Thursday, January 31, 2013

Orang-Orang Kudus

Santo-Santa
Kita semua dipanggil Kristus kepada kekudusan dan kesempurnaan, kepada persatuan mesra dengan Allah Bapa, melaui Kristus dalam persekutuan dengan Roh Kudus: Karena itu Harusalah kamu sempurna, sama seperti Bapa di Surga adalah sempurna (Mat 5:48); "Kuduskanlah kamu, sebab, Aku, Tuhan, Allahmu, kudus” (Im 19:2)
Tradisi iman Katolik mewariskan kepada kita sejumlah besar tokoh pejuang dan pembela nilai dan paham hidup yang mengangkat harkat dan martabat manusia. Itulah”Orang-Orang Kudus”. Orang-orang Kudus, terdiri dari tua-muda, rohaniawan/wati, bapa-ibu, perawan-janda, raja-rakyat jelata, cendekiawan-orang tidak berpendidikan, yang berasal dari berbagai suku bangsa, ras dan budaya.
Bunda Gereja yang kudus dibawah bimbingan Roh Kudus secara resmi menyebut dan menyatakan mereka “Orang-Orang Kudus”, baik sebagai ‘Beato-Beata’ atau ‘Santo-Santa’. Pernyataan resmi Gereja itu diawali dengan suatu proses penelitian yang panjang dan teliti, yang disebut Beatifikasi dan kanonisasi hingga akhirnya disetujui oleh Takhta Suci.
Prosedur untuk menetapkan calon santo-santa di mulai tahun 1234, di prakarsai oleh Paus Gregorius IX dan Kongregasi Ritus yang diberi wewenang untuk mengawasi keseluruh prosesnya (Kongregasi Ritus dan terbentuk mulai tahun 1588, oleh Paus Sixtus V), Prosedurnya sebagai berikut :
Apabila seorang yang telah meninggal dunia dan  “dianggap martir” atau “dianggap kudus” maka biasanya Uskup Diosesan yang memprakarsai proses penyelidikan. Dimana salah satu unsur penyelidikan adalah apakah suatu permohonan khusus atau mukjizat telah terjadi melalui perantaraan calon santo-santa yang bersangkutan. Gereja juga akan menyelidiki tulisan-tulisan calon santo-santa guna melihat apakah mereka setia pada “ajaran yang murni,” pada intinya tidak didapati adanya suatu kesesatan atau suatu yang bertentangan dengan iman Katolik. Segala informasi ini dikumpulkan, dan kemudian suatu transumptum, yaitu salinan yang sebenarnya, yang disahkan dan dimeterai, diserahkan kepada Kongregasi Ritus.
Begitu transumptum telah diterima oleh Kongregasi, penyelidikan lebih lanjut dilaksanakan. Jika calon santo-santa adalah seorang martir, Kongregasi menentukan apakah ia wafat karena iman dan sungguh mempersembahkan hidupnya sebagai kurban cinta kepada Kristus dan Gereja. Dalam perkara-perkara lainnya, Kongregasi memeriksa apakah calon digerakkan oleh belas kasih yang istimewa kepada sesama dan mengamalkan keutamaan-keutamaan dalam tindakan yang menunjukkan keteladanan dan kegagahan.
Sepanjang proses penyelidikan ini, “promotor iman”, mengajukan keberatan-keberatan dan ketidakpercayaan yang harus berhasil disanggah oleh Kongregasi. Begitu seorang calon dimaklumkan sebagai hidup dengan mengamalkan keutamaan-keutamaan yang gagah berani, maka calon dimaklumkan sebagai Venerabilis.
Proses selanjutnya adalah BEATIFIKASI. Seorang martir dapat dibeatifikasi dan dimaklumkan sebagai “Beato-Beata” dengan keutamaan kemartiran itu sendiri. Di luar kemartiran, calon harus diperlengkapi dengan suatu mukjizat yang terjadi dengan perantaraannya. Dalam memastikan kebenaran mukjizat, Gereja melihat apakah Tuhan sungguh melakukan mukjizat lewat perantaraan calon Beato/Beata. Begitu dibeatifikasi, calon santa-santo boleh dihormati, tetapi terbatas pada suatu kota, keuskupan, wilayah atau kelompok religius tertentu. Selanjutnya, Paus akan mengesahkan suatu doa khusus, atau Misa atau Ofisi Ilahi yang pantas demi menghormati Beato-Beata yang bersangkutan. Setelah beatifikasi, suatu mukjizat lain masih diperlukan untuk kanonisasi dan memaklumkan secara resmi seseorang sebagai seorang santo-santa. Proses resmi untuk memaklumkan seseorang sebagai seorang santo- santa disebut KANONISASI.
Para orang-orang kudus, bukan berarti selama hidupnya tidak mempunyai cela/kesalahan. Sebagai manusia mereka memiliki juga kecenderungan berdosa, kelemahan dan kekuaragan selama masa hidupnya, ada juga orang kudus yang selama hidupnya dikenal sebagai pendosa berat, namun oleh sentuhan rahmat Allah, mereka bertobat dan memulai menata hidupnya secara baru mengikuti kehendak Allah.
Kita, dibawah bimbingan Tuhan dan Gereja-Nya, meneladani cara hidup mereka (Santo-Santa/beato-Beata), menjadikan mereka pelindung kita dan perantara doa-doa kita.
Yang terutama, dalam memilih nama Baptis atau Krisma, kita harus melihat dari Kekhasan Santo-santa tersebut, misalnya kalau diri kita ingin menjadi yang militan dalam menghayati kekristenan, pilih St. Ingatius Loyola, kalau menjadi seorang yang sangat kristis, bisa memilih nama Baptis/Krisma St. Thomas, kalau berpribadi tenang bisa pilih St. Philipus, dan sebagainya. jadi sebaiknya bukan karena disesuaikan dengan pesta/perayaan atau tanggal dari kelahiran kita. Terang doa dan dalam bimbingan Roh Kudus akan membantu dalam pemilihan nama pelindung kita baik dalam Baptis maupun Krisma.

Santa Matilda, Pengaku Iman


Matilda lahir kira-kira pada tahun 895. Ia kemudian menikah dengan Henry I, putra Adipati Saxon, yang menjadi raja Jerman pada tahun 919. Tuhan menganugerahkan kepada mereka anak-anak yang cerdas : Otto, yang menjadi Otto I, kaisar Jerman dan kaisar Romawi Suci; Henry, yang menjadi adipati Bavaria; Bruno yang menjadi uskup Agung di Cologne dan kemudian dihormati oleh Gereja sebagai orang kudus; dan Gerberga, yang menikah dengan Raja Loius IV dari Perancis.
Ketika suaminya meninggal pada tahun 936, Matilda membaktikan dirinya kepada karya-karya cinta kasih. Ia lebih banyak memperhatikan kehidupan rohaninya. Ia mendirikan biara-biara di Nordhausen, Quedlinburg dan di Engern. Anak-anaknya, Henry dan Otto sering memarahi ibunya karena sangat banyak memboroskan harga kekayaan untuk membantu orang-orang fakir miskin. Meskipun demikian, mereka tetap menghormati Matilda, ibu mereka. Hal ini terlihat dengan tindakan Otto terhadap ibunya. Ketika Otto pergi ke Roma untuk dimahkotai sebagai Kaisar Roma, ia menyerahkan kekuasaan Kerajaan Jerman kepada ibunya. Matilda memimpin Kerajaan Jerman hingga kematiannya pada tanggal 14 Maret 968 di sebuah biara yang didirikannya di Quedlinburg.
Santa Matilda dirayakan pada tanggal 14 Maret.

PENGHORMATAN ALTAR DAN PENDUPAAN



                Penghormatan Altar dilakukan oleh semua petugas liturgi dengan membungkuk khidmat (PUMR 49). Akan tetapi, apabila di belakang altar terdapat Sakramen Mahakudus di dalam tabarnakel, semua petugas liturgi berlutut (PUMR 274). Altar dihormati karena altar melambangkan Tuhan Yesus Kristus sendiri. Tuhan yang telah wafat dan bangkit akan hadir di atas altar dan dari meja ini Dia akan memberikan diri-Nya kepada umat beriman dalam rupa makanan dan minuman ekaristis.
                Secara khusus imam menghormati altar dengan mencium altar. Mencium altar ini menjadi lambang untuk memberi salam dan penghormatan kepada Kristus Sang Imam Agung dan Sang Tuan Rumah Perayaan Ekaristi. Penghormatan altar dengan mencium altar sudah dipraktekan Gereja sejak abad IV. Tindakan imam yang mencium altar itu bukan hanya bersifat pribadi melainkan bersifat mewakili seluruh jemaat yang hadir. Maka, umat hendaknya menggabungkan diri dalam penghormatan kepada Kristus itu secara batin (dalam hati).
                Pendupaan dapat diadakan pada kesempatan hari-hari besar dan khusus. Pendupaan menyatakan ungkapan hormat dan doa, seperti terungkap dalam Kitab Mazmur: “Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan.” (Mzm 141:2).
                Imam mengisi pendupaan dan memberkatinya dengan membuat tanda salib di atasnya tanpa mengatakan apa-apa. Sebelum dan sesudah pendupaan, imam atau petugas selalu membungkuk khidmat kea rah orang atau barang yang didupai. Pendupaan dilaksanakan dengan mengayunkan dupa ke depan. Pendupaan diayunkan tiga kali tiga untuk penghormatan: Sakramen Maha-kudus, reliqui salib suci atau patung Tuhan, bahan persembahan, salib altar, Kitab Injil, lilin paskah, imam dan jemaat. Namun pendupaan cukup diayunkan dua kali tiga saat menghormati reliqui dan patung orang kudus (PUMR 277).

PETA PERTUMBUHAN UMAT KATOLIK


(Sebuah Analisis Data)

Pendahuluan
SEPANJANG menjadi penyuluh Agama Katolik dan diminta untuk mencari data-data umat, baik di tingkat kecamatan (KUA)  maupun di paroki-paroki se-Kota dan Kabupaten Tangerang, memang cukup melelahkan. Tetapi dibalik itu,  ada kegembiraan karena dengan turun ke lapangan, saya bisa bertemu dengan orang-orang dengan karakter  yang sangat unik. Ada yang ramah, ada pula yang mencurigai kehadiran saya di paroki khususnya.
                Mengapa mereka curiga? Kan sama-sama Katolik? Ini pertanyaan singkat dan mendasar tetapi sulit untuk ditemukan jawaban yang pasti. Memang, saya akui bahwa di mata orang-orang Katolik, mereka tidak pernah mengenal Penyuluh Agama Katolik. Mereka hanya mengenal Katekis yang bertugas membimbing kelompok-kelompok tertentu seperti  bina iman anak, bina iman remaja, katekumen, dan kelompok-kelompok lainnya yang dibentuk oleh Gereja sendiri. Telinga orang-orang Katolik lebih akrab dan bersahabat dengan Katekis ketimbang Penyuluh Agama Katolik. Maklum, di Kabupaten Tangerang, baru saya sendiri yang menjadi Penyuluh Agama Katolik, karena itu keheranan mereka yang baru mendengar penyuluh, sangatlah beralasan.
                  Istilah Penyuluh dan Katekis yang dikenal dalam Gereja Katolik memiliki kesamaan tugas. Nama ini hanya membedakan bahwa Penyuluh Agama Katolik berlatar belakang PNS dan Katekis bekerja di bawah naungan Gereja. Memang, walaupun memiliki nama yang berbeda, tetapi toh, tugas perutusannya sama, yakni membimbing orang, menyuluh orang agar  berada pada jalan yang benar.
Proses Pencarian Data
                Gereja Katolik dikenal sebagai Gereja yang memiliki tertib administrasi, mulai dari keuangan dan data-data tentang umat. Kalau berpijak pada pandangan ini maka tentu setiap orang berpikiran bahwa orang yang mencari data pasti dengan sendirinya meminta data tersebut di sekretariat. Untuk Gereja Katolik, sulit-sulit gampang untuk diminta data-data tersebut. Pengalaman saya sendiri ketika berhadapan dengan pastor paroki, kehadiran saya dicurigai dan mempertanyakan apa tujuan pengambilan data. Saya menjelaskan bahwa saya dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tangerang. Tugas saya sebagai Penyuluh Agama Katolik dan saya diminta untuk mencari data-data umat. pastor paroki semakin tidak percaya, apalagi saya sebagai PNS. “Silakan cari data sendiri menurut versi pemerintah, “ demikian kata salah seorang pastor paroki yang saya tidak perlu sebut namanya.
                Dengan mengatakan demikian berarti bahwa saya tidak diperbolehkan untuk mengambil data, padahal saya hanya tahu data-data keseluruhan saja. Tapi apakah ini menciutkan nyali saya dalam mencari data? Tidak!! Tidak!! Banyak cara yang saya tempuh untuk memperoleh data yang dikehendaki oleh Pembimas Katolik maupun Kasi Penamas. Saya mulai mencari tahu teman-teman saya dari beberapa paroki yang tersebar di Kabupaten Tangerang dan Tangerang Selatan. Saya meminta bantuan mereka untuk menghimpun seluruh data agar saya dapat memperolehnya. Mulai dari sejarah berdirinya paroki, jumlah lingkungan, jumlah pastor dan biarawan/wati yang bekerja di paroki yang bersangkutan, saya peroleh. Data-data yang saya peroleh ini tidak merupakan suatu kebenaran mutlak tetapi mendekati kebenaran terutama perhitungan secara matematis. Di bawah ini dapat dilihat grafik perkembangan umat di paroki-paroki, baik Kota maupun Kabupaten Tangerang. Angka ini menunjukkan jumlah umat dibeberapa paroki yang ada di Kota dan Kabupaten Tangerang. Dari jumlah dibawah ini menunjukkan, kapan paroki tersebut berdiri.

 
                Jumlah umat yang paling banyak adalah umat yang berada di Paroki Santa Maria Tangerang yang letaknya di Kota Tangerang. Bisa dimaklumi perkembangan ini karena keberadaan paroki ini jauh lebih awal ketimbang paroki-paroki lain. Dalam sejarah dicatat  bahwa perkembangan paroki ini berawal dari masuknya Belanda dan juga Jepang. Pada awalnya, Gereja Paroki Santa Maria hanya merupakan sebuah gedung sederhana, tetapi lama kelamaan ada perkembangan yang luar biasa.
                Dengan berkembangnya paroki Santa Maria dari jumlah umat maka dengan sendirinya dapat berpengaruh pada wilayah-wilayah pinggiran yang dihuni oleh orang-orang Katolik. Dalam sejarah perkembangan ini, keberadaan paroki tua ini kemudian melahirkan banyak paroki lain yang berada di sekitarnya, terutama Santo Agustinus di Perum-Karawaci, Santa Bernadet-Ciledug. Kemudian paroki-paroki baru ini juga membesarkan stasi (bagian dari paroki) untuk kemudian membentuk komunitas sendiri dan pada akhirnya menyatakan kesanggupannya sebagai sebuah paroki.
                Paroki Agustinus telah melahirkan Paroki Santa Monika di BSD Serpong. Keberadaan paroki di jantung area bisnis dan kawasan elite ini pada akhirnya menunjukkan kemajuan yang sangat berarti. Dari segi jumlah umat, perkembangan umat semakin pesat. Paroki Santa Monika tidak tinggal diam tetapi juga berupaya untuk melahirkan paroki baru yang kini sedang dipersiapkan yakni, Stasi Santa Laurensia. Gereja stasi yang berdiri megah di kawasan elite itu, kini sedang dipersiapkan untuk menjadi sebuah paroki baru, yakni Paroki  Santa Laurensia. Paroki Agustinus, Santa Monika dan Laurensia, dipercayakan oleh pastor-pastor dari Ordo Salib Suci (OSC) untuk menanganinya. Mereka juga sedang mempersiapkan sebuah stasi baru yang berada di Melati-Serpong.
                Walaupun perkembangan umat Katolik semakin pesat tetapi banyak persoalan yang juga terus dihadapi bersama terutama persoalan mengenai perijinan rumah ibadah. Untuk wilayah kota, ada dua paroki yang masih belum memiliki Ijin Membangun dari pemerintah, yakni Paroki Santo Agustinus-Perum-Karawaci dan Paroki Santa Bernadet-Ciledug. Mereka tetap menggunakan ruang sederhana untuk mengadakan ibadah dan misa bersama, sambil menunggu waktu yang tepat untuk memperoleh injin.
                Sedangkan paroki-paroki dalam wilayah Kabupaten Tangerang, dan Tangerang Selatan, semuanya sudah memiliki ijin resmi dari pemerintah. Data terakhir yang dihimpun, beberapa bulan lalu, Stasi Santo Gregorius sudah mendapatkan Ijin Membangun dari pemerintah kabupaten. Dengan mengantongi ijin ini maka stasi Gregorius saat ini sedang mempersiapkan diri untuk beralih status menjadi sebuah paroki mandiri karena memiliki jumlah umat 7.000  lebih.
Perkembangan paroki di wilayah, kabupaten Tangerang, Kota Tangarang dan Kota Tangerang Selatan
                Sekedar membandingkan laju pertumbuhan umat dan perkembangan gereja-gereja paroki. Dari tiga wilayah yang menjadi peta kekuatan umat katolik di Tangerang yang masuk dalam keuskupan Agung Jakarta, perkembangan umat dan pendirian gereja, sedikit mengalami perbedaan yang menyolok. Kita lihat perbandingan dari tiga wilayah ini:
1.    Kabupaten Tangerang
                Perkembangan Kabupaten Tangerang, secara fisik masih jauh dari harapan bila dibandingkan dengan kota Tangerang dan Tangerang Selatan. Walau demikian, banyak umat yang hidup membaur dengan umat dari agama lain, dan hal ini akan berpengaruh pada pola pergaulan dan juga upaya untuk mendirikan rumah ibadah secara resmi. Apabila umatnya, dalam pola pergaulan dan bersentuhan langsung dengan masyarakat sekitar tanpa ada masalah yang berarti maka hal ini menjadi modal dasar membangun gereja, khususnya dalam proses perijinan. Demikian sebaliknya, apabila tidak terjadi dialog yang hidup maka biasanya terjadi ganjalan ketika proses perijinan dilaksanakan.
                Banyak umat katolik hidup di wilayah kabupaten Tangerang dan bernaung di beberapa Gereja Paroki seperti: Santa Helena, Santa Odilia, dan Stasi Santo Gregorius. Perjuangan awal dalam merintis berdirinya paroki ini bisa dibilang cukup alot. Namun dalam proses perijinan tidak menemukan kendala yang berarti. Hal ini bisa terlihat dari prosedur yang diikuti dan juga respon balik pemerintah setempat juga baik.  Memang diakui bahwa pejabat di kabupaten Tangerang terutama Bupati Ismet cukup baik menjalin relasi dengan umat katolik dan dengannya pengeluaran ijin tersebut bisa dilihat sebagai upah dari kebaikan relasi yang terjalin selama ini.

2.    Kota Tangerang

                Apa yang terjadi dengan gereja-gereja katolik di wilayah kota Tangerang? Inilah pertanyaan awal yang muncul sebagai reaksi dari kondisi riil yang terjadi di lapangan. Pada pemerintahan WH, sulit sekali mendapat ijin dari pemerintah.  Dari beberapa paroki yang tersebar di wilayah kota Tangerang, hanya ada satu yang memiliki ijin resmi yaitu Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda, Tangerang. Lalu bagaimana dengan yang lain? Paroki Santa Bernadeth-Ciledug dan Paroki Agustinus Perum, selama sekian tahun masih menunggu keluarnya IMB. Tapi rupanya mengalami kendala. Masyarakat sekitar sepertinya sudah terstigma dan anti terhadap gereja katolik.
                Mengapa mereka anti terhadap gereja katolik? 
3.    Kota Tangerang Selatan
       Perkembangan Gereja di Kota Tangerang Selatan terbilang begitu pesat. Hal ini dipengaruhi oleh pembukaan area pemukiman baru terutama pengembangan perumahan-perumahan baru. Dengan pengembangan perumahan baru seperti ini memberi peluang bagi tumbuh-kembangnya umat katolik yang masuk ke wilayah-wilayah baru karena pengembangan perumahan.
      Hal penting yang patut dicatat adalah umat di Tangerang Selatan umumnya berpendidikan tinggi dan hal ini juga berpengaruh pada soal cara pandang terhadap agama lain serta pendirian gereja-gereja baru. Kalau dibandingkan dengan kabupaten Tangerang dan kota Tangerang, kebanyakan gereja paroki tumbuh dan berkembang secara pesat di Tangerang Selatan. (Valery Kopong)

PAROKI SANTO AGUSTINUS – KARAWACI


Santo Agustinus adalah nama paroki. Nama pelindung paroki yang berada di kawasan Perumnas Karawaci ini bukanlah sebuah kesengajaan kalau kemudian menempatkan St. Agustinus ini sebagai pelindung Paroki. Meskipun pemakaian nama pelindung ini juga disamakan dengan tanggal peresmian Paroki St. Agustinus pada tanggal 28 Agustus 1988 dan menjadi hari Ulang Tahun Paroki setiap tanggal 28 Agustus tersebut, namun pemilihan Santo Agustinus diharapkan selalu menjadi inspirasi bagi umat, bahwa melalui pertobatannya yang sangat besar, St. Agustinus mampu memberi sumbangan yang bernilai bagi gereja.
            Sebagai kumpulan umat beriman yang berdosa, yang jauh dari kesempurnaan, umat diharapkan mampu menimba pertobatan St. Agustinus dan memulai sikap hidup yang terinspirasikan oleh injil dengan sebuah pertanyaan refleksi, “Injilkah yang menjiwai hidup mereka?” Hal ini juga selalu dan selalu diingatkan kepada umat dalam setiap perayaan Ulang Tahun Paroki, bahwa inti dari penghayatan umat beriman adalah melalui pertobatan. Melalui pertobatan inilah kita telah diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bisa menyelami kehendak Tuhan bagi kita. Melalui pertobatan juga sebagai sebuah pembelajaran akan kerendahan hati.

Letak Paroki St. Agustinus Karawaci

Mencapai Paroki St.Agustinus Karawaci Tangerang yang satu kompleks dengan Perhimpunan Sekolah STRADA, tidaklah sulit. Lingkungan perumahan “PERUMNAS” dengan jalan-jalan yang cukup lebar dan dilalui oleh kendaraan umum, membuat Paroki St.Agustinus Karawaci mudah dijangkau baik dengan kendaraan umum maupun pribadi. Rute-rute kendaraan umum (Angkot) di wilayah Kotamadya Tangerang, seperti rute: R 11, R 14, R 17, R 02, R 08 Lippo, mulai dari arah: Cimone, Cikokol, Pasar Kemis, Cikupa, Tangerang Kota, Perumahan Lippo Karawaci melewati dan atau bersinggungan di terminal Cibodas yang dekat dengan keberadaan Paroki St.Agustinus, Jl. Prambanan Raya.
            Keberadaan umat menyebar sampai dengan radius 20 km dari pusat Gereja, dengan wilayah terjauh adalah wilayah Pasar Kemis dan Cikupa Tangerang. Karakteristik umat Paroki St.Agustinus, secara sosial ekonomi lebih pada range social menengah ke bawah, dengan mayoritas umat yang bekerja sebagai karyawan pabrik, pegawai negeri, guru, maupun karyawan lepas lainnya. Secara kultural, umat pada dasarnya merupakan masyarakat urban dengan mayoritas pendatang dari suku Jawa yang bekerja sebagai karyawan di pabrik-pabrik di wilayah Tangerang. Di samping itu juga ada pendatang dari Sumatera Utara, Flores, maupun daerah-daerah lain di Indonesia dan warga keturunan. Umat tersebut tersebar pada perumahan-perumahan: PERUMNAS I, II,III,IV, Perumahan Harapan Kita,  Perumahan Liga Mas Regency, Perumahan Cimone Mas Permai, Perumahan Aster, Perumahan Palem Semi, sebagian perumahan LIPPO Karawaci, Perumahan Taman Cibodas, Perumahan Keroncong Permai, Perumahan Taman Walet sampai dengan perumahan-perumahan kontrakan di sekitar Pasar Kemis, Cikupa. Menurut data statistik, jumlah umat ada 11.000 orang dan jumlah umat ini tersebar di 16 wilayah dan 84 lingkungan.

Sekilas Latar Belakang Paroki St. Agustinus – Karawaci

            Dalam sejarah cikal bakal berdirinya paroki ini, bermula dari umat di lingkungan Emanuel di Perumnas I – Karawaci Tangerang, yang pada tahun 1980, masih tergabung dalam Paroki Santa Maria yang Berhati Tak Bernoda di Jl. Daan Mogot Tangerang. Jarak lingkungan Emanuel dengan pusat paroki cukup jauh dan kendaraan umum masih minim, maka lingkungan ini kemudian dijadikan sebagai stasi dari Paroki Santa Maria- Tangerang. Pada waktu itu misa di lingkungan ini dilakukan hanya sebulan sekali, dengan menggunakan ruang rapat milik kantor pemasaran Perumnas di Jl. Cendrawasih Perumnas I Tangerang.
            Karena umat semakin bertambah banyak, maka dirasakan perlu untuk memiliki tempat yang lebih baik untuk beribadat. Untuk mempermudah pembangunan tempat ibadah yang sederhana maka dibentuk Panitia Pembangunan Gereja (PPG) dengan struktur kepengurusan:

Pelindung :  Romo FX. Tan Soe Ie, SJ (Pastor Kepala Paroki St.Maria)
Penasihat  :  J. Sarimin (Ketua Lingkungan Emanuel saat itu)
Ketua        : D. Sardjono
Sekretaris  :  M. Hutabarat
Bendahara :  R. Slamet Susyanto
      Atas usaha tim PPG tersebut, diperoleh tanah seluas 1000 m2 yang terletak di Jl. Cisabi, dengan Surat Keputusan dari Bapak Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tangerang berupa surat ijin lokasi dan penggunaan tanah untuk pembangunan gereja di Kawasan Perum Perumnas Tangerang dengan No: 370/PM.014.6/SIP/II/1981 tertanggal 25 Februari 1981. Dalam proses pendirian gedung tersebut maka diadakan kerja sama dengan perkumpulan STRADA dan dalam pembangunan diikutsertakan seluruh kekuatan umat di lingkungan Emanuel, pada tahun ajaran 1981 / 1982 dapat didirikan gedung serba guna tahap I sebagai tempat ibadah dan sekolah TK.
            Dalam kunjungan kegembalaannya, Bapak Uskup Agung Jakarta ke Paroki Tangerang pada bulan September 1981, beliau juga berkenan hadir di wilayah Emanuel. Beliau sangat terkesan dengan melimpah ruahnya umat yang hadir. Pertemuan diadakan dengan duduk secara lesehan di tikar. Pada kesempatan kunjungan yang pertama ini, beliau menyarankan agar segera mencari tanah yang luasnya memadai, supaya dapat menampung umat dengan segala kegiatannya. Atas saran tersebut Tim PPG mencari tanah yang sesuai. Akhirnya pada tanggal 2 Juni 1982 dapat dibeli tanah melalui Perkumpulan STRADA, sebidang tanah seluas 8.910 m2 yang terletak di Cibodas, Kecamatan Jatiuwung.
            Ternyata perkembangan umat semakin pesat, oleh Perkumpulan STRADA kemudian didirikan Gedung Serbaguna Tahap II, sekaligus sebagai gedung gereja, mengingat fasilitas tanah dan peruntukkannya adalah untuk gereja. Dengan gedung baru ini maka frekuensi misa dapat ditingkatkan menjadi 2 kali dalam satu bulan. Perkembangan pendidikanpun terus melaju pesat. Tahun 1984, Perkumpulan STRADA membeli tanah di Bencongan, tetapi karena lokasinya jauh dari jalan besar, timbul masalah dalam membangunnya. Karenanya dibangun lagi gedung darurat tahap III dengan memanfaatkan jalur hijau halaman sekolah.     
            Pada awal tahun 1985, terbetik berita bahwa tanah-tanah yang dibeli melalui perkumpulan STRADA yang berada di wilayah Emanuel akan terkena Proyek Perumnas II Tangerang. Sebagai gantinya diperoleh tanah yang berlokasi di Jl. Prambanan Perumnas II seluas 9.410 m2 dan sisanya seluas 2.290 m2 terletak di Jl. Danau Tondano. Pada bulan Mei 1988, diperoleh kabar dari keuskupan Agung Jakarta bahwa umat  di wilayah Emanuel dan sekitarnya akan dipisahkan dari Paroki Tangerang, mengingat di wilayah ini sudah ada umat, tanah dan Romo dari Ordo Salib Suci (OSC) yang telah bersedia untuk berkarya di sini.
            Sebagai persiapan pembukaan paroki baru, Keuskupan Agung Jakarta telah mempersiapkan sebuah rumah tipe M 70 di Jl. Prambanan 1 A yang dipergunakan sebagai pastoran sementara, sedangkan 2 rumah tipe M 54 di Jl. Empu Panuluh akan dipergunakan sebagai susteran. Sedangkan untuk ibadatnya sendiri, untuk sementara dibangun menempel dengan gedung darurat milik SD STRADA yang telah dibangun lebih dahulu. Pada tanggal 28 Agustus 1988, Bapak Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ berkenan meresmikan Paroki St.Agustinus.

Pendirian Paroki St.Agustinus – Karawaci

Pada tanggal 28 Agustus 1988, Bapak Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ meresmikan berdirinya Paroki Karawaci dengan nama pelindung Paroki St.Agustinus. Diresmikannya paroki ini secara formal tertuang dalam Surat Keputusan Keuskupan Agung Jakarta nomor 1344 / 3.25.4.39/ 88, tanggal 28 Agustus 1988 tentang pendirian Paroki Agustinus / PGDP Paroki St.Agustinus Karawaci, maka tugas tim PPG wilayah Emanuel dianggap selesai. Namun untuk mewujudkan gedung gereja yang sesungguhnya, oleh Dewan Paroki St.Agustinus dibentuklah Panitia Pembangunan Gereja  (PPG) Paroki St.Agustinus yang diketuai oleh Bapak FA Sri Hartono. Perjuangan PPG memperoleh ijin mendirikan bangunan tidak semulus yang kita harapkan, banyak kendala yang dihadapi. Bahkan sampai sekarang, ijin untuk mendirikan Gereja tersebut juga belum diperoleh, sehingga seiring dengan lajunya perkembangan umat di Paroki St.Agustinus, segera dipersiapkan tempat beribadah yang baru, dalam bentuk gedung serbaguna.
            Seiring dengan pergantian Dewan Paroki yang baru, Romo Christ Tukiyat, OSC, pastor kepala paroki saat itu, pada tanggal 14 Desember 1991 telah dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Gedung Aula Dewan Paroki, dan telah selesai pengerjaannya 10 bulan kemudian. Pada tanggal 30 Agustus 1992, Aula serbaguna (Gedung Gereja) diresmikan penggunaannya oleh Romo A. Istiarto, OSC sebagai wakil provinsial OSC. Sampai dengan saat ini tugas untuk mewujudkan Ijin Mendirikan Gereja masih belum tercapai, semoga dengan adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, gereja yang telah didambakan umat sejak 1988 (atau hampir 18 tahun lebih) dapat segera terealisir. Kendala utama belum terbitnya ijin mendirikan Gereja adalah karena belum adanya persetujuan dari warga sekitar, meskipun dalam batas tertentu keterlibatan paroki maupun umat katolik di sekitar Gereja telah cukup memberikan perhatian dan kerja sama dengan warga sekitar.   
Namun hal ini menjadi tantangan tersendiri, sehingga kelak hidup berdampingan dengan saling menghormati, saling bekerjasama bisa menjadi landasan di dalam persahabatan yang sejati. Meski dalam artis fisik, Paroki St. Agustinus belum memiliki gedung gereja namun sebagai kumpulan umat beriman, paroki St.Agustinus tetap diharapkan sebagai sumber pegangan iman bagi umat di wilayahnya. Bahkan dari paroki ini juga telah lahir paroki baru dengan stasinya yang sebelumnya menjadi stasi (St. Ascensio – Serpong) Paroki St.Agustinus Karawaci, yaitu: Paroki St. Monica – Bumi Serpong Damai, Stasi St. Helena – Perumahan Lippo Karawaci, serta Stasi St. Odilia – Perumahan Citra Raya.

Gereja Karawaci Sebagai Gereja Pengembangan

            Kalau menilik sejarah cikal bakal Gereja St. Agustinus Karawaci, maka berdirinya Gereja Karawaci adalah lebih disebabkan pada perkembangan umat karena proses industrialisasi yang terjadi di Tangerang yang dimulai tahun 1980-an, serta tumbuhnya perumahan-perumahan baru di wilayah Tangerang. Hal ini juga diperkuat dengan dibangunnya jalan tol Jakarta – Merak pada tahun 1985-an, yang secara tidak langsung sangat berpengaruh pada percepatan pertumbuhan wilayah Tangerang Barat dan sekitarnya. Gereja St. Agustinus yang semula hanya sebagai sebuah stasi dari Paroki St. Maria Tangerang, khususnya untuk wilayah Perumnas I dan Perumahan Cimone Permai, akhirnya melayani hampir seluruh wilayah Tangerang bagian barat, mulai dari wilayah Serpong sampai dengan Balaraja, mulai dari Cimone sampai dengan Pasar Kemis. Wilayah ini sebelumnya mempunyai radius pelayanan hampir 30 km dari pusat Gereja Karawaci. Sampai pada akhirnya dari paroki ini bersemi paroki baru beserta stasinya yang mengambil alih sebagian wilayah pelayanan Paroki St. Agustinus Karawaci, seperti: Paroki Sta. Monica yang mempunyai wilayah pelayanan di daerah Serpong dan sekitarnya, Stasi Sta. Helena dengan wilayah pelayanan perumahan Lippo Karawaci, Binong sampai dengan Legok, serta stasi Sta.Odilia Citra Raya dengan wilayah perumahan Citra Raya, Balaraja sampai dengan wilayah Tangerang Barat lainnya. Wilayah pelayanan paroki St. Agustinus Karawaci, sebelumnya adalah pecahan dari Paroki St.Maria yang Berhati Tak Bernoda. Setelah pemecahan kembali menjadi 3 wilayah pengembangan paroki baru, maka wilayah pelayanan Paroki St.Agustinus sekarang meliputi:
Sebelah Timur Gereja: Mulai dari Perumnas I, Perumahan Cimone, Jl.Teuku Umar (d.h. Karawaci) s.d. Perumahan Palem Semi dan sebagian perumahan Lippo Karawaci. (Saat ini wilayah BSD sudah menjadi Paroki Sta. Monica BSD).Sebelah Barat Gereja: Mulai dari Perumnas II, III, IV sampai dengan Perumahan Taman Cibodas, Keroncong Permai, Pasar Kemis dan Cikupa. Sebelah Selatan Gereja: Mulai Perumnas II, Perumahan Harapan Kita sampai dengan Jalan Tol Jakarta Merak. (Perumahan Lippo Karawaci s.d. Legok telah menjadi Stasi Sta. Helena Lippo Karawaci). Sebelah Utara Gereja: Mulai dari Perumahan Aster, Perumahan Cimone Mas Permai, Perumahan Ligamas Regency, daerah Jl. Sinta sampai dengan Jl.Gatot Subroto (d.h.Jl. Raya Serang). Luas cakupan wilayah pelayanan Paroki St. Agustinus Karawaci hampir mencapai jarak kurang lebih 20 km2. Luas cakupan wilayah tersebut hanya dilayani oleh 3 gembala dari Ordo Salib Suci (OSC) sejak awal paroki ini didirikan sampai dengan saat ini. Belum ada pergantian penanggungjawab reksa pastoral paroki ordo maupun konggregasi lain di paroki ini. Secara bergantian dalam suatu periode tertentu, penugasan imam-imam secara bergantian tetapi dari ordo yang sama yaitu Ordo Salib Suci (OSC).


Wednesday, January 30, 2013

JABATAN RAHMAT



Judul Buku         : Ketua Lingkungan Di Era Sibuk
Penulis                : Marcus Leonhard Supama
Penerbit              : Kanisius, Yogyakarta 2012
Tebal Buku         : 176 halaman

Ketika masa jabatan Ketua Lingkungan di ujung waktu, ada kecemasan menghinggap di hati para anggota lingkungan itu. Mengapa kecemasan massal muncul secara serentak? Kecemasan bercampur rasa takut sebenarnya menyembunyikan sebuah penolakan  untuk tidak dipilih menjadi Ketua Lingkungan.   Tetapi dibalik kecemasan itu, muncul harapan yang sama, moga-moga ketua lingkungan yang lama dikukuhkan lagi. Memang, realita ini tidak bisa dipungkiri bahwa menjadi ketua lingkungan adalah sebuah jabatan yang membebani, apalagi  tidak diimbangi dengan honorarium.  
                Membaca buku “Ketua Lingkungan di Era Sibuk,” penulis mengajak untuk  membangun esensi panggilan setiap orang Katolik. Dibaptis untuk masuk ke dalam Gereja Katolik secara implisit menyiratkan sebuah panggilan luhur  untuk menjadi pewarta dan saksi Kristus. Menjadi Ketua Lingkungan juga merupakan ejawantah dari rahmat baptisan yang telah kita terima. Dalam pengantar buku ini, Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta menekankan “Supaya umat di lingkungan berakar dalam iman, semakin bertumbuh dalam persaudaraan dan semakin berbuah dalam pelayanan kasih dibutuhkan banyak orang yang memiliki niat, kehendak atau kemauan untuk melayani.”
                Menjadi Ketua Lingkungan di era sibuk berarti  berusaha mengorbankan diri demi orang-orang yang dilayani. Memang, jabatan ini kurang “membius” bagi siapa saja untuk merebutnya tetapi jabatan ini merupakan “jabatan rahmat” di mana Allah menyalurkan kasih dan kebaikan-Nya. Masing-masing kita perlu membangun niat dan motivasi untuk menjadi “pemimpin dan pemimpi,” walau hanya menjadi Ketua Lingkungan.   Dalam buku yang disajikan dalam empat bagian ini merupakan pergumulan pengalaman hidup harian dan buku ini menemukan makna baru  ketika disandingkan dengan Arah Dasar Pastoral Keuskupan Agung Jakarta. Siapa pun akan tergugah membaca buku ini sambil berkata, “kapan saya dipilih menjadi Ketua Lingkungan?”  
                Di tengah kesibukan kerja yang mendera, setiap orang Katolik diharapkan untuk menjadi pemimpin dalam lingkungan. Dalam jejalan waktu dan kepulan asap kota, kita masih melihat rahmat panggilan untuk melayani sesama. Buku ini tidak mengajak pembaca menangisi keengganan untuk menjadi ketua lingkungan, sebaliknya mengajak kita untuk memandang peristiwa ini dengan cara lain.(Valery Kopong)