Tuesday, November 27, 2012

CURIGA

    
-->

Oleh: Valery Kopong*
               
Ketika persoalan antaragama terus meruncing dan terkadang berujung pada bentrokan fisik, ada kelompok kaum muda muncul di permukaan pergaulan dan  menjadi “ikon perdamaian” yang perlu dicontoh. “Komunitas Berhati,” sebuah komunitas lintas agama ingin memberikan sebuah pencerahan tentang dialog, tentang kesaling-terimaan lewat aksi sederhana. Setiap dua minggu sekali, “Komunitas Berhati” melakukan pembersihan rumah-rumah ibadah yang ada di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Anggota komunitas ini  berasal dari karyawan-karyawan  dari tiga perusahaan yang berada di Kebon Jeruk-Jakarta Barat. Jumlah anggota keseluruhan “Komunitas Berhati” diperkirakan ada 70 lebih orang. Setiap dua minggu sekali, anggota-anggota ini diterjunkan ke lapangan untuk mengadakan pembersihan rumah-rumah ibadah. Satu kelompok yang menanggung satu rumah ibadah terdiri dari 8-10 orang.  Tanggal 1 September 2012 yang lalu,  mereka membersihkan lima rumah ibadah, yakni 2 mushola (Musholla Assa’ Adatudaroin yang berada di Bekasi dan Musholla Al-Mudjahidin yang berada di Pondok Aren), 2 vihara  yang terletak di Tangerang (Vihara Arriya Dharma dan Vihara Nirmala) dan satu Gereja Katolik (Gereja Paroki Santo Gregorius-Tangerang).
                Rasyid, salah seorang anggota “Komunitas  Berhati” yang memeluk agama Islam, ketika ditemui di sela-sela kesibukan membersihkan Gereja Paroki Santo Gregorius-Tangerang, mengatakan bahwa senang  mengikuti kegiatan sosial yang melampaui batas agama. “Saya menjadi tahu tentang agama dan rumah ibadah lain saat bergabung dengan “Komunitas Berhati,” tutur Rasyid dengan penuh kepolosan. Hal senada juga dilontarkan oleh Jhony yang berasal dari gereja HKBP Bekasi. Ia juga menilai dan mengharapkan agar komunitas ini terus berkembang tanpa ditunggangi oleh kepentingan kelompok lain. “Saya sendiri tidak mau kalau kelompok yang bergerak dalam aksi sosial ini ditunggangi oleh pihak lain untuk kepentingan politik tertentu,” paparnya di depan gereja katolik yang sedang dibersihkannya.
                Komunitas ini memberikan ciri tersendiri karena di dalamnya mencakup  agama, etnis, budaya dan karakter yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Tetapi sepertinya mereka sanggup berdialog, menerima satu sama lain sebagai sesama peziarah yang sedang menata kehidupan iman.  Apa yang dilakukan itu merupakan hal biasa tetapi menjadi luar biasa ketika mereka mengunjungi semua rumah ibadah dan melakukan pembersihan di area tersebut. Tidak hanya itu, mereka juga memberikan sumbangan berupa bahan sembako. Tindakan sederhana penuh simbolik ini merupakan cara baru yang ditawarkan oleh kaum muda yang tergabung dalam “Komunitas Berhati.” Mereka telah membangun suatu kesadaran baru bahwa yang mau dibersihkan saat ini bukanlah rumah ibadahnya saja tetapi lebih dari itu mereka menawarkan cara baru untuk membersihkan hati dan melihat sesama pemeluk  agama lain sebagai sesama peziarah yang sedang meretas jalan menuju Sang Khalik.
                Toleransi dalam kehidupan beragama yang selama ini didengungkan masih sebatas “jargon religius” yang sekedar mengusung kepentingan kelompok tertentu. Seharusnya toleransi itu dibangun atas dasar “persentuhan langsung,”  baik itu terjadi di tempat kerja maupun di lingkungan tempat tinggal. Toleransi tidak pernah turun dari langit. Toleransi menjadi bermakna ketika  masing-masing orang  sanggup merangkul seluruh komponen masyarakat tanpa memandang dari mana dia berasal dan agama mana yang dianutnya. Benar  apa yang dikatakan oleh  sosiolog Max Weber bahwa, “agama adalah jaring laba-laba yang memberi makna.” Bahwa dengan label “agama,” para karyawan itu membentuk komunitas yang melampaui batas-batas egoisme dan apa yang dilakukan oleh para karyawan yang tergabung dalam “Komunitas Berhati,” suatu saat akan melebarkan jaringnya untuk menjala setiap orang yang masih memiliki nurani keagamaan yang sempit untuk dibersihkan dan dicerahkan. 
Beberapa hari terakhir ini rasanya bangsa ini dilanda oleh gemuruh peperangan antarkelompok, antaretnis bahkan antaragama yang pada akhirnya mengorbankan nyawa dan harta benda. Konflik yang terjadi seperti di Lampung Selatan dan beberapa daerah lain lebih menunjukkan kecemburuan sosial sebagai pemicu utama.   Memang diakui bahwa wilayah Lampung dikenal sebagai wilayah sasaran  transmigrasi yang sudah terjadi sejak lama. Pertemuan antara orang-orang luar (pendatang) dengan masyarakat lokal tidak terhindar lagi. Yang mesti terus dilakukan adalah bagaimana membangun komunikasi antar satu dengan yang lain agar pada akhirnya semua penduduk saling menerima sebagai anggota masyarakat yang plural. Masyarakat plural adalah masyarakat yang memiliki pelbagai keunikan dan sekaligus dilihat sebagai kekayaan yang bisa memberi warna dalam kebhinekaan bangsa ini.   Kini masalah agama, masalah penduduk asli dan masyarakat pendatang  tidak perlu dipersoalkan lagi  ketika disandingkan dengan pendekatan baru di mana kesadaran hidup sosial  lebih ditonjolkan. Dari apa yang dilakukan oleh “Komunitas Berhati” menunjukkan sebuah kesederhanaan cara dalam membangun “kesalehan sosial” dan dengannya dialog agama dan etnis  bukan  sesuatu yang mewah dan istimewa di zaman ini.
Bangsa Indonesia terus memperjuangkan keselarasan hidup dan perjuangan ini tak pernah selesai. Dari hari ke hari upaya membongkar sebuah kemapaman secara primordial, barangkali bisa mengalami kesulitan ketika “benteng otonomi daerah” terus dibangun sebagai pilar untuk menekan kelompok masyarakat pendatang. Kita perlu memandang bangsa ini dalam kebhinekaan seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini. Memandang orang lain dalam kotak-kotak primordial maka cepat atau lambat, kita terperangkap masuk ke dalam “ruang kecurigaan” sepanjang hidup.***

Wednesday, November 7, 2012

GEREJA BERTUMBUH DAN BERAKAR DALAM MASYARAKAT



            Sore itu cukup mendung, seolah mengajak umat untuk bersahabat dalam meriahrayakan pesta peresmian Gereja Paroki Santo Gregorius. Kurang lebih tujuh ribu umat memadati gereja untuk menghadiri misa peresmian ini. Mereka datang dari lingkungan-lingkungan dengan mengenakan kaos berwarna hijau. Dengan mengenakan kaos berwarna hijau secara serentak, seakan menegaskan identitas sekaligus memperkokoh kesatuan umat yang berani memproklamirkan diri menjadi sebuah paroki mandiri.
            “Semoga kehidupan umat semakin tumbuh dan berakar dalam masyarakat, “demikian Mgr. Ignatius Suharyo dalam kata pembukaan saat bertindak sebagai selebran utama misa peresmian gereja. Beliau mengajak umat membangun rasa syukur atas rahmat yang diberikan Allah. Lahirnya paroki merupakan bagian dari karya penyelamatan Allah. Karena selama perjalanan sejarah Gereja ini, umat tidak mengandalkan kekuatannya sendiri melainkan mengandalkan Allah sebagai pembimbing yang setia menyangga iman umat.
            Paroki Santo Gregorius merupakan paroki ke 63 dalam Keuskupan Agung Jakarta dan paroki ke 12 di wilayah dekenat Tangerang. Dalam kesempatan itu Bapak Uskup menyampaikan syukur dan terima kasih kepada Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang yang dengan setia dan susah payah membimbing  Stasi Gregorius untuk menjadi sebuah paroki mandiri.
            Lebih jauh, ditandaskan oleh Mgr. Ignatius bahwa dalam menghidupkan gereja, masing-masing umat memberikan peran tersendiri. “Imam, umat dan anak-anak serta remaja memberikan peran masing-masing terhadap perkembangan hidup menggereja. Tidak hanya hidup menggereja tetapi juga diharapkan untuk semakin berakar dalam masyarakat. Keberadaan Gereja tidak menutup diri melainkan membaur dengan masyarakat. Memang berat apabila Gereja  mengakar dalam masyarakat karena akan menemukan pelbagai masalah.” Masalah yang dihadapi merupakan tantangan dan juga dilihat sebagai peluang. Karenanya masing-masing umat berani untuk berbuat sesuatu supaya lingkungan, tempat kita hidup menjadi manusiawi dan kristiani. “Siapapun, hanya dapat melaksanakan cita-cita untuk menghidupkan Gereja kalau rajin mengajukan pertanyaan, apa yang harus kita buat supaya lingkungan hidup semakin menjadi manusiawi dan kristiani. Berakar dalam masyarakat berarti memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah atau persoalan yang sedang terjadi. Seperti Yesus yang menyatakan kematian-Nya dan hal ini merupakan muara dari pengorbanannya terhadap manusia.
            Pada kesempatan itu semua umat diajak untuk mengenal dan menghayati semangat pelindung Gereja yaitu Santo Gregorius Agung. Ada dua hal yang perlu dicontohi. Pertama, Santo Gregorius adalah seorang pembaharu dalam Gereja. Ketika Gereja mulai lemah, ia hadir mewarkan lagu-lagu gregorian. Kedua, Gregorius Agung adalah seorang Paus. Dalam masa kepemimpinannya ia menyatakan diri sebagai hamba dari segala hamba yang sampai saat ini masih diabadikan oleh para paus sesudahnya. Umat diharapkan dapat meniru keteladanan hidup Santo Gregorius.
            Pada kesempatan ini juga, Mgr. Ignatius Suharyo memberikan kesempatan kepada Romo Swasono sebagai Pastor Kepala Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang untuk mengisahkan perjuangan untuk mengajukan Stasi Gregorius untuk  menjadi sebuah paroki. Menurut Romo Swa, panggilan akrab Romo Swasono, bahwa ketika berbincang-bincang dengan para pendahulu yang pernah menjabat sebagai Pastor Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang, mereka menganjurkan agar Stasi Gregorius segera menjadi sebuah paroki. Stasi Gregorius sendiri memiliki wilayah yang sangat luas dan umat semakin bertambah seiring dengan perkembangan perumahan. Dengan melihat luas wilayah dan umat yang begitu banyak maka ini menjadi alasan bagi pihak paroki HSPMTB mengajukan Stasi Gregorius ini menjadi sebuah paroki.
            Tentang kehidupan umat di Stasi Gregorius, Romo Swa menjelaskan bahwa lebih dari 50 % adalah kaum buruh dan selebihnya terdapat  profesi yang lain. Lebih jauh ia menegaskan bahwa kehadiran gereja ini tidak terlepas dari dukungan masyarakat sekitar. “Orang-orang Kampung Jambu sungguh memberikan dukungan. Kami ingin balas budi,” demikian ungkapan tulus dari Romo Swasono. “Kalau sudah menjadi paroki, lalu apa yang kita lakukan?” Kalau sudah menjadi paroki maka dituntut tata kelola yang baik, baik dari segi administrasi maupun keuangan. Pada misa peresmian Paroki Santo Gregorius, juga diadakan pelantikan para dewan stasi untuk menjadi dewan paroki, dengan susunan:
Ketua dewan : Romo Adrianus Andy Gunardi, Pr
                         Romo Natalis Kurnianto, Pr
Wakil             : Paulus Budi Soleman
Sekretaris I    : Yulius Iriana
Sekretaris II  : Petrus Sugiantara
Bendahara    : Ibu Lena
Anggota   : Bernadus Apul Tumanggor, Innocentius Tharob, Misten Sihaloho, Yanuarius Suharjo   
            Para pengurus dewan stasi yang lama,  masa bakti 2011-2014, akhirnya diperpanjang lagi untuk masa bakti 2012-2015 dengan mengenakan status baru yakni menjadi dewan Paroki Santo Gregorius. Kiranya Tuhan senantiasa memberkati seluruh karya kita.***(Valery Kopong)