Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Saturday, November 26, 2022

Panggilanku Terhambat

 


Setiap kali bertemu dengan Romo Dan di ruang sakristi, sepertinya naluri panggilanku untuk menjadi calon imam semakin terasa.  Khotbah Romo Dan  yang  selalu berapi-api memberikan semangat bagiku dan ingin mengikuti  jejak Kristus menjadi calon imam. Apakah benih panggilan yang mulai terpupuk sejak aku terlibat dalam kegiatan sebagai putera altar bisa terwujud? Pertanyaan sederhana ini sepertinya sedang membenturkan dinding  cita-citaku.

              Cita-citaku cuma satu. Ingin menjadi calon imam dan mengikuti pendidikan mulai di seminari menengah. Sejak duduk di bangku kelas 9 SMP Yos Sudarso, aku mempunyai niat khusus ini, apalagi didukung  oleh Romo Dan. Sosok Romo Dan adalah gembala yang baik, bisa membimbing aku untuk mengenal lebih jauh tentang arti panggilan.    

              “Cita-cita menjadi imam?” aku melamun sendiri di ruang sakristi itu

              “Jangan ngelamun, Anung!.” Boby menyadarkan Anung sekaligus sahabat putera altar.  Sekarang kita mulai bertugas. Tugas Anung hari ini adalah membawa salib.

              Dengan sigap aku mulai  mengambil salib dan bersiap untuk perarakan misa. Perarakan berjalan lancar. Misa dimulai dengan khitmat namun sangat terasa ketika mulai pembacaan Injil dan khotbah.  Romo Dan membacakan Injil tentang Yesus memanggil murid yang pertama, rasanya  seperti cocok dengan pergulatan hatiku ini. Dalam khotbahnya Romo Dan menekankan bahwa Yesus memanggil murid-murid-Nya menunjukkan inisiatif pertama datang dari Yesus sendiri. Karena itu tidak mengherankan bahwa para murid yang dipanggil segera meninggalkan segala-galanya tanpa kompromi.

 

Setelah misa, aku langsung  pulang ke rumah bersama kedua orang tuaku serta Tensae dan Doal adik-adiku. Dalam mobil kijang yang kami tumpangi, aku duduk terpaku diam dan sambil memikirkan, kapan aku harus menceritakan niatku untuk menjadi calon imam ini pada kedua orang tuaku. Tetapi dengan mendengar khotbah Romo Dan tentang panggilan, sepertinya menyiksa batinku dan seolah memaksa aku menceritakan cita-citaku pada kedua orang tuaku.

              “Anung kok diam aja?” Tanya ibunya yang duduk di samping dalam mobil itu.

              “Apa yang sedang Anung pikirkan?” Tanya ibunya dengan rasa ingin tahu.

              “Ibu mendengar isi khotbah Romo Dan di mimbar?” Aku menanya balik pada ibuku.

              “Ya, ibu mendengar baik tentang isi khotbah Romo Dan.” Romo mengatakan bahwa panggilan itu semata-mata karena inisiatif Yesus. Artinya seseorang yang dipanggil tidak punya hak untuk menolak melainkan menerima panggilan itu.

              “Mengapa Anung menanyakan isi khotbah pada ibu?” Tanya ibunya.

              “Ya, aku sengaja menanyakan isi khotbah Romo Dan dan ini menjadi kesempatan bagi aku untuk menceritakan cita-cita hidupku.

              “Apa cita-citamu, Anung?” Tanya ibunya dengan penuh penasaran

              “Cita-citaku ingin masuk ke seminari supaya bisa menjadi seorang imam. Sejak terlibat dalam kegiatan putera altar, aku merasa tertarik terutama pada kesaksian hidup Romo Dan. Bagi aku, Romo Dan adalah seorang gembala yang baik dan memimpin umatnya dengan sangat bijak. Karena itu menjadi daya tarik bagi aku  untuk menjalani hidup seperti Romo Dan.”

              “Ibu mendukungmu untuk melanjutkan pendidikan ke  seminari menengah untuk menunjang panggilanmu yang luhur ini.”

              “Apa? Ibu mendukung Anung menjadi imam? Tanya ayahnya dengan penuh sinis. Bapak sekali-kali tidak memperbolehkan Anung menjadi calon imam. Bapak ini orang Batak yang  tidak memperbolehkan anak laki-laki sulung untuk menjadi imam. Karena anak laki-laki pertama adalah pelanjut marga kita, sinaga. Adikmu saja yang akan masuk ke seminari tetapi Anung menjadi  andalan pelanjut marga kita dan pada waktunya nanti Anung menjadi pewaris keturunan dari marga sinaga.

 

              “Ah, Bapak ini suka menghalangi cita-citaku.” Tukas aku. Supaya bapak tahu bahwa panggilan dari Tuhan itu merupakan inisiatif  dari-Nya dan manusia yang dipanggil harus memberikan jawaban atas panggilan itu. Tuhan yang memanggil manusia tidak mengenal dari suku atau marga mana. Tuhan hanya mementingkan kerelasediaan manusia untuk membuka diri terhadap panggilan itu. Panggilan itu sedang aku rasakan  dan ada dorongan yang sangat kuat untuk mengikuti panggilan itu dengan memulai langkah awal masuk ke seminari menengah.

 

Sesampai di rumah, kami mulai berdebat lagi tentang panggilan dan menjadi cita-citaku. Tetapi bapakku berkeras kepala dan mempertahankan pola pikir lama dan selalu mengarah pada kepentingan marga Sinaga. Apakah karena mementingkan keberlangsungan  hidup  marga Sinaga sehingga cita-citaku menjadi korban?  Aku terus berdoa supaya Tuhan sendiri bisa membuka pintu hati bapakku untuk memahami lebih jauh arti panggilan ini.  Aku merasa gagal  menjalani panggilanku karena terbentur pada tuntutan marga.***(Valery Kopong)

 

 

 

Thursday, April 5, 2018

AKU TETAP INGIN MENARI


Oleh: Theresia Yuni

            Alunan musik Bali yang membangkitkan semangat mengalun merdu. Terlihat lenggak-lenggok empat anak berlatih menari tari Belibis. Pelatih memberikan contoh sambil meneriakkan aba-aba yang harus diikuti para penari pemula.
            “Adik-adik ingat ya, tari belibis ini menggambarkan kehidupan sekelompok burung belibis yang dengan riangnya menikmati keindahan alam. Jadi, menarinya harus dengan riang, dan lincah. Mukanya jangan muram dan semua gerakan harus menunjukkan kesungguhan.” Kata Tante Astrit, sang pelatih.
            “Sekarang kita mulai lagi. Siap ya! yak mulai.” Teriakan Tante Astrit terdengar jelas. Semua penari mencoba mengikuti gerakannya, termasuk Ella yang gerakannya terlihat terseret-seret karena belum begitu hafal.
            Tiga bulan sudah ia belajar menari di sanggar Tante Astrit. Ketertarikan awal Ella menari yaitu ketika ia melihat pementasan tari Cenderawasih dan tari Belibis, di  acara kantor Bapaknya. Ia jadi ingin tampil seperti mereka yang lincah dan menarik hati  dengan iringan musik Bali.Tapi kenyataannya, menari Bali bagi Ella tidaklah mudah. Hari ini cukup membuat semangatnya hilang ia tidak terpilih sebagai wakil sanggar dalam lomba menari antar sanggar.
           

Tuesday, April 26, 2016

KESABARAN MEMBAWA KEBERHASILAN

Tanggal 17 Agustus semakin dekat. Hari yang sungguh ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia. Banyak orang yang berlomba-lomba untuk memeriahkan hari 17 Agustus. Sama  dengan  masyarakat  Desa  Balingga. Masyarakat Desa Balingga sangat menginginkan untuk ikut memeriahkan hari kemerdekaan Indonesia tersebut namun sayang desa terpencil yang jarang dikenal orang itu memiliki perekonomian  yang buruk. Maka tak heran bila masyarakat di sana tak bisa ikut merayakan hari besar Indonesia tersebut. Dulunya desa tersebut mimiliki banyak sumber daya alam yang dapat membantu perekonomian di sana. Namun sayang, banyak masyarakat kota yang datang dan merusak sumber daya alam di sana.
            Sama juga dengan anak-anak di SMP Bangkit Jaya. Anak-anak di sana sudah berusaha untuk mengumpulkan uang agar dapat membuat masyarakat Desa Balingga merasakan kemeriahan HUT kemerdekaan Indonesia tersebut. Namun sayang, uang yang mereka kumpulkan selalu habis untuk biaya pembenahan sekolah mereka. Ya, memang sekolah mereka sudah berdiri sejak lama, sehingga tak heran bila banyak dinding-dinding yang rusak dan atap mereka juga sering kali bocor, sehingga anak-anak di sana sering libur ketika musim hujan.
           

Saturday, October 26, 2013

PELANGI ITU AKAN SELALU ADA



Oleh: Theresia Tri Wahyuni

“Pelangi pelangi alangkah indahmu
Merah kunig hijau di langit yang biru
Pelukismu agung, siapa gerangan
Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan”

Sayub terdengar alunan lagu masa kecil, teringat olehnya kisah-kisah hidupnya yang dulu. Kecipak-kecipak terdengar air terinjak oleh puluhan kaki anak-anak yang bermain di halaman sekolah. Mereka bermain dengan bebas tetapi ketika hujan tiba, kebebasan bermain di halaman sekolah sepertinya dibatasi oleh guru karena takut mereka bisa jatuh sakit.  “Jika hujan jangan main air anak-anak, nanti masuk angin” kata Bu Guru. Seusai bermain, mereka keburu pulang karena lapar, apalagi berangkat sekolah tadi tak sempat sarapan. Dalam perjalanan pulang dengan menempuh jarak yang jauh dan melelahkan, mereka seakan melupakan rasa lapar. Ah, biar saja, yang penting cepat sampai di rumah dan bisa segera bantul simbok.