Friday, February 15, 2013

JATUH-BANGUN DALAM DOSA




Judul Buku : Pertobatan dalam Tradisi Katolik
Penulis : Al. Purwa Hardiwardoyo, MSF
Penerbit : Kanisius -Yogyakarta

Masih ada minatkah umat Katolik mengakukan dosa? Pihak Gereja sudah menyediakan waktu untuk mendengarkan pengakuan dosa, tetapi hanya sedikit orang yang datang. Apa yang menjadi penyebab utama sehingga menurunnya minat umat Katolik untuk tidak mengakukan dosa? Dari mana tradisi pertobatan Katolik ini muncul?
Seseorang yang telah dibaptis tidak hanya resmi masuk menjadi anggota Gereja tetapi juga bebas dari noda dosa asal. Tetapi hal itu tidak berarti seseorang yang telah dibaptis steril dari dosa-dosa pribadi. Kenyataan berbicara lain, bahwa dalam setiap waktu dan zaman, terjadi peristiwa jatuh-bangun dalam kubangan dosa. Peristiwa jatuh-bangunnya manusia dalam dosa ini menyebabkan renggangnya hubungan, bahkan putusnya hubungan dengan Allah.
Untunglah bahwa Gereja Katolik menyediakan ruang pengakuan, di mana seseorang dengan lepas-bebas mengakukan dosa. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk pemulihan kembali hubungan yang renggang akibat dosa dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan selama hidup. “Jatuh..., bangun, jatuh..., bangun dan jatuh lagi.” Itulah ciri kemanusiaan yang rapuh dan seluruh hidupnya tidak luput dan godaan-godaan duniawi yang menjerumuskannya dalam lembah nista.  
Jatuh ke dalam dosa tidak merupakan akhir dari segalanya. Seorang Kristen yang jatuh ke dalam dosa tetap dikasihi Allah. Pendosa itu dipanggil untuk kembali bersatu dengan-Nya. Bahkan, Allah menganugerahkan rahmat khusus, yakni rahmat pertobatan sejati. Tentang kenyataan ini, tokoh-tokoh Gereja Katolik telah merenungkannya selama berabad-abad. Berdasarkan  pewahyuan ilahi yang tersimpan dalam Kitab Suci, mereka berusaha memahami makna dosa dan pertobatan seorang Kristen. Berdosa adalah ciri kemanusiaan yang rapuh. Dan pertobatan dibarengi dengan rasa sesal yang mendalam di panti pengakuan, menjadi momentum merekatkan kembali hubungan antara manusia dan Allah. ***

Wednesday, February 6, 2013

TOBAT


                Ritus tobat menjadi saat umat beriman menyampaikan penyesalan dan pertobatan atas dosa dan kesalahannya kepada Tuhan dan sesama. Tobat yang sejati mengalir dari tanggapan kita atas kasih dan kebaikan Allah yang lebih dahulu kita alami. Jadi, pertobatan kita bukanlah pertobatan demi menimbulkan belas kasih Allah, melainkan justeru karena telah disapa oleh belas kasih Allah tersebut.
                TPE 2005 menyampaikan 4 bentuk ritus tobat. Tiga bentuk pertama memiliki struktur yang sama, yaitu ajakan untuk bertobat, hening, pernyataan tobat dan permohonan pengampunan (absolusi). Absolusi ini tidak memiliki kuasa pengampunan seperti absolusi dalam sakramen tobat. Itu berarti, imam tidak boleh membuat gerakan yang sama seperti saat ia memberikan absolusi dalam penerimaan sakramen tobat.
                Cara 1: Imam mengajak umat menyesali dan mengakui dosa. Menanggapi ajakan tersebut, umat (berlutut dan ) hening sejenak. Kemudian, seluruh umat mengakui dosanya disertai sikap tobat, yakni dengan rumusan kata-kata: Saya mengaku – kepada Allah yang mahakuasa….Baris berikut diucapkan sambil menebah dada. Saya berdosa, saya sungguh berdosa…….Sesudah pernyataan tobat, imam memohonkan pengampunan. Perlu dicamkan bahwa pengampunan di sini berbeda dengan absolusi yang diberikan imam dalam sakramen tobat. Maka, kita (imam dan umat) tidak membuat tanda salib ketika imam mengucapkan permohonan ampun. Dalam Tata Perayaan Ekaristi dengan jelas ditulis. “Dengan tangan terkatup” imam mengucapkan rumus absolusi. Kebiasaan tanda salib ini berasal dari rumus tobat Misale Trente yang sudah dihapus dalam Missale Romanum 1970. Tobat cara 1 ini disusul Tuhan, kasihanilah kami.
                Cara 2: Ciri khas tobat cara 2 ialah umat menyatakan tobat dengan mendaras mazmur tobat. TPE 2005 menyediakan 4 macam tobat cara 2 yaitu yang diambil dari Missale Romanum, Mzm 32, mzm 51, Mzm 103. Tobat cara 2 disusul, Tuhan kasihanilah kami.
                Cara 3: Tobat cara 3 menggunakan pola litani kyrie. Artinya, imam mengucapkan suatu pernyataan iman mengenai Kristus dan kemudian disambung dengan seruan pernyataan tobat yang bersifat penghormatan dan permohonan kepada Kristus: Tuhan (atau Kristus) kasihanilah kami dan dijawab oleh umat: Tuhan (atau Kristus) kasihanilah kami. Kalau dipakai tobat 3, tidak lagi diucapkan / dilagukan Tuhan kasihanilah kami secara tersendiri karena tercakup dalam tobat cara 3.
                Cara 4: Tobat cara 4 ini cocok digunakan pada hari Minggu atau hari raya, terutama masa Paskah karena menggunakan pemercikan air suci sebagai peringatan akan pembaptisan.

Tuesday, February 5, 2013

HJM

MAUMERE, KOMPAS.com- Herman Jumat Masan (45) telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Sikka, NTT, dalam kasus pembunuhan Merry Grace dan dua orang anak bayinya, yang juga hasil hubungan gelap dengan pelaku dengan korban.



Herman Jumat Masan diduga membunuh tiga nyawa yakni Merry Grace dan dua bayinya. Kedua bayi itu pun hasil hubungan gelap dengan pelaku. Ketiga korban dibunuh di Desa Lela, 25 km arah barat Maumere, Flores, 2002.



Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Sikka, Ajun Komisaris Achmad, di Maumere, Selasa (5/2/2013), mengatakan, hasil pemeriksaan polisi menunjukkan pelaku mengakui sebagian perbuatannya tetapi menolak sebagian lainnya.
"Kami telah periksa pelaku, begitu turun dari pesawat. Kami jemput dia, yang baru datang dari Kalimantan, bekerja di sana. Dia sudah menjadi tersangka," kata Achmad.
Herman Jumat Masan diduga membunuh tiga nyawa, yakni Merry Grace dan dua bayinya. Kedua bayi itu pun hasil hubungan gelap dengan pelaku. Ketiga korban dibunuh di Desa Lela, 25 km arah barat Maumere, Flores, 2002. Kasusnya baru terungkap pekan lalu setelah saksi kunci bernama Sofi melaporkan kasus ini kepada keluarga Merry Grace.
Sofi adalah mantan pacar HJM. Karena HJM tidak bersedia menikahinya, ia pun melaporkan perbuatan HJM itu kepada polisi dan keluarga korban. Pembunuhan itu diduga dilatari motif asmara.
Kemarin, orangtua korban dan sebagian warga ada di Polres Sikka, menyaksikan proses pemeriksaan terhadap Herman Jumat Masan. 







Editor :

Robert Adhi Ksp



KATA PENGANTAR



                Pada bagian kata pengantar ini hanya mau mengantar umat beriman. Maka kata pengantar harus disampaikan suatu penjelasan amat singkat mengenai tema atau isi misteri iman yang dirayakan dalam perayaan ekaristi saat itu. Oleh karena itu, kata pengantar ini mesti jelas, padat dan singkat, tidak berkepanjangan serta perlu dipersiapkan dengan baik.
                Adapun yang boleh menyampaikan kata pengantar ialah imam yang memimpin perayaan Ekaristi itu sendiri atau imam lain atau diakon atau pelayan yang lain. PUMR menyatakan: “Setelah imam menyampaikan salam kepada umat, imam atau diakon atau pelayan lain dapat memberikan pengantar sangat singkat kepada umat tentang perayaan Ekaristi yang akan dirayakan (PUMR no.50). Jadi, kata dapat dalam pernyataan di atas menunjukkan bahwa kata pengantar tidaklah mutlak, boleh dilewati.
                Para ahli liturgi umumnya memberi catatan bahwa dalam pengantar ini sebaiknya tidak disampaikan ulasan (semacam homili singkat) mengenai bacaan yang akan didengarkan nanti. Akan tetapi, apabila isi bacaan itu memang menjadi sumber dan asal usul tema yang sedang dirayakan atau isi bacaan itu membantu persiapan tobat, maka pengantar boleh menyinggung bacaan. Yang penting ialah perlu dibedakan dengan tegas antara pengantar dan homili. Yang tidak dianjurkan ialah pemindahan homili pada bagian pengantar ini, sementara umat belum mendengar bacaan. PUMR malah menyarankan bahwa antifon pembuka yang terdapat dalam Missale Romawi bisa dimanfaatkan sebagai isi pengantar ini (lih.PUMR 48).

SALAM



                Salam disampaikan imam sambil membuka tangan kepada umat beriman, sesudah membuat tanda salib; dengan rumusan: “Tuhan bersamamu” dan umat beriman berjawab: “Dan bersama rohmu.” Makna pokok salam tersebut ialah untuk menyatakan bahwa Tuhan hadir di tengah-tengah mereka dan juga mengungkapkan misteri Gereja yang sedang berkumpul (PUMR 50) maksudnya pada saat melaksanakan dialog salam imam dan jawaban dari pihak umat ini, imam dan umat sedang menyadari bahwa Tuhan benar-benar hadir di tengah kita dan jawaban dari pihak umat memperlihatkan misteri Gereja yang sedang berkumpul.
                Cara pemimpin memberikan salam dan cara umat menanggapi salam ini sangat penting. Salam pada hakikatnya harus komunikatif: harus benar-benar ada komunikasi antara pemberi salam (imam) dan penerima salam (umat). Dari pihak imam, komunikasi diungkapkan lewat: pandangan mata, mimic, tata gerak tangan. Semua ini harus benar-benar menopang kata-kata salam.
                Untuk dapat memberikan salam secara mantap, imam harus menghafal kata-kata salam. Salam akan menjadi kurang menyapa kalau imam, pada saat memberi  salam itu, membaca teks dari buku; apalagi kalau sementara memberi salami  ia membalik-balik buku, mencari suatu teks.
                Umat pun harus menjawab salam imam dengan mantap, karena dengan jawaban itu umat sedang menyatakan imannya akan kehadiran Tuhan. Komunikasi dan kemantapan salam harus terungkap baik ketika salam itu dilagukan maupun dilafalkan. Maka umat harus menghafal lagu untuk salam.
                Teks salam salam perayaan Ekaristi ini diambil dari Alkitab. Salam alkitabiah itu hendaknya tidak diganti dengan salam sekuler (selamat pagi, bapak-ibu, anak-anak). Dengan salam sekuler seperti ini kita membuyarkan suasana dan alur ibadat yang sudah dibangun lewat perarakan, nyanyian pembukaan dan tanda salib, yang pada tahap ini menanjak pada kesadaran dan pernyataan iman akan kehadiran Allah.

Monday, February 4, 2013

BAHASA PENYADARAN



“Carilah dengan kerinduan untuk menemukannya, temukanlah dengan kerinduan untuk mencari terus-menerus.”

Kebutaan mereka yang menyiksa selama puluhan tahun, semakin menyadarkan mereka bahwa kondisi mata yang buta bisa tersembuhkan oleh sang Mesias. Kasihanilah kami, hai anak Daud.  Inilah seruan kerinduan dua orang buta sekaligus meminta belas kasih dari Yesus. Seruan yang sama menjadi bahasa penyadaran akan Yesus bahwa dunia orang buta adalah dunia penyiksaan karena tidak mengalami secara langsung kehidupan nyata.
                Tetapi yang tetap menjadi pertanyaan di sini, mengapa mereka yang buta, memiliki kesadaran lebih baik? Dari mana mere ka tahu bahwa Yesus, Sang Mesias lewat di hadapan mereka? Perjalanan Yesus merupakan ‘safari penyelamatan’ yang mencari siapa saja yang tak berdaya dan lumpuh secara fisik untuk dirangkul kembali dalam lingkaran keselamatan. Yesus yang lewat, bagi sang buta, tidak dilewatkan begitu saja namun Yesus yang lewat memiliki makna yang mendalam akan peristiwa pengangkatan kembali martabat manusia yang telah terpuruk karena ketimpah kondisi kebutaan.
                Dalam menyusuri perjalanan, Yesus banyak kali berjumpah dengan mereka-mereka yang tak berdaya, tersisih dari panggung kehidupan. Ia tidak menutup mata terhadap mereka yang tengah mengalami kesulitan. Apa yang dilakukan Yesus merupakan tindakan keselamatan dan bahasa penyadaran pada mereka yang tersisih bahwa kerajaan Allah dan keselamatan telah dan sedang terjadi dalam diri mereka. Bagi mereka, kerajaan Allah adalah tempat untuk memelekkan mata mereka,  dan menyadarkan untuk menyaksikan peristiwa hidup yang sedang terjadi di sekitar mereka.
                Di mata orang-orang buta, Sang Mesias tidak berada jauh dari harapan dan penantian yang berkepanjangan tetapi Yesus, Sang Mesias itu sudah hadir di tengah-tengah mereka. Iman mereka yang buta, jauh melampaui iman orang-orang yang saleh yang kelihatan dekat dengan Allah. Dalam iman, mereka telah membuka diri terhadap Dia yang lewat, dia yang sedang menyusuri lorong-lorong waktu dan keluar masuk kota dan desa. Keselamatan hakiki sebenarnya sedang terjadi dan terus ditawarkan oleh Yesus kepada manusia. Hanya saja manusia masih buta, imannya belum menembus batin kesadaran untuk melihat Dia yang lewat, dia menyapa setiap orang, baik dalam kesendirian, maupun dalam kebersamaan.*** (Valery Kopong)

Saturday, February 2, 2013

EPIKLESE KONSEKRATORIS


Secara liturgis, epiklese berarti seruan doa permohonan kepada Allah agar mengutus Roh Kudus untuk menguduskan seseorang atau barang / hal tertentu. Seluruh Doa Syukur Agung bersifat epiklesis, yakni suatu doa syukur yang sekaligus permohonan agar Allah menghadirkan karya penyelamatan-Nya melalui Kristus dalam Roh Kudus pada Gereja.
                Namun, ada bagian Doa Syukur Agung yang secara eksplisit dan terfokus menyebut seruan permohonan turunnya Roh Kudus itu. Kita mengenal dua macam epiklese dalam Doa Syukur Agung (DSA).
                Pertama ialah epiklese konsekratoris yang memohon turunnya Roh Kudus untuk menyucikan bahan persembahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus.
                Kedua ialah epiklese komuni yang memohon agar Roh Kudus itu mempersatukan umat beriman itu sebagai satu tubuh, satu communion, sebagaimana ditandakan dengan penerimaan komuni.
                Tentang kedua epiklese itu, PUMR menyatakan: “Dalam doa-doa khusus ini Gereja memohon kuasa Roh Kudus dan berdoa supaya bahan persembahan yang disampaikan oleh umat dikuduskan menjadi tubuh dan darah Kristus; juga supaya kurban murni ini menjadi sumber keselamatan bagi mereka yang akan menyambut-Nya dalam komuni” (PUMR no. 79c).
                Pada doa syukur Agung (DSA), epiklese konsekratoris diletakkan sebelum kisah institusi dan epiklese komuni ditempatkan sesudah kisah institusi. Semangat Liturgi Konsili Vatikan II menempatkan seluruh DSA sebagai satu kesatuan doa yang bersifat anamnesis dan epiklesis. Kini dipahami bahwa peristiwa perubahan roti dan anggur yang menjadi tubuh dan darah Kristus berlangsung dalam keseluruhan Doa syukur Agung itu sendiri.