Sunday, April 28, 2013

TAWA SANG GURU


Oleh: Valery Kopong*
Setiap orang yang masuk biara tua itu, pertama-tama yang diperhatikan adalah lukisan Yesus yang tertawa. Memandang lukisan itu secara mendalam, terus melahirkan pertanyaan-pertanyaan seputar lukisan itu. Mengapa Yesus tertawa? Apa yang membuat Yesus tertawa?  Adakah teks Kitab Suci yang menceritakan Yesus tertawa? Inilah pertanyaan-pertanyaan sederhana yang lahir dari kedalaman batin para tamu di biara itu. Lukisan yang terpampang di dinding biara tua itu sepertinya, menawarkan nalar refleksi untuk mempertanyakan lukisan yang tidak umum itu.
                Memang, Yesus sendiri, seperti yang tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, kita tidak pernah menemukan teks yang berbicara tentang Yesus yang tertawa saat berhadapan dengan murid-murid-Nya maupun kelompok-kelompok yang membenci kehadiran-Nya. Tertawa, seperti yang terlukis itu,  mengisahkan  kemanusiaan seorang Yesus yang tidak dihadirkan oleh penulis Kitab Suci. Yesus terkesan sangat serius menghadapi situasi di tengah karya pewartaan-Nya. Karena itu yang lebih ditonjolkan adalah kehidupan doa Yesus dan ajaran-ajaran-Nya.
                Pelukis yang melukis Yesus yang sedang tertawa sangat memahami kemanusiaan Yesus. Ketika berhadapan dengan murid-murid-Nya dan para pengikut-Nya, sebagai manusia pasti Yesus pernah mengumbar senyum bahkan tertawa lepas sebagai ungkapan kegembiraan terhadap suatu hal. Tetapi tertawanya  Yesus dapat dilihat dari dua sisi yang berlainan, tertawa sinis atau tertawa karena merasa gembira. Inilah nilai terdalam kemanusiaan Yesus yang tidak terlepas dari kehidupan-Nya. Sang pelukis mengangkat aspek manusiawi yang sederhana dan tidak tersentuh dalam konteks teologi-biblis.
                Tertawa ala Yesus menjadi konsumsi rohani yang baik, karena dalam tertawa itu orang merasa lepas bebas dan tidak terikat oleh beban penderitaan yang lain. Di sini, tertawa dilihat sebagai bentuk pembebasan batin dan dengannya orang bisa mengalami kesembuhan diri. Melalui lukisan sederhana yang terpampang rapi di biara itu, tetap mengundang para tamu, tidak hanya datang dan bertemu para biarawan tetapi lebih dari itu bisa mengalami kegembiraan saat mengingat kembali lukisan Yesus yang sedang tertawa. Mungkin Yesus mengajarkan kepada umat-Nya agar selalu ceria ketika menghadapi setiap persoalan hidup. Persoalan itu dapat teratasi apabila semuanya dihadapi dengan senyum bahkan tertawa agar tidak membawa beban batin pada setiap orang yang berhadapan dengan masalah.
                Tawa tidak Cuma berarti menertawakan, merendahkan orang lain dan larut dalam tendensi masyarakat totaliter. Tapi tawa juga merupakan bentuk pembebasan manusia dari pelbagai larangan dan tekanan yang membuat dirinya menderita. Tawa para penderita dan kaum terdepak seperti yang diupayakan Yesus dapat mengurangi beban dan menjadi sebuah substitusi agar gerak perlawanan orang-orang terdepak tidak perlu harus dengan kekerasan. Tetapi sambil tertawa, orang dapat menyampaikan sebuah kritik. Tawa Yesus yang sinis seperti yang ada dalam lukisan membawa sebuah kritik yang mendalam terhadap penguasa yang memerintah dengan tangan besi dan mereka yang selalu merancang strategi untuk mendepak orang lain dari panggung pergaulan umum. Tawa penuh kritik tidak sepenuhnya untuk merendahkan dan mematikan orang lain, melainkan mengungkapkan kebutuhan orang-orang lemah akan sebuah perubahan.  Kalau tertawa merupakan ungkapan kebutuhan akan perubahan maka ia sekaligus menjadi sebuah permintaan kepada penguasa untuk memenuhinya. Kritik seperti ini bukanlah sebuah tuntutan frontal melainkan sebuah undangan untuk penguasa dalam memikirkan seluruh kebijakan yang tidak bijak yang telah dikonstruksinya.
                Sang pelukis telah mengangkat persoalan manusiawi Yesus yang tidak dilihat secara jeli oleh para penulis Kitab Suci. Kemanusiaan Yesus dalam tawa menjadi bentuk keberpihakkan kepada orang-orang pinggiran yang disisihkan oleh masyarakat umum. Sang pelukis telah membantu kita untuk memahami kehidupan yang hakiki dan lepas bebas dari persoalan yang dibebankan oleh masyarakat terhadap kelompok-kelompok tertentu. “Iri hatikah engkau karena Aku murah hati?” Membaca Kitab Suci tentang keberpihakkan Yesus terhadap orang-orang kecil,  sepertinya membaca sebuah teater yang menyuguhkan peran yang antagonistis. Dalam teater, tokoh-tokoh baik protagonis maupun antagonis menampilkan wajah dan peran yang berbeda sesuai dengan tuntutan karakter tokoh yang diperankannya.
                Memang di dalam teater, sering ditampilkan adegan-adegan dalam nuansa yang kocak dan sering mengundang tawa para penonton. Tetapi apa yang ditertawakan itu menawarkan isi yang mendalam yang kadang jauh dari jangkauan refleksi para penonton. Isi sebuah teater tak selamanya menjadi sebuah model baku dalam penyelesaian konflik sosial yang baik. Yang terpenting dalam sebuah teater adalah pengangkatan peristiwa ke atas panggung pentas dan dengan demikian ke atas kesadaran, berbagai pertentangan di dalam diri dan masyarakat yang tidak dihadirkan secara dangkal. Sebab itu kualitas sebuah teater tidak ditentukan oleh bentuk solusi yang ditawarkannya melainkan gugahan yang memungkinkannya bagi para penonton untuk menentukan sikap sendiri.
                Sikap penonton yang penuh tawa ketika penggalan kisah hidupnya diangkat, dibiarkan untuk terus bergumul dalam penemuan jati diri kembali sebagai manusia.   Memang, tidak semua teater mengundang tawa dan tawa yang dimunculkan bukanlah kriteria untuk menentukan nilai sebuah teater. Namun dalam sejarah penghadapannya dengan kekuasaan, tawa justeru menjadi alasan yang sering menimbulkan ketegangan antara penguasa dan tukang kritik.
Dalam lukisan sederhana itu, barangkali tawanya Sang Guru  memberi kritik pada penguasa karena tertawa agak sinis ataukah Ia tertawa bersama orang-orang kecil yang dibebaskan-Nya? Memang tawa Sang Guru seperti yang ada dalam lukisan itu membawa dua motif yang berbeda. Kadang, tawa Sang Guru bersifat destruktif dan merendahkan. Tetapi pada kesempatan lain, Ia memperlihatkan tawa yang membebaskan, yang memberi harapan, yang menularkan daya kesembuhan.***

PASKAH: PAS KAH?


Di Gerbang Yerusalem, umat bagai lautan menyambut kedatangan Yesus. Dengan mengendarai keledai, simbol kendaraan orang-orang miskin, Yesus memasuki kota tua itu. Orang-orang yang hadir waktu itu melambaikan daun-daun palma bahkan menghamparkan pakaian di jalan. Suasana gembira ini hanya dirasakan oleh mereka yang hadir tetapi bagi Yesus, hal ini merupakan permulaan untuk memasuki gerbang derita. Ia tahu bahwa dibalik kegembiraan dan sorak gempita, tersembul sebuah niat untuk menghukum Sang Raja yang dieluk-elukannya.

ROMO PEMBAHARU

Sabtu, 12 Maret 2011, bertempat di aula Stasi Gregorius diadakan perpisahan dengan Romo Sriyanto, SJ yang dikemas secara sederhana. Romo Sri, demikian panggilan Romo Maximianus Sriyanto, SJ yang sudah kurang lebih 4 tahun bekerja sebagai pastor kepala Paroki Hati Maria Tak Bernoda-Tangerang, kini berakhir sudah. Memang mutasi di kalangan para pastor adalah sesuatu yang biasa terjadi. Tetapi mutasi yang terjadi terutama terhadap Romo Sri yang akan menjalani tahun sabatikal (penyegaran rohani) merupakan suatu hal yang dianggap oleh umat Stasi Gregorius sebagai suatu kehilangan. Betapa tidak! Keberadaan Romo Sri yang masih diharapkan oleh umat untuk mengantar stasi ini menjadi sebuah paroki mandiri, ternyata cita-cita itu, sepertinya pupus sudah. Tetapi kepindahan Romo Sri tidak menyurutkan semangat para penggantinya untuk memberdayakan umatnya agar lebih mandiri.
            

Thursday, April 25, 2013

UN Terakhir?


Saat menulis artikel ini, wajah cemas sekitar 2,7 juta siswa kelas 12 (SMA/SMK), 3,7 juta siswa kelas 9 yang mengikuti UN mulai 15/3 hadir secara spontan. Meski sudah dijejali aneka pemantapan dan try out, tetapi UN masih menakutkan.
 
Tidak hanya itu. Terbayang juga wajah suram siswa di 11 propinsi, termasuk NTT terpaksa harus menunda pelaksanaan UN. Alasannya, demikian M Nuh,  karena ‘kesalahan tekhnis’.
 
Rangkaian tragedi seperti ini yang mestinya tidak terjadi apalagi mengingat dasar pedagogis (pendidikan) yang sangat minim, memunculkan pertanyaan: akankah tragedi tahunan ini terus berlanjut? Atau ada harapan, UN bakal dihapus?
 
Mustahil bertanya demikian. Sudah ada payung hukum yakni keputusan MA yang membatalkan pelaksanaan UN. Lebih lagi, dengan  kurikulum 2013 yang (katanya) lebih menjanjikan, mestinya ada model UN lebih menarik dari yang sekarang.
 
Kurikulum Teknis
 
Dalam bukunya El Currículo: un campo de conocimiento, un ámbito de Debate (1989), Diaz Barriga mengeritik kurikulum. Berkaca pada pengelaman di Kolumbia, ia menyimpulkan, kurikulum yang tidak didisain secara baik bukan tak mungkin menjadi sarana mempermiskin pengetahuan dalam pendidikan.
 
Mengapa demikian? Ia dirancang secara teknis, terlepas dari konteks historis yang melingkupinya. Ia disusun sebagai idealisme indah tanpa memperhitungkan realitas sosial. Akibatnya saat diimplementasikan, ia ompong tak bergigi.
 
Sebagai jalan keluar, disusun rencana kurikulum yang lebih baik. Tapi dalam proses ini pun masih ada pemikiran fragmentaris dan dispesif. Analisis terhadap pembaharuan masih bersifat jangka pendek dan didasarkan pada sudut pandang tertentu tanpa melihatnya sebagai satu kesatuan.
 
Pengakuan M Nuh (Kompas 8/3) tentang implementasi KTSP yang terkesan dipaksakan, padahal KBK belum terselesaikan, adalah contohnya. Kekuasaan yang ada pada menteri (saat itu) memungkinkan ia mengaplikasikan hal yang dianggapnya paling baik tapi kini harus diubah lagi.
 
Hal ini mestinya menyadarkan dunia pendidikan, demikian Barriga, bahwa kurikulum adalah sebuah politik akademis. Ia harus dirancang sebagai strategi terencana dan terukur dengan sebuah orientasi jangka panjang dan tidak sekedar diganti karena didasarkan pada cara pandang tertentu yang belum tentu benar.
 
Dalam konsep berpikir ini, patut kita akui,  kurikulum 2013, bisa saja telah memenuhi kriteria untuk ditempatkan sebagai sebuah politik akademis. Dukungan dasar filosofis (yang elektis?) dan yuridis maupun jaminan otput berkualitas oleh keunggulan akhlak dan penguasaan keterampilan akan membungkam semua kritik.
Tapi, apakah hal itu sebuah jaminan? Ide secermerlang apa pun perlu daya dukung berupa pemahaman yang tepat (melaui sosialisasi) dan buku yang menunjang. Hanya dengan demikian anggaran sekitar 2,4 triliun benar-benar tepat sasar dan tidak terkesan mubasir karena tidak efisien dan efektif.
Lebih lagi penerapan sebuah ide di negeri kepualauan seperti Indonesia, tentuk butuh persiapan ekstra. Ia tidak bisa ‘sekedar’ diterapkan, apalagi ada pertimbangan lain yang bisa saja bersifat sampingan. Tak akan lari gunung dikejar, meski diakui, jabatan (menteri) itu sementara dan sebentar lagi selesai.
 
Setengah Hati
 
Lalu, bagaimana kita menempatkan UN pada konteks kurikulum 2013? Meskipun tahun kurikulum ini identik dengan angka sial, tetapi ia lebih memberikan kegembiraan khusus bagi siswa kelas 11 dan kelas 8 kini. Bakal tidak ada UN lagi.
 
Mengapa? metode penilaian yang diterapkan nanti akan lebih otentik. Yang dievaluasi bukan saja aspek kognitif, seperti yang selama ini dilaksanakan tetapi diseimbangkan dengan penilaian kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Malah ada juga penilaian portofolio.
 
Kalau demikian maka model UN seperti yang diterapkan hingga kini akan terakhir. Kesedihan seputar UN, ritual zikir dan istighosah yang selalu diwarnai duka, bakal tidak terjadi lagi. Ujian akan lebih gembira disambut, ibarat petani yang rindu menantikan panen tiba.
 
Sayangnya penafsiran ini bisa saja kandas ketika dikaitkan dengan otoritas pengelola kurikulum. Jelasnya, jika dalam KTSP saja, otoritas (katanya) ada di sekolah, tetapi ujung-ujungnya ada UN, apalagi dalam kurikulum 2013. Pemerintah pusat dan daerah memegang kendalinya.

Di sini, (rasa-rasanya) UN akan dipertahankan. Dan lebih menyayat hati kalau modelnya seperti sekarang ini akan terus digunakan mengingat lebih ‘praktis’ dan yang tidak bisa dilupakan, ia telah menjadi proyek dengan anggaran yang tidak sedikit.  Lalu, mengapa pembaharuan kurikulum?

Masih ada kejanggalan lain. Di tengah persiapan ‘apa adanya’, bila akhirnya hanya diterapkan di sekitar 10% di SD dan 20% di SMP (syukur bahwa di SMA/SMK 100%) maka apa yang akan terjadi di tahun 2015, terutama ketika siswa 7 menghadapi UN? Apakah ada dua model ujian bagi yang sudah dan belum menerapkan Kurikulum 2013? Atau, apakah ketika tiba tahun 2014, menteri baru akan begitu saja menerima kejanggalan yang ada?

Inilah pertanyaan yang mesti disadari betul oleh para pengambil keputusan mengingat tidak terjawabnya pertanyaan ini bisa saja memberi kesan kita masih setengah hati saat menerapkan kurikulum baru. Atau kita lebih sibuk dengan hal-hal tekhnis pinggiran ketimbang memprioritaskan masa depan bangsa yang nota bene perencanaannya tidak bisa setengah hati, apalagi main-main.

Dalam kerangka berpikir ini, desakan penundaan tentu tidak bisa sekedar disinyalir bermuatan politis yang diartikan taktis tak sehat menjegal inisiatif kemendikbud. Hal itu bisa saja ada tetapi bersifat pinggiran. Yang paling penting, kesadaran akan keberadaan kurikulum sebagai politik akademis menjadi kata kunci untuk mengadakan pembaharuan, entah sekarang, atau nanti.

Robert Bala, Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol. Pengajar Spanyol pada Lembaga Budaya Trisakti.

__._,_.___





__,_._,___