Monday, February 20, 2017

AHOK DAN JALAN SALIB POLITIS

Suasana pagi dengan kabut yang mengelabui wilayah Tangerang, sepertinya menggiring kesadaranku untuk menulis sesuatu sebagai bentuk sumbangan pemikiran dan refleksiku terutama  tentang demokrasi yang terus diuji lewat pesta demokrasi. Demokrasi yang saat ini hidup setelah melewati masa pemerintahan yang otoriter selamat tigapuluh dua tahun. Tetapi apakah demokrasi yang sedang kita bangun itu memperlihatkan wajah demokrasi yang sebenarnya?  Pertanyaan tuyul ini menggelitik ketika melihat geliat pesta pilkada sebagai realisasi demokrasi yang didambakan publik.
Memang, banyak wilayah di negeri ini mengadakan perhelatan akbar dalam pilkada untuk mencari pemimpin yang diharapkan warga. Tetapi dari sekian banyak pilkada, sepertinya pilkada DKI Jakarta menjadi magnet bagi seluruh warga Indonesia. Mengapa di tahun-tahun sebelumnya, pemilihan gubernur DKI Jakarta tidak seheboh saat ini? Menurut penulis, hebohnya pilkada DKI Jakarta saat ini karena calon gubernur yang diusung adalah Ahok yang beragama Kristen dan keturunan Thionghoa. Persoalan agama yang merupakan aspek primordial yang melekat dalam diri seseorang ternyata berpengaruh besar dalam perhelatan politis bahkan terus dipersoalkan.
Memandang perbedaan agama dan suku dalam konteks pilkada Jakarta menjadi sebuah amunisi yang disiapkan oleh lawan politik untuk menyerang kandidat lain. Ahok berada pada pusaran perbedaan ini karena ia (Ahok) yang mewakili minoritas berani menceburkan diri dalam ruang publik demokrasi, di mana mayoritasnya ternyata berbeda agama dengannya. Agama yang dianut bukan hanya dilihat sebagai titik hening membangun relasi dengan Tuhan tetapi dalam konteks Indonesia, agama menjadi ruang perdebatan politis dan bahkan agama menjadi tameng untuk menyingkirkan lawan yang tidak seagama denganku.   
Max Weber, seorang sosiolog pernah berujar bahwa agama merupakan “jaring laba-laba yang memberi makna.” Secara makro bisa ditafsir bahwa setiap orang memaknai nilai-nilai agama dan memperlihatkannya  pada realitas sosial dan mestinya seorang agamawan yang baik adalah dia yang memperlihatkan perilaku yang baik sebagai bentuk kristalisasi nilai-nilai agama yang dipelajarinya. Apa yang dikatakan oleh Weber, masih jauh dari jangkauan refleksi seorang politisi yang menamakan diri beragama.  
Ahok tidak membawa agamanya masuk ke pusaran politis tetapi yang dibawa adalah nilai-nilai keagamaan. Hal ini nampak dari rekam jejak pelayanannya selama menjabat sebagai wakil gubernur dan gubernur DKI Jakarta. Ahok melihat kekuasaan yang diterimanya sebagai kekuasaan untuk melayani dan bukannya untuk memperkaya diri. Ahok telah memperlihatkan perubahan besar kota Jakarta yang selama ini terkesan kumuh, tetapi lawan-lawan mereka sepertinya dibutakan matanya untuk tidak melihat keunggulan Ahok. Ia terus didera dengan pelbagai hal, mulai dari penistaan agama, suku dan bahkan mempersoalkan agama yang dianutnya, karena bagi agama tertentu, pemimpin bukan berasal dari agama Kristen.

Dalam refleksi dan dari kaca mata iman kristiani, saya memahami bahwa Ahok sedang berada dalam pergulatan panjang. Jakarta, dalam kaca mata iman, merupakan Getzemani bagi Ahok untuk terus bergulat batin dalam menghadapi ancaman dari luar diri dan para penantangnya. Jalan politis Ahok, tidak lain adalah jalan salib yang tidak pernah selesai. Karena menjadi pengikut Kristus berarti berusaha berhadapan dengan zona iman yang tidak aman. Namun justeru dalam tantangan itu, Ahok dan para pengikut Kristus, menemukan makna sesungguhnya menjadi pengikut Kristus.***(Valery Kopong)    

No comments: