Saturday, July 27, 2013

TERORISME: DULU, KINI DAN HARI ESOK



“Dulu kita mendengar bom bunuh diri hanya terjadi di daerah Afganistan dan  Irak tetapi sekarang bom bunuh diri ada di dekat dengan kita, bahkan ada di tetangga kita,” demikian dikatakan oleh Dr.Rumadi Ahmad dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Forum Pemuda Lintas Agama Kota Tangerang Selatan. Diskusi publik yang berlangsung pada Kamis, 23 Mei 2013 di Restoran Telaga Seafood Bumi Serpong Damai,  dihadiri sekitar ratusan orang yang mewakili pelbagai unsur  / elemen masyarakat, terutama tokoh agama Kristen, Katolik, Budha, dan Islam.  Diskusi publik  ini dibuka oleh kabag kesbangpolimas Kota Tangerang Selatan, H.Budi Dedi Hirawan yang mewakili Ibu Wali Kota Tangerang Selatan yang tidak berkesempatan hadir. Pada kesempatan itu, Dedi Hirawan menghimbau kepada seluruh elemen masyarakat agar tetap menjaga lingkungannya agar bebas dari gangguan terorisme dan sekaligus menginginkan agar Tangerang Selatan tetap kondusif.  
                Secara organisatoris, terorisme sudah dilumpuhkan tetapi tidak berarti mati secara total. Ada gerakan terorisme yang muncul secara sporadis. Dengan berkaca pada kenyataan  ini maka mendorong Abdul Rojak, MA sebagai moderator, yang  menekankan bahwa terorisme menjadi musuh bersama. Dalam memberantas terorisme ini perlu meningkatkan partisipasi masyarakat yang melihat dan mengawasi orang-orang yang berada di sekitarnya. Ketika masyarakat semakin cuek dengan situasi ini maka pada saat yang sama, teroris muncul lagi, sepertinya membangunkan masyarakat dari sikap apatisnya. 
                Diskusi publik ini menghadirkan dua pembicara, yakni Dr. Rumadi Ahmad dari Wahid Institut dan Zora A. Sukabdi, M.Psi, dosen psikologi Universitas Indonesia. Dalam pemaparan makalahnya, Rumadi Ahmad mengatakan bahwa “terorisme menjadi musuh bersama tetapi terkadang, kita tidak mengerti, siapa itu musuh kita.” Apa yang dikatakan ini berkaitan dengan gerakan pemberantasan terorisme yang  terkadang  menemui jalan buntu karena para teroris yang bergerak secara sempalan dan ini menjadi sulit terdeteksi.  Lebih jauh Rumadi mempertanyakan, “mengapa orang mati karena bom bunuh diri diperdebatkan secara berlebihan, sedangkan orang yang mati ditabrak ditanggapi secara dingin?” Padahal esensinya sama, yakni sama-sama mati, hanya cara atau proses kematiannya beda.
                Sedangkan Zora A. Sukabdi, selain sebagai dosen psikologi di Universitas Indonesia, ia juga dikenal sebagai pegiat yang terjun langsung mendampingi kelompok-kelompok teroris yang tertangkap dan masih dipenjarakan. Dalam proses pendampingan, ia mengatakan bahwa para teroris yang dipenjara ketika dimintai pendapat mengenai apa yang dilakukan, mereka menceritakan dengan penuh semangat dan seolah-olah apa yang dilakukannya sebagai tugas yang diberikan Tuhan kepada mereka. Mereka menceritakan tindakan sadis yang dilakukan tetapi mereka tidak melihatnya sebagai tindakan yang salah. Kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh Zora A. Sukabdi menjadi bagian penting dalam proses penyadaran kembali tentang apa yang dilakukan dan meluruskan pemahaman yang salah yang terbangun dalam dirinya. Di akhir diskusi publik itu, Zora A. Sukabdi mengajak para peserta untuk melihat “musuh” bersama ada dalam diri kita masing-masing. Kita memusuhi egoisme kita, dan memusuhi paham-paham yang membenarkan sebuah tindakan sadis atas nama agama tertentu.***(Valery Kopong, http://viretabahasa.blogspot.com)