Saturday, September 18, 2010

ANAK


Hampir tiap hari kita menyaksikan anak-anak yang dihilangkan. Orang-orang dewasa telah menguasai mereka. Di layar televisi, mereka dibikin menyanyi seperti para biduan komersial menyanyi, berkhotbah seperti para kiyai berkhotbah, bersaing seperti para pecundang dewasa bersaing.
Mereka dicetak. Model mereka bukan datang dari imajinasi sendiri. Mereka dikepung. Di rumah, di sekolah, di tempat ibadah, anak-anak harus mengikuti apa yang dipetuahkan. Si bocah mesti menuruti tatanan simbul-simbul yang dijadikan sendi kehidupan ibu-bapa.
Tentu, masih ada dunia fantasi mereka sendiri. Tapi inipun sebagian besar sudah dibentuk oleh selera orang-orang yang punya pengaruh: pemilik taman hiburan, entrepeneur baju dan sepatu, industri mainan, produser acara TV, pengelola jasa-jasa iklan, pengarah kindergarten dan sekolah dasar.
Lewat itu semua, tiap hari anak-anak sedang hendak dihilangkan.
Mungkin ini tanda-tanda dua masa yang cemas.
Yang pertama masa ketika kita cemas kalau-kalau sebuah generasi baru akan meninggalkan tradisi — sisa simptom masyarakat petani yang berubah. Dalam masyarakat agraris, ketika perubahan teknik dan nilai-nilai hampir tak terasa, orang bisa bertahan dengan ingatan dan masa lalu kolektif. Mereka gentar kepada yang baru, malah mungkin tak merasa butuh dengan yang baru.
Tapi masa ini juga masa ketika modal, persaingan, perbedaan, dan perubahan mendesak. Merasa dilecut, orang-orang tua dengan agak gugup dan tak sabar mempersiapkan anak mereka untuk masuk ke dunia yang baru – tapi yang sebenarnya bukan dunia anak-anak.
Di tengah kecemasan itu, anak hanya diberi, tapi dengan sikap mendua. Sang pemberi, si orang tua, merasa diri berkorban, dan dengan pengrobanan itu memposisikan diri lebih mulia.. Saya kira ambivalensi itulah yang tercermin dalam satu sajak Amir Hamzah yang ditulis di tahun 1930-an:
Anak lasak mengisak panjang
Menyabak merunta mengguling diri
Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa karena cinta
Sajak itu mencerminkan pandangan orang tua: si bocah dinilai lasak dan manja, dan orang tua dinyatakan penuh ikhlas melayani. Tapi tak ada peluang si anak untuk menampilkan sudut pandangnya. Amir Hamzah, seperti banyak sastrawan Indonesia lain, tak menghadirkan karya dengan perspektif anak-anak yang menggugat kearifan orang dewasa – satu hal yang kita temukan dalam Pangeran Kecil Antoine de Saint-Exupèry.
Maka bukan hal yang mengherankan anak-anak disisihkan tiap hari.
Tapi agaknya bukan hanya Indonesia yang menyaksikan ketersisihan itu. Di awal abad ke-20, ketika kapitalisme industri makin kukuh, Eropa merasakan hilangnya saat-saat anak –hilangnya suasana ketika kita bisa, (dalam kata-kata Tagore), ”duduk di atas debu, bermain dengan ranting patah sepanjang pagi”.
Kian lama kehidupan kian ditentukan oleh “hasil”, “guna”, “perhitungan”, “efisiensi”, dan aturan-aturan yang pakem. Orang ingin terus menerus menguasai ruang dan waktu. Maka, yang semula hidup dibuat beku. Cara pun jadi formua, alam jadi proyek, ibadah jadi ritual, yang disembah jadi berhala, kesenian jadi klise, dan benda yang akrab ke dalam hatiku cuma jadi benda yang tiap saat bisa dipertukarkan dengan benda lain. Mungkin inilah yang disebut Hegel sebagai “kehidupan yang bergerak sendiri tapi sebenarnya tersusun dari bentuk-bentuk yang mati,” ein sich in sich selbst bewegende Leben des Todes.
Pada saat itulah kalkulasi jadi paradigma. “Orang dewasa,” kata sang Pangeran Kecil dalam karya de Saint-Exupéry itu, “menyukai angka-angka”. Orang dewasa (sebuah kiasan untuk “orang modern” atau lebih tepat “borjuis”) hanya mampu melihat setangkai mawar sebagai eksemplar dari mawar yang lain. Dengan kata lain, “mawar” telah jadi konsep yang abstrak, bukan kehadiran yang singular dan tak terbandingkan.
Pangeran Kecil sebenarnya sebuah penyesalan. De Saint-Exupéry menyesali hilangnya sebuah dunia di mana imajinasi bebas jadi paradigma.
Imajinasi bebas itu, bagi para penyair, ditauldankan oleh keasyikan anak-anak. Sebelum Tagore dan de Saint-Exupéry, Rilke sudah mengemukakan hal itu, di tahun 1901: hanya anak, bukan orang dewasa, yang dapat menemukan keindahan “dalam sekuntum bunga, dalam sekerat batu, dalam kulit kayu, atau di sehelai daun birka”. Orang dewasa tak mungkin merayakan benda-benda sepele itu. Mereka, tulis sang penyair, hanya “berkisar dalam urusan dan kecemasan, seraya menyiksa diri sendiri dengan segala detail.”
Tapi Rilke juga menyadari: pada gilirannya anak-anak berubah. Kita telah mengubah mereka. Kita telah menggantikan pandang mereka yang intuitif dengan pandang yang rasional. Mereka kita dorong memandang bunga, batu, daun sebagai benda mati yang bisa dimanfaatkan. Maka hadirlah kebekuan. Rilke mengungkapkannya dalam Elegi ke-8 dari seri Elegi Duino yang terkenal itu:
… sebab telah kita balikkan arah anak-anak memandang
Hingga ia menatap ke belakang, ke arah apa yang mapan
Bukan ke sana yang terbuka, yang tersembunyi
Dalam tatapan hewan: bebas dari kematian.
Dan hampir tiap hari kita menyaksikan anak-anak yang dihilangkan.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 26 Juli 2010~

DAGING


Puasa: perut yang harus dibiarkan lapar, tenggorokan yang menahan haus selama 12 jam, alat kelamin yang tak tersentuh syahwat. Demikianlah yang jasmani dikendalikan: daging harus dituntun oleh roh. Kalau tidak: dosa.
Maka dari waktu ke waktu, seraya menolak yang jasmani, kita dianjurkan hanya menerima yang ”rohani”. Sejak pukul 4 dini hari, masjid dan surau penuh suara orang menyebut Tuhan, menganjurkan ibadat, meneguhkan iman, menjalankan syariat…. Kita dilengkapi dengan banyak penangkal: kita harus bisa menolak gado-gado, soto, video porno.
Tapi bisakah daging diasingkan? Bisakah tubuh dilihat terpisah? Tampaknya ada yang luput dilihat di sini. Justru pada bulan Ramadan, yang jasmani diam-diam menyiapkan resistansi.
Mari datang ke pusat-pusat perbelanjaan mewah dan angkringan sederhana di kaki lima. Kita akan melihat semarak pelbagai penganan lezat yang tak lazim sehari-hari. Ramadan telah jadi sebuah paradoks: ketika orang diharuskan menahan nafsu, kreativitas menyiapkan hidangan justru meningkat; omzet perdagangan makanan naik sampai 60 persen. Orang ramai berbelanja untuk membuat meriah meja berbuka puasa dan sahur mereka.
Ramadan agaknya telah jadi sebuah periode ketika orang berusaha memperoleh kompensasi istimewa. Tampaknya kuat anggapan bahwa pengekangan atas tubuh kita selama 30 hari itu adalah sebuah deprivasi, sebuah perenggutan dari hidup yang normal, dan kita, yang merasa harus menanggungkan itu, menginginkan imbalan yang memuaskan.
Di atas semua itu, setidaknya di Indonesia, orang-orang yang menganggap puasa sebagai deprivasi yang berat akan bersikap seakan-akan anak manja atau si korban yang dendam: mereka minta diperlakukan dengan kelas tersendiri. ”Hormatilah orang yang berpuasa!” seru pengumuman di mana-mana. Maksudnya: ”jangan menggoda atau merayu orang yang berpuasa untuk batal”.
Barangkali berpuasa telah berubah: menahan haus dan lapar tidak lagi ditandai tekad melawan godaan, tapi sikap ketakutan akan godaan. Pada bulan ini orang-orang yang mengatakan bahwa niat mereka berpuasa adalah untuk Allah (dengan kata lain: ikhlas) ternyata juga orang-orang yang merasa berhak mengklaim proteksi dari kekuatan di luar diri mereka: Negara.
Maka rumah-rumah hiburan malam pun diharuskan tutup sepanjang bulan. Bahkan panti pijat yang biasanya dipergunakan keluarga (termasuk anak-anak) tak boleh buka. Tak urung, para juru pijat, umumnya ibu-ibu yang bekerja untuk menambah nafkah keluarga, berkurang pendapatan. Di Bekasi, para pemilik dan buruh industri entertainment kecil atau menengah mengeluh (ya, mereka akhirnya berani mengeluh) bahwa setiap tahun nafkah mereka putus selama 30 hari. Padahal mereka juga harus ikut mengumpulkan pendapatan lebih untuk bersenang-senang pada hari Lebaran.
Dengan kata lain, puasa telah jadi semacam privilese. Orang-orang yang berpuasa bukan saja harus dihormati secara istimewa, tapi juga orang lain harus bersedia berkorban untuk mereka.
Persoalannya akan berbeda jika kita menganggap berpuasa dengan sikap lain: puasa bukan sebagai deprivasi, melainkan sebagai ikhtiar kita untuk mengurangi apa yang dirasakan berlebih dan berlebihan dalam diri. Dengan kata lain, inilah puasa sebagai pilihan laku yang menangkis keserakahan. Bahkan inilah puasa sebagai reduksi agresivitas menghadapi dunia—agresivitas yang meringkus dunia jadi milik dan bagian dari sasaran konsumsi.
Dalam puasa reduktif itu, kita sebenarnya melanjutkan pesan Nabi untuk berhenti makan sebelum kita kenyang dan juga pesan Gandhi untuk menyadari betapa dunia terbatas: bumi cukup untuk kebutuhan tiap orang, namun tak akan cukup untuk ketamakan tiap orang.
Puasa yang macam itu tentu saja tak akan diakhiri dengan kemenangan yang dirayakan dengan Idul Fitri yang pongah. Puasa yang menampik keserakahan dan agresivitas tak akan meneriakkan kemenangan, terutama kemenangan diriku sebagai subyek yang perkasa yang telah mengalahkan tubuh sendiri. Bahkan dalam puasa yang seperti itu, ”aku”, seperti dikatakan Chairil Anwar di pintu Tuhan, ”hilang bentuk, remuk”.
Tak berarti ”hilang bentuk, remuk” itu menunjukkan wajah manusia yang tertindas dan jadi asing bagi dirinya sendiri.
Marx memang pernah menganggap, dalam agama (sebagai bentuk alienasi), wujud manusia hilang: ”semakin banyak yang dicurahkan manusia ke Tuhan, semakin sedikit yang ia sisakan bagi dirinya sendiri….”. Tapi di situ Marx salah. Pada abad ini yang kita saksikan justru sebaliknya: semakin banyak yang dicurahkan manusia ke Tuhan, semakin menggelembung ia jadi subyek yang penuh dan perkasa. Dan agresif.
Mungkin itu sebabnya mereka yang berpuasa juga tampak seperti orang yang ingin berkuasa. Kecuali jika puasa membuat kita sadar bahwa kita tak pernah bisa tegak utuh sendiri. Kita, roh yang juga daging, terbentuk oleh zat-zat yang sama dengan zat-zat dunia—meskipun kesatuan antara roh dan daging itu menyebabkan manusia tak seluruhnya bisa dirumuskan. Kita ada di bumi, di bawah langit, di antara makhluk lain yang fana, di hadapan Tuhan—sebuah variasi dari das Geviert Heidegger. Dalam posisi itu, aku bisa merasakan bumi, langit, sesama makhluk dan rahmat Tuhan mengasuhku. Dalam posisi itu, aku bisa menghilangkan ketamakan dan agresivitasku.
Di situ, puasa tak akan disertai hasrat mendapatkan kompensasi yang memuaskan buat tubuh yang merasa tertindas dan terasing oleh Ramadan. Di situ, puasa tak dimulai dengan merasa telah direnggutkan, hanya karena mulut tak boleh menelan, lidah tak boleh mencicip. Di situ, puasa adalah pertemuan kembali dengan tubuh yang sebenarnya lumrah dan patut disyukuri. Bukan tubuh yang dikurung untuk diwaspadai.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Agustus 2010~


Majenun  


DI sana-sini, dunia perlu orang majenun. Atau penyair. Atau kedua-duanya.
”Kenapa kalian, para penyair, begitu terpesona kepada orang gila?”
”Kami punya banyak kesamaan.”
Dialog ini, dalam film Man from La Mancha, berlangsung dalam sebuah penjara bawah tanah di Spanyol abad ke-17. Si penyair yang menjawab pertanyaan itu adalah Miguel de Cervantes. Dalam catatan sejarah dialah penulis El ingenioso hidalgo don Quijote de la Mancha yang lebih dikenal sebagai Don Quixote: dua jilid panjang yang berkisah tentang seorang majenun. Dalam film ini, diproduksi di tahun 1972, kisah itu diadaptasi dengan pendekatan yang ingin berbicara untuk zaman kita—zaman yang tak mau menerima kegilaan.
Adapun bagian pertama novel ini terbit di tahun 1605 di Madrid. Ia sebuah satire: Don Quixote tampil sebagai tokoh yang ditertawakan. Tapi berangsur-angsur dalam Cervantes terasa tumbuh rasa sayang kepada si majenun ciptaannya. Jika dibaca dengan jilid keduanya yang terbit di tahun 1615, ada yang sayu dalam kegilaan itu: Alonso Quijana, seorang tua yang terlalu banyak membaca buku tentang ksatria, tiba-tiba meninggalkan rumahnya, berkeliling naik kuda dan menganggap dirinya seorang caballero. Seakan-akan Spanyol masih di zaman dongeng lama ketika para ksatria bertempur untuk hal-hal yang luhur. Alonso Quijana menyebut diri ”Don Quixote de la Mancha”.
Film Man from La Mancha merupakan adaptasi musikal atas kisah yang sudah beredar 300 tahun itu. Saya tak pernah menyukai musikal, tapi karya sutradara Arthur Hiller dengan skenario Dale Wasserman ini bagi saya sebuah perkecualian yang tak terlupakan. Terutama karena Peter O’Toole bermain dengan cemerlang sebagai Cervantes dan sekaligus Don Quixote—dan terutama karena mise-en-scène yang bisa menggabungkan teater gaya Brecht dengan layar putih á la Hollywood.
Syahdan, adegan dimulai dengan Miguel de Cervantes, penyair, pemungut pajak, dan prajurit, yang ditangkap bersama bujangnya yang setia. Jawatan Inkuisisi, lembaga Gereja Katolik Spanyol yang dengan tangan besi menjaga keutuhan umat dan iman, menjebloskan mereka ke dalam kurungan di bawah tanah. Tak ayal, dalam calabozo yang seram itu mereka dikerubuti para tahanan lain: semua milik yang mereka bawa harus diserahkan.
Cervantes mencoba mempertahankan satu naskah dan satu peti yang dibawanya. Ia siap membela diri di depan mahkamah kurungan itu. Ia minta diizinkan menyajikan satu lakon.
Pemimpin para tahanan itu setuju. Dengan cepat, sang penyair membuka petinya. Ia kenakan kostum dan tata rias, dan muncul sebagai Alonso Quijana, pak tua yang terkena delusi berat dan membayangkan diri sebagai Don Quixote.
Ruang sempit yang pengap itu jadi pentas. Ksatria imajiner itu, dengan diiringi pelayannya, kini disebut Sancho Panza, naik kuda imajiner. Pada detik-detik berikutnya, kamera memindahkan adegan itu ke alam luas: kedua orang itu tampak menempuh plateau sunyi La Mancha. Don Quixote tegak di atas pelana di punggung Rocinante.
Perjalanan mereka tentu saja tak sepanjang yang dikisahkan novel. Teks Wasserman (penulis lakon yang juga membuat adaptasi karya Brecht, Die Dreigroschenoper) hanya menampilkan beberapa bab yang penting dari narasi Cervantes.
Yang paling penting: pertemuan Don Quixote dengan pelacur Aldonza, di sebuah losmen. Kita ingat sang majenun membayangkan losmen buruk itu sebuah kastil dan si pelacur sebagai Dulcenia—seorang putri bangsawan kepada siapa ia akan mempersembahkan hidup dan cintanya.
Di sini kisah Don Quixote berhenti sebagai cemooh. Ia jadi sebuah alegori. Kita menyaksikan wajah kegilaan yang luhur dan sosok bloon yang baik hati. Dalam kemajenunannya, orang dari La Mancha itu ingin menyelamatkan dunia dari putus asa dan sinisme. ”I hope to add some measure of grace to the world,” katanya agak malu-malu, sambil memandang Aldonza dengan lembut, mesra, tapi dengan sinar mata seorang gila.
Aldonza (diperankan Sophia Loren) tak mengerti semua itu. Ia selama itu jadi obyek nafsu lelaki. Ia merasa nista dan tak pernah punya keyakinan bahwa berkah serta kelembutan bisa tumbuh dari hidup. ”Dunia adalah seonggok tahi sapi,” katanya ketus dan pahit, ”dan kita belatung yang merayap di atasnya.”
Don Quixote dengan halus membantah. ”Dalam hati, tuan putri tahu bahwa tak begitu sebenarnya.”
Aldonza meludah. Baginya, Don Quixote manusia sia-sia yang akan dihajar nasib. Tapi laki-laki tua yang kurus dan linglung itu menjawab: ”Akan kalah atau menangkah hamba, itu tak penting.”
Apa yang penting? Yang penting adalah perjuangan itu sendiri, bukan hasilnya: perjuangan untuk membubuhkan yang mulia di dunia yang bobrok. Itu berharga. Sebab, bagi seorang ksatria, itu sebuah privilese.
To dream the impossible dream,
To fight the unbeatable foe,
To bear with unbearable sorrow
To run where the brave dare not go
To right the unrightable wrong
Dengan itu, berbeda dari novel Cervantes, Man from La Mancha menampilkan Don Quixote sebagai seorang yang tulus dan militan—yang tergetar oleh sesuatu yang tak terhingga, tampak sebagai seorang majenun yang tak punya kalkulasi praktis, seperti halnya seorang penyair yang masuk menemui malam entah untuk apa.
Gila, tentu. Tapi seperti diucapkan tokoh Cervantes dalam film ini, ”barangkali yang terlalu praktis, itulah kegilaan”. Barangkali terlalu kuatnya akal sehat—yang melepaskan mimpi—itulah kegilaan.
Berjuang dengan setia bagi mimpi, untuk memberikan yang baik bagi dunia meskipun mustahil, adalah kegilaan yang memberi harga kepada manusia. Aldonza akan bisa menemukan yang luhur dalam hidup. Ia bisa terbebas dari jepitan akal praktis dari zaman yang hanya mau menghitung laba-rugi. Ia bisa tahu, ia bukan belatung di atas onggokan tahi.
Majalah Tempo Edisi Senin, 23 Agustus 2010~
One blogger likes this post

Monday, September 13, 2010

SEPARUH HIDUPKU YANG HILANG
Oleh: Vedizha Efrilia
Kelas: XII IPS 3, SMA Tarsisius Vireta-Tangerang

Seperti dalam bacaan Lukas 15:11-32 yang mengisahkan tentang perumpamaan anak yang hilang, begitulah sendi-sendi kehidupan terbentuk tanpa bisa kita sadari sepenuhnya dari seluruh kejadian yang telah kita alami sendiri. Banyak hal yang begitu nyata yang terjadi pada kehidupan kita sendiri tapi tak seluruhnya dapat kita pahami. Terkadang sendi-sendi kehidupan itu pun tak dapat kita terima dengan alasan keadilan. Tetapi semua itu merupakan jalan Tuhan yang terbaik dan yang telah dipilihkan untuk setiap umat-Nya. Sekalipun kejadian itu buruk atau terburuk yang pernah kita alami, tetapi kita tidak dapat memungkirinya.
Membaca perumpamaan tentang anak yang hilang yang menggambarkan satu keadaan nyata tentang ayah dan dua anaknya di mana sang ayah memperlakukan kedua anaknya secara berbeda sesuai dengan takaran keadilan sang ayah tentunya. Dari situ sang anak sulung yang merasa telah kurang diperhitungkan oleh ayahnya merasa geram dan hanyut dalam pikiran negatifnya. Sesungguhnya setiap orang mempunyai takaran keadilan yang berbeda-beda seperti yang terlihat pada cerita tersebut. Apa yang menurut orang tua adil, belum tentu adil juga menurut sang ayah dan begitu pula sebaliknya. Takaran keadilan itu tidak melihat ke dalam rasa, tidak memperhitungkan perasaan sebenarnya, juga tidak memperhitungkan seberapa penting atau seberapa berharganya orang tersebut untuk kita. Keadilan itu hanya memperhitungkan dari dalam diri orang-orang yang sedang kita perhitungkan, bukan melihat dari luar (fisik) orang tersebut.
Keadilan itu memang sering dipertanyakan di dalam keseharian kita. Apakah yang kita dapatkan itu adil atau tidak? Jarang sekali orang bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang saya berikan kepada orang lain itu adil atau tidak? Dari situ kita dapat melihat bahwa sebenarnya lebih banyak kadar keegoisan dalam diri manusia daripada kadar keadilan. Begitu pula dengan diri saya yang lebih banyak mempertanyakan keadilan itu sendiri , apakah yang saya lakukan atau yang saya berikan kepada orang lain itu sudah adil. Begitu banyak pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya seputar keadilan. Kejadian-kejadian masa kecil hingga saya berumur 17 tahun, belum saya temukan letak keadilannya. Bukan berarti saya tak pernah mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan kepada saya. Bukan berarti saya melupakan sisi-sisi positif yang terdapat dalam kejadian-kejadian yang pernah saya alami. Dan bukan berarti saya selalu menyalahkan orang-orang yang terlibat jauh dalam kejadian-kejadian itu.
Keadilan itu memang tak sepenuhnya dapat manusia rasakan dan tak sepenuhnya pula dapat kita berikan kepada orang lain. Karena menurut saya, kadar keadilan tiap-tiap orang itu memang berbeda. Seperti pada saat saya mengalami satu rasa yang benar-benar sangat mengguncang kehidupan saya, rasa kehilangan yang begitu besar pada bagian hidup saya. Hanya segores tinta yang memberi arti lain dalam sendi-sendi kehidupan saya. Saya kehilangan sosok ayah yang begitu besar artinya dalam hidup saya. Ia menutup mata untuk menuju peristirahatan terakhirnya pada saat saya tidak berada di sisinya. Saya sedang berada di sekolah pada waktu ia berusaha melewati masa-masa kritisnya. Bahkan pada saat ia dipulangkan dari rumah sakit ke kediamannya pun, saya belum melihat dan menyentuhnya. Saya baru bisa melihatnya pada malam hari. Dan hari itu adalah hari yang tak pernah terlupakan bagi saya. Awan gelap itu menyambut kesedihan dan tangisan yang tertumpah begitu saja setelah saya melihat sosok laki-laki paruh baya yang sangat saya cintai sudah terbujur kaku, tak dapat lagi memanjakan saya seperti yang biasa dia lakukan. Satu tahun lebih ia meninggalkan saya untuk selamanya. Dari situ saya benar-benar mempertanyakan keadilan Tuhan untuk kehidupan saya. Apakah itu adil bagi saya? Tuhan mengambilnya saat saya tidak ada di sisinya. Dan sampai sekarang, pertanyaan itu tidak pernah terjawab. Saya sangat merindukannya, merindukan senyumannya, kelembutannya, belaian kasih sayangnya, juga suaranya. Seperti pada perumpamaan tentang anak yang hilang yang memikirkan ayahnya dan menyesali perbuatannya ketika berada jauh dari ayahnya dan berkaca pada kehidupan orang lain.***
BERBUAT BAIK
Oleh: Desy Yolanda
Kelas: XII IPS2, SMA Tarsisius Vireta

Berbuat sesuatu tanpa mengharapkan balasan bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan tetapi juga tidak mudah tentunya. Mencari orang yang tulus hatinya di zaman ini memang sulit. Berbuat tulus sekali hingga tidak mengharapkan balasan, merupakan hal yang langka. Itu sama seperti bekerja tanpa gaji atau berbuat sesuatu tanpa tujuan. Ya, pikiran manusia memang duniawi sekali. Hal ini bukan tuntutan atau paksaan namun sebaiknya manusia melakukannya karena manusia tidak hidup sendirian di dunia ini. Ketulusan hati adalah hal yang berharga.
Kitab suci mengajarkan untuk mengasihi musuh, dan tidak berharap pemberian dari orang lain dan tidak mengharapkan pembalasan atas apa yang dilakukan untuk orang lain. Sebab balasan itu datangnya dari Tuhan. Apa yang dilakukan, akan dituai di kemudian hari. Andai saja manusia bisa seperti lilin. Ia memberikan penerangan tanpa mengharapkan pembalasan bahkan melelehkan dirinya demi member i cahaya untuk orang-orang sekitarnya. Hidup memang tidak mudah dan lilin tidak sama dengan manusia. Banyak aspek yang dipertimbangkan orang dalam melakukan sesuatu. Uang, harga diri, waktu, kesempatan dan lainnya.
Sulit bagi orang yang serba berkekurangan untuk membantu orang lain tanpa mengharapkan pamrih. “Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apalah jasamu?” (Lukas 6:32). Jadilah orang mulai mengasihi orang lain terlebih dahulu. Hal itu tidak ada ruginya bukan? Hidup akan lebih menyenangkan jika kita bisa melayani orang lain. Memang lebih merepotkan, namun lebih berarti dan berharga. Yesus pun mengajarkan demikian, padahal Dia adalah seorang Mesias, tapi dia bersedia melayani murid-murid-Nya. Kita manusia tidak lebih tinggi daripada-Nya, mengapa kita harus gengsi dan malu untuk melayani orang lain?
Hidup di dunia ini fana. Hidup yang sesungguhnya adalah di akhirat sana. Manusia hidup di dunia merupakan kesempatan berharga yang diberikan oleh Tuhan. Hidup manusia itu dinilai. Perjalanan hidup manusia seperti tulisan di atas kertas. Apa yang dilakukan manusia akan dikoreksi oleh Tuhan pada waktunya nanti. Pengampunan itu ada seiring dengan adanya pertobatan. Maka hendaknya hidup harus diperbaiki. Berbuat tulus dalam melayani adalah salah satu contoh cara hidup yang diterima oleh Tuhan. Manusia memang tidak sempurna, namun manusia mempunyai akal untuk memperbaiki yang tidak sempurna.***