Showing posts with label Pendidikan. Show all posts
Showing posts with label Pendidikan. Show all posts

Monday, February 29, 2016

“YANG MULIA”

Beberapa minggu terakhir ini masyarakat Indonesia disuguhkan dengan  persidangan  yang dilakukan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).  MKD berusaha untuk memanggil dan menghadirkan para saksi yang terkait dengan kasus Freeport.  Dalam persidangan itu, bisa terlihat secara jelas bahwa seorang saksi berlaku sopan dan berusaha  untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan  dengan didahului  kalimat “Yang Mulia.” Karena sidang yang dilakukan itu secara terbuka dan ditayangkan secara LIVE di beberapa TV maka kalimat “Yang Mulia” menjadi menarik dan bahkan dijadikan sebagai guyonan oleh masyarakat.
            Penggunaan kalimat “Yang Mulia” oleh seorang saksi ataupun seorang terdakwa dalam sebuah persidangan merupakan hal biasa yang sering dilakukan. Tetapi mengapa kalimat “Yang Mulia” yang dipakai dalam persidangan di MKD mendapat sorotan dan bahkan dijadikan sebagai lelucon yang mengundang gelak tawa masyarakat? Penggunaan kalimat “Yang Mulia”  ini merupakan  bentuk penghormatan seorang saksi ataupun terdakwa terhadap seorang hakim dalam sebuah persidangan. Tetapi kenyataan yang menarik dalam persidangan di MKD, kalimat “Yang Mulia” menjadi bahan tertawaan karena MKD kurang menampilkan rasa hormat kepada para saksi yang dengan tahu dan mau memberikan informasi tentang kasus yang bergulir itu.      
           

Thursday, April 25, 2013

UN Terakhir?


Saat menulis artikel ini, wajah cemas sekitar 2,7 juta siswa kelas 12 (SMA/SMK), 3,7 juta siswa kelas 9 yang mengikuti UN mulai 15/3 hadir secara spontan. Meski sudah dijejali aneka pemantapan dan try out, tetapi UN masih menakutkan.
 
Tidak hanya itu. Terbayang juga wajah suram siswa di 11 propinsi, termasuk NTT terpaksa harus menunda pelaksanaan UN. Alasannya, demikian M Nuh,  karena ‘kesalahan tekhnis’.
 
Rangkaian tragedi seperti ini yang mestinya tidak terjadi apalagi mengingat dasar pedagogis (pendidikan) yang sangat minim, memunculkan pertanyaan: akankah tragedi tahunan ini terus berlanjut? Atau ada harapan, UN bakal dihapus?
 
Mustahil bertanya demikian. Sudah ada payung hukum yakni keputusan MA yang membatalkan pelaksanaan UN. Lebih lagi, dengan  kurikulum 2013 yang (katanya) lebih menjanjikan, mestinya ada model UN lebih menarik dari yang sekarang.
 
Kurikulum Teknis
 
Dalam bukunya El Currículo: un campo de conocimiento, un ámbito de Debate (1989), Diaz Barriga mengeritik kurikulum. Berkaca pada pengelaman di Kolumbia, ia menyimpulkan, kurikulum yang tidak didisain secara baik bukan tak mungkin menjadi sarana mempermiskin pengetahuan dalam pendidikan.
 
Mengapa demikian? Ia dirancang secara teknis, terlepas dari konteks historis yang melingkupinya. Ia disusun sebagai idealisme indah tanpa memperhitungkan realitas sosial. Akibatnya saat diimplementasikan, ia ompong tak bergigi.
 
Sebagai jalan keluar, disusun rencana kurikulum yang lebih baik. Tapi dalam proses ini pun masih ada pemikiran fragmentaris dan dispesif. Analisis terhadap pembaharuan masih bersifat jangka pendek dan didasarkan pada sudut pandang tertentu tanpa melihatnya sebagai satu kesatuan.
 
Pengakuan M Nuh (Kompas 8/3) tentang implementasi KTSP yang terkesan dipaksakan, padahal KBK belum terselesaikan, adalah contohnya. Kekuasaan yang ada pada menteri (saat itu) memungkinkan ia mengaplikasikan hal yang dianggapnya paling baik tapi kini harus diubah lagi.
 
Hal ini mestinya menyadarkan dunia pendidikan, demikian Barriga, bahwa kurikulum adalah sebuah politik akademis. Ia harus dirancang sebagai strategi terencana dan terukur dengan sebuah orientasi jangka panjang dan tidak sekedar diganti karena didasarkan pada cara pandang tertentu yang belum tentu benar.
 
Dalam konsep berpikir ini, patut kita akui,  kurikulum 2013, bisa saja telah memenuhi kriteria untuk ditempatkan sebagai sebuah politik akademis. Dukungan dasar filosofis (yang elektis?) dan yuridis maupun jaminan otput berkualitas oleh keunggulan akhlak dan penguasaan keterampilan akan membungkam semua kritik.
Tapi, apakah hal itu sebuah jaminan? Ide secermerlang apa pun perlu daya dukung berupa pemahaman yang tepat (melaui sosialisasi) dan buku yang menunjang. Hanya dengan demikian anggaran sekitar 2,4 triliun benar-benar tepat sasar dan tidak terkesan mubasir karena tidak efisien dan efektif.
Lebih lagi penerapan sebuah ide di negeri kepualauan seperti Indonesia, tentuk butuh persiapan ekstra. Ia tidak bisa ‘sekedar’ diterapkan, apalagi ada pertimbangan lain yang bisa saja bersifat sampingan. Tak akan lari gunung dikejar, meski diakui, jabatan (menteri) itu sementara dan sebentar lagi selesai.
 
Setengah Hati
 
Lalu, bagaimana kita menempatkan UN pada konteks kurikulum 2013? Meskipun tahun kurikulum ini identik dengan angka sial, tetapi ia lebih memberikan kegembiraan khusus bagi siswa kelas 11 dan kelas 8 kini. Bakal tidak ada UN lagi.
 
Mengapa? metode penilaian yang diterapkan nanti akan lebih otentik. Yang dievaluasi bukan saja aspek kognitif, seperti yang selama ini dilaksanakan tetapi diseimbangkan dengan penilaian kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Malah ada juga penilaian portofolio.
 
Kalau demikian maka model UN seperti yang diterapkan hingga kini akan terakhir. Kesedihan seputar UN, ritual zikir dan istighosah yang selalu diwarnai duka, bakal tidak terjadi lagi. Ujian akan lebih gembira disambut, ibarat petani yang rindu menantikan panen tiba.
 
Sayangnya penafsiran ini bisa saja kandas ketika dikaitkan dengan otoritas pengelola kurikulum. Jelasnya, jika dalam KTSP saja, otoritas (katanya) ada di sekolah, tetapi ujung-ujungnya ada UN, apalagi dalam kurikulum 2013. Pemerintah pusat dan daerah memegang kendalinya.

Di sini, (rasa-rasanya) UN akan dipertahankan. Dan lebih menyayat hati kalau modelnya seperti sekarang ini akan terus digunakan mengingat lebih ‘praktis’ dan yang tidak bisa dilupakan, ia telah menjadi proyek dengan anggaran yang tidak sedikit.  Lalu, mengapa pembaharuan kurikulum?

Masih ada kejanggalan lain. Di tengah persiapan ‘apa adanya’, bila akhirnya hanya diterapkan di sekitar 10% di SD dan 20% di SMP (syukur bahwa di SMA/SMK 100%) maka apa yang akan terjadi di tahun 2015, terutama ketika siswa 7 menghadapi UN? Apakah ada dua model ujian bagi yang sudah dan belum menerapkan Kurikulum 2013? Atau, apakah ketika tiba tahun 2014, menteri baru akan begitu saja menerima kejanggalan yang ada?

Inilah pertanyaan yang mesti disadari betul oleh para pengambil keputusan mengingat tidak terjawabnya pertanyaan ini bisa saja memberi kesan kita masih setengah hati saat menerapkan kurikulum baru. Atau kita lebih sibuk dengan hal-hal tekhnis pinggiran ketimbang memprioritaskan masa depan bangsa yang nota bene perencanaannya tidak bisa setengah hati, apalagi main-main.

Dalam kerangka berpikir ini, desakan penundaan tentu tidak bisa sekedar disinyalir bermuatan politis yang diartikan taktis tak sehat menjegal inisiatif kemendikbud. Hal itu bisa saja ada tetapi bersifat pinggiran. Yang paling penting, kesadaran akan keberadaan kurikulum sebagai politik akademis menjadi kata kunci untuk mengadakan pembaharuan, entah sekarang, atau nanti.

Robert Bala, Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol. Pengajar Spanyol pada Lembaga Budaya Trisakti.

__._,_.___





__,_._,___


Tuesday, April 17, 2012

UN yang ‘Menyedihkan’

Ritual zikir dan istighosah yang cukup ramai dilaksanakan menjelang UN cukup menarik untuk disimak. Terlihat, tidak sedikit anak yang menangis saat pemimpin doa menyentuh mereka dengan kata-kata menggugah. Apalagi bila disertai ritus membasuh kaki orang tua, maka suara tangis menjadi tidak terbendung. Ritual seperti ini tentu saja positif. Dengan doa, diharapkan siswa memiliki ketenangan dan kesiapan batin untuk menghadapi UN. Ia juga merupakan sebuah momen yang menguatkan siswa. Mereka disadarkan, segala persiapan tidak akan sia-sia. Tuhan tidak akan tutup mata terhadap pengorbanan yang sudah dilaksanakan. Tetapi, apakah kesedihan itu sekedar konsekuensi dari doa yang mendalam atau punya arti lain? Ada apa dengan UN sehingga pelaksanaannya membuat siswa kita sedih? Sumber Kesedihan Kesedihan, demikian Santo Thomas dalam Suma Teologica I-II, bisa muncul karena empat hal. Ia bisa saja hadir sebagai bentuk compassion. Orang bersedih karena tidak tegah melihat penderitaan orang lain. Dalam konteks UN, tangisan siswa bisa disebabkan oleh rasa prihatin atas teman lain yang karena alasan internal atau eksternal, tidak cukup siap menghadapi UN. Kesedihan juga bisa muncul akibat iri hati. Orang merasa sendih melihat kebaikan yang dibuat orang lain. Siswa yang belum siap merasa iri pada teman lain yang sudah lebih siap. Ia pun menangis karena telah menyia-nyiakan waktu untuk belajar. Rasa jengkel pun bisa muncul dari anak yang berasal dari kalangan bawah yang tidak punya keberuntungan seperti temannya yang lain. Lebih jauh, kesedihan bisa berubah menjadi sebuah kegelisahan mendalam lantaran secara pribadi, seseorang merasa sudah tidak berdaya lagi untuk keluar dari kungkungan masalah. Ia hanya pasrah pada nasib. Ia meratap karena semua peluang tertutup baginya. Variasi 5 paket soal dalam satu ruang justru membuatnya kian panik dan sedih. Ada hal yang lebih memprihatinkan. Kegelisahan dan ketakberdayaan bisa memengaruhi kondisi fisik seseorang. Kesedihan yang kuat bisa begitu membebani sehingga merambah ke ranah fisik. Aneka tindakan yang mencederai tubuh bisa menjadi pelampiasannya. Otonomi Sekolah Sepintas, kesedihan siswa itu dianggap sesuatu yang normal. Pada masa remaja yang nota bene penuh gejolak, rasa sedih perlu dibangkitkan. Ia menjadi satu bentuk evaluasi diri demi menyentuh batin dan darinya diharapkan terjadinya perubahan berarti. Petinggi negeri ini pun akan bersyukur karena berkat zikir, keributan di jalan, tawuran, dan aneka kenakalan lainnya akan berkurang secara drastis, paling kurang menjelang UN. Namun, apakah sesederhana itukah arti kesedihan? Mengutip Victor Frankl, kesedihan itu bisa dimaknai lebih jauh sebagai sebuah ekspresi frustrasi dan depresi eksistensial malah sebuah ekspresi pesimisme radikal. Jenis kesedihan seperti ini tentu saja tidak hadir secara kebetulan melainkan akibat dari sebuah kesalahan eksistensial pula. UN misalnya, secara yuridis sudah dibatalkan Mahkama Agung (MA). Memang, tuntutan itu dilayangkan lebih dari enam tahun yang lalu dan dalam perjalanan telah terjadi perubahan yang signifikan. Tetapi pembatalan itu (minmal untuk sementara waktu) perlu ditaati. Di sini kita pun paham, aanmaning atau teguran dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada Kementrian Pendidikan (10/4) bisa saja membuat siswa gelisa dan sedih. Mereka ‘ditakdirkan’ mengikuti UN yang nota bene sudah dibatalkan. Ada hal lain yang lebih fundamental. Secara pedagogis-edukatif, ujian, bersama dua komponen lainnya yakni pemahaman konseptual dan penerapan metodologi pengajaran merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah proses pendidikan. Sekolah bertanggungjawab memungkinkan agar para pengajarnya memiliki pemahaman konseptual yang tepat dan punya metode pengajaran kreatif yang memampukan siswa memahami materi secara tepat. Pada akhirnya, sekolah juga yang menguji, demi mengetahui kadar penyerapan materi yang sudah diajarkan. Tentu kita pun harus realistis. Agar setiap sekolah tidak menjadi pulau sendiri di tengah lautan pendidikan, maka Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) mesti lebih diberi otonomi dan diberdayakan. Di sana para guru pada kawasan atau gugus tertentu sepakat mempertajam pemahaman konsep, mensharingkan metode pembelajaran dan pada akhirnya dapat menyusun bersama ujian yang bisa diterapkan di kawasannya. Sudah pasti, kerja seperti ini meletihkan. Pemerintah pusat perlu beralih dari UN yang dilaksanakan secara ‘pukul rata’, tetapi harus bergerilya dari daerah ke daerah untuk memantau apakah semua standar pendidikan sudah dipenuhi sebagai jaminan pasti akan menuai hasil pada ujian yang nota bene diselenggarakan sendiri oleh sekolah. Peran seperti ini juga tentu saja jauh untuk disebut proyek yang menelan biaya tak sedikit seperti yang bisa didapat dari pelaksanaan UN. Tetapi yang pasti, ia akan bersih dari aneka kong-kalikong hal mana sudah menjadi rahasia umum dalam UN. Di sini, instansi vertikal tidak lagi melakukan manipulasi berjamaah untuk meluluskan sebanyak mungkin siswa karena di sanalah kredibilitas murahan tercipta. Bila kekeliruan ini dipahami, maka ujian yang dilaksanakan pada setiap sekolah atau gugus akan menjadi memen menggembirakan dan bukan menyedihkan sebagaimana dihadapi mulai hari ini 2,5 juta siswa SMA. Robert Bala. Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol. Guru Bahasa Spanyol pada Lembaga Bahasa Trisakti.

Tuesday, June 8, 2010

GURU

“Hanya satu yang saya tahu yaitu saya tidak tahu apa-apa.”


Sedari dulu, guru dilirik sebagai sosok yang menyimpan ilmu dan pemberi teladan bagi siswa. Tumpuan kepintaran para siswa sangat bergantung pada guru, si pemberi ilmu. Ilmu yang didalami guru selama di bangku kuliah, seakan menuntut “penetasan” kembali pada “sangkar sekolah” sebagai bukti keterbukaannya pada siswa yang dengan setia menyadap ilmunya. Melirik konsep publik tentang guru yang selalu mengada dalam waktu, membuat penulis melahirkan sebuah pertanyaan tuyul. Masih relevankah bila guru dianggap sebagai pengajar dan pendidik?
Di mata siswa, guru menjadi salah satu tumpuan di mana mereka boleh menimbah ilmu. Di hadapan siswa pula, guru adalah cerminan masa depan siswa yang masih berada dalam mayanda suram. Masa depan siswa yang masih dalam taraf impian, seakan disibaki oleh guru. Di sini, guru boleh tampil sebagai gembala tradisi dan nabi untuk masa depan siswa.
Oleh peralihan ilmu, secara gamlang dapat dikatakan bahwa siswa ditransformasikan sebagai penerus ilmu sedangkan guru dijadikan oleh siswa sebagai tempat untuk menerima ilmu. Di sini, tertampilkan peran mutualistik dan dalam konteks yang lebih simpel, guru adalah sebuah “sapaan” bagi persentuhan antara pemberi dan penerima, antara orang yang berpengetahuan lebih (baca: guru) dengan siswa yang masih mendiami “wilayah tabula rasa.”
Visi dan misi seorang pengajar dan pendidik terungkap dalam sapaan yang “menyejarah.” Misi seorang guru dalam memproklamasikan ilmu sambil menyiapkan masa depan siswa sebagai perwujudan visi-futuris. Guru yang bermodalkan ilmu, “bersentuhan” secara langsung dengan siswa sebagai “lahan riil” dan sanggup membuka mata siswa untuk menangkap dan merasakan pergulatan dengan ilmu yang ditawarkannya. Keterlibatan guru dalam upaya pemberdayaan siswa merupakan sebuah langkah awal dalam pencerahan masa depan.
Sebagai agen perubahan masa depan siswa, guru perlu juga membekali diri secara lebih mendalam dengan ilmu tambahan, selain yang telah diperoleh pada masa lalu di bangku kuliah. Oleh pembelajaran yang kontinu ini, ilmu yang telah diperoleh mengalami ‘peremajaan’ dan sanggup menempatkan diri sesuai dengan perubahan zaman. Usaha guru untuk terus belajar dan meremajakan ilmunya merupakan bukti pertanggung jawaban terhadap masa lalu. Tanpa kesadaran akan sejarah dan keberanian untuk menggumuli kembali ilmu di masa lalu, guru hanya tampil sebagai pelaku sejarah yang pasif.
Antara ilmu dengan siswa sebagai penerima ilmu, terdapat guru yang membenang-merahi proses pengalihan ilmu kepada para siswa. Tindakan komunikatif dari guru tidak saja menukarkan gagasan tentang sesuatu, melainkan dalam memberikan gagasannya, guru disanggupkan sebagai pendidik yang memberikan contoh atau teladan yang terbaik bagi siswanya. Tersebab oleh pendemonstrasian teladan inilah maka guru tetap memposisikan diri sebagai pengajar dan sekaligus sebagai pendidik.
Sapaan ‘guru’ mengandung dua aspek secara serentak. Guru tidak hanya tampil sebagai pengajar dengan mengesampingkan nilai-nilai pedagogisnya, melainkan dalam diri seorang guru mestinya ada penyatuan dua aspek ini yakni sebagai pendidik dan pengajar. Barangkali di sini, terdapat persoalan urgen yang dihadapi oleh para guru. Di satu sisi, sebagai pengajar, seorang guru sanggup memindahkan ilmu dari “gudang pemikiran” kepada siswa sebagai alamat terakhir di mana ilmu itu tersalur. Namun di sisi lain, terkadang guru tidak sanggup sebagai pendidik dalam memberikan teladan.
Dari sisi edukatif, ada sejumlah pertanyaan meragukan yang dialamatkan kepada guru sebagai pengajar dan pendidik, misalnya pertanyaan tentang ketidak-sanggupannya dalam membidangi sebuah ilmu atau tentang kegagalannya sebagai pendidik. Dua hal ini mestinya melekat dalam diri seorang guru secara utuh. Dalam proses mengajar dan mendidik, seorang guru tidak luput dari kekurangan kedua aspek ini. Tetapi kekurangan itu bisa teratasi bila ada keterbukaan hati untuk mau belajar dan berendah hati. Dari segi keteladanan, seorang guru baru, boleh mengaca diri pada guru yang telah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan karena darinya dapat diperoleh pelbagai hal dalam mereparasi kekurangannya. Dari segi ilmu pengetahuan, seorang guru mestinya belajar pada “intellectual modesty” milik Sokrates. “Hanya satu yang saya tahu yaitu saya tidak tahu apa-apa.” Berpijak pada pemikiran ini maka guru tak pernah berhenti menggumuli ilmu pengetahuannya.***(Valery Kopong)