Tuesday, November 27, 2012

CURIGA

    
-->

Oleh: Valery Kopong*
               
Ketika persoalan antaragama terus meruncing dan terkadang berujung pada bentrokan fisik, ada kelompok kaum muda muncul di permukaan pergaulan dan  menjadi “ikon perdamaian” yang perlu dicontoh. “Komunitas Berhati,” sebuah komunitas lintas agama ingin memberikan sebuah pencerahan tentang dialog, tentang kesaling-terimaan lewat aksi sederhana. Setiap dua minggu sekali, “Komunitas Berhati” melakukan pembersihan rumah-rumah ibadah yang ada di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Anggota komunitas ini  berasal dari karyawan-karyawan  dari tiga perusahaan yang berada di Kebon Jeruk-Jakarta Barat. Jumlah anggota keseluruhan “Komunitas Berhati” diperkirakan ada 70 lebih orang. Setiap dua minggu sekali, anggota-anggota ini diterjunkan ke lapangan untuk mengadakan pembersihan rumah-rumah ibadah. Satu kelompok yang menanggung satu rumah ibadah terdiri dari 8-10 orang.  Tanggal 1 September 2012 yang lalu,  mereka membersihkan lima rumah ibadah, yakni 2 mushola (Musholla Assa’ Adatudaroin yang berada di Bekasi dan Musholla Al-Mudjahidin yang berada di Pondok Aren), 2 vihara  yang terletak di Tangerang (Vihara Arriya Dharma dan Vihara Nirmala) dan satu Gereja Katolik (Gereja Paroki Santo Gregorius-Tangerang).
                Rasyid, salah seorang anggota “Komunitas  Berhati” yang memeluk agama Islam, ketika ditemui di sela-sela kesibukan membersihkan Gereja Paroki Santo Gregorius-Tangerang, mengatakan bahwa senang  mengikuti kegiatan sosial yang melampaui batas agama. “Saya menjadi tahu tentang agama dan rumah ibadah lain saat bergabung dengan “Komunitas Berhati,” tutur Rasyid dengan penuh kepolosan. Hal senada juga dilontarkan oleh Jhony yang berasal dari gereja HKBP Bekasi. Ia juga menilai dan mengharapkan agar komunitas ini terus berkembang tanpa ditunggangi oleh kepentingan kelompok lain. “Saya sendiri tidak mau kalau kelompok yang bergerak dalam aksi sosial ini ditunggangi oleh pihak lain untuk kepentingan politik tertentu,” paparnya di depan gereja katolik yang sedang dibersihkannya.
                Komunitas ini memberikan ciri tersendiri karena di dalamnya mencakup  agama, etnis, budaya dan karakter yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Tetapi sepertinya mereka sanggup berdialog, menerima satu sama lain sebagai sesama peziarah yang sedang menata kehidupan iman.  Apa yang dilakukan itu merupakan hal biasa tetapi menjadi luar biasa ketika mereka mengunjungi semua rumah ibadah dan melakukan pembersihan di area tersebut. Tidak hanya itu, mereka juga memberikan sumbangan berupa bahan sembako. Tindakan sederhana penuh simbolik ini merupakan cara baru yang ditawarkan oleh kaum muda yang tergabung dalam “Komunitas Berhati.” Mereka telah membangun suatu kesadaran baru bahwa yang mau dibersihkan saat ini bukanlah rumah ibadahnya saja tetapi lebih dari itu mereka menawarkan cara baru untuk membersihkan hati dan melihat sesama pemeluk  agama lain sebagai sesama peziarah yang sedang meretas jalan menuju Sang Khalik.
                Toleransi dalam kehidupan beragama yang selama ini didengungkan masih sebatas “jargon religius” yang sekedar mengusung kepentingan kelompok tertentu. Seharusnya toleransi itu dibangun atas dasar “persentuhan langsung,”  baik itu terjadi di tempat kerja maupun di lingkungan tempat tinggal. Toleransi tidak pernah turun dari langit. Toleransi menjadi bermakna ketika  masing-masing orang  sanggup merangkul seluruh komponen masyarakat tanpa memandang dari mana dia berasal dan agama mana yang dianutnya. Benar  apa yang dikatakan oleh  sosiolog Max Weber bahwa, “agama adalah jaring laba-laba yang memberi makna.” Bahwa dengan label “agama,” para karyawan itu membentuk komunitas yang melampaui batas-batas egoisme dan apa yang dilakukan oleh para karyawan yang tergabung dalam “Komunitas Berhati,” suatu saat akan melebarkan jaringnya untuk menjala setiap orang yang masih memiliki nurani keagamaan yang sempit untuk dibersihkan dan dicerahkan. 
Beberapa hari terakhir ini rasanya bangsa ini dilanda oleh gemuruh peperangan antarkelompok, antaretnis bahkan antaragama yang pada akhirnya mengorbankan nyawa dan harta benda. Konflik yang terjadi seperti di Lampung Selatan dan beberapa daerah lain lebih menunjukkan kecemburuan sosial sebagai pemicu utama.   Memang diakui bahwa wilayah Lampung dikenal sebagai wilayah sasaran  transmigrasi yang sudah terjadi sejak lama. Pertemuan antara orang-orang luar (pendatang) dengan masyarakat lokal tidak terhindar lagi. Yang mesti terus dilakukan adalah bagaimana membangun komunikasi antar satu dengan yang lain agar pada akhirnya semua penduduk saling menerima sebagai anggota masyarakat yang plural. Masyarakat plural adalah masyarakat yang memiliki pelbagai keunikan dan sekaligus dilihat sebagai kekayaan yang bisa memberi warna dalam kebhinekaan bangsa ini.   Kini masalah agama, masalah penduduk asli dan masyarakat pendatang  tidak perlu dipersoalkan lagi  ketika disandingkan dengan pendekatan baru di mana kesadaran hidup sosial  lebih ditonjolkan. Dari apa yang dilakukan oleh “Komunitas Berhati” menunjukkan sebuah kesederhanaan cara dalam membangun “kesalehan sosial” dan dengannya dialog agama dan etnis  bukan  sesuatu yang mewah dan istimewa di zaman ini.
Bangsa Indonesia terus memperjuangkan keselarasan hidup dan perjuangan ini tak pernah selesai. Dari hari ke hari upaya membongkar sebuah kemapaman secara primordial, barangkali bisa mengalami kesulitan ketika “benteng otonomi daerah” terus dibangun sebagai pilar untuk menekan kelompok masyarakat pendatang. Kita perlu memandang bangsa ini dalam kebhinekaan seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini. Memandang orang lain dalam kotak-kotak primordial maka cepat atau lambat, kita terperangkap masuk ke dalam “ruang kecurigaan” sepanjang hidup.***

Wednesday, November 7, 2012

GEREJA BERTUMBUH DAN BERAKAR DALAM MASYARAKAT



            Sore itu cukup mendung, seolah mengajak umat untuk bersahabat dalam meriahrayakan pesta peresmian Gereja Paroki Santo Gregorius. Kurang lebih tujuh ribu umat memadati gereja untuk menghadiri misa peresmian ini. Mereka datang dari lingkungan-lingkungan dengan mengenakan kaos berwarna hijau. Dengan mengenakan kaos berwarna hijau secara serentak, seakan menegaskan identitas sekaligus memperkokoh kesatuan umat yang berani memproklamirkan diri menjadi sebuah paroki mandiri.
            “Semoga kehidupan umat semakin tumbuh dan berakar dalam masyarakat, “demikian Mgr. Ignatius Suharyo dalam kata pembukaan saat bertindak sebagai selebran utama misa peresmian gereja. Beliau mengajak umat membangun rasa syukur atas rahmat yang diberikan Allah. Lahirnya paroki merupakan bagian dari karya penyelamatan Allah. Karena selama perjalanan sejarah Gereja ini, umat tidak mengandalkan kekuatannya sendiri melainkan mengandalkan Allah sebagai pembimbing yang setia menyangga iman umat.
            Paroki Santo Gregorius merupakan paroki ke 63 dalam Keuskupan Agung Jakarta dan paroki ke 12 di wilayah dekenat Tangerang. Dalam kesempatan itu Bapak Uskup menyampaikan syukur dan terima kasih kepada Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang yang dengan setia dan susah payah membimbing  Stasi Gregorius untuk menjadi sebuah paroki mandiri.
            Lebih jauh, ditandaskan oleh Mgr. Ignatius bahwa dalam menghidupkan gereja, masing-masing umat memberikan peran tersendiri. “Imam, umat dan anak-anak serta remaja memberikan peran masing-masing terhadap perkembangan hidup menggereja. Tidak hanya hidup menggereja tetapi juga diharapkan untuk semakin berakar dalam masyarakat. Keberadaan Gereja tidak menutup diri melainkan membaur dengan masyarakat. Memang berat apabila Gereja  mengakar dalam masyarakat karena akan menemukan pelbagai masalah.” Masalah yang dihadapi merupakan tantangan dan juga dilihat sebagai peluang. Karenanya masing-masing umat berani untuk berbuat sesuatu supaya lingkungan, tempat kita hidup menjadi manusiawi dan kristiani. “Siapapun, hanya dapat melaksanakan cita-cita untuk menghidupkan Gereja kalau rajin mengajukan pertanyaan, apa yang harus kita buat supaya lingkungan hidup semakin menjadi manusiawi dan kristiani. Berakar dalam masyarakat berarti memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah atau persoalan yang sedang terjadi. Seperti Yesus yang menyatakan kematian-Nya dan hal ini merupakan muara dari pengorbanannya terhadap manusia.
            Pada kesempatan itu semua umat diajak untuk mengenal dan menghayati semangat pelindung Gereja yaitu Santo Gregorius Agung. Ada dua hal yang perlu dicontohi. Pertama, Santo Gregorius adalah seorang pembaharu dalam Gereja. Ketika Gereja mulai lemah, ia hadir mewarkan lagu-lagu gregorian. Kedua, Gregorius Agung adalah seorang Paus. Dalam masa kepemimpinannya ia menyatakan diri sebagai hamba dari segala hamba yang sampai saat ini masih diabadikan oleh para paus sesudahnya. Umat diharapkan dapat meniru keteladanan hidup Santo Gregorius.
            Pada kesempatan ini juga, Mgr. Ignatius Suharyo memberikan kesempatan kepada Romo Swasono sebagai Pastor Kepala Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang untuk mengisahkan perjuangan untuk mengajukan Stasi Gregorius untuk  menjadi sebuah paroki. Menurut Romo Swa, panggilan akrab Romo Swasono, bahwa ketika berbincang-bincang dengan para pendahulu yang pernah menjabat sebagai Pastor Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang, mereka menganjurkan agar Stasi Gregorius segera menjadi sebuah paroki. Stasi Gregorius sendiri memiliki wilayah yang sangat luas dan umat semakin bertambah seiring dengan perkembangan perumahan. Dengan melihat luas wilayah dan umat yang begitu banyak maka ini menjadi alasan bagi pihak paroki HSPMTB mengajukan Stasi Gregorius ini menjadi sebuah paroki.
            Tentang kehidupan umat di Stasi Gregorius, Romo Swa menjelaskan bahwa lebih dari 50 % adalah kaum buruh dan selebihnya terdapat  profesi yang lain. Lebih jauh ia menegaskan bahwa kehadiran gereja ini tidak terlepas dari dukungan masyarakat sekitar. “Orang-orang Kampung Jambu sungguh memberikan dukungan. Kami ingin balas budi,” demikian ungkapan tulus dari Romo Swasono. “Kalau sudah menjadi paroki, lalu apa yang kita lakukan?” Kalau sudah menjadi paroki maka dituntut tata kelola yang baik, baik dari segi administrasi maupun keuangan. Pada misa peresmian Paroki Santo Gregorius, juga diadakan pelantikan para dewan stasi untuk menjadi dewan paroki, dengan susunan:
Ketua dewan : Romo Adrianus Andy Gunardi, Pr
                         Romo Natalis Kurnianto, Pr
Wakil             : Paulus Budi Soleman
Sekretaris I    : Yulius Iriana
Sekretaris II  : Petrus Sugiantara
Bendahara    : Ibu Lena
Anggota   : Bernadus Apul Tumanggor, Innocentius Tharob, Misten Sihaloho, Yanuarius Suharjo   
            Para pengurus dewan stasi yang lama,  masa bakti 2011-2014, akhirnya diperpanjang lagi untuk masa bakti 2012-2015 dengan mengenakan status baru yakni menjadi dewan Paroki Santo Gregorius. Kiranya Tuhan senantiasa memberkati seluruh karya kita.***(Valery Kopong)  


Sunday, September 23, 2012

SERAH TERIMA DOKUMEN

Penyerahan dokumen - dokumen dan aset Gereja Santo Gregorius dari sang "induk semang", Paroki HSPMTB telah dilakukan pada Jumat, 21 September 2012, menandakan telah dipisahnya secara administratif paroki HSPMTB dengan Paroki Santo Gregorius Agung .. selamat berkarya Romo Andi Gunardi, Pr dan Selamat datang di Gereja Santo Gregorius Agung.... Ucapan Terima kasih yang tak terhingga kepada semua Romo, Dewan Paroki dan Umat HSPMTB yang dengan setia dan peduli selalu membimbing, membantu dan membina Gereja Santo Gregorius hingga akhirnya siap menjadi sebuah Paroki.... Restu dan Doa Anda semua akan mengiring dan mnyemangati kami untuk berkarya dan menjalankan Paroki baru ini, sekali lagi Terima kasih hanya Allah Bapa di surga yang dapat "membayar" kebaikan dan kepedulian Anda semua..(valery)

Friday, September 21, 2012

MENYONGSONG PAROKI BARU

Tanggal 23 September 2012 merupakan hari bersejarah bagi umat Gereja Santo Gregorius. Pada tanggal ini diadakan peresmian gereja yang merupakan pengalihan status Gereja stasi menjadi sebuah paroki mandiri. Tanggal 23 September 2012 hanya merupakan upacara peresmian sedangkan tanggal resmi berdiri sebagai paroki berdasarkan SK Mgr. Ignatius Suharyo per 3 September 2012, bertepatan dengan pesta nama pelindung, Santo Gregorius Agung. Tanggal 3 September 2012, bapak Uskup Agung Jakarta mengangkat Romo Adrianus Andy, Pr sebagai Pastor Kepala Paroki. Perjalanan gereja ini kurang lebih 20 tahun hingga pada akhirnya memproklamirkan diri sebagai sebuah paroki mandiri. Terima kasih pada para perintis, terutama Romo Binzler Bintarto, SJ, Romo Bratakartana, SJ, Romo Maximianus Sriyanto, SJ, Romo Ignatius Swasono, SJ.***(Valery Kopong)

Tuesday, September 4, 2012

GEREJA PERLU BERMIMPI


                                                          Oleh: Valery Kopong*

    Beberapa waktu lalu, Keuskupan Agung Jakarta sudah mencanangkan gerakan “Ayo Sekolah.” Gerakan ini lahir dari suatu keprihatinan di mana banyak orang-orang Katolik belum mengenyam pendidikan karena terganjal oleh persoalan perekonomian yang sulit. Gerakan ini juga merupakan jawaban atas  tema prapaskah yang dua tahun berturut-turut diusung, yakni  “Mari Berbagi.” Banyak umat bertanya, apa yang mau dibagi? Atas pertanyaan yang sederhana ini bisa dijawab lewat gerakan “Ayo Sekolah,” yang tidak lain adalah ajakan bagi setiap umat untuk membuka diri dan membuka “dompet” untuk membantu para siswa-siswi yang tidak mampu. Apakah gerakan “Ayo Sekolah” merupakan jalan terakhir menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi umat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya? Ataukah gerakan ini hanyalah bentuk penyadaran sesaat  dan kemudian lenyap? 
    Harus diakui bahwa dunia pendidikan sekarang begitu mahal. Terlebih lagi sekolah Katolik yang menawarkan mutu pendidikan  yang baik, sekaligus biaya sekolahnya begitu mahal. Sekolah berlabel “Katolik” tidak memberikan keberpihakkan pada orang Katolik sendiri. Akibatnya orang-orang katolik tidak mampu menyekolahkan anaknya, terpaksa mencari  sekolah-sekolah negeri. Dampak dari anak yang disekolahkan di sekolah negeri adalah tidak mendapat pelayanan pelajaran agama Katolik. Anak menjadi buta terhadap agama dan doa-doa pokok gerejani. Iman anak menjadi rapuh di tengah pusaran pergaulan dengan orang-orang lain bahkan banyak yang memilih berpindah ke agama lain karena lebih sering disentuh dengan ayat-ayat suci agama lain.
    Apabila Gereja mau membuka mata untuk melihat kondisi riil maka seharusnya tidak hanya membuat gerakan “Ayo Sekolah” yang tidak lebih sebagai gerakan mengumpulkan uang, mirip mengumpulkan uang untuk korban bencana tetapi lebih dari itu berupaya dalam membangun sekolah murah yang dikhususkan bagi siswa-siswi yang tidak mampu secara ekonomis.    Mengapa Gereja tidak mendirikan sekolah yang benar-benar untuk orang miskin? Gereja harus punya mimpi untuk mewujudkan persoalan ini karena kalau tidak maka gerakan Ayo sekolah hanyalah sebuah ajakan sia-sia karena gerakannya sesaat. Penulis tidak mengecilkan niat baik pihak keuskupan Agung Jakarta yang menggagas gerakan ini tetapi kita melihat bahwa perhatian terhadap persoalan pendidikan haruslah berkelanjutan agar generasi baru yang disiapkan lewat dunia pendidikan bisa mandiri dan mendapat pekerjaan yang layak. 
    Gereja Katolik dikenal sebagai perintis pendidikan di negeri ini. Hanya belum terdengar Gereja membuka sekolah murah (bukan gratis) yang khusus diperuntukkan bagi masyarakat kelas bawah. Kalau menilik beberapa sekolah Kristen Protestan, keberpihakkan mereka dalam dunia pendidikan cukup merata.  Ada sekolah yang dibuka untuk kelas atas, menengah dan bawah. Dengan membuka sekolah pada tingkatan yang berbeda membuka peluang adanya subsidi silang dari mereka yang mampu kepada yang tidak mampu.  Beranikah Gereja Katolik membuka terobosan baru dalam membangun sekolah murah sebagai bagian penting dalam mewujudkan opsi terhadap mereka yang miskin dan tersisi sebagai akibat kekurangan ekonomi.
    Mari Berbagai, adalah tema sentral masa prapaskah Keuskupan Agung Jakarta yang dua tahun terakhir digulirkan. Pengguliran tema ini tentu dilatari oleh alasan teologis yang mendalam. Tetapi makna teologis itu menjadi hidup ketika diperhadapkan dengan kenyataan sosial. Teologi terus bergumul agar menemukan makna ekaristis sesungguhnya yakni barbagi untuk mereka yang hadir namun dilupakan oleh sejarah dan dunia. Berpihak pada mereka yang tidak mampu secara ekonomis melalui dunia pendidikan, suatu ketika mereka menyadari diri sebagai orang yang tertolong dan dengannya mereka rela menolong generasi di bawahnya. ***

Monday, July 2, 2012

MENJADI RASUL AWAM YANG HANDAL

Seksi Kerasulan Awam (Kerawam) Gereja Stasi Santo Gregorius mengadakan seminar. Seminar yang menghadirkan 2 pembicara dari Keuskupan Agung Jakarta ini berlangsung pada Minggu, 15 April 2012. Karena ketiadaan tempat maka seminar ini dilangsungkan dalam Gereja Stasi Santo Gregorius. Dalam sambutan singkat di awal acara tersebut, Bapak Soter selaku ketua penyelenggara mengharapkan agar dalam seminar itu dapat menambah wawasan kita untuk lebih tahu tentang apa itu kerasulan awam dan bagaimana membangun awam ke depan secara lebih baik. Seminar ini mengusung tema: “Memahami Kerasulan Awam dan Perannya dari sisi Spiritualitas Katolik.” Sebagai anggota Gereja yang sudah dibaptis, maka setiap orang punya kewajiban untuk memperkenalkan Kristus kepada siapa saja. Menjadi pewarta Sabda tidak hanya dimonopoli oleh kaum klerus tetapi lebih dari itu sangat diharapkan agar keterlibatan awam yang handal sangat dibutuhkan saat ini. Menyadari betapa pentingnya peranan awam ini maka seksi kerasulan awam secara gencar mempersiapkan awam-awam yang tangguh untuk terlibat dalam seluruh lini kehidupan. Dalam paparan materi tentang bagaimana merasul, Ibu Maria Anastasia Ratna Aryani mengingatkan para peserta mengenai rahmat baptisan yang telah diterima. “Kita punya rahmat baptisan yang sama, dan sebagai orang yang sudah dibaptis maka setiap orang diutus untuk menjadi rasul awam yang handal. Pada masa keemasan Gereja, iman memainkan peranan yang penting. Awam harus dilibatkan untuk menyucikan dunia. Setelah konsili Vatikan II, keterlibatan awam mulai terasa. Kita mensyukuri rahmat baptisan tetapi lebih dari itu adalah diutus untuk menjadi rasul menurut profesi kita masing-masing,” tegas Ibu Ratna, wakil bendahara Partai Hanura ini. Pada kesempatan seminar itu ditampilkan sosok Mgr. Soegiyapranoto, SJ yang telah mengajarkan bangsa ini untuk bagaimana terlibat secara penuh, baik sebagai anggota Gereja maupun sebagai warga negara. Keterlibatan kaum awam di sini sangat dibutuhkan tanggung jawab terutama dalam mewujudkan “bonum communae.” Yang menjadi spirit yang bisa menggerakan keterlibatan awam adalah Ajaran Sosial Gereja. Sasaran pemberdayaan awam: kerawam dari masing-masing paroki, para aktivis sosial-politik kemasyarakatan, lingkungan RT/RW, kaum muda dan ormas-ormas katolik. Pada sesi kedua, menghadirkan Bapak Ignatius Indarto Bimantoro. Menurutnya, ada dua peran kaum awam yakni, peran awam dalam Gereja dan peran awam dalam masyarakat. Di awal pembicaraannya, ia mengingatkan bahwa seksi kerasulan awam melihat perannya dalam konteks yang lebih luas. Dalam keterlibatan, setiap kita memainkan peran terutama dalam pengembangan bakat dan talenta sebagai bentuk pelayanan sekaligus merasul. Bapak Bimantoro, dalam memaparkan gagasannya yang singkat, lebih banyak mengajak para peserta yang merupakan utusan dari lingkungan-lingkungan untuk bertanya dan berdiskusi bersama.***(Valery Kopong)

T T S

Rinai pagi menetes perlahan membasahi raut wajah pertiwi. Titik-titik hujan jatuh perlahan, seolah mengiringi langkahku menyusuri panti Wreda Marfati. Panti yang sunyi seakan mengajak para penghuni untuk larut dalam permenungan. Di antara sekian banyak orang jompo, saya sempat temui Opa Paulus (bukan nama sebenarnya) yang lagi asyik mengisi hari-hari hidup dengan teka-teki silang. Saya coba menghampiri dan bertanya seputar minat baca. “Opa punya minat baca yang tinggi ya?” tanyaku. “Iya, saya punya kesukaan membaca dan mengisi TTS (Teka Teki Silang), “ jawab opa. “Mengapa opa, tidak suka membaca Kitab Suci?” tanyaku lebih jauh. “Saya tidak suka baca Kitab Suci,” jawabnya santai. Lebih jauh ia mengatakan bahwa pernah diajarkan membaca kitab suci tetapi baginya, hanyalah omongan hampa saja. Kita hanya diberi hiburan-hiburan sabda tetapi tidak ada realisasinya. Mendengar jawaban opa itu, saya tersipu malu. Kitab Suci rupaya kurang mendapat tempat di hatinya selama mengayuh hidup. Lebih jauh dapat saya katakan bahwa opa ini selalu berpikir matematis, mengkalkulasikan sesuatu berdasarkan fakta dan strategi-strategi nyata dalam menggapai cita-cita. Ia tidak suka berhadapan dengan sesuatu yang bernilai sejarah, apalagi kitab suci terutama Perjanjian Lama yang berisikan pengalaman iman umat Israel dan sejarah perjalanan hidup masa lampau. Opa tidak suka digiring kesadaranya untuk mengenang peristiwa masa lampau karena masa lampau baginya adalah sesuatu yang terlewatkan dan tanpa perlu dikenang lagi. Mengenang kembali berarti menyita perhatian dan energi yang lebih untuk mulai membangun sekaligus membaharui masa lampau itu dalam kekinian. Opa itu kelihatan cerdas dan kritis. Ia tidak mau menguras energi. Baginya, hidup hanya dijalani bagai air mengalir yang tanpa pernah berpikir untuk kembali. Ia sudah tua, sudah renta. Karenanya lebih baik memaknai hidup dengan menebak teka-teki silang untuk mengusir tingkat kejenuhan di tengah usia yang tua sambil menunggu panggilan terakhir dari Allah. Mengisi teka-teki adalah cara paling sederhana untuk memaknai relasi dalam hidup. Di dalam TTS, ada pertanyaan mendatar dan menurun. Barangkali pertanyaan mendatar menunjukkan relasi yang akrab antarsesama manusia. Sedangkan pertanyaan menurun menunjukkan bahwa jalan terakhir berpulang pada ibu pertiwi. Kehidupan yang baik sangat bergantung pada relasi yang terbangun selama hidup itu. Membangun relasi karenanya, menjadi momentum terakhir yang menentukan nasib hidup manusia kelak. Seperti bermain teka-teki, ada yang dijawab pasti dan ada yang tidak, demikian juga kehidupan itu sendiri. Barangkali kita pernah menanam kebaikan tetapi lupa di mana kita berbuat baik. Di panti jompo itu, ada yang masuk ke rumah jompo karena kemauan sendiri tetapi ada juga yang dipaksa ke rumah jompo karena alasan kesibukan keluarga. Banyak yang mengalami keterasingan diri, namun bisa menemukan teman-teman sebaya sebagai teman dalam bergaul di pucuk usia mereka yang hampir rampung. Di rumah jompo itu, sepertinya saya melihat ‘terminal terakhir,’ tempat orang menyiapkan diri di usia senja untuk menerima panggilan abadi nanti. Hidup itu adalah sebuah teka-teki namun kematian yang akan menjemput opa dan teman-temannya adalah sebuah kepastian, bahkan lebih pasti dari ilmu pasti.***(Valery Kopong)

MENYEBARKAN TITIK-TITIK KEBAIKAN

Bertempat di depan halaman Gereja Stasi Santo Gregorius, berlangsung temu wicara dengan mengusung tema; “Peran Umat Katolik di Kabupaten Tangerang.” Temu wicara ini menghadirkan dua nara sumber yaitu Drs. Stanislaus Lewotoby (Pembimas Katolik Provinsi Banten) dan Zaky Iskandar, anggota DPR RI dari Partai Golkar. “Sebagai orang Katolik, apa yang menjadi peran kita? Pertanyaan ini dengan sendirinya menjadi darah daging kita. Apa yang sudah ditanamkan oleh Mgr. Soegiyapranoto, SJ, itulah jati diri umat Katolik Indonesia,” demikian Romo Herman dalam kata sambutannya mengawali temu wicara itu. Apa yang dikatakan Romo Herman memperlihatkan lemahnya peran umat Katolik di dalam kehidupan sehari-hari terutama dengan kelompok masyarakat lain. Lebih jauh di dalam sambutan itu, Romo Herman masih melontarkan pertanyaan kepada para peserta temu wicara yang umumnya merupakan utusan dari lingkungan dan wilayah di Gereja Stasi Santo Gregorius. “Siapa yang terlibat sebagai ketua RT, RW atau pengurus lain dalam hidup bermasyarakat?” Di antara umat yang hadir, ada beberapa umat yang terlibat sebagai ketua RT, RW atau pengurus lain dalam lingkup rukun tetangga. Dengan sedikit keterlibatan orang-orang Katolik dalam lingkungan masyarakat, maka tidak heran kalau orang-orang Katolik kurang dikenal di masyarakat. Atas dasar keprihatinan ini maka seksi Kerasulan Awam Gereja Stasi Santo Gregorius mulai gencar mengadakan pertemuan sekaligus mendorong keterlibatan umat, tidak hanya dalam lingkup Gereja tetapi lebih dari itu diharapkan untuk terlibat dalam kelompok-kelompok di luar Gereja. Di akhir kata sambutannya, Romo Herman berpesan bahwa dalam kehidupan kita, “kita tidak bisa memisahkan diri sebagai warga negara Indonesia dan sebagai anggota Gereja.” Hal senada juga diharapkan oleh ketua penyelenggara, Bapak Soter. Menurutnya, “Kita selalu mengambil peran sebagai anggota Gereja dan warga negara.” Lebih jauh ia menegaskan bahwa dalam diktum Soegiyapranoto “menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia,” rasanya belum lengkap kalau kita belum menyebut diri sebagai 100% orang Tangerang, khususnya Kabupaten Tangerang. Memang, menjadi warga negara yang baik, rupanya dimulai dalam lingkup yang lebih kecil, tempat kita tinggal, yaitu wilayah Tangerang. Menyadari pentingnya keterlibatan umat Katolik dalam wilayah Kabupaten Tangerang dan Banten secara keseluruhan maka sie karasulan awam menghadirkan dua nara sumber yang bisa memberi masukan sekaligus “kritik” mengenai peran dan sumbangsih umat Katolik dalam masyarakat. Pada sesi pertama dengan pembicara Bapak Zaky Iskandar, anggota DPR RI. Dalam pemaparan awal, Zaky menggambarkan peta “wilayah Kabupaten Tangerang yang begitu luas. Dengan kondisi seperti itu maka dibutuhkan pelayanan maksimal kepada masyarakat.” Perkembangan Kabupatan Tangerang yang cepat ini juga dibarengi dengan perkembangan umat Katolik yang menyebar di wilayah-wilayah Kabupaten Tangerang. Maka dalam pelayanan pun umat Katolik juga mendapat sentuhan pelayanan dari pemerintah. “Apa yang bisa saya lakukan, saya bisa bantu dalam kaitan dengan pelayanan,” demikian Zaky di selah-selah pemaparan pandangan dalam temu wicara. Ia (Bapak Zaky) sudah menunjukkan komitmen pelayanan terhadap publik. Dalam kaitan dengan perijinan pendirian rumah-rumah ibadah terutama Gereja Stasi Santo Gregorius, Bapak Zaky yang juga merupakan putra Bapak Ismet, Bupati Kabupaten Tangerang memberikan pelayanan terhadap perijinan tersebut. Figur-figur seperti Bapak Zaky adalah figur yang bisa diandalkan sebagai pemimpin karena memiliki nilai-nilai toleran dan keberpihakkan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Waktu yang disediakan panita cukup banyak tetapi karena ada kesibukan lain maka Bapak Zaky tidak terlalu banyak berbicara. Beliau memberikan kesempatan kepada peserta yang hadir untuk bertanya. Cukup banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh para peserta yang merupakan utusan lingkungan dan wilayah, bahkan ada yang merupakan utusan dari Paroki Santa Helena serta Paroki Santa Odilia. Pertanyaan-pertanyaan itu seputar pendidikan, pengelolaan sampah dan permasalahan sosial yang lain. Dengan bijaksana, semua pertanyaan itu dijawab oleh beliau. Masih banyak lagi yang ingin bertanya bahkan sudah mengacungkan tangan tetapi karena keterbatasan waktu maka sesi pertama dengan pembicara Bapak Zaky ditutup. Pada sesi kedua, menghadirkan Bapak Stanislaus Lewotoby, Pembimas Katolik, Kanwil Kementerian Agama Provinsi Banten. Di awal pembicaraan, beliau mengatakan bahwa dalam Gereja Katolik, hampir semua suku ada di dalamnya. Ini merupakan sebuah potensi sekaligus kekuatan yang bisa dikembangkan dalam membangun Gereja itu sendiri. “Tetapi sejauh mana orang-orang Katolik tampil di hadapan umum dan menghadirkan ciri kekatolikan?” Inilah pertanyaan sederhana dari Pembimas Katolik tetapi sekaligus menggugah kita untuk berefleksi di dalam menjalankan peran kita masing-masing. Lebih jauh dalam pembicaraannya, Pembimas Katolik mengedepankan beberapa tokoh nasional Katolik yang cukup disegani dan bisa dijadikan sebagai model dalam berkiprah, seperti: Mgr. Soegiya, Romo Mangun, Kasimo, Van Lith dan Frans Seda. Tokoh-tokoh nasional ini menunjukkan perannya sebagai warga negara dan warga Katolik yang baik. Mereka mengabdi dan memberikan pelayanan kepada publik dengan mengedepankan ciri-ciri kekatolikan. “Adakah dari kita akan seperti mereka?” Di tengah hirup-pikuk kehidupan negara ini, figur-figur ini menjadi sumber inspirasi dalam memperjuangkan kepentingan umum dan sekaligus membangkitkan moralitas bangsa yang kian terpuruk. Sebagai orang Katolik, tentunya diharapan untuk selalu berbuat baik. “Setiap saat, umat Katolik membuat satu titik kebaikan. Titik-titik kebaikan itu akan meluas,” demikian pesan Pembimas Katolik dipenghujung temu wicara itu. Kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh setiap orang Katolik menjadi sebuah tanda untuk mewartakan kerajaan Allah, kerajaan yang berpihak pada kebenaran. Dapatkah kita berlaku baik dan menyebarkan kebaikan itu kepada orang-orang lain?***(Valery Kopong)

Monday, April 30, 2012

Menghadapi Politik Amnesia

Setiap hari Kamis, sekelompok kecil warga berpakaian hitam berdiri di depan istana negara. Dengan payung hitam di tangan, mereka menghabiskan sisa senja dengan menghadap "rumah negara" itu sembari menunggu saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono keluar istana menuju Cikeas. Presiden dari balik kaca mobil barangkali sudah bosan melihat keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan aktivis ini berada di situ, apalagi jumlah mereka bertambah terus. Mereka mengingatkan tanggung jawab moral dan kemanusiaan negara ini yang telah menghilangkan banyak nyawa anak bangsa, korban pelanggaran HAM. Kelompok kecil ini setia berjuang melawan politik amnesia negara yang membiarkan kasus-kasus pelanggaran HAM mengambang dalam arus birokrasi dan politik. Sebut saja tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, pembunuhan terhadap aktivis HAM, Munir, peristiwa Wamena 4 April 2003, dan kasus Wasior 2001. Komnas HAM merekomendasikan ini sebagai pelanggaran HAM berat, tapi mandek di tangan kekuasan Kejaksaan Agung. Mereka setia berdiri untuk menagih janji-janji politik yang diucapkan Presiden dalam banyak kesempatan, tapi hingga detik ini tidak pernah terselesaikan satu kasus pun. Kelompok "Kamisan" ini pun sudah bertemu dan berdialog dengan Presiden Yudhoyono di istana negara tentang kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu, tapi hingga kini hanya janji yang mengisi harapan. Negara tampak tak berdaya di hadapan impunitas pelaku palanggaran HAM. Malah negara menjadi benteng perlindungan "aman" bagi para pelanggar HAM berat yang hingga saat ini leluasa di ruang publik. Negara terus saja mempraktikkan politik amnesia dengan membiarkan kasus-kasus pelanggaran HAM itu tertimbun waktu dan tertindih kasus-kasus lain yang terus saja diproduksi. Para keluarga korban dibuat putus asa dan tetap dalam nestapa. Rakyat dibuat sedemikian agar lupa dan para aktivis dialihkan perhatiannya dengan menciptakan berbagai isu baru. Dari sisi instrumen hukum, negara sebetulnya telah membuat sebuah pilihan politik signifikan. Pada tahun 2000, Presiden BJ Habibie membentuk UU No 39/1999 tentang HAM dan UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM. Pasca kedua produk politik ini, praktis tidak ada satu presiden pun yang menghadirkan kebijakan politik menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Padahal, seluruh mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu sudah jelas diatur dalam UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM. Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati memang tidak memiliki masa kekuasaan yang lama. Presiden Yudhoyono yang dipercaya rakyat selama dua periode ini sebetulnya memiliki cukup banyak waktu untuk menciptakan sejarah kebenaran dan keadilan bagi rakyat. Tapi, pada sisa masa kekuasaannya nyaris tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam penyelesaian kasus-kasus HAM itu. HAM hanya menjadi komoditas politik yang indah dalam pidato. Isu ini cuma sebatas alat barter politik ketika berhadapan dengan lawan. Komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus ini memang sudah banyak terucap, tetapi hingga detik ini publik dan keluarga korban belum melihat sebuah eksekusi yang menghadirkan kebenaran dan keadilan. Para peneliti dan aktivis HAM sudah mengirim banyak dokumen pelanggaran HAM masa lalu ke istana negara, namun hanya berakhir pada pengarsipan gagasan, tanpa aksi politik yang nyata. Berharga Proses pembiaran dan mekanisme politik amnesia inilah yang sedang dihadapi kelompok kecil Kamisan itu. Saat artikel ini ditulis, kelompok ini sudah 252 kali berdiri di depan istana negara. Mereka akan terus berdiri hingga tidak ada orang lagi. Di tengah kebisingan dan kemacetan arus lalu lintas di depan istana negara yang selalu dijaga ketat aparat militer, keluarga korban dan aktivis menghadirkan berteriak dalam kediaman di hadapan tembok kekuasaan yang membisu. Mereka mengingatkan harga nilai kemanusiaan, tapi begitu mudah ditiadakan aparatus. Hanya Tuhan yang memiliki kekuasan penuh untuk memanggil kembali manusia ke dalam pangkuan-Nya. Bahkan, Tuhan dalam agama-agama mengajarkan, manusia tidak boleh merampas hak hidup sesamanya. Kelompok Kamisan ini setia mengingatkan negara bahwa betapa pun kecil dan sederhana, hak hidup setiap orang di republik ini harus dijaga, dirawat, dan dibela. Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 menjamin hak hidup bagi setiap warga negara. Tetapi, ketika hak hidup warga dicabut dengan tragis oleh negara yang direpresentasi aparat militer, negara kehilangan kekuatan untuk memutus impunitas pelaku pelanggaran HAM tersebut. Para pelaku tetap bebas dan terus saja berjuang memasuki lorong-lorong birokrasi dan politik. Bagaimana menghadapi politik amnesia? Pertama, aksi Kamisan mesti terus dilakukan untuk mengingatkan negara akan tanggung jawab moral kemanusiaannya. Aksi ini merupakan model perlawanan publik yang dalam ziarah waktu akan membangun solidaritas perjuangan dalam menegakkan HAM. Kekuasaan negara sekuat apa pun tidak akan mampu menghadapi kesadaran moral yang terus disuarakan. Kedua, dibutuhkan pemimpin yang memiliki kemauan politik dan komitmen untuk membela HAM warganya yang terlanggar. Pemimpin sejati tegas terhadap bawahan. Dia peduli dan empati dengan kemanusiaan. Jika ada pelanggaran bawahan, ia tegas dalam koridor hukum sebagai wujud empati pada martabat hidup publik. Perpaduan keduanya akan menumbuhkan kewibawaan alamiah di hati rakyat. Negara sudah terlalu lama disesaki kata-kata yang tak pernah terimplentasi dalam tindakan politik dan hukum. Berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu yang tidak dituntaskan tidak hanya terus menuai perlawanan, tetapi juga akan membangun kesadaran palsu di kalangan aparatus negara bahwa tindakan melanggar HAM adalah sesuatu yang niscaya dan dilindungi negara. Legitimasi palsu jika dibiarkan akan terus menjadi ancaman serius kemanusiaan. Inilah rantai panjang kekerasan yang mesti diurai negara melalui aksi konkret penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Argumen inilah yang mesti terbaca di balik aksi Kamisan keluarga korban dan aktivis HAM di depan istana negara. Sebuah perlawanan terhadap mekanisme politik amnesia negara yang hanya mampu "mengarsipkan" kasus-kasus pelanggaran HAM, tanpa penuntasan. Steph Tupeng Witin, SVD Penulis adalah rohaniwan

Tuesday, April 17, 2012

UN yang ‘Menyedihkan’

Ritual zikir dan istighosah yang cukup ramai dilaksanakan menjelang UN cukup menarik untuk disimak. Terlihat, tidak sedikit anak yang menangis saat pemimpin doa menyentuh mereka dengan kata-kata menggugah. Apalagi bila disertai ritus membasuh kaki orang tua, maka suara tangis menjadi tidak terbendung. Ritual seperti ini tentu saja positif. Dengan doa, diharapkan siswa memiliki ketenangan dan kesiapan batin untuk menghadapi UN. Ia juga merupakan sebuah momen yang menguatkan siswa. Mereka disadarkan, segala persiapan tidak akan sia-sia. Tuhan tidak akan tutup mata terhadap pengorbanan yang sudah dilaksanakan. Tetapi, apakah kesedihan itu sekedar konsekuensi dari doa yang mendalam atau punya arti lain? Ada apa dengan UN sehingga pelaksanaannya membuat siswa kita sedih? Sumber Kesedihan Kesedihan, demikian Santo Thomas dalam Suma Teologica I-II, bisa muncul karena empat hal. Ia bisa saja hadir sebagai bentuk compassion. Orang bersedih karena tidak tegah melihat penderitaan orang lain. Dalam konteks UN, tangisan siswa bisa disebabkan oleh rasa prihatin atas teman lain yang karena alasan internal atau eksternal, tidak cukup siap menghadapi UN. Kesedihan juga bisa muncul akibat iri hati. Orang merasa sendih melihat kebaikan yang dibuat orang lain. Siswa yang belum siap merasa iri pada teman lain yang sudah lebih siap. Ia pun menangis karena telah menyia-nyiakan waktu untuk belajar. Rasa jengkel pun bisa muncul dari anak yang berasal dari kalangan bawah yang tidak punya keberuntungan seperti temannya yang lain. Lebih jauh, kesedihan bisa berubah menjadi sebuah kegelisahan mendalam lantaran secara pribadi, seseorang merasa sudah tidak berdaya lagi untuk keluar dari kungkungan masalah. Ia hanya pasrah pada nasib. Ia meratap karena semua peluang tertutup baginya. Variasi 5 paket soal dalam satu ruang justru membuatnya kian panik dan sedih. Ada hal yang lebih memprihatinkan. Kegelisahan dan ketakberdayaan bisa memengaruhi kondisi fisik seseorang. Kesedihan yang kuat bisa begitu membebani sehingga merambah ke ranah fisik. Aneka tindakan yang mencederai tubuh bisa menjadi pelampiasannya. Otonomi Sekolah Sepintas, kesedihan siswa itu dianggap sesuatu yang normal. Pada masa remaja yang nota bene penuh gejolak, rasa sedih perlu dibangkitkan. Ia menjadi satu bentuk evaluasi diri demi menyentuh batin dan darinya diharapkan terjadinya perubahan berarti. Petinggi negeri ini pun akan bersyukur karena berkat zikir, keributan di jalan, tawuran, dan aneka kenakalan lainnya akan berkurang secara drastis, paling kurang menjelang UN. Namun, apakah sesederhana itukah arti kesedihan? Mengutip Victor Frankl, kesedihan itu bisa dimaknai lebih jauh sebagai sebuah ekspresi frustrasi dan depresi eksistensial malah sebuah ekspresi pesimisme radikal. Jenis kesedihan seperti ini tentu saja tidak hadir secara kebetulan melainkan akibat dari sebuah kesalahan eksistensial pula. UN misalnya, secara yuridis sudah dibatalkan Mahkama Agung (MA). Memang, tuntutan itu dilayangkan lebih dari enam tahun yang lalu dan dalam perjalanan telah terjadi perubahan yang signifikan. Tetapi pembatalan itu (minmal untuk sementara waktu) perlu ditaati. Di sini kita pun paham, aanmaning atau teguran dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada Kementrian Pendidikan (10/4) bisa saja membuat siswa gelisa dan sedih. Mereka ‘ditakdirkan’ mengikuti UN yang nota bene sudah dibatalkan. Ada hal lain yang lebih fundamental. Secara pedagogis-edukatif, ujian, bersama dua komponen lainnya yakni pemahaman konseptual dan penerapan metodologi pengajaran merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah proses pendidikan. Sekolah bertanggungjawab memungkinkan agar para pengajarnya memiliki pemahaman konseptual yang tepat dan punya metode pengajaran kreatif yang memampukan siswa memahami materi secara tepat. Pada akhirnya, sekolah juga yang menguji, demi mengetahui kadar penyerapan materi yang sudah diajarkan. Tentu kita pun harus realistis. Agar setiap sekolah tidak menjadi pulau sendiri di tengah lautan pendidikan, maka Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) mesti lebih diberi otonomi dan diberdayakan. Di sana para guru pada kawasan atau gugus tertentu sepakat mempertajam pemahaman konsep, mensharingkan metode pembelajaran dan pada akhirnya dapat menyusun bersama ujian yang bisa diterapkan di kawasannya. Sudah pasti, kerja seperti ini meletihkan. Pemerintah pusat perlu beralih dari UN yang dilaksanakan secara ‘pukul rata’, tetapi harus bergerilya dari daerah ke daerah untuk memantau apakah semua standar pendidikan sudah dipenuhi sebagai jaminan pasti akan menuai hasil pada ujian yang nota bene diselenggarakan sendiri oleh sekolah. Peran seperti ini juga tentu saja jauh untuk disebut proyek yang menelan biaya tak sedikit seperti yang bisa didapat dari pelaksanaan UN. Tetapi yang pasti, ia akan bersih dari aneka kong-kalikong hal mana sudah menjadi rahasia umum dalam UN. Di sini, instansi vertikal tidak lagi melakukan manipulasi berjamaah untuk meluluskan sebanyak mungkin siswa karena di sanalah kredibilitas murahan tercipta. Bila kekeliruan ini dipahami, maka ujian yang dilaksanakan pada setiap sekolah atau gugus akan menjadi memen menggembirakan dan bukan menyedihkan sebagaimana dihadapi mulai hari ini 2,5 juta siswa SMA. Robert Bala. Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol. Guru Bahasa Spanyol pada Lembaga Bahasa Trisakti.

Tuesday, April 10, 2012

Kapitalisme di Balik Revitalisasi

"Kapitalisme adalah musuh rakyat." Demikian bunyi salah satu spanduk di Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Teks ini membahasakan protes para pedagang kerajinan bambu dan rotan yang tergabung dalam Aliansi Serikat Pedagang Stasiun Layang Jabodetabek untuk melawan rencana penggusuran para pedagang di Stasiun Cikini, Djuanda, dan Gondangdia oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI). Manajemen KAI berargumen, kehadiran pedagang bambu dan rotan membuat kumuh dan semerawut. Rencananya, akan dibangun gerai-gerai pertokoan dan kafe-kafe yang sedap dipandang. Eufemisme yang dipakai KAI adalah revitalisasi. Namun, di mata para pedagang kecil, istilah revitalisasi hanya "akal-akalan" KAI untuk menggusur mereka. KAI hanya mementingkan pemodal besar, pemilik minimarket dan restoran dengan merek terkenal. Buktinya, saat ini telah berdiri satu minimarket milik KAI di Stasiun Cikini dengan menghilangkan ruang mencari sesuap nasi para pedagang kecil yang telah lama berjualan kudapan, minuman, koran, rokok dan sebagainya. Spanduk tadi sebagai visualisasi dugaan para pedagang bahwa di balik kebijakan "akal-akalan" revitalisasi, tersembunyi hasrat besar kapitalisme yang hendak menggusur usaha rakyat. Sektor ini sebenarnya justru harus dibantu karena mereka hidup dari kreativitas sendiri, tanpa mengandalkan pemerintah. "Akal-akalan" KAI dimulai pada 13 Juli 2011 dengan menaikkan harga sewa kios dari 1,25 juta rupiah per meter setahun menjadi 20,5 juta rupiah. Sementara itu, para pedagang meminta harga sewa naik hanya menjadi 15 juta rupiah per tahun per meter. Perundingan buntu, hingga KAI melayangkan surat pengosongan kepada para pedagang di Stasiun Cikini, Djuanda, dan Gondangdia pada Oktober 2011. Hingga kini, baru pedagang di Stasiun Djuanda yang digusur. Sedangkan para pedagang di Stasiun Cikini dan Gondangdia masih melawan. Secara sederhana, kapitalisme adalah paham atau ideologi ekonomi yang berkiblat kepada orang-orang kaya yang memiliki kekuasaan besar dalam bidang ekonomi (perusahaan besar, keuangan, perbankan). Kedahsyatan paham kapitalisme bisa menguasai sektor-sektor kehidupan publik seperti politik, birokrasi, dan budaya. Banyak kalangan berpendapat, kapitalisme itu serakah, buas, rakus, dan menjadi sumber kebangkrutan ekonomi global. Pemilik kapital memeras kaum buruh. Kapitalisme mewujud dalam bentuk mesin penggusur roda ekonomi serta usaha-usaha kecil. Sampai detik ini, dia menjadi salah satu pencipta jurang kemiskinan di seluruh dunia. Kekuasaan kapital (modal, uang) bisa menyusup ke dalam lorong-lorong birokrasi, politik, legislatif, dan memengaruhi proses perumusan kebijakan publik agar eksistensinya tetap kokoh. Eksistensi pedagang sebagai warga yang wajib dilindungi negara, termasuk diberi ruang untuk hidup dan berusaha, diabaikan. Manajemen KAI sebagai representasi negara seharusnya melidungi karena mereka tengah berusaha untuk mandiri. Para pedagang rotan tidak pernah minta gratis menggunakan kolong stasiun. Malah mereka sepakat menaikkan harga sewa menjadi 15 juta rupiah. Angka itu sangat besar dibanding penghasilan mereka yang mengandalkan momentum hari raya keagamaan, ulang tahun, hari raya nasional, dan sebagainya. Bahkan dari sisi penciptaan lapangan kerja, mereka menampung begitu banyak pekerja lokal yang sesungguhnya minim keahlian sebagaimana dituntut perusahaan-perusahaan dengan beking kapitalis. Para pedagang geram karena KAI seolah menjadi "kaki tangan" para kapitalis untuk menguasai ruang publik, sekaligus membunuh kreativitas dan usaha kerajinan rakyat. Padahal negara (baca: manajemen KAI) mestinya lebih mengapresiasi kreativitas pedagang kecil ini dan meningkatkan profesionalitasnya. Di balik kata sakti "revitalisasi", KAI berniat menggusur hak hidup rakyat. Ada beberapa modus yang bisa disimpulkan dari tarik-menarik kasus pengosongan stasiun tersebut. Apalagi dalam era orde baru ada sistem binaan. Polanya, sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membina pedagang, perajin, dan usaha kecil menengah. BUMN itu bangga dapat memiliki binaan, apalagi sukses. Nah, seharusnya, KAI dapat meniru, bukan sebaliknya. Misalnya, KAI menaikkan tarif sewa lapak dan kios menjadi 20,5 juta rupiah. Nilai itu terasa sangat mencekik leher para pedagang kecil. Setiap hari para pedagang tidak selalu mendapat pemasukan yang layak. Belum lagi mereka harus menggaji para karyawan. Nilai sebesar itu dipandang sebagai bagian dari upaya negara membunuh usaha rakyat. Kemudian, KAI berargumen, di bawah kolong stasiun itu akan dibangun gerai-gerai pertokoan dan kafe-kafe yang enak dipandang. Inilah argumentasi yang kapitalistis, meraup keuntungan sebesar-besarnya, tanpa peduli pada pedagang kecil. Kebijakan ini disusupi keserakahan kapitalis dengan memanfaatkan celah-celah birokrasi yang lebih pro terhadap modal ketimbang rakyat. Fakta ini sangat ironis ketika negara mengampanyekan ekonomi kerakyatan, tapi pada saat yang sama pasar-pasar tradisional, lapak-lapak ekonomi rakyat kecil, disingkirkandengan modus "akal-akalan" revitalisasi. Harusnya ada solusi yang beradab. Negara mesti jujur dan tulus merevitalisasi eksistensi para pedagang secara manusiawi. Dialog adalah jalan terbaik untuk membangun komunikasi. Revitalisasi tidak identik dengan penggusuran. Para pedagang mesti diajak berpartisipasi dalam menciptakan ruang publik yang manusiawi. Boleh juga meniru kerja Wali Kota Solo Joko Widodo yang berhasil membina pedagang kaki lima. Mereka menjadi mitra, bukan lawan. Tidak elok meminggirkan rakyat kecil dengan argumen revitalisasi. Cintailah rakyat kecil dengan berbagai kreativitas dan usahanya. Negara ini didirikan untuk mengapresiasi dan mendorong pertumbuhan inisiatif kemandirian rakyat. Ruang publik akan kehilangan roh kemanusiaannya ketika negara lebih memihak kaum kapitalis dan menggusur rakyatnya sendiri. Jika ini yang terjadi, negara sedang membangun permusuhan abadi dengan rakyat. Penulis Steph Tupeng Witin, SVD, rohaniwan

Ekaristi: Gerakan untuk Berbagi

Oleh Steph Tupeng Witin Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo dalam Surat Gembala Prapaskah 2012 mengajak seluruh umat untuk “Bersatu dalam Ekaristi, lalu diutus untuk berbagi” dengan sesama. Ajakan ini merupakan kelanjutan dari Surat Gembaka Prapaska 2011: Mari Berbagi (HIDUP No 15 Tahun ke-65. 10 April 2011.hlm 40). Hal yang istimewa dalam Surat Gembala Prapaska tahun 2012 adalah umat diajak untuk menjadikan Ekaristi sebagai basis gerakan untuk berbagi. Artinya, gerakan berbagi melalui berbagai aksi sosial karitatif kemanusiaan yang menjadi intensi sekaligus imperatif masa prapaska merupakan gerakan energi Kristiani yang bersumber pada Kristus yang memecah-mecahkan diri-Nya dalam Ekaristi. Ketika Kristus membagi-bagi diri-Nya dalam misteri Ekaristi, seluruh umat dengan latar belakang dan status apa pun, bersatu sebagai satu keluarga besar yang menimba kekuatan dari kelimpahan rahmat Ekaristi. Melalui Ekaristi, diri kita yang terpecah-pecah karena dosa diutuhkan kembali dan kita membuka diri untuk menerima Sabda-Nya yang membangun dan mempersatukan kita untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatan. Melalui communio dengan Kristus, keterpecahan diri kita diutuhkan kembali: yang bermusuhan didamaikan; yang tercerai-berai dikumpulkan; yang terpisah dihimpun kembali. Inilah saat berahmat ketika communio dengan Kristus itu menggerakkan kita untuk menjadi saksi kasih-Nya melalui gerakan berbagi diri (pikiran, ide, gagasan, bakat dan talenta) dan hidup (pekerjaan, profesi dan pelayanan sosial karitatif kemanusiaan). Komunitas Alternatif Tanah pembuangan dalam narasi Perjanjian Lama menjadi inspirasi biblis yang mengalirkan kekuatan harapan di tengah gelombang penderitaan. Israel terlempar keluar ari tanah air dan menderita dalam represi militeristik Babilonia. Sebagian besar umat Israel yang telah menikmati “kue” posisi politik, sosial dan ekonomi justru kehilangan jati diri. Tuhan tidak lagi menjadi pegangan hidup. Mereka berargumen bahwa Tuhan terasa sangat jauh justru ketika mereka mengharapkan pertolongan-Nya. Tetapi sekelompok kecil umat Israel tetap setia berharap pada Allah. Mereka ulet menata dan membangun hidupnya meski itu harus dirajut di atas puing-puing kehancuran. Penderitaan selama rentang waktu pembuangan menjadi saat purifikasi (pemurnian) iman kepada Allah. Ibarat emas yang diuji kemurniannya dalam tanur api, demikian iman kelompok kecil ini menggapai kemurniannya yang otentik justru dalam tantangan dan salib. Di tengah migrasi religius sebagian besar umat Israel yang berpaling dari Tuhan, “sisa Israel” tetap kokoh dan teguh dalam iman. Kasih Allah yang dialami di tengah puing-puing penderitaan, meski kecil sekali pun dirasakan sebagai partisipasi aktif Allah dalam hidup. Tuhan begitu intim menyapah mereka meski sapaan itu kadang hadir melalui peristiwa-peristiwa hidup yang biasa dan sederhana. Waktu yang berlalu begitu cepat di tengah pengalaman hidup beriman adalah mukjizat yang menghadirkan wajah Allah yang abadi. Uskup Suharyo dalam Surat Gembala Prapaska 2012 menyebut kelompok ini sebagai “komunitas alternatif.” Kata “alternatif” mengacu pada pengertian “pilihan di antara dua atau beberapa kemungkinan” (Kamus Besar Bahasa Indonesia-Edisi ke-4, Gramedia, 2008:44). Boleh jadi, “komunitas alternatif” Israel menjadi inspirasi bagi umat Katolik di Keuskupan Jakarta khususnya dan umat Katolik Indonesia umumnya untuk tidak lagi berkutat sebatas “berapa orang” yang dibabtis setiap minggu (jumlah) tetapi bagaimana kita mesti hidup sebagai orang Katolik yang seperti Kristus dalam Ekaristi: berhati sederhana, tulus memecah-mecahkan diri dan terbuka membagi hidup-Nya kepada semua orang tanpa sekat-sekat diskriminasi suku, agama, rasa dan golongan (SARA). Posisi umat Katolik sebagai kelompok minoritas di Republik ini mestinya menjadi kekuatan alternatif yang bersumber pada Ekaristi Kristus, lalu dengan rahmat kekuatan itu menjadikan hidupnya sebagai sebuah “Ekaristi yang hidup”: saat di mana melalui pikiran, gagasan, profesi dan pekerjaan-pekerjaan, kita berbagi hidup dengan semua orang, bahkan segenap ciptaan. Di tengah agresivitas kelompok-kelompok agama dan kepercayaan lain yang bernafsu mengejar penganut dari takaran statistik (jumlah), di tengah migrasi sekelompok besar umat Katolik yang telah menikmati “kue” ekonomi, sosial dan politik negeri ini, lalu berpaling kepada “berhala-hala lain” (misalnya, meninggalkan Gereja), umat Katolik yang minoritas ini mesti menjadi “komunitas alternatif” yang seperti “sisa Israel” teguh dalam iman kepada Allah dan tulus berbagi dengan sesama. Hidup yang dilandasi jiwa Ekaristi menggerakkan umat Katolik untuk menjadi “Injil yang hidup” dalam konteks Indonesia yang plural: menjadi saksi konkret menerima dan berkomunikasi secara jujur dengan semua orang dari latar belakang apa pun dan menjadi “Ekaristi yang hidup”: setia berbagi apa yang ada pada kita seperti Kristus yang tulus memecah-mecahkan diri-Nya lalu memilih jalan salib untuk menyelamatkan semua umat manusia. “Komunitas alternatif” adalah ajakan bagi seluruh umat Katolik untuk menjadi saksi Ekaristi yang nyata di Republik ini melalui bakat, talenta dan profesi-profesi di bidang sosai, ekonomi dan politik. Umat Katolik yabg minoritas diajak untuk menjadi seperti garam: yang “mengenakkan” ranah kehidupan publik melalui pikiran, gagasan dan solusi alternatif-kreatif yang mencerahkan di tengah gelombang kebohongan dan penipuan miskin rasa malu yang memendungkan wajah peradaban bangsa ini. Secara khusus, ajak bagi umat Katolik yang mendapatkan kepercayaan publik untuk mengabdi dan melayani Republik ini dalam ranah sosial, politik dan ekonomi, kiranya menjadi cahaya Ekaristi: menjadi saksi hidup yang sederhana dan jujur sehingga rela membagi diri dengan tulus, minim kalkulasi ekonomi politik yang egois (Bdk Mat. 5:13-16). Yohanes Pembabtis mengingatkan: Cukupkanlah dirimu dengan gajimu (Yoh 3:14). Kita semua, dengan latar belakang dan profesi apa pun, diajak untuk menjadi saksi hidup dengan melawan arus ketidaktulusan, kebohongan dan korupsi yang mengalir deras menggenangi hampir semua lini kehidupan bangsa ini. Penulis adalah Jurnalis, Alumnus Magister Teologi Kontekstual STFK Ledalero, Flores

Jalan Salib sebagai Cinta Radikal Perekat Bangsa

Jumat (6/4) , umat Kristen di seluruh dunia mengenang sengsara dan kematian Yesus Kristus. Dunia diajak merenungkan jalan salib (Via Crucis) sengsara Kristus sebagai inspirasi membangun kehidupan yang dilandasi kasih dan solidaritas. Via Crucis adalah via Dolorosa (jalan penderitaan) yang menggambarkan momen-momen penderitaan Yesus yang pasrah total. Ia ditangkap bagai penjahat. Pilatus menghukum-Nya secara tidak adil melalui sebuah pengadilan yang manipulatif. Ia disiksa, disesah, diludahi, diolokolok, dan disalib. Ia memanggulnya hingga Kalvari. Dia dipaku pada salib. Dia dibiarkan mengerang kehausan. Lambungnya ditembusi tombak serdadu Yahudi hingga wafat. Itulah pengorbanan paling agung untuk membuka mata dunia yang penuh dosa agar bertobat guna membarui dan menguduskan kehidupan. Mendiang Rendra, dalam Balada Penyaliban, membahasakan jalan salib Kristus sebagai korban Allah paling indah untuk manusia. Yesus adalah "domba paling putih yang dibantai pada altar paling agung". Gambaran misteri di balik derita Kristus itulah yang menjadi argumen untuk menyebut momen itu sebagai "Jumat Agung" karena Kristus mengungkapkan cinta-Nya secara radikal melalui jalan penderitaan dan salib. Hari raya keagamaan selalu bermakna universal. Dalam konteks Republik Indonesia, momen wafat Yesus merupakan ajakan untuk membangun bangsa ini di bawah kibaran bendera kasih dan solidaritas, merupakan zat perekat yang menyatukan segenap komponen sebagai satu bangsa. Kasih dan solidaritas menghilangkan klaim-klaim diskriminatif atas nama suku, agama, ras, dan antargolongan yang membuat bangsa terpenjara dalam sekat-sekat primordial yang sempit. Kasih dan solidaritas adalah kekuatan rohani yang meruntuhkan tembok-tembok kesombongan dan keangkuhan kekuasaan birokrasi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang mencerai-beraikan. Fokus kepemimpinan adalah keselamatan dan kebahagiaan rakyat. Pemimpin sejati selalu berkorban sehabis-habisnya, bila perlu "menyalibkan diri" demi rakyat. Pemimpin seperti itu ibarat domba yang diantar ke tempat pembantaian untuk dikorbankan sebagai sarana untuk "menguduskan" ranah kehidupan dan aktivitas birokrasi, politik, sosial, dan ekonomi sebagai jalan untuk melayani publik. Pemimpin ideal seperti itu tidak didapat dengan mudah. Waktu dan realitas adalah ruang pengujian dan pematangan sosok pemimpin. Republik ini memiliki Soekarno, Hatta, Syahrir, Mangunwijaya, Gus Dur, dan tokoh-tokoh humanis lainnya yang menggagas Indonesia yang plural ini menjadi sebuah rumah bersama yang indah dan menakjubkan. Para pemimpin birokrasi, politik, ekonomi, dan sosial diharapkan dapat mempersembahkan diri untuk kemaslahatan rakyat. Mari kita berpartisipasi dalam membangun bangsa ini. Kita ringankan beban sesama yang terpinggirkan karena kehilangan akses dalam ranah birokrasi, politik, dan ekonomi. Inilah momen bersatu dalam keberagaman, saling berbagi. Kita bersama-sama memanggul salib republik ini menuju "Golgota" berupa masa depan. Hidup memang akan selalu diwarnai dengan salib: kemiskinan, penderitaan, disingkirkan, dan ketidakadilan. Tapi, kasih dan solidaritas menyatukan kita sebagai saudara. Oleh: Steph Tupeng Witin, SVD Penulis adalah rohaniwan