Friday, January 23, 2015

FILOSOFI TUAK


Setiap hari, bapak saya yang hidup di Gelong, sebuah perkampungan kecil  yang terletak di atas bukit, tempat sandarnya sang matahari pagi, harus ke kebun untuk mengiris tuak putih  yang disadap dari pohon kelapa. Berbekal “nawin” (silinder bambu) dan “mer’e” (pisau khusus) untuk mengiris kelapa yang dijadikan tempat untuk menyadap tuak.  Mengingat kembali rutinitas hidupnya, kadang aku bertanya, untuk apa bapakku setia mengiris tuak? Dia tidak pernah alpa mengunjungi pohon  kelapa khusus yang dijadikan tempat menyadap tuak. Jaraknya begitu jauh dengan rumahku, dan bisa ditempuh dengan jalan kaki, menelusuri bukit dan lembah. Dia tidak pernah mengeluh capek. Yang terpancar dari wajahnya yang penuh keringat adalah sebuah dedikasi tinggi untuk dirinya dan terutama lewo tanah.
Di perkampunganku, tuak putih sudah menjadi warisan leluhur dan terus
digunakan, baik untuk seremoni adat dan minuman saat-saat pesta. Tanpa minuman tuak, suasana menjadi hambar dan komunikasi menjadi mandek. Tuak menyulut kata dan membangun komunikasi ketika orang-orang bertemu dalam suasana keakraban yang luar biasa. Saya ingat akan “oring” (pondok) yang dijadikan sebagai markas (epu oring) untuk bercerita dan bisa memecahkan banyak persoalan dengan ditemani tuak.
Tidak banyak tuak yang diminum oleh bapakku walau dia sendiri yang mengiris. Lewat tuak, ia membangun persahabatan dengan orang-orang lain ketika sedang berjalan menyusuri “epu oring” (pondok yang dijadikan sebagai rumah kedua). Banyak tertahan dan tertawan oleh tuak yang rasanya “menera” (rasanya baik) setelah bercampur dengan “raha” (sejenis kulit pohon kersen) yang dicampur dengan tuak.

Dalam arti tertentu, pada tataran filosofis,  “tuak” membangun nilai-nilai peradaban melalui komunikasi yang intens. Lewat “epu oring,” orang-orang di kampungku tidak minum saja, apalagi mabuk tetapi menempatkan komunikasi untuk  “gua gahin” (merencanakan) sesuatu dalam membangun kampung tercinta. Dalam tuak yang disuguhkan oleh bapakku, terpancar nilai-nilai kebaikan dari si penyedia. Orang-orang yang pernah merasakan sentuhan rasa tuak bikinan bapakku, ia akan mengenang dan berusaha untuk mencari kembali sumber tuak itu. Tuak, minuman lokal yang mengedepankan kearifan lokal, menawarkan nilai filosofi hidup, tentang perjuangan, keakraban dan rasa memiliki lewo tanah. Tuak…..tuak….ah tuak, rasamu sudah saya cicipi. Kini, walau berada jauh dari tanah Gelong Lamaledan, seolah aromamu memburu rasaku di tanah rantau.***(Valery Kopong)     

Monday, January 5, 2015

LAHIR DALAM SUNYI


      “Melukis diri pada kanvas rahim sang mama”
Hari ini dalam rentang waktu yang cukup panjang, aku merenung dalam ribaan “sapaan ulang  tahunku.” Lahir  dalam  sunyi  dibalut “kenola” (potongan kain sederhana) dan ditemani sang mama, Inak Uba Beda. Tak ada  perawat  yang membantu persalinan karena aku lahir waktu itu, belum ada bidan desa. Tetapi bersyukurlah bahwa lewat tangan dingin si dukun kampung, ia berani membantu persalinan tanpa takut sedikitpun.  Menurut  cerita mama bahwa setiap anak yang lahir, tali pusatnya dipotong bukan dengan gunting yang steril seperti  di rumah sakit mewah tetapi dengan  “meran” (kulit bambu yang tajam). Cara perawatan tali pusat sebelum terlepas dari pusat sang bayi juga sederhana, yakni  membungkusnya dengan parutan kunyit.