya para seniman, umumnya dikerjakan pada saat-saat hening dan hal ini selalu terjadi pada malam hari.
Mengapa mereka (para seniman) selalu mengerjakan pada malam yang sunyi? Alasan sederhana muncul yaitu bahwa mereka tidak mau diganggu oleh apa dan siapa karena pada saat-saat seperti itu orang-orang pada lelap tertidur. Dalam kesendirian, mereka mulai bergelut dan bergumul dengan ide yang dituangkan dalam karya-karya nyata.
Yesus barangkali seorang pencinta malam atau paling kurang suasana sepi dan sunyi. Ketika Dia mau menjalin relasi dengan Bapa-Nya di Sorga, Ia selalu menyisihkan waktu untuk mencari suasana sunyi dan sepi untuk memulai berdoa. Pada saat malam sebelum menjalani sengsara dan kematian-Nya, Yesus berdoa seorang diri di malam sunyi pada taman Getzemani. Dia tidak hanya memanfaatkan waktu untuk berdoa tetapi juga “menjinakkan” niat-Nya untuk tetap pada keputusan Bapa dalam menjalani kehidupan baru, yakni sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya.***(Valery Kopong)
BURUNG-BURUNG

Ketika membaca dan merenungkan perumpamaan yang dibuat oleh Yesus, hatiku menjadi tenang dan percaya diri dalam menjalani hidup ini. “Lihatlah burung-burung di udara yang tidak bekerja tetapi tak satu pun mati kelaparan. Lihatlah bunga bakung, Salomo, yang dalam kemewahannya pun kalah dari bunga bakung itu.” Perumpamaan yang dilontarkan oleh Yesus memiliki daya magnetis dan sekaligus memberikan daya rangsang pada orang-orang yang sedang berputus asa dan menderita kelaparan. Tetapi apakah dalam kondisi yang lapar, mereka yang menderita dikenyangkan oleh sabda dan perumpamaan yang selalu menggema? Seberapa jauh mereka dapat mengalami sentuhan kasih-Nya?
Penderitaan yang mendera kehidupan manusia, terutama saat-saat di mana manusia kehilangan daya dalam menggapai kehidupan ekonomi yang layak, perumpamaan ini layak untuk dijadikan sebagai hiburan yang menjanjikan. Tetapi tidak hanya menjadi perumpamaan ini sebagai patokan melainkan Kristus dijadikan sebagai landasan dasar dalam menjalani hidup ini. Dalam diri Yesus, seluruh keterputusasaan manusia selalu tercarikan jalan keluarnya.
Seperti burung-burung yang berkeliaran di alam bebas tanpa tuan, mereka tidak pernah mengalami kelaparan. Allah sendiri sebagai yang Empunya semesta memberikan makanan lewat tanaman-tanaman yang tumbuh liar di sepanjang hidup mereka. Bukankah manusia lebih berharga daripada burung-burung di udara?
Ketika mendirikan sebuah biara di Jerman, Arnold Janssen, sepertinya menjadi figur yang perlu ditertawakan. Mengapa? Karena ia sendiri mendirikan sebuah biara tanpa adanya modal uang. Bagaimana mungkin mendirikan sebuah biara tanpa adanya uang untuk menopang perjalanan biara? Inilah kata-kata pesimis yang datang, baik dari kalangan biarawan maupun awam. Tetapi hanya ada satu keyakinan bahwa Allah Tri Tunggal pasti menyertainya dalam karya misionernya. Bagi dia, “uang masih ada di saku orang.” Itu berarti bahwa ia yakin, Tuhan akan memberikan jalan untuk menghidupkan biara dan sesama yang peduli pasti memberikan sumbangan untuk kelanjutan biaranya. Sampai akhirnya ia mendirikan tiga biara besar (SVD, SSpS, SSpS Adorasi Abadi) yang dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan iman umat manusia sejagat.*** (Valery Kopong)
PADI


Ketika menjalani masa live in di Yogyakarta, hampir setiap hari aku dan Bapak Wagimin pergi ke sawah. Saat matahari menyapa sang petani dengan tebaran sinarnya, Bapak Wagimin seakan terus didukung untuk membenamkan langkahnya di pematang sawah. Sebagian besar hamparan padi yang sedang menguning dikunjunginya. Padi pun terus bergoyang diterpa angin dan ia (padi) terus bergoyang dalam ketertundukkan. Goyangan padi yang menguning mengisyaratkan sebuah pepatah yang tak lekang oleh panas dan tak akan lapuk jika terkena hujan.
“Semakin berisi semakin merunduk.” Inilah sebuah baris pepatah yang menghantui setiap perjalanan anak manusia. Melihat padi berisi dengan posisi merunduk, sepertinya melihat para intelektual yang walaupun kemampuan berpikir mereka sudah matang dan perlu terwujudkan nilai kesederhanaan di tengah dunia yang semakin pongah.
Kepribadian Yesus sendiri adalah pribadi yang rendah hati. Ia selalu merunduk, selain sebagai bentuk ketaatan-Nya pada Bapa namun juga berani bersolider dengan manusia. Kelahiran-Nya di Betlehem, sebuah kandang yang hina, dapat dilihat sebagai bentuk kesederhanaan Allah yang terjelma dalam diri Yesus. Bahkan ketika Dia meninggal, Ia dikuburkan pada kubur batu yang juga merupakan sebuah pinjaman. Apakah keberadaan-Nya ini merupakan sebuah takdir yang terencana sebagai bentuk keberpihakan Allah akan manusia?
Seperti padi yang selalu merunduk, tanda kesederhanaan dan memberikan dirinya sebagai santapan manusia, demikian juga Yesus. Ia memperlihatkan jalan kesederhanaan dan berani mendengarkan orang-orang yang oleh masyarakat dianggap sebagai kaum buangan. Kehadiran-Nya membawa nuansa baru bahkan membawa kehidupan baru bagi mereka yang lemah ditengah ketakberdayaan.***(Valery Kopong)
MATA AIR

Di hutan yang masih perawan itu, terdapat mata air yang mengalirkan sungai dan memberikan kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya. Mata air sebagai sumber air yang menawarkan kesuburan dan kesegaran senantiasa bertahan di tengah terpaan musim. Pergantian musim, dari musim penghujan ke musim kemarau, seakan tidak berpengaruh pada debit air yang selalu siap memberi kesegaran dan menawarkan dahaga bagi yang haus.
Kehadiran Yesus di tengah dunia ibarat mata air sejati. Ia selalu menawarkan kesegaran iman bagi mereka yang telah kehilangan harapan. Karenanya, percaya pada Yesus berarti membiarkan iman kita tersirami dengan air kasih-Nya. Tetapi apakah mungkin iman setiap orang tersirami secara sempurna oleh Yesus? Beriman berarti sebuah bentuk penyerahan diri secara total kepada-Nya dan dalam proses penyerahan diri, seseorang selalu membuka diri bagi-Nya dan membiarkan Yesus hidup di dalam dirinya sendiri.
Santo Paulus yang dikenal sebagai rasul terbesar dalam Gereja katolik, dimatangkan imannya oleh pengalaman dalam Dia. Para pengikut Yesus, yang dahulunya disiksa dan dianiaya olehnya tetapi kemudian setelah peristiwa Damsyik (Peristiwa jatuhnya Saulus dari kudanya) menjadi pengalaman yang berharga dalam membangun kondisi hidupnya. Hatinya yang keras dan selalu mau mematahkan hidup bagi yang percaya pada Yesus, justeru dicairkan oleh Yesus. Imannya yang dulunya gersang dan tandus, jauh dari sentuhan-Nya, kini tersirami kembali berkat daya kekuatan Roh Kudus.
Betapa besar kasih Yesus. Kasih-Nya seluas samudera dan cinta-Nya sedalam lautan telah diperlihatkan kepada siapa saja yang percaya pada-Nya. Di sini, dapat dikatakan bahwa setiap manusia mempunyai peluang yang sama untuk dibenah hidupnya dan disegarkan imannya. Saulus yang dulunya dikenal sebagai penjahat telah diperkenalkan secara baru bagi kita, yakni Paulus. Ia mendapat tugas istimewa untuk mewartakan sabda Allah, tidak hanya dalam lingkungan Yahudi melainkan di luar lingkungan Yahudi. Ia (Paulus) menjadi pewarta karena daya Roh Kudus. Pengalaman Damsyik tidak hanya menjadi pengalaman Paulus semata tetapi juga menjadi pengalaman kita semua yang senantiasa membuka diri bagi Tuhan dan rela dituntun ke jalan yang benar.*** (Valery Kopong)

Friday, June 4, 2010

DIBAPTIS UNTUK MENJADI ANAK ALLAH

Pembaptisan merupakan peristiwa penting dalam Gereja Katolik. Melalui pembaptisan, seseorang diterima secara resmi untuk masuk menjadi anggota Gereja. “Anda telah dibaptis dan resmi menjadi anggota Gereja dan Anak Allah,” demikian Pastor Charles Javlean, Pr. Hal ini disampaikan dalam khotbahnya ketika mempermandikan 84 orang dewasa. Pembaptisan dewasa yang berlangsung pada Minggu, 14 Maret 2010 di Gereja Stasi Santo Gregorius ini merupakan kelompok baptis yang dipersiapkan untuk Paskah tahun ini. Karena terlalu banyak orang yang dibaptis dan dalam pembaptisan itu masih ada lagi sakramen yang diterimakan maka dengan alasan ini pembaptisan didahulukan sebelum pelaksanaan Paskah. Walaupun pembaptisan tidak terlaksana persis pada malam Paskah tetapi suasana pembaptisan berjalan dengan khidmat. Ada rasa haru dan sedih yang terlihat pada wajah calon baptis. Beberapa pasangan yang dibaptis dan menerima sakramen krisma dan perkawinan merasa haru karena mereka sudah mendambakan pembaptisan serta perkawinan secara katolik selama belasan tahun.
Sebelum dibaptis, mereka semua dibimbing dan dipersiapkan untuk mengenal Kristus secara lebih mendalam. Menurut Fredy, salah seorang pembimbing para katekumen ketika ditemui, menuturkan bahwa hampir 6 bulan mereka dibimbing dan dalam proses bimbingan itu selalu dipantau soal komitmen dan keseriusan para calon.
Mereka yang dibaptis untuk menjadi katolik umumnya dikarenakan perkawinan yang beda agama. Dalam peristiwa ini, tidak hanya sakramen pembaptisan yang diterima tetapi juga sakramen krisma dan bahkan bagi pasangan yang sudah berkeluarga,langsung menerimakan sakramen perkawinan. Upacara pembaptisan ini dimeriahkan oleh koor inti Stasi Gregorius kota Bumi – Tangerang, di bawah pimpinan bapak Yulius Totok. ***(Valery Kopong)
AIR MATA KEBERPIHAKKAN
(Telaah puisi kontemporer dari sudut sosiologi Sastra)
Oleh: Valery Kopong*
Sutardji Calzoum Bachri dikenal sebagai penyair kontemporer yang menggagas sekaligus mengedepankan pola penulisan baru pada puisi. Ketika membaca puisi-puisinya,ciri khas terasa kental. Dia lebih banyak mempermainkan kata yang baginya merupakan sebuah kekuatan, dan menjadi daya dobrak bagi seluruh bangunan puisinya. Bangunan puisi-puisi lama yang terkesan kaku, baik dari tata aturan maupun jumlah barisnya, kehadiran Sutardji membawa angin perubahan bagi mereka yang berani “merobek” pola-pola yang dogmatis-puitis. Perjuangan dan upaya seorang Bachri mendobrak kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata dan tata bahasa dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia dan sekaligus menawarkan konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi. Terhadap perjuangan yang penuh dengan daya dobrak ini, memunculkan pertanyaan untuk direnungkan bersama. Apakah Sutardji sebagai pahlawan puisi kontemporer dan nabi bagi mereka yang mengenyam kebebasan dalam mengekspresikan diri melalui puisi?
Dalam puisi yang berjudul “Tanah Air Mata” menunjukkan sebuah penyelaman secara mendalam akan penderitaan yang dihadapi bangsa. Melalui puisi, ia hadir dan memberikan peristiwa derita ini menjadi pengalaman bernyawa serta sanggup menggugah kesadaran untuk memahami urat nadi kehidupan. Puisi Tanah Air Mata seakan menjadi “keranjang sampah, tempat segala derita dititipkan. Tanah air mata tanah tumpah dukaku// Mata air air mata kami//Air mata tanah air kami. Di sinilah kami berdiri//Menyanyikan air mata kami.Di balik gembur subur tanahmu//Kami simpan perih kami//Dibalik etalase megah gedung-gedungmu//Kami coba sembunyikan derita kami.
Penggalan puisinya di atas lebih menunjukkan sebuah keberpihakan yang mendalam melalui sorot mata air mata. Air mata menjadi simbol kekuatan bagi mereka yang ingin menemukan sebuah kebebasan. Air mata memiliki daya dobrak terutama ketika berhadapan dengan kemelut batin. Air mata menjadi saluran terakhir ketika segala daya upaya meloloskan diri dari permasalahan dan menemukan jalan buntu. Air mata menjadi “rahim khatulistiwa” yang sanggup menyelimuti segala persoalan yang tengah di hadapi anak bangsa. Tetapi mengapa mereka sanggup meneteskan air mata? Apakah mereka yang menangis, berhasil mengeluarkan air matanya sendiri ataukah meminjam air mata orang lain? Air mata yang diteteskan adalah air mata penuh sinis. Mereka (anak bangsa) sinis terhadap tindakan yang eksploitatif dan koruptif dari bangsa Indonesia ini.
Tanah air mata merupakan judul puisi tetapi sekaligus sebagai judul kehidupan di permukaan negara ini. Kekayaan negara kita bukan lagi kandungan bumi atau hasil-hasil hutan tetapi kekayaan baru yang terhimpun adalah air mata. Penyair kontemporer ini secara jeli memantau dan mencoba untuk menceburkan diri bersama kaum papa ke dalam telaga puisi. Penggalan puisi keberpihakkan di atas memungkinkan seorang penyair untuk selalu mengada dalam ruang dan waktu pergulatan hidup masyarakat yang terpinggirkan. Di sini, puisi dapat dilihat sebagai tameng yang sanggup melindungi dan menghibur bagi mereka yang memiliki kerinduan untuk dihibur. Kekuatan puisi yang terkesan mempermainkan kosa-kata ini jauh lebih manjur dari sepenggal doa yang didaraskan oleh kaum berpunya.
Tanah air mata adalah simbol tumpuan kerinduan anak negeri ini untuk segera bangkit dari keterpurukan hidup. Air mata yang terus mengalir membasahi keriputnya wajah-wajah tak berdaya menjadi praisyarat bahwa perjuangan mereka untuk diperhatikan tak akan menemukan titik kulminasi. Air mata menjadi kekuatan hipnotis bagi mereka yang peduli dengan kehidupan mereka yang jauh dari sentuhan kemewahan. Tetapi apakah kerinduan yang mengalir bersama air mata yang nyaris mengering dapat meminta perhatian dari pejabat negeri ini?
Beberapa penggalan puisi Tanah Air Mata berikut ini dapat menginformasikan sebuah kepolosan tentang gejolak batin dan sekaligus gejolak kehidupan negeri ini. Kami coba simpan nestapa // Kami coba kuburkan duka lara // Tapi perih tak bisa sembunyi // Ia merebak ke mana-mana // Bumi memang tak sebatas pandang dan udara luas menunggu // Namun kalian tak bisa menyingkir // Ke mana pun melangkah // Kalian pijak air mata kami // Ke mana pun terbang // Kalian kan hinggap di air mata kami // Ke mana pun berlayar // Kalian arungi air mata kami // Kalian sudah terkepung // Takkan bisa mengelak // Takkan bisa ke mana pergi // Menyerahlah pada kedalaman air mata
Derita, nestapa seperti yang diproklamirkan dalam puisi tak akan tersingkir dari kehidupan ini. Mereka telah berusaha untuk menguburkannya tetapi derita yang sama masih tetap berdenyut. Semakin dalam derita itu terkubur, semakin cepat pula denyutannya. Kehidupan dan penderitaan tak terpisahkan dari ruang lingkup masyarakat kecil, ia diibaratkan sebagai dua jantung yang berada dalam satu denyutan.
Kekuatan sebuah puisi bukan semata-mata terletak pada siapa penulisnya, dalam hal ini seorang penyair tetapi lebih dari itu terletak pada kata-kata yang dipakainya. Kata-kata menjadi “anak panah” dan mulut seorang penyair adalah “busurnya” yang sanggup menikam lawan (pembaca) dengan ketajaman kata-kata. Beberapa penyair yang terkenal keberpihakkannya terhadap masyarakat kecil, lebih memilih permainan kata-kata untuk mengeritik penguasa dan menggilas pemikiran mereka yang terkesan angkuh. W.S. Rendra misalnya, selalu tampil dengan puisinya untuk merobek tirai keangkuhan para pejabat dan berani menyatakan keberpihakkan pada mereka yang dianggap sebagai limbah politik kekuasaan. Penguasa dan kekuasaan, bagi Rendra, bukanlah sesuatu yang mutlak tetapi merupakan peluang yang perlu dikritik.
Sutardji pernah menulis bahwa “puisi adalah alibi kata-kata.” Dengan mengatakan demikian maka kata-kata yang mengisi sebuah bangunan puisi diberi kesempatan untuk menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut. Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai

kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu. Seorang penyair menangkap realitas dan disublimasi dalam kata-kata dan kata-kata tersebut memberi makna pada sebuah puisi. Tetapi untuk memaknai secara mendalam sangat bergantung pada siapa pembaca puisi tersebut yang sanggup membedah makna dengan pisau pemikiran yang tajam dan jernih.****
DARI GEREJA ‘LESEHAN’ MENUJU GEREJA ‘WARTEG’

Ketika menelusuri sejarah perjalanan Stasi St.Gregorius yang sedang berproses untuk beralih status menjadi sebuah paroki mandiri, tentunya ada banyak kisah yang ternokta pada ‘peta’ perjalanan penuh makna. Memaknai kisah perjalanan ini adalah sebuah momentum bersejarah dan setiap umat punya alasan untuk menilik kilas balik arah perjalanan Gereja sebagai bagian yang tak terpisahkan dari realitas sosial. Pengalaman perjumpaan dengan realitas sosial turut serta membentuk karakter Gereja ini, apakah menjadi Gereja yang inklusif atau menjadi Gereja yang eksklusif? Dua ciri Gereja yang dibangun ini merupakan cerminan masa lampau dalam pola pembentukan, baik oleh umat sendiri maupun lingkungan masyarakat sekitar.
Keberadaan Gereja Stasi St. Gregorius pada masa awal, hanyalah merupakan kumpulan kelompok kecil umat yang semuanya adalah masyarakat perantau. Sebagai masyarakat perantau, biasanya membentuk paguyuban ataupun komunitas doa sebagai jalan untuk mengenal satu terhadap yang lain dengan mencontohi Kristus sebagai landasan dasar dalam beriman. Kristus telah datang dan mempersatukan orang-orang yang mengikuti-Nya. Dengan membentuk kelompok kecil antarsesama katolik maka lama kelamaan menjadikannya sebagai sebuah lingkungan dan bisa berkembang menjadi sebuah wilayah, stasi dan bahkan sebuah paroki. Perkembangan umat ini selalu mengikuti alur pembukaan perumahan baru.
Merunut kisah Stasi ini, hanya bermula dari umat yang terhimpun pada lingkungan Bernadus. Lingkungan ini terdiri dari 70 KK, dan pada tahun 1990 bertambah menjadi 150 KK. Walaupun ada perkembangan penambahan umat tetapi mereka masih bernaung di bawah lingkungan Bernadus. Tahun 1993 berkembang menjadi 2 lingkungan dan semuanya berada di wilayah Kota Bumi.
Keberadaan lingkungan ini tidak terlepas dari Paroki Santa Maria Tangerang. Jumlah umat yang minim ini tidak lalu diabaikan oleh pihak paroki terutama perhatian pastor paroki. Romo Bin yang saat itu menjabat sebagai pastor paroki, memberikan respons positif terhadap seluruh aktivitas yang dilakukan oleh lingkungan yang tergolong masih sepi ini. Sebulan sekali pastor paroki mempersembahkan ekaristi bagi umat di lingkungan Bernadus. Sebenarnya misa bulanan ini dilakukan sebagai usaha untuk meredam pengeluaran biaya transportasi bagi umat yang rata-rata berasal dari ekonomi lemah karena sebelumnya, umat di lingkungan Bernadus harus mengeluarkan biaya transportasi apabila mau ke Gereja Santa Maria. Dengan misa bulanan ini maka terjadi penghematan secara ekonomis namun menambah kekayaan dari sisi rohani.
Misa bulanan ini dilakukan di aula milik developer yang waktu itu dijadikan sebagai tempat belajar dan bermain bagi TK Maria Mediatrix. Karena perkembangan umat semakin hari semakin bertambah maka tahun 1993, pelayanan ekaristi dilaksanakan di sekolah Maria Mediatrix dengan menempati beberapa ruangan.

Gereja “Lesehan”
Bapak Bonefasius Dalyo, ketua Dewan stasi pertama selalu memberi spirit bagi tumbuh-kembangnya iman dan kebersamaan umat. Kehadiran dan pola kepemimpinannya yang humanis, memungkinkan terjadinya komunikasi yang komunikatif hingga terjalinnya sebuah persaudaraan sejati antarumat. Kepemimpinannya telah membawa kisah perjalanan umat dari Maria Mediatrix ke GSG yang pada tahun 1994 mulai dibangun dan pada tahun 1995 sudah mulai diadakan misa. Menurut penuturan Bapak Dalyo ketika dikonfirmasi, misa yang berlangsung di GSG pada saat-saat awal cukup memprihatinkan. Gedung sudah dibangun tetapi belum adanya bangku di gedung tersebut karena itu diharapkan masing-masing umat yang hadir dalam perayaan ekaristi untuk membawa “tikar” pribadi untuk berlesehan bersama umat lain sambil menikmati siraman rohani dari sang pastor.
Keadaan yang serba kekurangan, baik tempat duduk yang belum ada maupun jalanan yang becek menuju GSG tetapi itu tidak menyurutkan semangat umat untuk mau datang dan bersama umat lain terlibat dalam perayaan ekaristi. Ekaristi dalam nuansa seperti saat awal yang dirasakan oleh umat Gregorius tidak lebih sebagai pesta rakyat, tempat di mana masyarakat menuai kegembiraan. Tetapi apakah kondisi seperti ini terus bertahan dalam deraan zaman?
Sejak pelayanan pastoral dipusatkan di GSG, perkembangan umat semakin membludak, tidak hanya umat yang berdomisili di Kota Bumi saja tetapi sudah merambah ke wilayah lain seperti Sangiang, Regency bahkan berujung pada Rajeg. Wilayah-wilayah ini menjadi basis utama umat katolik dan menjadi harapan bagi keberlangsungan Gereja ini.
Membangun Gereja Warteg
Sebagian besar umat yang terhimpun pada Gereja Stasi St.Gregorius umumnya bekerja sebagai buruh pabrik, guru dan sedikit sekali dijumpai para pengusaha. Dengan populasi umat yang ragam, terutama dari mata pencaharian maka Gereja ini diharapkan membuka diri dan merangkul semua pihak yang memiliki obsesi demi pengembangan Gereja ini. Eksistensi Gereja ini tidak lebih sebagai sebuah ‘Gereja Warteg’ yang berani menghimpun dan memberikan perhatian pada umat yang secara ekonomis masih tergolong kelas menengah ke bawah. Menjadi Gereja Warteg, berarti Gereja berani bersedia mendengar jeritan umat dan bahkan Gereja sendiri harus membela orang-orang yang tertindas.
Keberadaan Gereja di tengah masyarakat, memungkinkan terbangunnya sebuah relasi yang intens terutama mereka yang non katolik agar darinya terpancar kasih dan persaudaraan yang telah kita terima dari Yesus Sang Guru Agung. Memberi perhatian kepada sesama adalah bukti bahwa dalam diri umat masih ada cinta dan kasih yang membara.*** (Valery)
“ABDI PARA ABDI ALLAH”

Servus Servorum Dei, abdi para abdi Allah. Begitulah Paus Gregorius menyebut dirinya. Sebutan ini juga menjadi sebuah julukan bagi jabatan Paus di Roma. Mengabdi pada umat, apalagi berani menjadi pelayan merupakan sebuah pekerjaan yang sulit dilakoni. Namun orang-orang tertentu yang menyadari spiritualitas pelayanan kristiani, menjadi seorang pelayan ketika menjadi pejabat adalah sesuatu yang lumrah. Spiritualitas pelayanan kristiani adalah spiritualitas gerak turun, mengikuti peristiwa inkarnasi, Allah menjelma menjadi manusia. Itu berarti setiap orang harus rendah diri dan mengambil pola pelayanan pada komunitas kelas bawah.
Cita-cita untuk melayani dan menjadi abdi umat selalu menggaung dalam diri Gregorius. Ia dilahirkan di kalangan bangsawan (Aristokrat). Gregorius lahir di Roma pada tahun 540. Ibunya Silvia dan dua orang tantenya, Tarsilla dan Aemeliana, dihormati pula oleh Gereja sebagai orang kudus. Ayahnya Geordianus, tergolong kaya raya; memiliki banyak tanah di Sicilia dan sebuah rumah indah di lembah bukit Ceolian, Roma. Selama masa kanak – kanaknya, Gregorius mengalami suasana pendudukan suku bangsa Goth, Jerman atas kota Roma; mengalami berkurangnya penduduk kota Roma dan kacaunya kehidupan kota. Meskipun demikian, Gregorius menerima suatu pendidikan yang memadai. Ia pandai sekali dalam pelajaran tata bahasa, retorik dan dialetika.
Kehidupan dalam lingkup keluarga bangsawan tidak membuat ia berbesar kepala terhadap orang di luar kelompok Aristokrat. Cita-cita awal menjadi pemimpin dan pelayan, memungkinkan ia untuk belajar berendah hati dan mau bersolider dengan siapa saja. Pada usia 33 tahun ia menjadi Prefek kota Roma, suatu kedudukan tinggi dan terhormat dalam dunia politik Roma saat itu. Kedudukan duniawi diperoleh karena didukung oleh keluarga berdarah biru itu. Tetapi apakah jabatan politik yang diemban membuat ia lupa akan yang lain dan terus mempertahankannya?
Jabatan politis itu tidak selamanya abadi. Melalui jabatan tersebut belum membuka “ruang” baginya untuk membaktikan diri secara penuh bagi Allah. Ia pada akhirnya memilih jalan Tuhan. Tuhan memanggil dan menghendaki Gregorius untuk berkarya di ladang anggur-Nya. Gregorius meletakkan jabatan politiknya dan mengumumkan niatnya untuk menjalani kehidupan membiara. Ia menjual sebagian besar kekayaannya dan uang yang diperolehnya dimanfaatkan untuk mendirikan biara – biara. Ada enam biara yang didirikan di Sicilia dan satu di Roma. Di dalam biara – biara itu, ia menjalani kehidupannya sebagai seorang rahib. Namun ia tidak saja hidup di dalam biara untuk berdoa dan bersemadi, ia juga giat di luar; membantu orang – orang miskin dan tertindas, menjadi diakon di Roma, menjadi Duta Besar di istana Konstantinopel. Pada tahun 586 ia dipilih menjadi Abbas di biara Santo Andreas di Roma. Di sana ia berjuang membebaskan para budak belian yang dijual di pasar – pasar kota Roma.
Pada tahun 590, dia diangkat menjadi Paus. Dengan ini dia dapat dengan penuh wibawa melaksanakan cita – citanya membebaskan kaum miskin dan lemah, terutama budak – budak dari Inggris. Ia mengutus Santo Agustinus ke Inggris bersama 40 biarawan lain untuk mewartakan Injil di sana. Gregorius adalah Paus pertama yang secara resmi mengumumkan dirinya sebagai Kepala Gereja Katolik sedunia. Ia memimpin Gereja selama 14 tahun dan dikenal sebagai seorang Paus yang masyur, negarawan dan administrator ulung pada awal abad pertengahan serta Bapa Gereja Latin yang terakhir. Karena tulisan – tulisannya yang berbobot, dia digelari sebagai Pujangga Gereja Latin. (Valery, dari berbagai sumber*)
A P I
Oleh: Valery Kopong*
Prometheus, nama yang bisa didapatkan dalam mitologi Yunani. Ia sempat mencuri api di dunia khayangan, dunia para dewa dan dewi. Karena perbuatannya ini maka Prometheus menjadi santer namanya di masyarakat bahkan menjadi buah tutur penghuni kampung itu. Ada jalan baru, ada terobosan baru mengenai perombakan pola hidup manusia yang didesain dengan bertitik tolak dari api yang merupakan hasil curian. Suasana sebelum adanya api begitu suram, sepertinya hidup di ruang tak berpenghuni. Prometheus telah mengubah situasi. Ia telah membakar semangat orang-orangnya dan mengubah pola hidup baru dalam masyarakatnya.
Prometheus dianggap sebagai sang pembaharu, seorang reformis yang telah menata kehidupan manusia melalui “api kesadaran.” Api telah menjadi milik manusia dan digunakan untuk membantu seluruh aktivitasnya. Sebagian besar hidup manusia bergantung pada api. Api menjadi daya dorong untuk memunculkan energi baru. Ia (api) selalu menularkan “nyala” sebagai penyuluh hidup manusia dan “membagi bara” untuk membakar kesadaran manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa keberadaan api, selain memberi semangat hidup bagi orang sezamannya tetapi juga dapat menggapai cita-cita mengubah dunia yang tak pernah berkesudahan. Perjuangan Prometheus tak mengenal lelah. Usahanya adalah memberi bentuk dan warna kehidupan manusia lewat visi yang futuristik. Perjuangan untuk menggapai api dan memilikinya ibarat menggapai sebuah mimpi. Mimpi untuk mengubah hidup dan menggerakkan roda kehidupan manusia.
Api menjadi simbol dan motor primum, penggerak utama yang memobilisasi manusia untuk menata hidupnya. Melihat api, berarti melihat perubahan baru karena ketika api membakar di tempat-tempat tertentu, di sanalah ada perubahan yang muncul. Perubahan yang muncul bisa membawa nilai positip ataupun nilai negatip terhadap manusia.
Semangat manusia tak lebih dari api. Kalau api selalu membawa perubahan baru bagi manusia, maka dalam diri manusia sendiri selalu ada gerakan perubahan, mobilitas yang mengarah pada pembaruan hidup. Dalam diri manusia selalu ada “semangat,” ada gairah yang membawa manusia menuju ke situasi yang lain. Di dalam “bara api semangat manusia” tersembul daya dorong yang sanggup mengilhami pemikiran untuk membuka sekat-sekat pemisah yang menjadi kendala untuk berubah. Perubahan itu ada dalam diri setiap manusia, tetapi sejauh mana manusia merasakan getaran perubahan dalam dirinya?
Ketika manusia merasakan daya dorong dalam dirinya untuk mau berubah, maka pada saat yang sama, ia (manusia) mau membuka diri dan membiarkan getaran dorongan itu menguasai dirinya. Bertitik tolak pada daya dorong, memungkinkan seseorang untuk mau tampil secara berbeda di setiap generasi yang berbeda pula. Di titian generasi yang berbeda, setiap manusia menampilkan “elan vita,” daya hidup yang sanggup menghidupkan manusia sendiri.
Musa, seperti yang diceritakan dalam kitab suci, telah melihat api yang menyala di semak-semak duri. Api yang menyala ramah merupakan bentuk peringatan Tuhan akan dirinya. Nyala api di semak duri adalah simbol peringatan Tuhan bahwa di tempat di mana ia pijak adalah suci, karena itu ia harus menanggalkan sandal. Peringatan Tuhan lewat nyala api mengubah pola kepatuhan Musa. Ia, Musa, tanpa kompromi menanggalkan kedosaan (baca: sandal / alas kaki) untuk masuk ke dalam suasana baru, suasana suci. Api (nyala api) seakan telah mempurifikasi dirinya untuk layak masuk ke dalam ruang yang lain, ruang suci. Nyala api di semak duri membuka kesadaran Musa untuk melihat kembali relasinya dengan Allah. Lewat nyala api, ia diingatkan, dengan siapa ia sedang berkomunikasi?
Berkomunikasi dengan Allah menampilkan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, melalui nyala api, Allah mau menunjukkan kepada manusia (melalui Musa) tentang kemahakuasaan dan kedasyatan dalam menguasai semesta alam. Dan di sisi lain, Ia juga menyadarkan manusia tentang pembersihan diri, purifikasi . Allah memberi kesempatan dan menggugah kesadaran agar manusia sendiri menyadari dosa-dosa sebelum membangun relasi dengan Allah. Pertobatan dan pembersihan diri merupakan jembatan ampuh yang dapat menghubungkan manusia dan Allah.
Ketika para rasul berada dalam ruang yang sunyi setelah Yesus terangkat ke sorga, turunlah Roh Kudus dalam bentuk lidah-lidah api. Kehadiran Roh Kudus dalam bentuk lidah-lidah api membawa perubahan bagi para murid. Mereka disanggupkan untuk berbicara dalam beberapa bahasa. Seluruh kehidupan para rasul dirasuki oleh Roh Kudus yang memberi semangat untuk mewartakan kabar gembira ke penjuru dunia. Roh Kudus yang sama yang turun dalam bentuk lidah-lidah api menyulut umat-Nya untuk mewartakan kabar gembira kepada siapa saja. Api Roh Kudus selalu membara dan mengembangkan “sayap lidah-lidahnya” ke penjuru dunia. Ia (Roh Kudus) menjiwai dunia dengan “nyala api kesadaran” dan membangunkan umat-Nya (baca: Gereja) untuk terus mewartakan Injil ke penjuru dunia.
Api menjadi simbol daya hidup karena di dalamnya ada semangat beralih (passing over spirituality). Setiap manusia terdorong untuk beralih, sekaligus membuka diri bagi yang lain. Cita-cita untuk beralih merupakan kerinduan dasar manusia. Dalam kerinduan untuk menggapai sesuatu yang lain, kita terbentur pada pertanyaan nakal, untuk apa dan mengapa?***
JAUHI NARKOBA

“Hidup Indah Tanpa Narkoba.” Itulah tema seminar yang diusung oleh WKRI cabang Stasi Santo Gregorius-Tangerang. Seminar yang diadakan di aula sekolahan Tarsisius Vireta-Tangerang pada Minggu, 21 Februari 2010 ini merupakan suatu tuntutan atas kondisi hidup yang telah dipengaruh narkoba. Narkoba yang selama ini dianggap masih jauh dari peredaran lingkungan Tangerang, tetapi ternyata kenyataan berbicara lain. Ia, narkoba, semakin dekat bahkan tempat produksinya pun di lingkungan perumahan regensi 2-Tangerang. Menyadari keberadaan tempat produksi dan peredaran narkoba semakin menghimpit ruang lingkup kehidupan masyarakat terutama wilayah Tangerang, mengetuk hati ibu-ibu yang tergabung dalam wadah WKRI untuk mau mengadakan seminar sebagai salah satu cara untuk menjawabi tantangan yang sedang dihadapi oleh orang tua saat mendampingi putera-puterinya.
Kehidupan masyarakat umum harus disesuaikan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Kehidupan normatif yang menjadi dambaan masyarakat umum adalah sebuah kehidupan yang sehat, jauh dari pengaruh negatif yang dapat mengganggu keberadaan dan kelangsungan hidup manusia sendiri. Anggapan umum ini semakin bergeser sejalan dengan pengaruh negatif yang muncul terutama dipengaruhi oleh arus informasi dan perkembangan teknologi. Pesatnya perubahan yang diakibatkan oleh arus informasi, turut mengubah pola perilaku dan pemikiran masyarakat terutama generasi muda. Generasi muda adalah generasi yang selalu mau berkembang ke arah kemajuan dan cukup banyak orang juga yang terjerumus dalam arus informasi yang negatif. Menurut Bapak Drs. Tedi Suwardi, MSi, utusan dari pemerintah kabupaten Tangerang, yang membuka acara seminar, bahwa “pesatnya arus informasi dan teknologi berpengaruh pada pola pikir anak. Banyak pengaruh negatif yang telah menjerumuskan mereka dalam kehidupan yang penuh dengan narkoba.” Lebih lanjut ia menegaskan bahwa kegiatan seminar merupakan sesuatu yang urgen untuk memberikan informasi sedini mungkin bagi kaum muda. “Dengan bekal pengetahuan agama, mereka bisa menata hidup untuk jauh dari narkoba.” Ia juga mengiformasikan bahwa di daerah Tangerang menjadi salah satu tempat yang memproduksi narkoba dan hal ini perlu disikapi, diwaspadai mulai dari sekarang. Karena itu di dalam proses mewaspadai persoalan yang membawa maut ini maka perlu adanya pembekalan yang matang terutama lewat seminar ini.
Seminar merupakan sebuah wahana sederhana dan sebagai “ruang kondusif” untuk menggali informasi. Menurut ketua WKRI cabang Stasi Santo Gregorius, ibu Effi, tujuan utama diadakan seminar adalah “untuk memperingati HUT WKRI Stasi Gregorius ke 11 dan sekaligus memberikan kepedulian terhadap orang tua untuk secara dini mengenal apa itu narkoba dan bahaya-bahayanya.” Setiap orang tua perlu mengetahui dan membekali diri dengan hal-hal yang berkaitan dengan narkoba. Dengan pengetahuan tersebut seorang ibu atau bapak, cukup dengan gampang menelusuri sepak terjang kehidupan anak-anaknya. Anak adalah titipan Tuhan karena itu perlu dijaga dari godaan dunia ini terutama “hantu narkoba.”


Peredaran narkoba semakin hari semakin luas jaringannya, tidak hanya dalam lingkup regional tapi tetapi transaksi sudah dan sedang terjadi secara internasional. Proses perdagangan barang-barang haram ini dengan motif dan modus yang begitu canggih yang dapat meloloskan diri dari kejaran polisi. Semakin banyak orang yang ditangkap dan dipenjarakan bahkan ada yang telah dihukum mati, tetapi apakah dapat memberikan efek jerah terhadap transaksi penjualan narkoba? Keberadaan manusia sekarang begitu rentan terhadap persoalan yang membawa ini. Namun semakin banyak orang yang dihukum bahkan dihukum mati tetapi masih banyak barisan panjang yang terjerumus dalam limbah narkoba dan siap menunggu untuk mati.
Menurut Dr. Victor Pudjiadi, SpB, FICS, DFM sebagai pembicara utama dalam seminar, bahwa saat ini sedang terjadi peredaran narkoba lintas negara. Sistem dan modus peredaran sangat variatif, dan hal ini dilakukan untuk mengelabui kejaran polisi. Ada begitu banyak obat-obatan terlarang yang beredar baik itu jenis shabu-shabu, heroin, kokain maupun pil ekstasi. Dalam memperkenalkan jenis obat-obatan ini, ia (Dr.Victor) menampilkan tayangan-tayangan yang memperlihatkan kondisi riil transaksi narkoba yang sedang dan terus terjadi. Beragam modus diperlihatkan sebagai upaya untuk membuka wawasan peserta seminar yang hadir. Kurang lebih 270 peserta yang mengikuti seminar, mereka terdiri dari kaum muda dan ibu-ibu yang merupakan utusan dari lingkungan-lingkungan di Stasi Santo Gregorius Kota Bumi-Tangerang.
Dalam pemaparan, ia menginformasikan sumber-sumber peredaran yang terjadi saat ini, misalnya, jenis heroin sumber pengedar adalah Negara Thailand, Myanmar dan Laos. Ketiga negara ini dikenal sebagai segi tiga emas yang merupakan daerah penyuplai heroin terbesar dan disebarkan ke pelbagai daerah. Umumnya semua jenis obat-obatan terlarang ini beredar di tempat-tempat tertentu, seperti: diskotik, kamar kecil / WC, kantin sekolah, warung sekitar, tempat parkiran, perpustakaan, bandara / pelabuhan, tempat kos. Tempat-tempat ini menjadi sasaran utama para pengedar untuk menawarkan penjualan narkoba sebagai “komoditi primadona.”
Memang peredaran dan penggunaan narkoba sangat berbahaya bagi kesehatan dan efek lain yang muncul adalah penyebaran HIV/ AIDS. Orang-orang yang tertular penyakit AIDS ini disebabkan oleh penggunaan jarum suntik secara bersama. Berkaitan dengan hal ini, Tiara, Puteri Indonesia 2007 yang hadir dalam seminar, menuturkan pengalaman seorang anggota keluarganya yang terkena narkoba dan pada akhirnya terkena AIDS. Penyakit berbahaya akhirnya memakan korban, yang adalah keluarganya sendiri. Sharing pengalaman ini lebih dimaksudkan agar kaum muda tidak terjerumus ke dalam penggunaan narkoba karena berakibat fatal bahkan menghantarkan hidup itu sendiri kepada sebuah kematian secara tragis.
Para peserta yang hadir terlihat antusias dan bertahan sampai berakhirnya seminar karena seminar ini diselingi dengan atraksi berupa sulap dan drama yang diperankan oleh Dr. Victor dan Jefri Chandra, bintang sinetron serta kru yang lain. Narkoba sudah diambang pintu, hati-hatilah dan waspadalah. *** (Valery)
BALADA KAYU SALIB DAN KISAH KEBANGKITAN

“Di kala Yesus disambut di gerbang Yerusalem
Umat bagai lautani…”
Begitulah penggalan syair lagu yang dinyanyikan oleh paduan suara Tarsisius Vireta pada Minggu Palma. Lagu ini menunjukkan betapa antusiasme umat manusia terhadap kehadiran Yesus saat memasuki kota Yerusalem. Yesus yang menunggang keledai, sepertinya digiring secara lugu, mirip keledai tunggangan-Nya menuju gerbang kota Yerusalem. Apakah sorak-sorai dan gegap gempita umat menggiring masuk Sang Raja menunjukkan, betapa kepedulian mereka terhadap-Nya? Yesus sendiri tahu bahwa memasuki gerbang Yerusalem menjadi titik awal Ia masuk ke gerbang penderitaan. Ia tahu bahwa jalan yang harus dilalui adalah jalan menuju derita, tetapi sangat mengherankan bahwa Ia (Yesus) melakoni hidup dan perutusan-Nya ini dengan tenang.
Di gerbang Yerusalem, Yesus memperlihatkan seorang manusia yang lemah lembut, manusia yang tidak menyombongkan diri, walaupun Ia berada di tengah “ruang sorak-sorai.” Dalam kotbahnya di Minggu Palma, Romo Sriyanto menekankan kelemah-lembutan Yesus yang bersedia di sorak-sorai bahkan dicaci-maki. Ketika Yesus diolok-olok, dicaci-maki tapi Ia tidak pernah marah. Dalam peristiwa ini kita diajak untuk menyingkirkan perbuatan-perbuatan kita yang kadang kita rancang untuk menyingkirkan orang lain. Kita tiru semangat dan pengorbanan Yesus yang selalu menekuni jalan kesengsaraan ini.
Mencari Format Pelayanan
Dalam Paskah Yahudi, yang dikenang adalah pembebasan orang-orang Israel dari perbudakan Mesir. Paskah Yahudi merupakan budaya yang diadakan untuk mengenang masa lampau dan dalam perjamuan itu mereka makan roti dan sayuran pahit serta anak domba yang dibakar. Bukan soal makan yang dibicarakan tetapi ciri khas perjamuan ini adalah mereka memakan dengan tongkat di tangan dan pinggan yang terikat. Dalam kitab keluaran (eksodus), tongkat di tangan menjadi simbol kesiap-siagaan Bani Israel untuk menunggu Tuhan datang dan melawat umat-Nya.
Perjanjian Baru berbicara sesuatu yang berbeda tetapi memiliki kesamaan intinya. Kalau Perjanjian Lama mengenang Allah yang melawat umat-Nya yang sedang dalam perderitaan oleh perbudakan Mesir maka Paskah Yesus, kita mengenangkan peristiwa di mana Allah membebaskan umat-Nya dari noda dosa asal melalui Yesus Putera-Nya. Sebelum memulai penderitaan, Yesus mengadakan perjamuan malam terakhir bersama Yesus. Pada kesempatan itu Yesus sendiri membasuh kaki para rasul dan apa yang dilakukan ini juga merupakan sebuah tradisi Yahudi ketika mengadakan sebuah pesta. Kaki dan tangan mesti dibasuh sebelum masuk ke dalam ruang pesta. Tetapi mengapa Yesus yang membasuh kaki dan bukan yang lain? Apa yang dilakukan Yesus tidak dipahami oleh para murid-Nya dan di kemudian hari barulah mereka tahu arti pembasuhan kaki yang diperlihatkan Yesus pada para murid-Nya. “Mengertikah kamu akan perbuatan ini?”
Dalam kisah pembasuhan kaki para murid, Yesus sendiri meninggalkan sebuah kisah kerendahan hati yang mendalam di antara para rasul dan kita semua sebagai pengikut-Nya. “Hendaklah kamu semua saling melayani.” Perayaan malam perjamuan merupakan puncak iman karena di dalamnya Yesus sendiri menyerahkan diri sebagai santapan rohani. Karena itu setiap kali kita merayakan ekaristi, kita menerima kehadiran Yesus untuk menjiwai hidup kita. “Dalam kerapuhan dan ketakberdayaan Yesus, kita dikuatkan. Roh Tuhan senantiasa bekerja sehingga pelayanan Tuhan bekerja dalam diri kita dan kasih yang sama kita terapkan dalam keluarga dan lingkungan sekitar kita,” tegas Romo Heru, SJ di penghujung khotbahnya.
Pada misa ke 2 kamis putih yang dipimpin oleh Romo Edi, ia menekankan pembersihan diri. Sebelum masuk ke ruang pesta, setiap undangan harus membasuh diri terlebih dahulu. Perjamuan malam terakhir, memperlihatkan Yesus sebagai tuan pesta. Dia berani membasuh kaki para murid untuk mengatakan pada kita bahwa setiap manusia adalah terhormat, karena itu perlu dilayani. Yesus memberi contoh atau teladan sekaligus mengingatkan kita bahwa dalam peristiwa pembasuhan juga Yesus menceritakan tentang asal dan tujuan hidup manusia yaitu dari Allah sendiri. Apa yang berasal dari Allah adalah sesuatu yang berharga dan karena itu tidak disepelehkan.
Drama Penyaliban, Membuka Ingatan Kolektif
Suasana sepi. Dunia berkabung atas wafatnya Yesus Kristus di atas kayu salib. Sebuah kematian yang sangat tragis tetapi harus juga dijalani demi umat manusia. Kisah kematian ini tetap dipilin menjadi sebuah “ingatan kolektif” karena di balik peristiwa ini, ada harapan baru yang menyelamatkan dan memberdayakan iman umat manusia.
Jumat Agung, sebuah hari yang menawarkan suasana sepi dari hari-hari lain. Tapi di pucuk sore itu, di bawah rimbunan pohon-pohon masih terdengar suara para dramawan yang mendramatisasikan kisah ini dengan hikmat. Umat dihantar untuk memasuki gerbang keheningan untuk pada akhirnya memahami bahwa kisah ini hanyalah pengulangan masa silam yang dialami oleh Yesus sendiri. Ia mengalami pergulatan hebat di taman Getzemani, hingga mengeluarkan peluh berdarah.
Penderitaan tidak selamanya membawa kemalangan. Apa yang dialami oleh Yesus merupakan sebuah cara yang ditawarkan Allah untuk menebus dosa manusia. Apakah Yesus gentar ketika berhadapan dengan penderitaan? Sebagai manusia, tentunya di dalam diri Yesus muncul rasa takut namun Allah yang mengutus-Nya senantiasa membimbing Dia untuk sampai pada kesudahannya. Penderitaan, menurut Romo Swasono dalam khotbahnya, tidak pernah menggetarkan iman kita akan Dia. Namun derita, sengsara dan kebangkitan-Nya memperkuat iman kita akan Yesus dan berani mengakui sebagai Allah yang hidup dan menyelamatkan.
Kisah Kebangkitan
Yesus sebagai penyelamat, tentunya diharapkan oleh banyak orang. Peristiwa sengsara dan kematian-Nya seakan membawa keputus-asaan bagi mereka yang setia menemani-Nya. Dalam kotbah di malam Paskah, Romo Yosef Situmorang mengatakan bahwa perempuan-perempuan yang menjadi saksi atas kekosongan kubur adalah pengikut Yesus selama Ia masih hidup dan berkarya. Mereka tahu bahwa Yesus adalah Mesias dan karena itu menaruh harapan yang besar pada-Nya.
Perempuan-perempuan yang mengikuti Yesus adalah orang-orang yang sederhana. Dalam kesederhanaan itu mereka menaruh harapan penuh pada “pundak Yesus” akan hidup itu sendiri. Peristiwa kematian menjadi moment yang dapat mengguncang iman mereka pada-Nya. Dia yang diharapkan menjadi penyelamat ternyata mati di kayu salib, mirip manusia pesakitan. Kekecewaan yang dialami oleh perempuan-perempuan tidak berlarut-larut. Kekosongan kubur Yesus menjadi sebuah bukti kebangkitan Yesus dan berita utama untuk perempuan-perempuan dalam mewartakan cerita (balada) kebangkitan-Nya. Yesus telah bangkit, mari kita pergi mewartakan kabar itu ke penjuru dunia seperti yang diwartakan oleh perempuan-perempuan terdahulu.***
PERJAMUAN AKHIR

Oleh: Valery Kopong*

Sebelum pamit dari rumah untuk memulai hidup di perantauan, kami sekeluarga mengadakan makan malam bersama. Ini merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan keluargaku setiap melepaskan salah seorang anggota keluarga sebelum bepergian jauh. Makan malam menjadi berharga dan nilainya jauh lebih tinggi ketimbang makan malam bersama tanpa melepaskan salah seorang anggota keluarga. Mengapa perlu mengadakan perjamuan malam sebelum melepaspergikan seseorang?
Bagi saya, perjamuan makan malam bersama keluarga sebelum merantau untuk sekian tahun adalah sebuah pengalaman historis yang tak pernah saya lupakan. Dalam moment yang cukup mendebarkan itu, bapak dan mamaku memberikan pesan-pesan terakhir. “Nak, besok kamu pergi untuk memulai hidup baru. Jagalah baik-baik kaki-tangan dan mulut.” Pesan sederhana ini menyiratkan sebuah makna yang mendalam. Pesan ini berarti bahwa setiap kali kita bepergian jauh maupun dekat, yang perlu diperhatikan adalah tingkah laku dan perbuatan serta tutur kata yang diucapkan. Apabila kita membangun relasi baik dengan sesama maka pola tingkah laku selalu berada dalam koridor nilai dan norma yang berlaku. Demikian juga penuturan kita saat bertemu dan berinteraksi dengan sesama.
Keesokan harinya, sebelum kaki ini melangkah meninggalkan rumah tercinta, dari mulut kedua orang tuaku terucap kata, “jangan lupa untuk pulang kampung.” Rumah adalah tempat kita memulai hidup. Rumah di sini tidak hanya mencakup bangunan secara fisik tetapi lebih dari itu rumah adalah “ruang pengharapan” yang selalu terbuka pintunya secara lebar untuk melepaspergikan anggota keluarga dan menerima kembali anggotanya. Rumah adalah “ruang inspirasi” yang memberikan spirit. Rumah sebagai tempat terakhir kami berlabuh setelah berjuang dalam kisaran ruang dan waktu, juga menjadi tempat pertemuan manusia dengan identitas masing-masing serta pola pikir yang sudah terkontaminase dengan glamournya kehidupan kota. Kota telah memperlihatkan daya tariknya pada manusia sehingga mereka dapat dengan leluasa mencari sepenggal hidup di “ruang polusif” itu. Tetapi separoh nafas mereka berada di jantung desa yang senantiasa menunggu untuk merangkulnya. Rumah telah merangkulnya kembali setelah sekian lama didera oleh belenggu kota.
Sebelum menjalani penderitaan, Yesus mengadakan perjamuan terakhir bersama para muridNya. Perjamuan yang terselenggara merupakan “pesta pelepasan” sederhana sebelum Ia diserahkan ke tangan-tangan para penyamun. Pesta perjamuan yang diperkenalkan Yesus telah menjadi perjamuan abadi. Dalam perjamuan itu Ia mengambil roti dan memecahkan lalu membagi kepada para muridNya. Demikian juga Ia mengambil piala yang berisi anggur. Perjamuan terakhir karenanya, lebih dikenal sebagai perjamuan cinta kasih karena Yesus memperlihatkan nilai-nilai pelayanan kepada para murid dan dengan suatu harapan, nilai-nilai pelayanan dan cinta kasih dapat dipancar-teruskan dalam kehidupan sehari-sehari bagi umat yang percaya kepadaNya.
Hampir setiap kali menghadiri perayaan ekaristi, aku selalu teringat suasana makan sederhana di saat aku dilepaskan oleh orang tuaku. Makan malam, perjamuan bersejarah itu tetap terkenang dalam memori hidupku dan terus mengingatkan aku untuk kembali ke “ruang perjamuan,” ruang persaudaraan yang selalu mengikat aku dalam pesan-pesan bijak.***
“SAATKU BELUM TIBA”
Pengantar: Tim Voluntas berhasil mewawancari Bunda Maria seputar perkawinan di Kana di Galilea. Kisah ini dimunculkan berkenaan dengan tema Voluntas mengenai keluarga. Sebagai umat beriman, kita mencontohi keluarga Nazareth di mana Maria sebagai ibu Tuhan memainkan peranan penting dalam kehidupan Yesus. Berikut petikan wawancara
=================================================================================
Selamat bertemu Bunda. Perkenalkan, nama saya Valery, Redaktur senior majalah Voluntas, sebuah majalah milik stasi Santo Gregorius. Apakah Bunda ada waktu untuk kita ngobrol bersama seputar kisah perkawinan di Kana?
“Oh, boleh,” jawab Bunda. Kalau untuk Voluntas, saya menyediakan waktu. Kira-kira apa yang mau ditanyakan?
Begini Bunda. Seperti yang diceritakan dalam kitab suci bahwa perkawinan di Kana merupakan moment yang tepat bagi Yesus untuk mengadakan mukjizat. Bolehkan Bunda cerita sedikit mengenai peristiwa itu?
Kami sekeluarga diundang untuk menghadiri pesta itu. Pesta perkawinan itu merupakan pesta akbar dan merupakan taruhan nama baik keluarga kedua mempelai. Pertaruhan nama baik yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana tuan pesta menjamu para undangan, apakah memuaskan para undangan yang hadir atau tidak? Letak keberhasilan sebuah pesta, terletak pada tingkat kepuasan para undangan yang hadir.
Tingkat kepuasan seperti apa yang dialami dalam sebuah pesta?
Dalam konteks budaya Yahudi dan juga budaya-budaya lain di Indonesia, kepuasan para pengunjung pesta (para undangan) terletak pada aspek lahiriah, seperti penataan tempat (dekorasi) tetapi yang lebih penting adalah makanan dan minuman. Persoalan makanan dan minuman menjadi ukuran sekaligus memberi warna sebuah pesta. Apabila makanan dan minuman tidak terpenuhi secara baik maka orang akan pulang dengan sungut dan gerutu. Ini merupakan pratanda tidak baik bagi promosi nama baik keluarga kedua belah pihak. Minuman menjadi ciri khas dan penentu kualitas sebuah pesta. Tanpa minuman, pesta sepertinya tidak mempunyai nyawa.
Lalu bagaimana dengan peristiwa di mana tuan pesta yang kekurangan anggur? Dari mana mereka tahu bahwa di situ ada Yesus bersama ibu-Nya?
Mereka memiliki daftar orang-orang yang diundang. Namun peristiwa ini merupakan momentum yang tepat untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik. Ada gerakan Ilahi yang mendorong salah seorang tuan pesta untuk menemui saya. Ini saya lihat sebagai jalan Allah untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik. Undangan yang hadir merupakan representan (mewakili) manusia secara keseluruhan. Apa yang akan dilakukan Yesus merupakan tindakan Allah terhadap manusia dalam menyelamatkan peristiwa kekurangan anggur. Sebagai seorang ibu sekaligus undangan, hatiku sepertinya terketuk untuk berbuat sesuatu untuk bisa menyelamatkan situasi.
Ketika Bunda menyampaikan hal tersebut, terutama soal kekurangan anggur, apa reaksi Yesus saat mendengar tawaran dari Bunda?
Kamu tentu tahu bahwa Yesus ketika kecil sangat malu untuk memperkenalkan diri saat berhadapan dengan orang lain. Ketika saya menyampaikan peristiwa kekurangan anggur yang dialami oleh tuan pesta, Ia sendiri terkesan tidak bisa berbuat banyak. Sampai pada akhirnya Ia mengatakan pada saya bahwa “saat-Ku belum tiba.”
Kalimat “saat-Ku belum tiba” menjadi sebuah tafsiran yang menarik bagi para teolog dan para ekseget (ahli kitab suci). Apa makna kalimat “saat-Ku belum tiba?”
Setiap kali Yesus mengucapkan kata-kata, tersembul sebuah kekuatan yang luar biasa. Kata-kata yang diucapkan memiliki daya atau energi tersendiri. Apa yang dikatakan-Nya ketika aku memintanya, Ia tidak menerima tawaran itu secara langsung. Ia harus mengelola tawaran itu dalam terang tuntunan Allah. Karena itu apa yang dikatakan-Nya, walaupun keluar dari mulut-Nya sendiri tetapi Allah yang sedang berbicara di dalam-Nya.
Tentang “saat” seperti yang tertulis dalam Injil Yohanes memang perlu dipahami secara mendalam terutama dalam dimensi waktu yang selalu mengitari kehidupan Yesus. Yesus selalu menyebut waktu ketika perutusan-Nya sebagai “saat”-Nya. Dalam peristiwa perkawinan di Kana, kata “saat” ini muncul lagi sebagai pemenuhan tawaran dari ibu-Nya untuk menyelamatkan tuan pesta yang kehabisan anggur. Jawaban Yesus terhadap permintaan yang diberikan oleh ibu-Nya kedengaran aneh. Tetapi apakah ini merupakan jalan dan saat yang tepat bagi-Nya untuk memperkenalkan diri-Nya di hadapan publik?
Yesus menggunakan kata “saat” untuk membahasakan misteri iman yang hidup dan perlu mendapat penggenapannya. Rekaman pertama penggunaan kata ini oleh-Nya adalah pada kisah kehabisan anggur di Kana yang dialami oleh tuan pesta. Peristiwa ini mendorong naluri keibuanku untuk berbuat suatu sebagai ungkapan nyata terhadap mereka yang kekurangan. Apa yang harus aku lakukan? Aku meminta Puteraku Yesus. “Mereka kehabisan anggur.” Yesus menjawab, “Mau apakah engkau dari Aku, Ibu? Saat-Ku belum tiba” (Yoh 2:3-4).
Mencermati apa yang dikatakan Yesus dalam teologi Yohanes memanglah sulit dan seperti mengawang, karena itu tidak mengherankan bila Injil Yohanes dilambangkan dengan burung rajawali. Seperti burung rajawali yang terbang mengawang, demikian juga dengan teologi Yohanes yang sulit untuk digapai maknanya. Untuk memahami pernyataan Yesus, “Saat-Ku belum tiba,” kita akan menangkap pola pemikiran dasarnya. Dengan menjawab demikian, sepertinya Yesus sedang membentengi diri dan mengantisipasi suatu “saat” ketika sesuatu yang lebih penting yang akan terjadi. Tetapi saat itu sekarang belum tiba.
Menyimak apa yang dikatakan Yesus terutama “saat” yang menjadi titik sentral lebih berpihak pada tiga dimensi waktu yang harus dilalui oleh Yesus yaitu saat sengsara, kematian dan kebangkitan-Nya. Apa yang dikatakan Yesus tentang “saat” yang akan melengkapi tiga dimensi waktu yang didalamnya termuat peristiwa tragis dan kemuliaan.
Hanya dengan mengatakan, “mereka kehabisan anggur,” sebetulnya aku sendiri mendesak supaya saat berahmat untuk melakukan sebuah tanda mesti terlaksana. Yesus akhirnya tahu kalau saat-nya sudah tiba, Ia akan menyediakan anggur-anggur yang paling baik. Namun perlu disadari bahwa “saat”-Nya sudah tiba tetapi “saat definitif” belumlah tiba. “Saat” di Kana merupakan titik awal pengenalan Yesus ke hadapan publik walau mukjizat yang dilakukan hanyalah tuan pesta yang tahu. Kita semua pun diundang menjadi tuan pesta agar tahu memahami arti mukjizat itu.*** (Valery Kopong)