Friday, September 30, 2011

HOTEL ABANG

Rini dan Roni (bukan nama sebenarnya) adalah pasangan pengantin baru. Mereka ingin melepaskan masa lajang dan berbulan madu di sebuah hotel, sebut saja hotel “Abang.” Pasangan ini menempati kamar 133, namun sebelumnya kamar ini ditempati oleh Deno (bukan nama sebenarnya), yang adalah seorang wartawan. Sebagai wartawan “Jadul” (Jaman dulu), Deno akrab sekali dengan mesin ketik. Ke mana-mana ia selalu membawa mesin tik tua. Ketika keluar dari kamar 133 hotel Abang, Deno ketinggalan mesin tiknya di kamar hotel tersebut. Deno balik ke hotel lagi dan mau mengambil mesin tik. Tetapi ternyata hotel itu sudah ditempati oleh Rini dan Roni. Dari luar, ia mendengar pasangan ini bercengkrama ria. Rini: “Mata ini milik siapa?” tanya Rini kepada Roni sambil menunjuk matanya Roni: “Mata itu milik abang,” jawab Roni sambil menunjuk mata Rini Rini: “Rambut ini milik siapa?” tanya Rini kepada Roni sambil menunjuk rambutnya Roni: ‘Rambut itu milik abang,” jawab Roni sambil menunjuk rambut Rini Deno mendengar ucapan mesra dari Rini dan Roni dari luar hotel. Deno kelihatan gelisah karena dia butuh sekali mesin tiknya. Deno mengintip dari lobang kunci kamar 133 dan berkata: “Mata itu boleh milik abang, rambut boleh milik abang tapi ingat dan jangan lupa, “mesin tik itu milik saya.” *** (Valery Kopong)

Wednesday, September 7, 2011

Eureka! Imam yang Mencari Wajahnya

Oleh: Josh Kokoh Prihatanto Pr

Archimedes, sekitar 200 SM, dipanggil Raja Yunani. Raja meminta Archimedes agar bisa membuktikan volume dan keaslian mahkota raja. Suatu hari ia begitu bingung hingga mencemplungkan diri ke bak mandi yang penuh air. Waktu itu ilham pencerahan turun: bukankah volume air yang luber sama dengan volume tubuhku? Ia menemukan rumus ’Berat Jenis’ guna menjawab tantangan raja. Ia segera meloncat dari bak mandi dan berlari kegirangan sambil berteriak-teriak, ’Eureka, eureka, eureka!’ (sudah kutemukan!).

Setiap orang dalam setiap komunitas kerap berhasrat ber-eureka: menemukan pelbagai core values, semacam nilai dasar bersama yang melandasi isi hati (core, cordis) setiap anggotanya. Nilai-nilai dasar ini membimbing para anggotanya untuk memahami apa yang paling penting, bagaimana memperlakukan orang lain dan bagaimana cara bekerja bersama. Nilai-nilai dasar ini menjadi dasar budaya sebuah komunitas, juga komunitas para imam, karena bukankah para imam adalah alter christi, tapi juga sekaligus seseorang yang terpenjara dalam kelemahan insaninya? (Ibrani 5:2).

Berangkat dari hal inilah, di Wisma Erema, Cisarua, 6-8 Juni 2011, Uskup Agung Jakarta Mgr I. Suharyo bersama 40-an imam KAJ berproses bersama: mencari dan mengadakan refleksi pendalaman Arah Dasar Pastoral dan Landasan Nilai Budaya Imam KAJ yang dipandu Didiek Dwinarmiyadi dkk dari KOMPAS, karena bukankah tepat seperti kata Socrates, ”Hidup yang tidak pernah direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalani?”

Menyitir semboyan Uskup Agung Jakarta,” Serviens Domino Cum Omni Humilitate” (Aku Melayani Tuhan Dengan Segala Rendah Hati, Kisah Para Rasul 20:19), muncullah sebuah core values, nilai dasar yang ditemukan dan dijadikan sebagai wajah para imam yang berkarya di KAJ, yakni: ”HAMBA”. Bukankah Yesus sendiri telah mengosongkan diri-Nya, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia? (Filipi 2:7). Kata ”HAMBA” ini sendiri merupakan sebuah akronim dari lima dimensi wajah imam yang mau ditampil-kenangkan, yakni: Hangat, Andal, Misioner, Bahagia dan Andil.

Hangat

Dasar kehangatan adalah sebuah keyakinan bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh 4:7-12). Hangat di sini bukan sekadar keramahan kata dan kemurahan tindakan. Bukan pula sekadar kemanisan senyum dan kehangatan pandangan. Hangat itu sendiri lebih pada suatu sikap imam yang tulus dan bersahabat: akrab-dekat, mendukung, dan meneguhkan orang lain. Sikap hangat ini bisa dipetakan menjadi empat tataran sederhana: hangat terhadap Allah, diri sendiri, orang lain, dan terhadap lingkungan hidup.

Diri sendiri: menerima, merawat, mengolah, dan mengembangkan potensi (rohani, jasmani) sebagai warga Gereja, warga negara, warga dunia.

Orang lain: menerima dengan aktif, merawat, menolong, berlaku ramah, bersetia kawan, mengembangkan potensi, memajukan martabat, memperjuangkan HAM.

Lingkungan: mengenal, menerima (tidak merusak), melestarikan alam, baik secara personal, sosial, maupun legal (politis).

Allah: dekat dan mempercayai, terbuka dan terarah, bersyukur sekaligus memuliakan Allah, mengandalkan pun bertaut pada Allah, rela dibentuk oleh Allah

Buah kehangatan sendiri adalah persaudaraan sejati. Kehangatan itu sendiri bersumber dan berbuah pada kasih. Dan, ”Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain” (1 Kor 13:4-5).

Andal

Andal (baik dalam persaudaraan/intern, maupun pengutusan/extern) merupakan rentangan bersambung dari availabilitas (kesiapsediaan) sampai dengan akuntabilitas (pertanggungjawaban). Setiap imam diharapkan memiliki kecakapan pastoral, serta mampu mengelola diri dengan segenap kemampuan dan kelemahan diri, peka dan tanggap zaman (bukan malahan gagap zaman). Gereja akan hadir secara nyata kalau para imamnya juga mau memperbarui diri terus-menerus. Setiap imam diharapkan menjadi hamba setia, yang berkomitmen dan andal mengembangkan semua talenta. Spiritualitas yang bisa dihayati adalah: dialektis. Di satu pihak, berakar dalam hidup iman dan doa, sekaligus pada saat yang sama, dituntut dalam pelayanan yang bisa membaca tanda-tanda zaman dan bahasa masyarakat.

Misioner

Seorang imam mestinya sehati sejiwa (cor unum et anima una) dengan gerak keuskupan dan Gerejanya. Mengacu pada pesan Kardinal Darmojuwono, seorang imam (dalam hal ini: imam Diosesan) adalah imamnya uskup, uskup yang tidak punya imam ibarat macan tanpa gigi. Maka, setiap imam diharapkan semakin berakar dalam Kristus, Sang Misionaris Agung; semakin bertumbuh sekaligus berdaya tahan dalam kesetiaan yang kreatif kepada uskup dan pembesarnya (creative fidelity); semakin berbuah dalam karya pelayanan yang lebih bermutu, dan siap sedia untuk diutus. Kata Yesus, ”Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah” (Lk 9:62).

Bahagia

Pengalaman bersyukur atas rahmat imamat dan kesadaran untuk mau berbagi pengalaman syukur inilah dimensi keempat dari spiritualitas ”HAMBA”. Belajar bersyukur juga dalam penderitaan dan kerapuhan, karena Tuhan sebenarnya dapat membuat para imam bersyukur tanpa sebab: ”benar, mengikuti-Mu bukan langit biru yang Kau janjikan, juga bukan bunga-bunga indah yang bertebaran, tetapi jalan penuh lika-liku, karena jalan itu pula yang pernah KAU lewati….” Setiap imam pun diajak semakin mudah bersyukur dan takjub akan pelbagai karya Tuhan lewat umatnya, karena bukankah hati memang selalu punya alasan yang tak dikenal oleh akal, seperti kata Blaise Pascal, ”le coeur a ses raisons que la raison ne connait pas”. Jelasnya, setiap imam diajak menghayati imamat dengan bahagia dan menjalani karya dengan gembira.

Andil

Setiap imam diharapkan terlibat tanpa terlipat dalam pergulatan dan suka duka Gereja dan dunianya. Tugas seorang imam adalah menjadi jembatan antara Allah dan manusia, dan antarmanusia yang membentuk Gereja. Dari peran ini lahir peran kedua yang tidak kalah penting, yakni andil/keterlibatan. Seorang imam perlu melakukan keterlibatan di tengah carut-marut kehidupan yang kerap hanya mengikuti logika kalah-menang, yang melupakan mereka yang kalah bersaing atau yang sama sekali tidak ikut dalam persaingan, karena memang tak punya sesuatu.

Seorang imam perlu memiliki keterlibatan sekaligus keberpihakan, karena Yesus yang memanggilnya pun mempunyai keberpihakan kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir. Itu tak berarti seorang imam lalu melupakan yang lain. Yang lain pun didekati dan perlu selalu diyakinkan untuk terlibat dalam keberpihakan dasar kristiani ini, karena jelaslah menjadi seorang imam tidak hanya sibuk pada urusan altar (dimensi vertikal) tapi juga ikut terlibat di tengah pasar (dimensi horisontal).

Mengacu pada para Bapa Konsili, di sinilah perlu semacam concientization: penyadaran terus-menerus, bahwa para imam diharapkan menjadi mediator concientization, sebuah komunitas yang menunjang dialog antara altar dan pasar, antara Gereja dan dunianya (Gravissimum Educationis 8). Karl Rahner, dalam A Faith that Loves the Earth, 77-83, menegaskan bahwa Gereja mesti terlibat dalam kenyataan harian karena benarlah Gereja tidak hanya ada di awang-awang. Mengambil istilah Martin Buber, setiap imam harus berani mengambil keputusan untuk ’berbalik’, mengubah arah (turning-reversal). Para imam jangan malah asyik dengan ”armchair spirituality”, ongkang-ongkang kaki, puas dengan merenung-menung saja. Keberpihakan menjadi kata kunci, sehingga Gereja sungguh menjadi kota di atas gunung dan cahaya di atas kaki dian bagi dunianya (Mat 5:13).

Akhirnya, seperti pernyataan terakhir Mgr Suharyo kepada para imamnya di Erema, ”Bicaralah, hambamu mendengarkan”, semoga Gereja lewat para imamnya yang mau memaknai spiritualitas ”HAMBA”, juga semakin menampil-kenangkan wajah Gereja yang mendengarkan. Yang jelas, di situlah harapannya, In nomine Dei feliciter – dalam nama Tuhan semoga berbuah. Eureka!!!

Penulis adalah imam Keuskupan Agung Jakarta, Pastor Paroki Salib Suci Cilincing, Jakarta Utara

Mendidik Manusia Berkualitas atau Pembohong?

Oleh: Y.P. Priyanahadi


Masih segar dalam ingatan kita adanya sebuah kasus tragis yang dialami oleh sebuah keluarga di Surabaya, belum lama ini. Mereka diusir masyarakat dari kampungnya karena melapor ke walikota soal penyontekan massal saat mengerjakan soal ujian yang direstui sebuah Sekolah Dasar, tempat anaknya menuntut ilmu. Anak dan orangtua yang jujur tersebut malah mendapat celaka. Ajur/kojur jadi bubur.

Itu hanyalah salah satu dari banyak tragedi yang terjadi di sekolah pada masa akhir ujian kenaikan kelas. Banyak guru pusing karena harus menyerahkan nilai jadi untuk ditulis di rapor yang tidak sesuai dengan kemampuan atau prestasi belajar siswa. Anak yang kurang pandai justru akan diberi nilai sangat bagus supaya kalau dimasukkan dalam rumus penentuan kenaikan/kelulusan bisa membuat siswa itu naik atau lulus. Guru yang berpegang pada objektivitas dan kejujuran, tak mau menambah atau tepatnya mengubah nilai, akan dikatakan tidak solider dan tak punya hati. Semua takut, paham, dan maklum.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ujian berarti suatu tindakan untuk mendapatkan gambaran kualitas sekolah atau penyelenggara pendidikan itu, juga memberikan gambaran kualitas (pemerintah) daerah yang melingkupi sekolah itu. Bahkan, akhirnya orang akan sampai pada mengetahui kualitas (penyelenggara) negara.

Kita menangkap fakta bahwa ujian itu menakutkan. Siswa takut tidak lulus, orangtua takut anaknya tidak lulus. Sekolah pun takut kalau banyak anak yang tidak lulus dan mendapat nama jelek di mata masyarakat dan pemerintah. Untuk sekolah swasta, takut kalau akhirnya sekolahnya tidak laku, tak ada orang mau menyekolahkan anaknya di situ.

Pemerintah daerah /Dinas Pendidikan takut dianggap tidak becus. Menteri takut dianggap gagal mengangkat pendidikan bangsanya, negara pun takut kalau dikatakan sebagai negara orang bodoh. Begitulah ujian menebar ketakutan struktural secara nasional.

Untuk mengatasi rasa takut itu, banyak dilakukan usaha. Baik usaha positif, namun juga dengan cara negatif. Para calon peserta ujian belajar keras non stop, kalau perlu tak usah istirahat, hilangkan jadwal bermain, berolah raga, rekreasi. Semua waktu diisi dengan satu kegiatan belajar. Mereka juga mengikuti bimbingan belajar, tak hanya di satu tempat, tetapi di banyak tempat; guru les privat pun didatangkan ke rumah. Secara rohani pun dilakukan untuk mengatasi ketakutan. Ziarah ke tempat suci, ke makam leluhur, untuk mohon berkat dan restu. Misa, istiqosah pun digelar di sekolah untuk mohon berkat Tuhan. Orangtua pun mengundang umat seagama setempat untuk dimintai tolong supaya mendoakannya. Usaha rohani itu dilakukan untuk memberi ketenangan batin dan menghilangkan ketakutan.

Apakah dengan usaha positif itu, rasa takut hilang? Tidak juga. Ujian tetap menakutkan. Maka, ada yang menambah usaha lain, sayangnya dengan cara negatif: siswa yang akan menempuh ujian menyiapkan catatan kecil, entah di lipatan kertas entah di ponsel yang dimilikinya, bila ada kesempatan (saat izin ke WC, penjaga lengah atau ngantuk saat menjaga ujian) catatan dibuka. Mereka juga berupaya mendapatkan (bocoran) soal ujian, bahkan berusaha setengah mati untuk mendapatkan (bocoran) jawaban soal yang diperjual-belikan. Sekolah juga berusaha mencari jalan keluar. Ada sekolah yang menyiapkan jawaban dan siswa diminta untuk menyebarkan contekan itu ke siswa lain.

Ada usaha lain, dengan memberi tambahan jam belajar di sekolah, mengabaikan mata pelajaran lain yang tidak dipakai untuk ujian, memberikan nilai tambahan yang signifikan (baca: tak masuk akal) sehingga kalau nilai itu dimasukkan rumus kriteria kelulusan atau kenaikan yang telah ditetapkan siswa lulus atau naik kelas. guru dimintai pengertiannya untuk mengorbankan objektivitasnya, karena nilai yang diberikan bukan nilai sesungguhnya. Guru dihimbau untuk rela melakukan itu semua (ternyata, mau juga) untuk menghilangkan ketakutan kolektif di sekolah itu.

Parahnya lagi, pemerintah pun secara terselubung merestui kebijaksanaan sekolah seperti itu. Maka, sebenarnya kebohongan itu menjadi kebohongan struktural. Demikianlah ujian telah menimbulkan ketakutan struktural dan diobati dengan kebohongan/ketidakjujuran struktural yang bersifat nasional.

Hasil akhir dari semuanya bisa diduga, yakni pendidikan yang menghasilkan generasi pem bohong, koruptor, penipu, dan seterusnya. Relakah kita?

Bagaimana sekolah Katolik? Maukah menjadi pionir mengatasi masalah ini? Ataukah sekolah Katolik juga tetap menjadi pendukung penyebaran pendidikan kebohongan di negeri ini? Tentu saja tidak semua sekolah Katolik ikut berbohong, tetapi baiklah kalau sekolah Katolik sungguh bertanya pada diri sendiri, di mana posisi masing-masing. Setuju dengan kejujuran atau menjadi pro antikejujuran dan menjadi pendukung kebohongan? Ikut andil dalam membangun bangsa atau andil dalam menghancurkan bangsa? Sejauh mana penyelenggaraan sekolah Katolik melaksanakan cita-cita Gereja?

Kini, sekolah akan memasuki tahun ajaran baru. Semangat dan roh apa yang akan menuntun sekolah Katolik? Pertanyaan ini biarlah menjadi pertanyaan terbuka untuk didiskusikan para penyelenggara sekolah dan para pemimpin Gereja. Di tingkat KWI ada Komisi Pendidikan, secara nasional ada MNPK, di keuskupan ada MPK, ada Komisi Pendidikan bahkan sampai tingkat paroki, ada kelompok umat peduli pendidikan. Kita semua pasti menunggu apa kata mereka tentang masalah gawat ini, dan apa langkah mereka ke depan.

Penulis adalah mantan Direktur Redaksi Penerbit Kanisius Yogyakarta

Hukum Tuhan Terus Menantang

Oleh: Vinsen Hayon

Adalah Seasmus O’Grady, pemeran antagonis dalam film Charlie Angel: Full Throttle, mentato tulisan ini, “Only God will jugde me” di punggungnya ketika mendekam di bui. Tulisan ini berkesan kuat sebagai penolakan vonis hukum atas dirinya. Tidak lama mendekam di bui karena kasus pembunuhan yang ia lakukan, O’Grady kemudian bebas berkat “bantuan” seorang pejabat negara. Selanjutnya, O’Grady bekerja pada sang “pemberi bantuan” tersebut untuk kepentingan mafia.

Pada suatu percaturan mafia harta antik bernilai miliaran dolar, O’Grady tewas menggenaskan. Akibat percikan api dari petek gas ke matanya, ia menjadi buta seketika sehingga niat menyulut api tersebut ke wajah sang lawan gagal total. Sembari dalam kebutaan ia berusaha menghindari serangan dari lawan lain, dengan bergerak tak seimbang ke pojok lain dari atap gedung hotel yang tinggi. Di pojok itu ia tergelincir dan jatuh. Ia tewas mengerikan. Kematian O’Grady seperti ini, apakah merupakan jawaban atas tulisan di punggungnya? Atau bukti hukum Tuhan atas dirinya?

Lex Naturalis

Kisah kematian O’Grady berbanding terbalik dengan kematian para saksi iman/martir, nabi/prophet, orang suci/benar pada zaman lalu, misalnya Yohanes Baptista. Kematiannya tragis. Kepalanya dipenggal oleh algojo atas perintah penguasa, Raja Herodes.

Atas kasusnya, tidak ada pro-kontra secara berlebihan. Realita ini jauh sekali dari kasus kematian para “nabi zaman ini” yang karena baptisan terpanggil jadi nabi, atau karena perbuatan baik yang dilandasi nilai kemanusiaan, menjadi korban ketidakadilan suatu sistem hukum (mafia peradilan) yang kurang proporsional dan profesional. Skenario politik peradilan yang “kaliber” sering bahkan selalu menggugurkan dan mengabaikan kasus dan proses hukum mereka di balai pengadilan? Mengapa? Karena mungkin para nabi zaman ini adalah orang kecil, tidak mampu membiayai peradilan dan tidak berpengaruh (bukan penguasa) atau sedang dijerumuskan mafia peradilan, sebagai upaya melecehkan kebenaran dan menampilkan wajah kusut peradilan. Atau karena tidak sinergis antara Lex Naturalis=LN (hukum dunia) dan Lex Aeterna=LA (hukum keabadian/Ilahi).

Albert Nolan OP dalam Jesus Before Christianity (1991), mencatat bahwa pada 63 SM, Palestina menjadi koloni Pemerintahan Roma. Di daerah-daerah koloni diangkat seorang pemimpin. Sebagai calon terkuat, Herodes diangkat menjadi raja orang Yahudi dan Yesus lahir pada masa pemerintahan Herodes, yang dikenal dengan nama Herodes Agung. Atas perintahnya, seluruh anak negeri yang berumur dua tahun ke bawah dibunuh. Keadaan Kota Betlehem dan sekitarnya bermandikan darah dan berhiaskan ratap tangis duka yang dalam. Tidak ada hukum (HAM) yang menyentuhnya sampai pada tahun 4 SM Herodes Agung meninggal. Kerajaannya dibagi menjadi tiga, untuk tiga anaknya. Herodes Arkhelaus (Yudea dan Samaria). Herodes Antipas (Galilea dan Perea), dan Herodes Filipus (wilayah paling utara).

Herodes Arkhelaus, dalam menjalankan sistem peradilannya, menerapkan aturan hukumnya sendiri. Dirinya menjadi sumber hukum sehingga keputusan hukumnya tidak melalui balai pengadilan. Bukti representatif LN Herodes tertulis di Kitab Sinoptik tentang pembunuhan Yohanes.

Dalam kisah ini tidak dilukiskan pemberontakan dan demonstrasi yang terjadi setelah peristiwa kematian Yohanes. Demikian Kitab Sinoptik, “Para pengikut Yohanes mendengar hal itu, mereka datang dan mengambil mayatnya dan membaringkannya dalam kuburan.” Alasan kuat bahwa misi keselamatan umat manusia menjadi fokus. Kisah ini secara manusiawi diketahui sebagai hukum yang keras dan tindakan keji. Lantaran sebuah vonis hukum lahir dari dendam, tunduk pada keinginan sang istri (Herodias bukan istri sah) dan tekanan sumpah agar tidak hilang simpati koleganya (pembesar-pembesar, perwira-perwira, dan orang-orang terkemuka). Skenario keputusan hukumnya berdasar pada tiga hal di atas dan tidak jelas pijak duduk aturannya. Realita logika dikelabui oleh pihak yang bersekutu dengannya, dalam bentuk “hasutan” Herodias, kelincahan menari putrinya, dan sumpah yang diucap dan harus dipenuhi agar tidak kehilangan hormat, kedudukan, dan jabatan.

Vonis yang lahir dari dendam dan tunduk kepada kemauan orang ketiga, secara analog memperjelas bahwa LN ciptaannya tidak sama sekali menampakkan partisipasinya pada LA.

Misi hukum yang ultimo yakni benar, jujur, adil, dan bertanggung jawab sebagai dambaan jiwa manusia yang adalah ciptaan/milik Tuhan tidak mendapat kemuliaan di alam jagat raya, di dunia nyata, demikian St Agustinus (354-430), sang pemikir besar kristiani pada abad-abad pertama. Berhulu dari sini, ke mana arah persis hukum yang harus diberlakukan manusia untuk para “nabi zaman” ini?

Dunia peradilan kita

Terlepas dari interpretasi ilmiah-kritis atas hukum, paham LN mengajarkan, “Orang benar selamat/bebas dari hukuman dan orang salah/jahat mendapat hukuman.” Atau “Membalas yang baik dan menghukum yang jahat”. Atas ajaran ini, manusia hanya diberikan dua pilihan. Sepadan ajaran di atas, LN menerapkan ajaran yang hanya membutuhkan tafsiran lurus dan tidak dapat dipoles lagi menurut kemauan manusia bahwa, “Ne aliquid faciat quisque alteri, quod pati ipse non vult” (jangan berbuat kepada orang lain, apa yang tidak engkau ingin orang berbuat kepadamu). Pada tataran ini wajib hukumnya bahwa lex naturalis wajib rujuk pada lex aeterna.

LN sebagai praksis atau LA adalah bukti kasih yang berlaku bagi manusia dan bukannya pamer hukum rimba, “siapa kuat dia menang”. Tujuan hukumannya juga mulia dan dihormati karena memberi peluang perbaikan sikap-laku yang salah, menyadarkan dan menobatkan agar tidak lagi melakukan salah (termasuk kesalahan yang sama), sehingga dapat selamat/bebas. Sikap-laku harus berubah total agar bebas dari hukuman baik di dunia ini maupun di akhirat. Atas dasar ajaran inilah misi LN bercermin pada LA. Kepekaan hukum mendapat dasarnya di sini sehingga tidak mudah dieksploitasi untuk kepentingan yang tidak benar. Hukum dan keputusannya menyeimbangkan (mendamaikan) dua pihak yang berperkara, yang menerima keputusan sebagai kebenaran dan adil. LN yang mencerminkan LA: melenyapkan/mengabaikan ‘hukum rimba’ dan menjadikan dunia ini memiliki “tuan” sekaligus menghapus implementasi lex naturalis Herodes.

Pada tataran ini lahirlah clairvoyance (pencerahan), gaudium et spes (kegembiraan dan harapan), untuk menyajikan dan mewujudkan kebenaran, keadilan, serta kejujuran di balai pengadilan zaman ini. Tentunya hukum kita pun mendapat purifikasi dan dasar pijak yang kuat, yakni berdasar pada fakta yang jujur dan melahirkan kebenaran dan keadilan sebagai nilai-nilai dasar lex aeterna yang membumi. Dan, apabila berlaku sebaliknya; berorientasi semata “duniawi” (mengutamakan rekayasa, kebohongan, dan duit), maka seperti apa kebenaran yang mau ditegakkan untuk nasib dan perjuangan para “nabi” zaman ini?

Apakah kebenaran yang dimaksud seperti paham dasar lex aeterna, yakni “Persesuaian antara res et intelectus (fakta dan pikiran). Persesuaian antara realita dan pikiran dapat diterima akal sehat dan normal.” Fakta “persesuaian” inilah yang terkadang membuat ruwet sebuah kasus dan menggugurkan sebuah vonis hukum yang seharusnya. So, apabila lex aeterna dihayati secara benar dan baik oleh manusia ciptaan Tuhan yang nota bene beragama-beriman, maka praktik hukum tidak harus dan selalu berseberangan dengan paham lex aeterna. Keputusan hukum yang benar dan adil tidak harus selalu berujung pada menanti dalam kepasrahan bahwa, “hanya Tuhan yang menghukum dengan adil” sebagai bukti sikap humble yang keliru. Keputusan yang hanya terjadi oleh kepasrahan atas kehendak sang penguasa LN dan bukan karena berdiri atas bukti akurat sebagaimana persesuaian antara res et intelectus, maka Sang Empunya lex aeterna terus menantang lex naturalis kita sampai pada kesudahan dunia ini.

Penulis adalah karyawan ST Ilmu Pastoral St Gregorius Keuskupan Agung Kupang