Monday, August 1, 2016

MERINTIS ‘JALAN MISKIN’

Oleh: Valery Kopong*
Malam semakin larut dan keheningan perlahan turun mencium bumi Pasar Kemis-Tangerang-Banten. Tepat pukul 21.30 malam, kami tiba di rumah sang pengacara itu, setelah lama menunggunya karena baru tiba dari luar kota. Memang, kesibukan telah melingkupi kehidupan pria berdarah Batak itu. Di selah-selah kesibukan dan boleh dikatakan bahwa hampir tidak ada waktu senggang baginya, tetapi ia masih menyempatkan diri  menerima kami untuk mewawancarainya.
                “Selamat malam,” sapa Pak Johnson Panjaitan S.H, kepada kami yang bertandang ke rumahnya.   wawancara kami dengannya, sepertinya berlangsung secara alamiah dan non formal. Kami diterima dalam suasana kekeluargaan dan langsung diajak untuk mengambil bagian pada santap malam.  Sambil menikmati hidangan yang telah disediakan keluarga Pak Johnson, obrolan pun terus mengalir. Pertama-tama ia menyatakan keprihatinan terhadap situasi negara yang sedang carut-marut. “Tidak lama lagi harga barang-barang kebutuhan mulai naik disertai dengan kenaikan BBM. Memang, tahun 2011 merupakan tahun keprihatinan bersama atas seluruh situasi yang terjadi di negeri ini,” keluh Pak Johnson.  
                Sering sekali wajah Pak Johnson Panjaitan tampil di televisi. Tetapi siapakah dia yang begitu berani menyuarakan keprihatinan masyarakat, terutama dalam bidang hukum? Pak Johnson adalah seorang Sekjen Asosiasi Advokat Indonesia. Sebagai seorang pengacara, ia dikenal akrab dengan permasalahan yang bersinggungan langsung dengan hukum. Menjadi pengacara bukanlah cita-citanya. Cita-cita awal Pak Johnson adalah mau menjadi Jaksa Agung. Tetapi kenyataan berbicara lain, ia bahkan lebih membaurkan hidupnya dalam pusaran persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini. Selain sebagai Sekjen Asosiasi Advokat Indonesia, ia juga sebagai penasihat hukum “Indonesia Police wacth” (Lembaga Pengamat Polri), sebuah LSM yang memantau seluruh gerak perjalanan Polri sekaligus memberikan kritik terhadap lembaga yang mempunyai peran strategis ini.     
Mengapa Memantau Polri?
                Apabila melihat seluruh sepak terjang perjalanan hidup dan gerak perjuangan yang diperlihatkan, Pak Johnson Panjaitan lebih memfokuskan diri dalam memantau kinerja Polri. Ketika ditanya, mengapa Polri yang dipantau dan bukannya TNI? Dengan nada santai ia menjawab, sejak pemisahan Polri dan TNI, peran yang lebih strategis dan bersentuhan langsung dengan masyarakat adalah Polri. Lembaga kepolisian ini memainkan peranan yang sangat penting, tidak hanya menjaga keamanan tetapi juga berperan dalam mendukung proses peradilan.
                Dalam mendukung proses peradilan ini, tentunya banyak hal yang dilakukan oleh Polri. Yang menjadi sorotan utama yang dilakukan oleh Lembaga Pemantau Polri adalah apakah, dalam menjalankan fungsinya, sesuai dengan hukum yang berlaku dan jauh dari praktek mafia atau tidak? Kenyataan berbicara lain. Banyak sekali fakta yang menunjukkan cukup banyak pelanggaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Terhadap kesalahan yang dilakukan oleh pihak penegak hukum (Polri), membuka peluang bagi Pak Johnson untuk memberikan kritik yang konstruktif sehingga pada akhirnya proses peradilan itu berjalan secara baik, sesuai harapan yang dicita-citakan masyarakat.     
                Melihat kondisi seperti ini, Pak Johnson tidak hanya memberikan kritik lewat media tetapi lebih dari itu ia memberikan masukan terhadap lembaga itu melalui seminar, dialog pribadi bahkan ia mengajar pada lembaga Polri. Dengan cara seperti ini maka ia sedang menata suatu kehidupan lembaga ini menjadi  lebih baik, dan pada akhirnya dapat membentuk karakter polri yang berwibawa dan dapat dipercaya oleh masyarakat. Apa yang dilakukan bersama “Indonesia Police Watch,” berdasarkan visi dan misi yang diembannya? Misi lembaga ini yaitu “penegakan hukum harus segera tercipta dalam era reformasi yang sedang berkembang di Indonesia. Sebab, dengan adanya penegakkan hukum, para pengusaha dan investor maupun segenap masyarakat Indonesia bisa dengan tenang melakukan aktivitas sosial ekonomi. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi nasional bisa berkembang.”  
                Beberapa cara yang ditempuh sebagai usaha untuk membangun ketahanan institusi Polri, sudah berjalan dan akan berjalan terus. Tetapi apakah dalam waktu dekat, lembaga Polri menjadi ‘bersih sesaat’   dan menamakan diri sebagai yang profesional? Pertanyaan sederhana yang dilontarkan ini sulit dijawab karena dalam pematangan sebuah lembaga membutuhkan waktu yang lama, butuh sebuah proses untuk berbenah diri. Dalam proses pembenahan diri, butuh kerja keras dan yang lebih dibutuhkan adalah lembaga itu sendiri, apakah ia mau berubah ke arah yang baik atau tidak? Tanpa adanya perubahan internal maka sulit sekali terjadi perubahan yang berarti. 
Dibentuk oleh Jesuit
                Ketika menggali latar belakang keberanian seorang Johnson Panjaitan, ia dengan rendah hati bercerita, tentang pola pembentukan yang dilakukan oleh beberapa imam Jesuit terhadap dirinya. Cukup lama ia bergabung dengan ISJ (Institut Sosial Jakarta)  yang dulu dimotori oleh Romo Sandyawan. Institut ini tidak berjalan lagi. Dalam proses pembentukan inilah ia mendapatkan spirit untuk berjuang. Perjuangan yang dilakukan lebih memperlihatkan sebuah keberpihakkan pada aspek kemanusiaan dan berbela pada kebenaran. Atas nama kemanusiaan, telah menyeret langkah pria Batak itu untuk terus terlibat dalam pembelaan terhadap para korban ketidakadilan. Negara Indonesia adalah negara yang memiliki banyak produk undang-undang yang berpihak pada rakyat tetapi faktanya, hukum tidak memberikan ruang bagi rakyat untuk mengenyam kebenaran. Yang terjadi adalah rakyat kecil yang tidak memiliki uang menjadi korban ketidakadilan dan kalah di hadapan hukum yang lebih berpihak pada uang.   
                Beberapa daerah konflik seperti Timor-Timur (sekarang Timor Leste), Ambon, pernah ia tinggal dan di sinilah ia banyak belajar tentang persoalan dan bagaimana menyelesaikan sebuah persoalan yang dihadapi. Hidup dalam lingkungan yang selalu mengundang nyawa jadi taruhan, siapa pun dia tentunya merasa takut. Tetapi apakah ketakutan itu dapat menyurutkan niatnya untuk tidak berkiprah lagi dalam memberi advokasi hukum? Baginya, banyak pengalaman yang ia dapat dari daerah konflik itu. Setidaknya ia belajar tentang pengorbanan  yang dilakukan oleh mereka  yang memperjuangkan  Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka yang membela kebenaran dan keadilan dalam atmosfer politik Orde Baru, kebanyakan berujung pada perjumpaannya dengan maut. Ancaman hidup selalu datang setiap saat. Hidup dalam lingkungan konflik, setiap penggalan hidup adalah sebuah resiko bahkan resiko itu sendiri dapat melenyapkan nyawa sekalipun. Baginya, “hidup atau mati berada pada tangan Tuhan.” Tuhanlah yang berkuasa mengatasi hidup ini. Prinsip hidup dan mati berada pada genggaman Tuhan inilah yang menjadi spirit dan kebangkitan baginya dalam membela kebenaran dan keadilan di negeri ini.
                Dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran, ia tidak pernah melihat popularitas. “Saya  tidak melihat popularitas,” tegasnya. Dengan mengedepankan popularitas, orang akan mudah jatuh dan tidak mendapat kepercayaan lagi. Dalam mencari popularitas, biasanya titik kepuasan didapat ketika orang memperoleh uang dan jabatan menjadi  pemenuhnya. Bagi  Johnson, ia berani mengambil titik seberang dengan teman-temannya yang kini kebanyakan mengambil haluan untuk masuk menjadi anggota dewan. Ia merintis  ‘jalan miskin’ dan berkomitmen untuk tidak menerima sesuatu terutama uang demi membungkam sebuah fakta yang sedang disoroti. ‘Mamon’ (uang)  meruntuhkan wibawa dan kepercayaan publik. Baginya, “wibawa tidak dibangun dari ambisi tetapi dari kesetiaan dan permohonan.”

                “Saya dibesarkan oleh tulang-belulang teman-teman saya.” Inilah suatu ungkapan yang membahasakan bahwa begitu banyak pejuang keadilan dan kebenaran yang muncul pada zaman Orde Baru. Namun banyak juga yang meninggal secara tragis karena kekejaman sebuah rezim. Kematian para sahabatnya menjadi spirit perjuangannya untuk selalu memberikan kritik dan bahkan karena kematian mereka maka ia menjadi besar.  “Biji sesawi itu harus mati lebih dahulu agar dapat menghasilkan banyak buah.” Memberi kritik untuk membangun peradaban sebuah bangsa terus dilakukan tanpa mengenal lelah. Dalam mengeritik, Johnson selalu mengidolakan Yesus yang waktu itu sebagai anak muda yang memberikan kritik terhadap kelompok-kelompok yang gelisah dengan kehadiran-Nya. Kritik Yesus membawa sebuah perubahan dan harapan baru.***(Valery Kopong)

No comments: