Tuesday, March 26, 2013

MEMAHAMI DASAR-DASAR LITURGI



Judul          : BUKU SAKU MISDINAR
Penulis                      : Leonardus Amuristian Daely
                     T.Subaryani D.H.Soediro
Penerbit    :  OBOR, Jakarta: 2012
Tebal          : xviii + 135 halaman

                Gereja Katolik dikenal sebagai Gereja yang memiliki begitu banyak simbol yang digunakan dalam kehidupan rohani. Simbol-simbol itu sebagai sarana yang bisa membantu umat dalam memahami arti dan tata gerak dalam liturgi. Banyak sarana dan simbol yang dipakai,  tidak semua umat tahu tentang fungsi dan kegunaannya. Pengetahuan dasar tentang liturgi mesti diketahui oleh umat agar dalam menghadiri sebuah perayaan Ekaristi, umat bisa mendalami makna dibalik Ekaristi itu.
                Yani dan Leo, penyusun “Buku Saku Misdinar” mempunyai pengalaman tersendiri ketika mereka terlibat sebagai misdinar. Keterlibatan mereka tidak hanya sebagai pelaku  yang pasif tetapi juga kritis dalam  menemui pelbagai persoalan terutama pengetahuan yang minim dari para misdinar. Memang, liturgi menjadi hidup ketika seluruh tata perayaan tertata rapih dan petugas misdinar sudah mempersiapkan diri secara baik.
                Dalam pengantar buku ini, RD. Fabie Sebastian.H menegaskan bahwa suasana sakral atau kacaunya perayaan liturgi juga amat dipengaruhi oleh mereka. “Para misdinar yang ngawur, ceroboh, gugup, bingung dan tidak paham tentang perannya akan mengacaukan sebuah upacara yang agung dan mulia. Para misdinar yang “ketawa-ketiwi,” bercanda dengan teman lainnya di sekitar altar, dengan sendirinya akan merusak kesakralan perayaan liturgi.” Apa yang dikatakan oleh RD. Fabie Sebastian.H merupakan suatu fenomena yang sedang terjadi di seputar altar. Apa yang harus dilakukan supaya situasi-situasi yang semrawut di sekitar altar tidak terulang lagi? Cara paling sederhana adalah memberikan pemahaman tentang pentingnya perayaan Ekaristi sebagai jantung kehidupan iman orang Katolik  karena di dalamnya  Kristus sendiri “membagi diri” sebagai santapan rohani.
                Melalui buku sederhana ini, penulis mengajak para misdinar dan siapa pun yang ingin mengetahui secara pasti tentang tata perayaan Ekaristi untuk memahami seluruh simbol yang digunakan dalam perayaan tersebut. Dengan memaknai simbol tersebut maka umat terhantar untuk mendalami misteri Ekaristi. Manusia sebagai homo symbolicum, tak pernah berhenti memaknai simbol-simbol itu karena dari simbol itu bisa membuka memori untuk mengenang dan memaknai peristiwa-peristiwa dalam perayaan Ekaristi sebagai warisan berharga. ***(Valery Kopong)  

Thursday, March 21, 2013

Chavez dan Mosaik Sosialisme Kerakyatan

  
                                                      Kamis, 14 Maret 2013 | 02:36 WIB
                                                              Oleh Martin Bhisu SVD
Hugo Chavez sebelum dan sesudah wafat mendapat perhatian istimewa. Alasan utama: wawasan dan praktik politiknya merupakan tanda perbantahan dari sebuah tatanan yang peninggalannya adalah sebuah mosaik sosialisme kerakyatan.
 
Eduardo Galeano, penulis prestisius asal Uruguay, pernah menjuluki Amerika Latin sebagai benua dengan urat nadi yang terbuka. Sebuah metafora tentang luka lama benua ini sebagai akibat penjajahan yang ragamnya sekarang disebut neokolonialisme, penjajahan baru. Istilah ini terhubung dengan kondisi Amerika Latin: ibarat sapi perah yang susunya, hasil pertumbuhan ekonomi, dinikmati perusahaan-perusahaan multinasional.
 
Venezuela bukan kekecualian. Akibat rontoknya boom minyak pada 1970-an, negara vino tinto ini mengalami krisis ekonomi. Presiden Andres Perez waktu itu mengikuti resep dogmatis IMF yang bukan solusi, melainkan problem. Pada akhirnya yang meningkat adalah angka kemiskinan yang memprihatinkan, sementara perdagangan minyak Venezu- ela di tangan perusahaan asing.
 
Runtuhnya ekonomi mendapat protes masyarakat yang berakhir dengan kudeta militer yang mengusung Chavez pada 1993. Meritokrasi Chavez untuk menyembuhkan urat nadi yang terbuka patut dicemburui pemimpin negara apa pun yang menganggap diri pujangga ekonomi kapitalis.
 
Menurut laporan Komisi PBB bagi Ekonomi Amerika Latin (CEPAL), Venezuela berhasil menurunkan 44 persen angka kemiskinan: 5 juta jiwa dari total penduduk tidak lagi miskin. Dalam hal kesadaran berdemokrasi, partisipasi elektoral mencapai lebih dari 88 persen penduduk, yang pada pemilu terakhir 55 persen suara untuk Chavez.
 
Menyangkut anggaran dana sosial, negara-negara sosial demokrat Eropa tak bisa menyaingi Venezuela yang mengalokasikan 60 persen dari total produk domestik bruto. Sebanyak 14 juta penduduk mendapat subsidi pangan, dan tahun ini 61 persen penduduk membeli pangan di pusat- pusat perbelanjaan milik negara. Selama 2011 Chavez menyerahkan 146.022 rumah kepada penduduk paling miskin.
 
Rekam jejak terpuji di atas menjadikan Chavez seorang pemimpin politik yang diterima di kalangan rakyat kecil dan berhasil memenangi pemilu empat kali beruntun. Sangat lumrah bila ada kelompok yang punya barometer politik ekonomi yang berseberangan dengannya, terutama yang kepentingan mereka dirugikan karena negara mengambil alih kendali PDVSA, perusahaan minyak Venezuela.
 
Sosialisme kerakyatan
 
Chavez pernah mengatakan, ”Tak bisa dimengerti bagaimana dapat mendistribusikan kekayaan negara kalau institusi tak diubah. Apakah ada alternatif lain?” Pertanyaan yang dituntun oleh jawaban yang hendak dicari. Model negara sosialis dan sosialisme kerakyatan merupakan dua pokok penting yang harus tepat diartikulasi menjadi jawaban alternatif terhadap ekonomi laissez- faire.
 
Negara dengan para pemimpinnya yang dipilih rakyat untuk memerintah atas nama rakyat tidak melayani kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional, melainkan melayani rakyat. Rancang bangun sebuah ekonomi sosial pertama-tama ditempuh Chavez adalah dengan merombak institusi negara yang birokratis dan koruptif menjadi negara sosialis yang kerakyatan. Dalam tahun-tahun pertama, Chavez tak mudah menempuh jalan ini, bahkan kudeta sekelompok militer yang didukung oposisi hampir menjatuhkannya.
 
Peran negara tidak seperti dalam paham sosialisme terpimpin dan doktriner (model sosialisme bekas Uni Soviet), tetapi memberi peran yang lebih besar, dinamis, dan relevan kepada pemerintah untuk mengatur ekonomi. Dengan PDVSA sebagai jantung ekonomi, Chavez memilih cara klasik: menaikkan permintaan agregat. Artinya, negara mengeluarkan banyak anggaran untuk sektor-sektor pembangunan padat karya sehingga meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan per kapita. Perusahaan swasta dapat untung juga karena saat konsumsi meningkat (faktor yang sangat bergantung pada pendapatan per kapita), permintaan akan barang dan jasa juga meningkat. Akhirnya produksi terdongkrak.
 
Di samping itu, meningkatnya anggaran dana sosial sangat membantu masyarakat miskin. Politik sosial seperti ini memberi warna khusus bagi Chavez karena mayoritas orang miskin di banyak negara maju sekalipun tak disentuh kebijakan ekonomi pemerintah.
 
Faktor rakyat sangat menentukan dalam ekonomi sosialis. Selama politik ekonomi yang berciri karitatif dan asistensialistis merupakan pilihan utama, kega- galan mudah diprediksi sebab yang hilang ialah gejala dari kemiskinan, bukan sebabnya. Chavez mengorganisasikan koperasi produktif yang dibantu kredit lunak untuk memberantas sebab kemiskinan. Ke dalam koperasi itu demokratis, ke luar kompetitif sesuai dengan hukum pasar.
 
Peran pemerintah dan rakyat yang proaktif dalam produksi dan distribusi barang dan jasa sungguh merupakan mosaik ekonomi sosial kerakyatan. Indonesia mungkin tak dapat meniru model ini karena banyak sebab. Di anta- ranya mental kerakyatan yang minim dari pemerintah. Dengan sistem pemerintah yang sangat parlementaristis, kekuasaan eksekutif ke dalam takut akan teka- nan primordial sejumlah golongan; ke luar berkiblat ke negara Barat dan bangsa kita terbiasa dengan apa yang ada.
 
Sebab kedua adalah kurangnya pengalaman signifikan bagai- mana hidup cukup sejahtera. Kecuali sampai akhir 1980-an, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan secara akumulatif, tetapi ekonomi yang trickle down seperti ini tak menyentuh periuk nasi orang miskin. Berbeda dengan Venezuela, sebelum krisis minyak, pertumbuhan ekonomi berkarakter sosial, dan masyarakat tahu bagaimana dampak positif ekonomi kerakyatan. Hal ini menjadi pembelajaran kolektif yang ujungnya adalah revolusi sosial melawan pemerintah koruptif selama krisis minyak.
 
Mungkin mosaik sosialisme kerakyatan Venezuela bisa menjadi inspirasi bagi Pemerintah Indonesia mendatang. Namun, ini bergantung sepenuhnya kepada rakyat yang berwawasan sosialis memilih orang yang berpihak kepada kaum jelata.
 
Martin Bhisu SVD Rohaniwan: Berkarya di Paraguay