Thursday, March 31, 2011

BALADA SEPULUH SOBEKAN

Tersobek tangan-Nya menggenggam tongkat
Tongkat berduri singgasana Daud Bapa-Nya
Wahai tangan-tangan suci!
Tak terhapus bekas-bekas kusta dunia buatannya
Sisa-sisa nista bisu-tuli-buta-lumpuh
Tak akan berhenti mewartakan ketololan ini
Wajah derita sejagat terpahat abadi di sana
Betapa beningnya pantulan cinta penuh derita
Yang disandang dari Betlehem sampai Golgota
“Aku Gembala yang baik!
Dan kau seret Aku bagai domba ke pembantaian”

BALADA SEPULUH SOBEKAN

Tersobek lidah-Nya melumat kebenaran
Kala Pilatus mencuci tangan tak bersalah
Sejak itu lidah-lidah pemalsuan terus membiak
Oh! Gabatha kejam!
Betapa kujungkirbalikan keadilan
Tatkala panji-panji kebenaran kaucampakkan
Demi kuasa bertakhta di atasmu
Duhai! Sejuta kepalsuan temuruh dari sini
Ketika yang sulung lahir dalam tanda Tanya
“Apakah kebenaran itu?”

BALADA SEPULUH SOBEKAN

Tersobek mulut-Nya mengatup emosi
Tersumbat pula kerongkongan-Nya emas murni
Duhai! Betapa ruangan ini diserbak sanksi
Bau ahli Taurat dan…..farisi
Sama-sama melebur dalam tengkik Saduki
Sia-sia Magdalena pecahkan pualam minyak wangi
Aromanya telah pupus dibau keringat dekil
Rakyat jengkel tersengat sanksi penggepe
Sombongkah keadilan terpancang di sini
“Mengapa Aku kau tampar?!!

BALADA SEPULUH SOBEKAN

Tersobek wajah-Nya dikecup pasukan Yudas
Ludah-ludah khianat melekat di pipi-Nya
Zaitun! Zaitun….! Zaitun
Aromamu membaur dalam angkara sejagat
Dosa manca benua bergelantungan di rantingmu
O o o……wajah yang ramah
Tak pantas ditampar bara khianat
Sisa-sisa cinta masih membaur di sana
“Ya Bapa, akan kureguk semuanya
kehendakmu, jadilah!”

Tuesday, March 29, 2011

Mewaspadai Terjangan Bandit Demokrasi

Oleh Steph Tupeng Witin

TAHAPAN Pemilu Kada Lembata ternoda. Massa pendukung salah satu calon mengamuk dan merusak kantor KPUD. Alasan perusakan adalah karena calon mereka tidak mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai kepala daerah berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan (Kompas, 19/3/2011). Tetapi fakta membuktikan bahwa calon yang direpresentasi oleh massa pengikutnya ini teryata mampu secara fisik untuk merusak sekaligus semakin menegaskan bahwa memang dia tidak sehat secara rohani (jiwa/mental). Maka patutlah dipahami bahwa orang yang tidak mampu dan sehat secara rohani dan jasmani membuat keonaran.
Bagi saya, massa adalah representasi dari sang calon. Calon yang sehat secara rohani dan jasmani tidak akan tega membiarkan massa pendukung membuat kekacauan karena orientasi calon yang sehat adalah masa depan umum. Argumen bahwa itu aspirasi murni massa pendukung tidak akan memaksa saya untuk percaya begitu saja. Orang-orang kampung dari desa-desa tidak mungkin begitu saja meninggalkan kebun dan ladangnya hanya untuk datang ke Lewoleba dan merusak simbol negara itu. Dan kalaupun itu adalah murni aspirasi rakyat yang kecewa, sang calon yang sehat secara rohani dan jasmani mesti mampu mencegahnya. Tapi apa daya tangan tak sampai. Calon yang mesti mencerdaskan rakyat telah divonis sakit.
Apa nasib Lembata lima tahun ke depan ketika 'terpaksa' dipimpin oleh seorang calon yang tidak sehat secara rohani dan jasmani? Belum memimpin Lembata saja, kantor KPUD sudah jadi tumbal. Kapolres Lembata mengalami luka di wajahnya. Anggota KPU, Betekeneng, bocor kepalanya (Pos Kupang.com, 18/3/2011). Apakah sang calon yang tidak sehat itu bisa bertanggung jawab atas kasus ini? Menurut saya, secara etika dan moral politik, mestinya sang calon dengan berani mengatakan: saya siap bertanggung jawab, bila perlu dipenjara bersama para tahanan karena massa adalah wakil dan wajah dari saya. Apalagi, massa itu bergerak dari kediaman sang calon. Soal tanggung jawab ini hanya bisa terpenuhi kalau calon dalam kondisi sehat terutama secara rohani, bukan hanya sebatas sehat fisik.
Pertanyaannya adalah apakah KPUD yang menjadi simbol negara mesti tunduk pada kehendak massa yang kehilangan rasionalitasnya di hadapan banalitas kekerasan? Yang pasti adalah bahwa KPUD berlandas di atas aturan formal yang berlaku untuk semua. Maka para calon dituntut sehat secara rohani dan jasmani supaya memahami proses demokrasi pemilu ada dan tidak egois dengan memaksakan diri mati-matian, bila perlu dengan merusak fasilitas negara hanya untuk melayani nafsu kuasa yang tak tertahankan lagi. Maka logis jika calon yang tidak sehat akan menampakkan wajahnya yang tidak sehat juga dalam aksi massa yang brutal. Supaya mereka sehat kembali, polisi dan aparat penegak hukum lainnya mesti bertindak tegas. Hanya dengan ketegasan yang adil masa depan Lembata bisa dipastikan dan orang-orang yang tidak sehat itu bisa sembuh lagi. Lebih jauh, rupanya, aksi massa itu juga menjadi gambaran bahwa Lembata selama ini berjalan di bawah kendali yang tidak sehat. Lalu mereka berusaha mempertahankan ketidaksehatan itu dengan cara-cara yang semakin menegaskan bahwa mereka sesungguhnya sudah lama hingga saat ini sedang tidak sehat. Maka jika KPUD tunduk pada calon dan massa yang tidak sehat, itu sirene bagi bencana kehancuran Lembata yang lebih dahsyat.

Bandit Berkeliaran
Fakta kerusakan dan kecurangan pemilu kada di negeri ini menggelisahkan nurani demokrasi. Setiap tahun Mahkamah Konstitusi kebanjiran kasus pemilu kada. Hal ini mengindikasikan bahwa demokrasi kita masih dalam tahap percobaan yang tak tentu waktu. Proses konsolidasi demokrasi ini memberi ruang hadirnya para bandit demokrasi yang berani bermain dalam wilayah formal demokrasi. Gerombolan penjahat ini telah mengkristal dalam kubangan mafioso politik yang berjabat erat dengan kapitalis. Dalam banyak kasus kerusuhan pemilu kada, publik yang kritis mampu membaca geliat para bandit ini yang akan terus mengumbar keserakahan melalui jalur politik dan birokrasi.
Suatu saat kita akan disadarkan bahwa kesejahteraan sebagai kulminasi proses demokrasi berada dalam genggaman para mafioso kapitalisme yang tega memperpanjang banditismenya melalui orang-orang lokal. Sudah lebih dari satu dasawarsa ini demokrasi kita didorong oleh segenap komponen bangsa untuk tumbuh dan berkembang. Tetapi hingga detik ini paham itu tak kunjung tegak karena terus saja direcoki oleh para bandit demokrasi yang berkeliaran di berbagai level institusi.
Mancur Olson dalam bukunya Power and Prosperity (2000) mengawali tesisnya tentang demokrasi dengan pertanyaan: mengapa setelah pemerintahan yang buruk, kemakmuran tak kunjung datang? Ia menjawabnya dengan menunjukkan fakta adanya dua jenis bandit, yaitu bandit yang mengembara (roving bandits) dan bandit menetap (stationary bandits) di Rusia. Keduanya sama-sama jahat dan bergantian menjarah kekayaan dan demokrasi yang diikhtiarkan menghadirkan kesejahteraan (Wibowo: 2011, hlm 78-82). Pada zaman represif, hiduplah bandit yang menetap (stationary bandits) yang tidak akan menjarah habis wilayahnya. Bahkan ia akan menjaga wilayahnya dengan kekuatan militer dan memberi keleluasaan kepada penduduk untuk maju. Lalu dia berkuasa dengan menarik berbagai pungutan sebagai sandaran hidupnya sambil membangun 'kerajaannya'. Ketika rezim represif ini runtuh, muncullah bandit berkeliaran (roving bandits) yang selama ini mengabdi bandit menetap yang berkuasa. Jenis bandit ini terkenal sadis dan buas : menjarah habis sebuah wilayah berpindah ke tempat lain, bila perlu manusia (wanita) pun dijarah. Bandit berkeliaran ini leluasa meneror kelompok yang mencoba menghalangi kekuasaannya dan bertindak sebagai pemalak dan pemeras.
Menurut Ignas Wibowo, hadirnya demokratisasi dan otonomi daerah sejak tahun 1999 (sama dengan berdirinya Kabupaten Lembata) berperan signifikan bagi meluasnya bandit berkeliaran ini pasca runtuhnya bandit menetap berkuasa (Soeharto) 1998. Ruang ini memunculkan banyak aktor dalam perpolitikan Indonesia yang entah bergabung dalam parpol atau tidak terus 'belajar' bagaimana memanipulasi pemilu/pemilu kada menjadi kepala eksekutif/legislatif. Sistem demokrasi kita yang tidak stabil menyadarkan elite politik bahwa kursinya hanya sekali itu saja karena akan ada rotasi masa kepemimpinan. Maka mumpung masih berkuasa mereka menggunakan kesempatan untuk menghabiskan uang rakyat (Wibowo: 2011, hlm 29-31).

Cerdas Memilih
Saya berpendapat, salah satu akar dari kerusuhan menjelang, selama dan akhir dari sebuah pemilu/pemilu kada adalah kegelisahan dari para bandit (meminjam Olson) yang mulai sadar bahwa saat berkuasa kian mendekati akhirnya. Mereka ingin tetap berkuasa. Segala cara mereka tempuh, tentu dengan pengorbanan uang yang tidak sedikit yang telah mereka dulang selama berkuasa. Mereka akan kalap ketika jalan yang ditempuh tidak meloloskan hasrat. Bahkan medium demokrasi pun dipaksa untuk mengikuti kemauan mereka. Jalan terakhir ketika dialog sudah mampet adalah kekerasan yang bisa merusak simbol-simbol negara dan menumbalkan manusia. Aksi mereka kadang sadis dan buas tapi tanpa dibarengi dengan keberanian untuk bertanggung jawab. Malah mereka tampil sebagai sosok yang infantil yaitu mengemis ruang kebebasan sebagaimana yang dinikmati semasa menjadi bandit.
Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah hadirnya kebusukan aksi para bandit politik dalam ruang proses demokrasi kita? Pertama, publik mesti menjadi pemilih yang kritis dan cerdas dalam setiap momen pemilu/pemilu kada. Sikap kritis dan cerdas perlu ketika republik ini pasca kejatuhan Soeharto masih berkutat pada item-item primordialisme : daerah, suku, agama, etnis, ras, meski calon itu bobrok secara moral dan sempit dalam kancah wawasan.
Pemilih yang cerdas akan tahu siapa sesungguhnya yang ia pilih. Kepentingan publik mesti mengalahkan interese primordial yang sempit. Bahkan ini juga momen bagi pemilih yang cerdas untuk menghukum parpol yang menempatkan wakil-wakilnya di DPR dan pemerintahan hanya untuk mempertebal pundi-pundi partai. Bila perlu rakyat menghukum juga parpol yang menggadaikan nama besarnya hanya untuk mengeruk modal dari para calon pemimpin eksekutif. Pemilih yang cerdas tidak akan memilih calon (independen) yang memanipulasi dukungan dari mayat-mayat yang tinggal namanya tertera di salib pekuburan.
Kedua, publik mesti diadvokasi oleh kelompok kritis agar memahami hak mereka untuk berpartisipasi dalam membangun kehidupan bersama secara benar dan jujur. Aktivis LSM, agama, media/pers, intelektual/ilmuwan dan mahasiswa bersatu hati dalam mendampingi dan membangun kesadaran kritis. Gerakan ini merupakan perlawanan terhadap proses pembodohan yang selama dalam kenyataan pemilu/pemilu kada dilakukan secara struktural dan sistematis oleh parpol pengusung, tim sukses dan relawan yang dibayar para calon.
Prinsip para bandit adalah menempuh segala cara asalkan lolos ke kursi kekuasaan. Inilah alarm bahaya bagi kehidupan berdemokrasi kita. Saat berkuasa nanti, para bandit akan terus menjarah kekayaan rakyat. Maka advokasi kritis adalah medium politik untuk menghentikan laju kejahatan para bandit. Demokrasi memang memiliki banyak kelemahan tapi hingga detik ini masih diyakini sebagai jalan terbaik untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Hanya dengan kecerdasan, kita dapat mempersempit ruang terjang para bandit yang akan terus berkeliaran menguras kekayaan sambil menetaskan bandit-bandit berikutnya. *

Mahasiswa Magister Jurnalistik IISIP Jakarta

Ke Masyarakat, Bukan ke Barak

Oleh Dr. Paul Budi Kleden, SVD

SETELAH kematian Charles Mali dan ibunya, Modesta Mau, muncul reaksi masyarakat dalam berbagai bentuk. Berbagai demonstrasi, pernyataan sikap lembaga-lembaga masyarakat maupun DPRD serta opini koran berusaha menyuarakan pengutukan masyarakat atas kejadian tersebut dan menyampaikan tuntutan warga baik mengenai penyelesaian kasus ini maupun konsekuensi yang diambil pasca tindak kejahatan ini.
Ada tuntutan untuk menempuh jalur hukum sipil untuk proses peradilan terhadap para pelaku yang dikawal masyarakat dan DPRD dan dilaksanakan di Atambua. Ada yang mendesak TNI untuk membubarkan Yonif 774/Satya Yudha Bakti (SYB) karena lebih banyak meresahkan daripada memberikan rasa aman dan perlindungan terhadap warga. Mgr. Dominikus Saku, Pr, Uskup Atambua, menuntut dengan tegas bahwa TNI sebagai lembaga harus bertanggung jawab atas kasus ini.
Tuntutan tanggung jawab kelembagaan ini tampaknya sangat berdasar, apabila kronologi peristiwa yang dipaparkan Heri Mali, kakak kandung Charles sebagaimana diberitakan media ini benar (PK 19/3/2011). Mali mengungkapkan bagaimana mereka disiksa di tempat dan dalam ruangan umum lembaga. Kendati boleh jadi tidak ada perintah resmi, namun pembiaran atas tindak kekerasan yang dilaksanakan secara terbuka merupakan satu masalah yang mesti menjadi tanggung jawab TNI sebagai lembaga.
Seruan dan pernyataan sikap tidak hanya datang dari dalam negeri. Dari luar negeri pernyataan sikap misalnya datang dari kelompok yang menyebut diri Forum Peduli Kemanusiaan dan Lingkungan Hidup (FPK&LH), Melbourne, Australia. Yang menarik, forum ini melihat kematian Ibu Modesta Mau, mama dari Charles Mali, sebagai bagian dari tindak kekerasan yang dilakukan anggota TNI.
Forum yang mengeluarkan pernyataannya pada tanggal 19 Maret 2011 ini menyampaikan lima butir pernyataan sikap. Pertama, forum menilai tindakan anggota TNI dari Batalyon Infanteri (Yonif) 744/Satya Yudha Bakti (SYB) yang berakibat pada kematian Charles Mali sebagai tindakan pelanggaran HAM berat.
Kedua, Forum mendukung pernyataan Mgr. Domi Saku, Pr, Uskup Atambua, yang menuntut agar para pelaku dalam kasus ini dihukum dalam proses peradilan sipil.
Ketiga, agar para anggota TNI yang terlibat baik sebagai pelaku penganiayaan maupun sebagai pemberi perintah segera diproses secara hukum dan dikenakan sanksi.

Keempat, mendesak TNI untuk memberikan ganti rugi kepada keluarga korban seperti biaya perawatan dan pemakaman serta biaya sekolah anak-anak yang ditinggalkan. Butir terakhir pernyataan sikap forum berkaitan dengan Komnas HAM yang didesak untuk memperhatikan persoalan ini, melakukan investigasi atasnya dan menyampaikannya secara terbuka kepada masyarakat.
Kendati tidak secara eksplisit, pernyataan sikap forum ini pun sebenarnya menghendaki agar TNI harus menyadari dirinya sebagai alat pertahanan negara yang memiliki peran dan fungsi yang diatur berdasarkan perundangan yang telah ditetapkan. Apa yang perlu dilakukan agar TNI dapat semakin berkonsentrasi pada tugas utamanya dan tidak menjadi lembaga yang dimusuhi rakyat karena tindakan para anggotanya yang arogan dan penuh kekerasan?
Salah satu tajuk Pos Kupang beberapa hari setelah kejadian di Atambua diberi judul Kembali ke Barak. Kembali ke barak dilihat sebagai jalan untuk menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara yang mesti bebas dari peran politik. Tajuk itu menulis "Salah satu agenda reformasi yang ternyata belum total dijalankan adalah mengembalikan tentara ke barak. Tentara ke luar dari barak kalau ada perang. Kalau tidak ada perang biarkan mereka berdiam diri di barak. Malah, saat era reformasi sedang panas-panasnya didengungkan, ada beberapa ormas dan OKP malah mengusulkan agar tentara dibubarkan saja." Kembali ke barak membiarkan tentara tinggal di wilayah sendiri, bersosialisasi terutama dengan kelompok dari jenis pekerjaan yang sama.
Hemat saya, untuk mengembalikan TNI sebagai alat pertahanan negara, tidak tepat kalau opsi yang diambil adalah mengembalikan tentara ke barak. Barak sebagai tempat pemukiman tentara dibangun dengan uang negara. Ini berarti para anggota TNI adalah satu dari sedikit kelompok dalam negara ini yang mendapat privilese mendapat fasilitas negara sebagai tempat tinggal dan bersosialisasi.
Bukan hanya itu. Barak-barak biasanya dijaga dengan pos pengamanan khusus oleh tentara yang juga dibayar oleh negara. Petugas penjaga keamanan barak adalah petugas negara. Dengan ini, tentara masuk ke dalam kelompok yang lebih kecil lagi dari warga negara kita yang diberi hak istimewa seperti ini.
Dengan cara seperti ini, sebenarnya kehidupan privat para tentara dan peran publik mereka sebagai alat negara tidak dibedakan secara tegas. Tentara bukan sekadar pekerjaan yang harus ditangani secara profesional, tetapi serentak satu gaya hidup pribadi secara keseluruhan. Akibatnya, sedang bertugas atau tidak, seorang tentara selalu dan di mana-mana menampilkan diri, berperilaku dan menuntut diperlakukan sebagai tentara.
Ketidaktegasan pemisahan kehidupan privat dan peran publik para tentara sebenarnya merupakan akibat lanjut dari dikotomi yang ada dalam negara kita antara sipil dan militer. Warga dibagi dalam kelompok sipil dan militer. Dengan ini, kita tidak melihat militer sebagai jenis pekerjaan, tetapi sebagai jenis warga negara. Kita mengeksklusifkan tentara dari kehidupan warga yang lain.

Reformasi militer di Indonesia baru akan sungguh mengubah citra TNI dan pola pendekatan mereka dengan seluruh warga, apabila menjadi tentara dilihat sebagai pekerjaan yang dilaksanakan seperti jenis pekerjaan lain yang dibutuhkan negara demi pelayanannya kepada para warga. Dalam pelayanan tersebut, negara memerlukan jenis pekerjaan sipil dan militer. Yang dikategorikan dalam sipil dan militer adalah jenis pekerjaan, bukan warga negara. Kalau kita menentukan ketentaraan sebagai jenis pekerjaan, maka negara diwajibkan untuk memberikan fasilitas kepada tentara sebagaimana kepada para abdi negara lainnya. Tidak ada pembedaan yang tidak masuk akal dan tidak membantu pelaksanaan tugas pelayanan negara.
Termasuk dalam revisi atas dikotonomi sipil dan militer adalah hak yang diberikan untuk melaksanakan pengadilan militer. Pengadilan militer boleh jadi dibutuhkan untuk memberikan sanksi disipliner kelembagaan. Tetapi sanksi ini tidak meniadakan proses hukum kewargaan yang lazim disebut sebagai hukum sipil. Seperti seorang guru yang mendapat pengaduan karena memukul muridnya, diberikan sanksi oleh instansinya, demikian pun tentara yang kedapatan dan terbukti melakukan kekerasan terhadap warga perlu mendapat sanksi dari lembaganya, yang bisa berupa pemecatan dari statusnya sebagai tentara. Namun, sebagaimana sanksi yang dijatuhkan oleh lembaga pendidikan tidak membatalkan hak keluarga si murid untuk memroses sang guru secara hukum, demikian pun keputusan lembaga TNI sama sekali tidak dapat dilihat sebagai kata akhir yang menutup satu perkara kekerasan yang dilakukan anggota TNI. Proses hukum 'sipil' yang dilaksanakan secara terbuka dan dikawal oleh elemen warga adalah langkah yang mesti dilakukan atas tindak kejahatan yang dilakukan oleh anggota TNI.
Yang mesti kita usahakan dalam reformasi TNI adalah mengembalikan para tentara ke masyarakat, bukan ke barak. Mengembalikan TNI ke barak berarti menjadikan mereka entitas yang tidak terkontrol oleh warga. Para tentara harus menjadi bagian utuh dari warga, yang tinggal bersama warga, membagi hak dan kewajiban kewarganegaraan yang sama dengan para negara lainnya.
Menolak mengembalikan TNI ke barak tidak berarti menolak adanya markas TNI. TNI, sebagaimana semua instansi negara lainnya, perlu mempunyai lokasi pelayanan tersendiri. TNI pun memerlukan fasilitas untuk melatih para anggotanya melaksakan tugas pertahanan dan gudangnya sendiri. Namun, semua itu adalah lokasi ini adalah tempat kerja para tentara yang harus dibedakan dari tempat hidup para tentara.*

Staf pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores

Sunday, March 27, 2011

“BOSAN MENJADI ORANG INDONESIA”

Oleh: Valery Kopong*

MENYAKSIKAN aksi jahit mulut dari beberapa warga yang terkena saluran udara tegangan ekstra tinggi (sutet), sebenarnya mereka sedang memproklamasikan ketersendatan sebuah komunikasi di negara yang sedang mencari jati diri akan demokrasi. Aksi serupa menyiratkan sebuah kekecewaan mendalam sekaligus mempertaruhkan sisa hidup di republik ini. Pada bagian atas, tepatnya berdampingan dengan kepala orang-orang terbaring dengan mulut terjahit, terpampang nisan makam sebagai praisyarat, kematian bakal datang menjemput. Terhadap aksi yang mengundang perhatian publik ini, menggelitik penulis untuk bertanya lanjut. Mengapa mereka bisa mengorbankan diri mereka dengan cara paling sadis? Sudah buntukah jalan komunikasi antara warga dan pemerintah? Masih pedulikah pemerintah terhadap jeritan orang-orang yang “tidak bermulut itu?”
Persoalan mendasar yang memunculkan aksi itu terletak pada kemandekan komunikasi yang menemukan jalan buntu. Pelbagai upaya barangkali telah dilakukan oleh para korban sutet untuk meminta secara baik agar pemerintah segera memindahkan mereka ke lokasi lain yang bebas dari tegangan arus lisrik. Upaya ini tidak ditanggapi secara serius sehingga pada akhirnya keputusan pahit mesti direguk untuk menuntut “sisa perhatian” dari pemerintah.
Ketika korban mengalami kondisi kritis, kepedulian pemerintah belum tercurah untuk mereka. Harapan mereka di atas “jalan maut” justeru menjadi tontonan menarik para elite. Di sini, kita dapat membaca secara jeli soal lemahnya tanggung jawab pemerintah terhadap keberlangsungan hidup mereka. Nyawa manusia tidak dihargai bahkan tidak dipedulikan saat mana mereka kadang berbaring di gedung dewan dengan membawa tubuh dan jantung “setengah berdenyut.” Inikah sebuah wajah republik yang terus berkoar menghidupkan demokrasi di tanah tumpah “terus berdarah ini?”
Sebuah ciri dari negara yang menyatakan diri berdemokrasi adalah membangun komunikasi. Komunikasi dibangun menjadi penghubung antara masyarakat dan pemerintah terutama berkaitan dengan masalah-masalah publik. Tetapi dari peristiwa tragis itu sebetulnya menggambarkan betapa minimnya komunikasi. Dalam berkomunikasi, begitu banyak ditemukan kekecewaan. Pemerintah mungkin pernah kecewa karena kebijakan yang diturunkan tidak mendapat respon dari masyarakat. Demikian juga dengan masyarakat, mengalami kekecewaan karena banyak kebutuhan dan tuntutan tidak dipenuhi oleh pemerintah.
Inilah litani kekecewaan sekaligus menggambarkan “komunikasi yang frustrasi.” Dalam bukunya The Miracle of Dialogue, Reuel L. Howe menguakkan rahasia, bahwa mogoknya komunikasi itu disebabkan oleh tertutupnya sebuah hati akan arti yang ditawarkan oleh pihak lain. Bila berkomunikasi dengan pihak lain, kita sebetulnya ingin menunjukkan diri kepadanya dengan harapan supaya ia memberikan jawaban. Kita berharap bahwa arti yang sedang kita coba sampaikan itu akan menggerakkan arti tertentu dalam dirinya sebagai jawaban, sehingga suatu perubahan timbal balik akan arti dari masing-masing pihak menuju pada maksud yang ingin dicapai.
Pada intinya yang terdalam, lanjut Howe, rintangan arti disebabkan oleh kebutuhan ontologis manusia, yakni perhatian dan kepentingan yang diarahkan untuk diri sendiri. Misalnya kecemasan yang merupakan gejala emosional dan psikologis dari kebutuhan ontologis tersebut. Setiap manusia tanpa terkecuali hidup dalam kecemasan dan kekhawatiran akan ancaman terhadap keberlangsungan hidupnya karena pada dasarnya manusia sendiri memiliki keterbatasan sekaligus menyatakan diri untuk tidak dapat memerangi aspek luar yang memiliki daya mati yang lebih dasyat. Kecemasan mereka yang terakumulasi dalam aksi bunuh diri itu juga sedikitnya memancing kecemasan publik untuk senantiasa waspada terhadap setiap aktus pemerintah yang mengarah pada tindakan destruktif.
Kecemasan mereka telah menjadi kecemasan bersama untuk kemudian memancing perhatian pemerintah agar menaruh perhatian atas kecemasan yang mereka miliki. Tetapi aksi yang dipertontonkan itu tidak lebih sebagai “dagelan jalanan’ di mata pemerintah karena tidak ada tanggap balik dari mereka maupun dari anggota dewan terhormat. Kehilangan daya jumpa – arti dalam komunikasi itu terjadi dalam apa yang biasa disebut sebagai “monolog”, sebuah metode komunikasi yang kini bahkan dipersalahkan sebagai pencipta kesakitan komunikasi itu sendiri. Banyak orang menyangka bahwa komunikasi berarti “saya mengatakan kepada orang lain apa yang seharusnya dia tahu.”
Dalam konteks ini, komunikasi selalu mengundang daya tanggap dari komunikan untuk menyelami maksud kedatangan dan pembicaraan dari komunikator. Walaupun dalam berkomunikasi, mulut orang-orang yang terjahit mewakili seribu warganya tetap memberikan contoh pada publik akan gagalnya sebuah komunikasi verbal antara pemerintah dan warganya sendiri. Tetapi dalam arti tertentu, komunikasi tidak harus berbicara di bawah empat mata dengan mulut penuh komat-kamit. Sebuah komunikasi yang mewakili “masyarakat yang sakit” menghadirkan cara lain untuk menyampaikan pesan terdalam dari apa yang tidak didengarkan oleh pemerintah saat mulut-mulut mereka dengan penuh busa menuntut ganti rugi.
Kehadiran mereka dengan kondisi memprihatinkan, memberikan pesan sederhana untuk masyarakat umum yaitu bahwa negara kita juga sedang berada dalam kondisi yang memprihatinkan sebagai akibat dari terkenanya pelbagai krisis yang belum terselesaikan. Dan nisan makam yang tertancap pada sisi mereka yang masih hidup menandakan adanya “kebosanan” mereka untuk tidak mau hidup lagi di negeri ini. Mereka bosan menjadi warga negara Indonesia karena seluruh keluhan kritis tidak tertanggapi secara paripurna.
Kisah tragis yang hadir di panggung Indonesia telah menjadikannya sebagai “kisah terbuka” untuk mengundang publik menafsir secara lebih jauh tentang makna terdalam dibalik aksi tersebut. Kisah mereka tak pernah selesai di sini, walau suatu ketika mereka meninggal dan terkubur di bawah “reruntuhan bumi pertiwi ini” karena kisah perjuangan mereka tetap dipilin sebagai cerita yang hidup, yang selalu memberi daya juang untuk tetap mengkritik penguasa.***

Matinya' Sekolah Swasta

Oleh Valery Kopong*

Rumor yang beredar dan sempat dilansir media, baik cetak maupun online, menyebutkan bahwa ada kebijakan baru dari pemerintah (dalam hal ini dinas pendidikan) akan menarik guru-guru negeri (PNS) yang selama ini diperbantukan di sekolah-sekolah swasta. Belum ada alasan pasti tentang penarikan tersebut tetapi yang jelas bahwa isu tersebut telah menjadi konsumsi publik dan dengannya membuka “ruang pertanyaan” bagi masyarakat yang peduli pendidikan. Mengapa baru terjadi penarikan saat ini dan bukannya jauh sebelum itu? Apa reaksi orang NTT yang secara umum memiliki begitu banyak sekolah swasta?
Sejarah mencatat bahwa pendidikan di NTT dipelopori oleh pihak swasta yang secara umum dikelola oleh Gereja (keuskupan) yang ada di Nusa Tenggara. Para imam dan misionaris luar yang datang ke Indonesia dan NTT khususnya waktu itu, tidak hanya mengedepankan pola pewartaan dengan mekanisme mimbar sentris atau paroki sentris tetapi lebih dari itu mereka memberikan sumbangsih pada masyarakat dengan mendirikan sekolah-sekolah katolik, baik tingkat dasar, menengah dan atas, bahkan perguruan tinggi. Di sini dapat dilihat bahwa sekolah-sekolah swasta katolik memiliki nilai sejarah yang tinggi dan sanggup “memproduksi” manusia-manusia intelektual yang tengah bertarung dengan perubahan zaman.
Sebagai orang yang pernah dididik dalam dunia pendidikan swasta katolik, rumor tentang penarikan guru-guru PNS yang diperbantukan di sekolah swasta membawa keresahan tersendiri. Keresahan kritis masyarakat ini memunculkan pertanyaan untuk digali bersama. Sudah mampukah sekolah-sekolah katolik dapat menjalankan roda pendidikan tanpa bantuan guru-guru yang nota bene PNS? Peristiwa penarikan yang bakal terjadi, memunculkan dua persoalan, yaitu pertama, sekolah-sekolah swasta terutama katolik kekurangan guru dan hal ini akan mengganggu proses pembelajaran dan mengorbankan generasi yang sedang mengenyam pendidikan. Kedua, setelah terjadi penarikan nanti, mau dikemanakan guru-guru PNS-nya? Karena fakta menunjukkan bahwa jumlah guru-guru PNS barangkali lebih banyak ketimbang ketersediaan sekolah-sekolah negeri. Dengan demikian akan menciptakan pengangguran terselubung bagi guru PNS yang tidak mendapat jatah mengajar karena kekurangan sekolah negeri.
Peristwa penarikan ini juga menjadi momentum refleksi bersama, baik di kalangan dinas pendidikan maupun pihak yayasan yang mengelola sekolah-sekolah swasta. Penarikan guru PNS yang bakal dilaksanakan nanti tentu dipicu oleh kerjasama yang mungkin kurang terlaksana secara baik antara pihak swasta dan pemerintah. Saya masih ingat baik peristiwa yang terjadi di tahun 1990-an. Terjadi kerjasama yang disharmonis antara pihak Yapersuktim (sebuah yayasan milik keuskupan Larantuka yang menangani sekolah-sekolah swasta katolik) dengan dinas pendidikan Flores Timur. Ekses dari disharmonitas kerjasama menguat ketika terjadi mutasi guru ke sekolah-sekolah dan yang menjadi korban adalah guru sendiri.
Memang, dalam mengelola sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan dengan guru-gurunya yang kebanyakan pegawai negeri sipil (PNS) membutuhkan kerja sama yang baik, antara dinas pendidikan dan yayasan dalam pelbagai bidang. Tetapi dalam kerja sama tersebut sering mengalami keterbenturan terutama mengenai konsep dan gagasan. Pihak swasta terkadang tidak mau diintervensi oleh dinas, sebaliknya, pihak dinaspun tidak mau didikte oleh pihak swasta, dalam hal ini yayasan sebagai pengelola sekolah. Siapa yang mau mengalah dan sekaligus membangun jalan kompromi?
Penarikan guru-guru PNS dari sekolah swasta, pelan tetapi pasti akan “memuseumkan” sekolah swasta sebagai tanda matinya nurani bangsa yang selalu mendikotomi sekolah swasta dan sekolah negeri. Tetapi harus diingat bahwa para pejabat dan guru-guru negeri sendiri merupakan potret masa lalu dari hasil pendidikan swasta. Karenanya, kebijakan penarikan guru-guru negeri dari sekolah swasta merupakan ciri normatif melupakan jasa sekolah swasta, mirip kacang lupa akan kulitnya. Kebijakan ini juga merupakan buah dari penaklukan dinas pendidikan dan pemerintah umumnya terhadap kenyataan penting peranan swasta dalam memajukan peradaban. Sekolah-sekolah swasta kini berada pada ambang kehancuran kebebasan dalam menentukan sikap yang penuh dilematis.
Situasi ini perlu disikapi secara jernih terutama oleh Gereja. Gereja tidak bisa tinggal diam atau hanya berseru dibalik mimbar sabda. Sudah waktunya Gereja mengkaji persoalan ini dan bila perlu memisahkan secara tegas antara kepentingan pemerintah dan swasta dalam pengelolaan sekolah. Untuk yayasan persekolahan Katolik dan Kristen di NTT, sedikit mengalami posisi dilematis, mengingat bahwa kekuatan finansial tidak mencukupi untuk mengembangkan sekolah dan menggaji guru. Di sinilah pihak swasta memiliki posisi tawar yang lemah karena tidak memiliki dana yang memadai.
Kalau saya membandingkan sekolah-sekolah swasta di kota, masih memiliki kesempatan untuk mengelola sekolah secara baik karena memiliki dana yang memadai. Pihak swasta, sudah waktunya menata kembali yayasannya agar dapat menggaji guru bahkan memikirkan dana pensiunan. Mengapa sekolah swasta di kota sanggup membetahkan gurunya untuk tetap mengajar di swasta tanpa perlu menjadi guru (PNS)? Karena pihak swasta sendiri sanggup mengelola secara baik, tidak hanya menggaji tetapi lebih dari itu memikirkan hari tua bagi guru-guru yang pensiun. Dua aspek ini menjadi dasar yang sangat kuat untuk meletakan fondasi bagi sekolah swasta. Mengapa guru-guru swasta seperti di Jakarta setia dengan sekolah swasta bahkan tidak berminat tes PNS untuk menjadi guru negeri? Jawabannya sederhana karena di swasta mereka sudah diperhatikan secara baik. Sistem penggajian lebih banyak merujuk pada PGPS dan untuk pensiunan, para guru swasta di bawah naungan MPK (Musyarawah Persekolahan Katolik) keuskupan Agung Jakarta diikutkan dana pensiun (YADAPEN).
Memang, mendirikan sekolah itu gampang tetapi menghidupi sekolah di tengah persaingan yang ketat itu tidak gampang. Para misionaris terdahulu cukup banyak memberikan donasi terhadap kelanjutan sekolah-sekolah swasta di NTT. Dan tugas berat yang harus dijalani oleh para imam pribumi terutama yang terlibat langsung dalam mengelola yayasan, yakni bagaimana mempertahankannya sehingga keberadaan sekolah swasta semakin hari mendapat tempat yang bermartabat di mata masyarakat NTT. Bersaing itu penting sebagai bagian dari proses pembenahan diri tetapi bukan mematikannya dengan cara yang terstruktur.

(*Penulis adalah Penyuluh Agama Katolik pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tangerang-Banten)

Thursday, March 24, 2011

LOMBA MENULIS ESAI

(terbuka untuk umum)

Keberadaan VOLUNTAS pada beberapa edisi, telah menghantar kita pada sebuah proses pembelajaran tentang bagaimana menulis. Rubrik-rubrik yang disajikan telah membuka mata kita untuk secara jeli membedakan karakter dari masing-masing rubrik. Kelihatannya sama, tetapi jika menyelami lebih jauh maka kita akan menemukan banyak perbedaan sesuai arah dasar dari jenis tulisan tersebut.
Walaupun VOLUNTAS beberapa edisi sudah menemani pembaca, namun disadari bahwa begitu minimnya penulis-penulis yang mengisi rubrik tersebut dengan tulisan. Atas dasar fakta ini maka VOLUNTAS lagi-lagi memberanikan diri untuk membuka “ruang perlombaan” esai. Memang, masih banyak jenis tulisan yang dipelajari, tetapi untuk lebih fokus pada proses penulisan secara mendalam maka, tahap pertama perlombaan secara online ini dipusatkan pada penulisan esai rohani.

Apa itu esai?
Yang dimaksudkan dengan esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya. Ada dua aspek yang sangat dibutuhkan adalah fakta dan daya imajinasi. Fakta menjadi sumber inpirasi atau yang memunculkan suatu kisah dan dengan daya imajinasi, seorang penulis esai (esais) sanggup mengungkap sebuah fakta dan menganalisisnya secara tajam.
Jenis-jenis esai:
1. Esai Formal: Pemikiran dan analisisnya sangat dipentingkan, ditulis dalam bahasa lugas dan menggunakan bahasa baku.
2. Esai non Formal atau esai personal, sering disebut karya sastra. Gaya bahasanya lebih bebas, pemikiran dan perasaan lebih leluasa masuk ke dalamnya.
Dilihat dari cara mengupas suatu fakta maka esai dibagi menjadi 4 yaitu:
• Esai deskripsi, yaitu esai yang hanya terdapat penggambaran sesuatu fakta seperti apa adanya tanpa komentar dari penulisnya
• Esai eksposisi, yakni esai yang penulisnya tidak hanya menggambarkan fakta saja, tetapi juga menjelaskan fakta selengkapnya
• Esai argumentasi, yakni esai yang bukan hanya menunjukkan fakta tetapi juga menunjukkan permasalahannya dan kemudian menganalisisnya dan mengambil kesimpulan. Esai ini bertujuan memecahkan masalah.
• Esai narasi, yakni esai yang menggambarkan sesuatu dalam bentuk urutan yang kronologis dalam bentuk cerita.


Beberapa tema yang dilombakan:

1. Salib: Pengalaman Yesus membagi kasih
2. Menjadi garam dan terang dunia
3. Getzemani, taman pergulatan Yesus
4. Gereja Kristus adalah Gereja Martir
5. Mencari wajah Maria
6. Paskah Yesus, puncak iman orang Katolik

Setiap peserta dapat memilih salah satu tema ini untuk digarap. Panjang tulisan, 3 halaman kuarto. Diketik 1,5 spasi dan dikirim paling lambat 5 April 2011. Tulisan yang dikirim, disertai dengan CV lengkap. Dikirim melalui email: gregoriusvoluntas@yahoo.com Ditulis dengan menggunakan bahasa populer. Panitia akan menyeleksi seluruh naskah yang masuk. Panitia memilih 3 orang sebagai pemenang dan akan diberi hadiah oleh VOLUNTAS (bukan dalam bentuk uang). Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat. Hasilnya akan dipublikasikan dalam majalah VOLUNTAS edisi berikutnya.
Contoh Esai rohani:
Z A K H E U S
Oleh: Valery Kopong*
KETIKA saya diminta oleh ketua lingkungan untuk mencari nama pelindung lingkungan yang baru dibentuk waktu itu, saya menyodorkan satu nama sebagai pelindung lingkungan yaitu Zakheus. Nama yang saya tawarkan sepertinya menjadi racun bagi setiap telinga yang mendengarnya. Orang-orang lingkungan secara serta merta menolaknya dengan alasan yang beragam. Ada yang mengatakan bahwa ia (Zakheus) terlalu pendek orangnya sehingga nama ini menjadi bahan tertawaan lingkungan lain. Ada lagi yang mengatakan bahwa ia sang koruptor.
Saya coba menampung aspirasi umat sambil tetap mencari alasan apa yang mendasar sebagai bukti otentik untuk meyakinkan masyarakat bahwa Zakheus juga berharga di mata dunia. Waktu itu, kebetulan seorang pastor menginap di rumahku selama seminggu dan saya coba berkonsultasi dengan dia dan herannya, nama yang saya tawarkan ini menjadi kisah yang menarik dan menjadi bahan diskursus yang hangat antara saya dan romo. Romo sendiri mengiakan kepantasan nama itu (Zakheus) karena walaupun dunia memandangnya dengan sebelah mata, tetapi justeru ia membuka diri bagi Yesus untuk datang dan berada di rumahnya.
Rumah Zakheus adalah sebuah “ruang publik” yang dapat memungkinkan siapa saja yang masuk ke dalamnya. Yesus adalah orang pertama yang berani masuk ke dalam rumahnya. Kehadiran Yesus menjadi tanda yang mengingatkan peristiwa masa lampau yang serba kelam. Dan kehadiran Yesus sendiri seakan merombak pola pikir masyarakat tentang dia dan keluarganya. Labelisasi yang dikenakan padanya yakni sebagai koruptor perlahan hilang oleh sebuah kejujuran yang mengantarnya menuju jalan pulang. Kehadiran Yesus di rumahnya membukakan matanya untuk secara tajam melihat seluruh sepak terjang perjalanan karirnya yang manipulatif dan koruptif. Kehadiran Yesus juga merupakan saat teduh baginya untuk berefleksi serta menuding diri, berapa ribu orang yang telah diselewengkan pajak-pajaknya.
Kerinduan terbesar dalam diri seorang Zakheus adalah mau melihat, siapakah Yesus sebenarnya. Kerinduan ini tersembul dari balik tumpukan uang yang merupakan hasil pemerasan pada rakyatnya. Memang, menjadi pengalaman dilematis seorang pegawai pajak ketika berhadapan dengan tumpukan uang. Mau menghamba pada “mamon” ataukah percaya pada Allah, sumber kekayaan itu sendiri. Peristiwa pertemuan antara Yesus dan Zakheus adalah sebuah peristiwa iman yang sanggup mengembalikan hati yang pernah berpaling dari Allah sendiri. Zakheus, selama dalam menjalani kehidupan yang oleh masyarakat dilihat sebagai pekerjaan haram, menjadikan ia semakin jauh dari sentuhan kasih Allah sendiri. Karena tenggelam dalam perbuatannya yang tak terpuji maka ia sendiri menjadi “buta” dan tidak sanggup melihat Yesus sebagai penyelamat. Badannya yang pendek tidak semata-mata diartikan secara fisik tetapi lebih dari itu membahasakan kekurangan iman sehingga ia harus naik ke pohon ara, “pohon iman” agar mata batinnya dibuka untuk melihat Tuhan yang lewat.
Di tengah jejalan manusia yang ingin melihat Yesus dalam perjalanan-Nya dari desa ke desa, dalam hati Yesus, Ia ingin berjumpa dengan seorang bernama Zakheus. Kalau dianalisis lebih jauh, memunculkan beberapa pertanyaan rujukan untuk memahami kedekatan batin antara sang koruptor dan Mesias. Zakheus tentu sebelumnya menjadi bahan pembicaraan yang menarik dan mungkin menjadi pemberitaan lisan tentang tingkahnya yang mengecewakan masyarakat. Di sini, kontrol sosial menjadi kuat, namun tidak menyanggupkan hati seorang Zakheus untuk berbalik.
Yesus yang lewat, tidak dibiarkan begitu saja menghilang ditengah jubelan manusia namun ia menyadari betapa pentingnya ia mencari seorang penyelamat untuk mengembalikan reputasi dan harga diri yang selama ini jatuh tertindih tumpukan uang. Kehadiran Yesus membuka jalan baru, jalan keselamatan. Kehadiran Yesus tidak bertindak sebagai penggeleda kekayaan Zakheus tetapi hanyalah ungkapan solidaritas dan silahturahmi. Yesus bukanlah penyidik yang menuding, siapa-siapa lagi yang terjebak dalam kasus yang sama. Dengan mengatakan “Zakheus, turunlah, Aku mau ke rumahmu,” dilihat sebagai “interupsi ilahi” di mana Yesus sendiri menciptakan peluang sunyi bagi introspeksi diri seorang Zakheus. Ia mau ke rumahnya, menunjukkan betapa Yesus peduli terhadap pribadi dan keluarganya. Kunjungan Yesus ke rumahnya merupakan titik awal Ia menanamkan nilai-nilai pertobatan. Rumah Zakheus setelah dikunjungi Yesus sepertinya mengalami sebuah transformasi, dari rumah “berlandaskan” strategi kebohongan menjadi rumah “bertiangkan” metanoia. Rumahnya juga menjadi ruang publik dan “ruang produksi nilai-nilai pertobatan” dan akan didistribusikan kepada siapa saja yang membuka diri pada keselamatan.
Yesus sudah berkunjung ke rumahnya, tetapi di mata masyarakat, ia tetap sebagai koruptor. Zakheus menjadi ikon pemanipulasian pajak dan menjadi hidup di setiap generasi yang berbeda. Orang-orang dan dunia umumnya seperti telah memancangkan prasasti abadi tentang Zakheus sehingga orang tidak mudah melupakannya. Tetapi Zakheus mengalami kegembiraan dan kehormatan ketika si Tuhan datang menemui dia dalam kondisi tak berdaya oleh cara pandang yang keliru dari masyarakat umum. Kegembiraan yang dialami juga bukan merupakan “kegembiraan instan” karena ia menghayati kegembiraan ini dalam terang iman pertobatan.
Orang-orang di lingkungan saya menolak keras bila nama Zakeus menjadi pelindung lingkungan itu. Dan apabila setiap instansi pemerintah mencari seorang kudus sebagai pelindung, maka Direktorat Pajak pasti berpelindungkan Zakheus, sebuah nama yang membuka historia biblis dan mengingatkan setiap pegawai pajak akan uang-uang pajak yang ditagih dari masyarakat. Dunia dan Indonesia khususnya membenci Zakheus, tapi herannya pola perilaku koruptif yang merupakan warisannya ditumbuh-suburkan dalam lahan “republik korupsi” ini. Andaikata Zakheus masih hidup sampai dengan saat ini pasti ia berujar, “hari gini masih korupsi, apa kata dunia?” ***

Tuesday, March 22, 2011

PERADABAN LEWOTANAH LAMAHOLOT DALAM TRINITAS KEPEMIMPINAN PURBA INDONESIA TIMUR DAN ATLANTIS YANG HILANG

Oleh Chris Boro Tokan



Adalah seorang F.A.E. van Wouden yang melukiskan Trinitas Kepemimpinan Purba di Indonesia Bagian Timur, melalui data tertulis berdasarkan catatan-catatan Kolonial Belanda saat itu. Walaupun data, laporan-laporan itu berfokus untuk kepentingan pelanggengan kolonialisme di bumi Indonesia, namun sangat penting untuk konteks kekinian. Karena secara tidak langsung melalui kajian data dimaksud, tersirat telah ikut menjelaskan simbolisme Salib Atlantis yang menjadi penunjuk Ibu Kandung Peradaban Dunia. Kajian itu tertemukan dalam Disertasi yang dipertahankan di Universitas Leiden Negeri Belanda, dalam judul: Structuurtypen in de Groote Oost (1935), diindonesiakan: KLEN, MITOS, DAN KEKUASAAN, Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur (1985).


Salib Atlantis, Lewotanah: Dualisme Kosmos dan Dualisme Sosial


Dalam kajian F.A.E. van Wouden mengistilahkan Dualisme Kosmos untuk Langit dan Bumi, sedangkan Dualisme Fungsi Sosial untuk peran Laki-laki (Langit) dan peran Perempuan (Bumi). Dualisme peran ini saling memotong, yakni vertikal dan horinsontal menurut Van Wouden, yang oleh Arysio Santos menyebut dengan Salib Atlantis. Simbol Salib Atlantis sebagai keyakinan purba tertemukan dalam kajian "ATLANTIS The Lost Continent Finally Found", The Devinitive Localization of Plato's Lost Civilization (2005), diIndonesiakan menambah subjudul: INDONESIA TERNYATA TEMPAT LAHIR PERADABAN DUNIA (2009) hal.126-128, 162-278. Hasil elaborasi dari gagasan Filosof besar Plato tentang Tata Peradaban Sipil yang sudah sangat maju (Atlantis yang hilang).


Sampai kekinian Simbol Salib Atalantis itu terpraktekan dalam Peradaban Lamaholot di Nusa Tenggara Timur dengan sebutan LewoTanah. Tentang LEWOTANAH sebagai Peradaban Lamaholot (Kepulauan Solor: Adonara, Solor, Lembata) di Nusa Tenggara Timur, replika Salib Atlantis itu, sesungguhnya Peradaban/keyakinan Dataran Tengah=POROS (NTT, NTB, MALUKU, SULAWESI). Terpahami dalam Peta Purba Indonesia, yang menempatkan wilayah-wilayah ini dalam satu DATARAN TENGAH (POROS). Sedangkan Dataran Sunda (JAWA, BALI, KALIMANTAN, SUMATRA yang menyatu dengan Benua ASIA) itu BARAT. Berikut Dataran Sahul (Kepulauan Aru, Papua/Irian menyatu dengan Benua AUSTRALIA) itu TIMUR (Garis Wallace-Weber). Bandingkan dengan Peta buatan Dr. Harold K. Voris, Kurator dan Kepala Departemen Zoologi pada Field Museum, Chicago, Illinois, termuat dalam Arysio Santos hal. 104 dan 150.


Melalui data tertulis yang dijadikan kajian itu, van Wouden terkesima dengan Ciri-ciri Utama Sistem Sosio-Kekerabatan (hal. 82-92), yang terbentuk dari filosofi Dualisme Kosmos dalam praktek Kepemimpinan Purba dengan Dualisme Fungsi Sosial yang mewujud menjadi Trinitas Kepemimpinan Purba (hal.25-81). Terkesima karena Trinitas Kepemimpinan (dalam Peradaban Lamaholot dikenal: KEPUHUNEN=POROS, TARAN NEKI=PILAR TIMUR, TARAN WANAN=PILAR BARAT) itu ternyata menyebar dalam daerah yang luas, satu sama lain saling berhubungan. Terbentang dari Pulau Timor, Pulau Sumba, Pulau Sabu, Pulau Rote dan Pulau Flores sampai ke Kepulaun Kai dan Tanimbar, serta juga mencakup Pulau Seram dan Pulau Ambon.


Prinsip pendasaran Dualisme Kosmos dan Dualisme Sosial


Seperti diungkap T.O Ihromi (peletak dasar/pelopor Ilmu Atropologi Hukum di Indonesia) dalam memberikan Kata Pengantar terjemahan karya ini, bahwa suatu hal mendasar dan sangat penting dalam pengkajian ini adalah pengungkapan prinsip-prinsip yang mendasari penggolongan-penggolongan atau klasifikasi dari satuan-satuan sosial yang terdapat di dalam suatu masyarakat setempat. Mengungkapkan dasar-dasar kategori sosial yang komprehensif dalam arti yang mendasari pengaturan masyarakat manusia maupun kosmos atau alam semesta. Seperti ciri-ciri cara penghitungan garis keturunan menurut garis ibu (matrilineal) bersama-sama dengan cara menarik garis keturunan melalui garis ayah (patrilineal).


Bagi van Wouden secara etnografis, wilayah kajian ini bersifat homogen, karena adanya sejumlah ciri bersama seperti kehadiran sistem klen, walaupun kadang-kadang sudah mulai mengabur, dan suatu adat perkawinan di antara dua saudara sepupu silang atau cross-cousin. Adat perkawinan sepupu yang eksklusif itu menjadi sangat penting dalam hubungan dengan semua hubungan sosial. Diibaratkan dengan suatu sumbu dan kegiatan sosial lainnya berkisar sekitar satu sumbu itu.


Dengan demikian adat perkawinan cross-cousin, yaitu antara seorang anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya, menjadi model pembinaan hubungan-hubungan sosial seperti adanya trinitas pada struktur sosial masyarakat purba. Kesimpulan van Wouden, bahwa kedua konsepsi yang saling menyilang itu tampaknya lebur menjadi satu dualisme; kelompok langit yang berjenis laki-laki yang lebih muda tetapi lebih mempunyai kemampuan dihadapkan kelompok bumi yang berjenis wanita yang lebih tua dan jauh lebih kuat (hal. 82-159).


Kajian van Wouden perkawinan cross-cousin sebagai sebuah bentuk pekawinan yang eksklusif, karena perkawinan hanya dapat terjadi (bentuk yang dianjurkan, kadang-kadang diwajibkan) di antara satu jenis sepupu silang. Tercermati adat perkawinan di antara dua sepupu silang (cross-coussin) di era sekarang menjadi sebuah kehati-hatian, bahkan telah dilarang karena sangat mempengaruhi faktor intelegensia keturunan (anak), sehingga hampir tidak ditemukan lagi. Namun untuk tetap menjaga model hubungan sosial kekerabatan, tidak terputusnya tali hubungan kekeluargaan yang telah diwariskan secara turun temurun, juga membina adanya tiga pejabat (tritunggal) pada struktur sosial adat warisan purba, senantiasa terjadi perkawinan cross-cousin lintas generasi.


Trinitas Kepemimpinan Purba di Indonesia Bagian Timur


Pembagiaan keseluruhan Liurai di Belu (Timor) secara mistis dalam Waihale-Waiwiku, adalah pembedaan kelompok Timur dan Barat yang menempatkan Liurai sebagai Poros yang puncak mempunyai kekuasaan spiritual yang tertinggi kepada Meromak O’an . Begitupun di Timor Tengah ada pembagiaan keseluruhan Sonnebait yang mistis mengenal Fettor (Timur) dan Fukun (Barat)(hal. 105- 106).


Nusak unsur yang paling menonjol dalam struktur sosial purba di Pulau Rote, membagi paruhan mane dengan paruhan feto dalam pandangan dualistis rangkap (sepasang), yakni masing-masing dengan manedope dengan dae-langgak , termanifestasikan dalam tritunggal. Dae-langgak ditautkan dengan Bumi, konon kalau mane berbicara , seperti guntur menggelegar, Langit. Pertentangan mane dan feto berkaitan dengan pengelompokan dalam leo, sedangkan pertentangan manedope dan dae-langak berlaku di dalam leo (hal. 124-127).


Di Pulau Sabu dikenal pembagiaan antara do’ai dan weto di Seba berkaitan dengan tatanan dualistis dari salah satu genealogi, berkaitan dengan pandangan Dualistis Ganda yang sudah dikenal. Do’ai adalah yang tua dan weto yang lebih muda yang seperti halnya di Timu memegang kekuasaan yang sebenarnya, ini sesuai benar yang terdapat di tempat lain (hal. 128).


Wilayah Pulau Sumba bagian Timur pembagian atas empat yang mula-mula ada merupakan salah satu ciri pengenal utama dari sistem sosial. Keempat ratu dari setiap suku dipandang dari sudut sosial merupakan pejabat yang paling utama. Hubungan antara Raja dan Ratu dengan gamblang disifatkan sebagai hubungan antara Langit dan Bumi. Kedudukan Raja dijunjung tinggi dan dikeramatkan, serta merupakan perwujudan kekuatan keagamaan dari masyarakat setempat (hal 129).


Di Lamboya dan di Anakala wilayah Sumba Barat pembagian tugas kait-mengait dengan pembagiaan atas dua dalam kawasan. Di Napu, Ratu dari anamatiuwa (abang) ditautkan dengan yang bersifat kelangitan. Ratu dari ana ma’ari (adik laki-laki) ditautkan dengan yang bersifat kebumian. Pertama-tama menguasai kekuatan kelangitan yang menentukan berhasil tidaknya panen (hal. 129).


Kesejajaran trias politica yang ada di Pulau Tanimbar dengan yang ada di Pulau Timor mencolok. Seperti mangsombe sebagai tokoh yang sentral berhadapan dengan mangaf wajak dan pnuwe nduan. Di satu pihak dwitunggal pnuwe nduan dan mangaf wajak di pihak lain mangsombe dan mangatanuk, berposisi tempat duduk masing-masing di sisi kiri dan sisi kanan natar yang dianggap sebagai kapal (hal. 131-132).


Kepulauan Kai yang menjadi utama pertentangan antara dua saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Tonngiil merupakan tokoh sentral di antara Parpara dan Hian yang kegiatannya bertentangan. Dengan demikian termasuk kegiatan kedua kelompok yang dualistis itu, akibat tritunggal yang bertindak sendiri. Kenyataan kasus dalam kelompok kelangitan menunjukan kepriaan yang unggul, dan juga kasus mengenai kelompok kebumian menampilkan aspek wanita yang unggul (hal. 138).


Sebagian besar masyarakat di Pulau Seram terdapat tiga (3) lingkungan sosial yang penting. Perrtama hena atau amani dari Manusela. Dalam kelompok sosial ini suatu sistem kehidupan masyarakat yang serba lengkap dapat berkembang. Dikenal pula dengan sebutan Suku menggambarkan pengelompokan secara genealogis. Kedua Soa merupakan penempatan beberapa hena atau amane, dikenal di sebelah barat dengan nuru, sama dengan lohoki di Manusela (hal. 141).


Ketiga Dati, merupakan pengelompokan sosial yang terlepas dari soa. Terjadinya Soa konon sama dengan terjadinya desa di Kai, distrik di Timor yaitu penggabungan sejumlah kelompok kekerabatan secara kebetulan yang berlainan asal-usul . Ada kalanya sejumlah dati berasal dari moyang yang sama diwakili dalam berbagai hena yang dahulu membentuk sebuah komunitas. Dari sini jelas bahwa pengelompokan dalam soa disilangi oleh pengelompokan dalam dati (hal. 142-143).


Perbedaan mencolok dua macam pejabat, di satu pihak bupati dan kepala soa sebagai penguasa hena, di pihak lain tuan tanah dan kepala dati mempunyai otoritas di bidang tradisi khususnya tanah. Semula di Ambon tidak ada perkebunan Soa, fungsi Kapitan rupanya berurusan dengan pengaturan soa. Barangkali latu dan kapitan raja termasuk soa yang berlainan. Agak tersembunyi di belakang pembedaan pejabat soa dan pejabat dati ternyata terdapat juga tritunggal yang penting terdiri dari bupati, tuan tanah, kapitan raja (hal. 143-144).


Konteks Atlantis Yang Hilang


Dalam konteks Atlantis yang Hilang sebagai sebuah tata peradaban sipil yang sangat maju menurut Plato filosof kesohor Bangsa Yunani, dielaborasi oleh Geolog dan Fisikawan Nuklir asal Brasil Arysio Santos dengan Salib Atlantis. Tentu menempatkan kajian van Wouden dalam relevansi logisnya yang mengemukakan konsep Dualisme Komsos dan konsep Dualisme Sosial sebagai konsep Kelangitan (Laki-laki)yang vertikal saling memotong dengan Konsep Kebumian (Perempuan) yang horisontal, membentuk Salib.


Diakui sendiri oleh van Wouden bahwa hasil kajian dokumen (laporan) yang dilakukannya tidak mengungkap secara rinci semua tautan dari sistem klasifikasi tentang Dualisme Kosmos (Langit dan Bumi) dan Dualisme Sosial (Laki-laki dan Perempuan). Apalagi hasil kajian sejak tahun 1935, berlangsung 76 tahun lalu, namun yang pasti bahwa substansi Dualisme Konsep itu secara nyata, empirik masih ada, terasakan dan menjadi keyakinan setiap komunitas adat (wilayah) yang telah dikaji. Bahkan dipraktekan secara baik oleh Suku Bangsa Lamaholot (Flores Timur Daratan dan Kepulauan Solor: Adonara, Solor, Lembata) dengan sebutan Lewotanah.


Dengan demikian seperti diharapkan van Wouden 76 tahun yang lalu, bahwa diperlukan penelitian lebih lanjut di tempat (penelitian lapangan, empirik), untuk mengungkapkan lebih nyata banyak hal, antara lain sejumlah kebiasaan dan struktur sosial asli yang terus bertahan dan senantiasa menjadi alam berpikir dan cara pengorganisasian masyarakat. Sekaligus menjadi penandasan pembuktian (Arysio Santos, hal.306-311) bahwa Atalantis Yang Hilang dengan Salib Atlantis sebagai Peradaban Bangsa Atlantis, merupakan Ibu Kandung Peradaban Dunia, sesungguhnya adalah wilayah Bangsa Indonesia sekarang, ufuk Timur Terjauh Dunia, belahan Paling Selatan Garis Khatulistiwa arah Tenggara.***


Dataran Oepoi, Kota Karang Kupang, Tanah Timor, 21 Maret 2011.

Monday, March 7, 2011

HARAPAN YANG PATAH

Oleh: Valery Kopong*
Langkah gadis bocah itu terhenti di lorong panti yang berada dekat dengan “bibir ibu kota, Jakarta.” Sorotan cahaya terus menembus ruang yang dihuni oleh sekitar duapuluhan orang yang menyandang cacat dan yatim piatu itu. Di bawah rintik-rintik hujan yang sedikit membasahi tanah Bintaro, Tangerang Selatan, seakan membawa “aroma gurau” yang semakin alot. Mereka sepertinya tidak memikirkan tentang masa lampau di mana telah menyeretkan mereka pada panti itu. Mereka juga tidak menyalahkan orang tua bahkan Tuhan sendiri yang mentakdirkan mereka dengan anggota tubuh yang cacat. Di atas kursi roda itu, sebagian orang-orang cacat menghabiskan waktu sambil menatap sebuah masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.
Di titian waktu, mereka terus merenung tentang hidup dan perjuangan yang bermula dari diri mereka. Mengapa perjuangan hidup mesti bermula dari dalam diri mereka? Ya, bertahun-bertahun lamanya mereka bergulat dengan keadaan diri mereka yang cacat dan jauh dari sentuhan kasih sayang orang tua. Karena keadaan diri mereka yang tidak lazim, membuat mereka tersingkir, termarginal dari panggung pergaulan hidup. Mereka coba bertahan dan menerima diri apa adanya. Cara untuk menerima diri apa adanya sebagai jalan terbaik untuk mengobati batin yang terluka dan upaya untuk mensyukuri karya Allah sendiri.
Nasib setiap manusia memang beda. Ada yang terlahir sebagai manusia normal yang memiliki anggota tubuh yang lengkap dan ada yang tidak lengkap, alias cacat. Ada yang terlahir dalam keluarga yang kaya dan tak sedikit orang yang terlahir dalam kemiskinan. Bagi mereka yang terlahir dalam keluarga kaya, seluruh kebutuhan hidup mereka terpenuhi secara paripurna. Sedangkan mereka yang terlahir dalam lingkaran kemiskinan, marginalitas, kekumuhan dan kelatahan terus menggerus hidup di tengah pusaran waktu. Setiap saat adalah “penantian bermakna” sembari membuka diri untuk menerima setiap tawaran kemurahan yang datang dari orang lain. “Kemurahan hati tidak jatuh dari langit. Ia ada karena terus dihidupi oleh orang-orang yang sungguh merindukannya.” Kerinduan orang-orang yang patah semangat karena dijejali oleh kemiskinan, merupakan sebuah undangan, sekaligus “jalan rahmat” yang ditata oleh mereka yang berpunya.
Panti Sayap ibu
Menelusuri kota metropolitan di bawah naungan semburan asap knalpot, begitu banyak orang miskin yang dijumpai. Tangan-tangan mereka terbuka dan wajah mereka menengadah untuk melihat orang-orang yang lewat dihadapannya. Bagi mereka, jubelan manusia yang lewat adalah rejeki yang semakin mendekat. Dengan mengantongi sedikit rupiah yang diberi oleh para pejalan kaki di trotoar atau di bawah traffic light, merupakan bukti bahwa mereka bisa menyambung hidup untuk esok hari. Wajah mereka yang meminta-minta di jalan memperlihatkan kehidupan yang keras dan jauh dari sentuhan perhatian pemerintah dan orang-orang berduit.
Potret orang-orang miskin di atas, sedikitnya berbeda dengan orang-orang yang berada di bawah naungan “Sayap Ibu,” sebuah panti asuhan yang terletak di Bintaro, Tangerang Selatan-Banten. Keberadaan orang-orang yang menghuni panti ini memiliki cerita dan latar belakang tersendiri. Mereka datang dari hampir seantero pelosok tanah air dan membentuk komunitas, sebuah keluarga besar di bawah naungan Yayasan Sayap Ibu. Ada yang berasal dari Kalimatan, Sumatera, Sulawesi, Jawa dan Madura. Dengan latar belakang daerah yang berbeda ini, menampakkan miniaturnya Indonesia yang terbentuk dari “ketakberdayaan” mereka yang terhempas.
Mengapa mereka datang dan membentuk komunitas dalam panti asuhan itu? Adakah sejarah yang melatarinya sehingga mereka dengan terpaksa tercerabut dari keluarga dan melanglang buana hingga membentuk kelompok baru di bawah “kepakan Sayap Ibu?” Dari hasil penuturan penulis dengan beberapa penghuni dan pengelola panti itu ditemukan akar persoalan, mengapa mereka tidak dikehendaki orang tua dan hidup bersama mereka. Ada beberapa alasan yang muncul, pertama, ada yang kelahirannya tidak diinginkan oleh orang tuanya (hubungan diluar pernikahan resmi). Hasil hubungan gelap yang membentuk anak manusia ini pada akhirnya dibuang di jalan dan didapatkan orang, lalu bayi tersebut dibawa ke panti untuk dirawat. Kedua, ada anak lahir cacat dan hal ini tidak dihendaki oleh orang tua. Menurut pandangan orang tua yang datang mengantarkan anaknya yang cacat bahwa keberadaan anak yang lahir cacat membawa beban bagi keluarga dan karena itu tidak perlu dirawat di tengah keluarga. Anak yang lahir cacat ini lebih pantas untuk diasuh di panti. Ketiga, ada anak yang diserahkan ke panti asuhan “Sayap Ibu” dengan kondisinya yang baik tetapi karena alasan ekonomi yang kurang mampu dari orang tua maka mereka diserahkan pada panti asuhan untuk dirawat, layaknya sebagai seorang manusia.
Belitan Gurita Kemiskinan
Kemiskinan di negeri ini tak akan pernah terhapus. Malah, dari tahun ke tahun tingkat kemiskinan itu terus bertambah seiring dengan kebijakan pemerintah yang menaikan harga BBM dan listrik. Di “pergelangan malam,” saat menanti datangnya tahun yang baru, banyak orang bersikap pesimis bahkan enggan untuk memasuki tahun yang baru itu. Entah pesimis atau enggan menerima pergantian tahun, waktu tak pernah berkompromi dengan siapa pun. Jarum jam tak bisa dijegal perjalanannya dan kalender 2010 yang masih tergantung di dinding terpaksa “turun tahta” untuk digantikan oleh pangerang baru bernama “tahun baru.” Ya, tahun baru membawa beban baru. Tahun baru hanya menggelorakan situasi sesaat, persis di persimpangan waktu. Setelah gebyar malam dengan lampu-lampu kota yang gemerlap, orang hanyut dalam euforia semu.
Kemiskinan, sebuah kata yang menetap bersama dengan terbentuknya bumi ini. Akar kemiskinan terus digali oleh pelbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta tetapi tak satu pun sanggup memberantas kemiskinan itu sendiri. Semakin digali akar kemiskinan itu, pada saat yang sama kemiskinan terus tumbuh dan berkembang. Bahkan pada era modern ini kemiskinan menjadi sebuah komoditi politik yang menarik. Atas nama kemiskinan, beberapa pegiat LSM mengusung proposal atas nama mereka yang tak berdaya untuk mencairkan dana. Atas nama kemiskinan, pemerintah terus menggulirkan program keberpihakkan tetapi nyatanya setelah program itu terlaksana, tak satu pun orang miskin yang mendapat dana dari program tersebut. Lalu di mana komitmen para pejuang keadilan untuk menyatakan keberpihakan terhadap mereka yang lemah dan membangkitkan mereka dari keterpurukan?
Panti asuhan “Sayap Ibu” sedang melebarkan sayapnya untuk terbang setinggi dan sejauh mungkin untuk mencari mereka yang terpinggirkan. Kemiskinan menurut salah satu suster pengelola panti “Sayap Ibu” bahwa kemiskinan tidak semata-mata karena orang tidak memiliki kekayaan tetapi kemiskinan yang dihadapi saat ini adalah “miskin kepekaan dan miskin solidaritas.” Anak-anak yang tertampung dalam panti tersebut merupakan bukti bahwa mereka terpaksa didepak dari keluarga yang merupakan basis utama seorang anak untuk tumbuh dan berkembang dalam menggapai harapan. “Harapan mereka patah atau sengaja dipatahkan dengan alasan tertentu tetapi di panti ini kami berusaha untuk mengembalikan jati diri dan terlebih membangkitkan semangat serta gairah hidup.”
Cara pandang para pengelola panti membawa spirit baru bagi negeri ini. Andaikan di negeri ini, di setiap lingkungan RT atau RW didirikan panti asuhan maka mungkin para kaum miskin bisa tertangani secara baik. Dan dalam mengelola panti asuhan seperti “Sayap Ibu,” perlu adanya spiritualitas yang sanggup menjiwai seluruh pola pelayanan atas dasar kasih. Tanpa kasih, kita kehilangan daya hening, kehilangan spirit untuk membagi. Dalam bahasa ekaristi, melayani berarti membagi diri bagi mereka yang sangat membutuhkan.***