Thursday, September 4, 2008

Pahitnya Rasa Gula


Kamis, 4 September 2008

Toto Subandriyo

Ironis. Itulah gambaran kondisi ketahanan pangan negeri ini.

Ketika dunia internasional dilanda krisis pangan dan harga komoditas pangan di pasar dunia meroket, petani di Indonesia justru terpuruk. Harga komoditas pangan yang tinggi di pasar dunia hanya menjadi gula-gula yang tak dapat dinikmati petani.

Setelah harga jual gabah/beras saat panen raya rendengan terpuruk, kini giliran petani tebu meradang. Gula, hasil budidaya tebu musim giling, tak semanis yang diharapkan. Bahkan, gula yang mereka hasilkan terasa amat pahit karena jeblok harganya. Puluhan petani tebu di Desa Tanggul Kulon, Kecamatan Tanggul, Jember, membakar tanaman tebu mereka (Kompas, 29/8).

Meski harga berbagai kebutuhan lain meningkat tajam akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), harga gula petani awal Agustus lalu justru anjlok pada angka Rp 4.980/kg. Padahal, harga break even point gula petani kita kini rata-rata Rp 4.900/kg. Margin keuntungan yang mereka peroleh turun dibandingkan dengan tahun 2007, saat harga BBM belum naik. Ketika itu harga gula petani sebesar Rp 5.300/kg.

Praktik tidak terpuji

Terpuruknya harga gula petani tak lepas dari buruknya sistem tata niaga gula di republik ini. Saat ini, data kebutuhan dan pengadaan gula amat njomplang. Menurut data Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), total kebutuhan gula dalam negeri untuk rumah tangga dan industri mencapai 3,91 juta ton, sedangkan total volume gula yang beredar di dalam negeri tahun ini diperkirakan 6,46 juta ton. Jadi, tahun 2008 ini ada surplus gula sebanyak 2,55 juta ton.

Keterpurukan harga gula petani juga dipicu adanya praktik-praktik tidak terpuji. Jika dihitung komponen harga mulai dari harga pokok pembelian, bea masuk, pajak, biaya inklaring kapal, bea sewa gudang pelabuhan, bea bongkar muat, dan bea transpor truk, maka gula impor tidak akan dapat menyaingi gula lokal.

Anehnya, gula impor dijual dengan harga lebih murah dari gula petani lokal. Mengapa?

Pertama, terjadi praktik dumping oleh negara eksportir gula. Kedua, terjadi pencatatan bea masuk yang tidak sesuai ketentuan (underinvoicing) di pelabuhan. Ketiga, terjadi penyelundupan gula cukup besar dan terbebas dari aneka ketentuan impor.

Merosotnya harga gula lokal, antara lain dipicu membanjirnya gula rafinasi impor. Padahal, gula jenis ini untuk kebutuhan industri makanan-minuman dan tidak layak dikonsumsi langsung.

Ada tiga macam produk gula kristal, raw sugar (hasil dari tebu yang diproses langsung secara defikasi). Gula rafinasi merupakan raw sugar yang diproses melalui kilang gula (refinery) untuk dilakukan pemurnian. Gula putih diperoleh dari tebu yang diproses melalui sistem karbonatasi/sulfitasi. Gula putih merupakan jenis gula yang lazim dikonsumsi langsung oleh masyarakat, sedangkan gula rafinasi, apalagi raw sugar, tidak boleh dikonsumsi langsung oleh masyarakat.

Analisis laboratorium terhadap raw sugar mendapati kadar sukrosa sebesar 97,2-99,54 persen, kadar air 0,1-0,95 persen, kadar abu 0,1-0,35 persen, gula reduksi 0,06-0,086 persen, mikroba mesofilik 770-2.300 per 10 gram, dan yeast (ragi) mencapai 30-45/gram (P3GI, 1999). Ini menunjukkan, komponen bukan gula raw sugar (impurities) amat tinggi. Di AS, gula semacam ini masuk dalam kategori generally recognized as safe (GRAS) dan dilarang dikonsumsi langsung.

Data dan regulasi

Ada berbagai upaya yang perlu dilakukan untuk menolong petani gula. Pertama, pembenahan sistem tata niaga secara menyeluruh. Upaya ini harus diawali dari pembenahan data dan regulasi. Keberadaan data yang valid menyangkut kebutuhan per tahun serta data produksi gula nasional merupakan conditio sine qua non. Melalui data yang akurat ini dapat direncanakan kapan serta dalam volume berapa kita melakukan kegiatan importasi.

Regulasi pergulaan sudah saatnya disesuaikan. Regulasi dibuat dengan seminimal mungkin celah praktik ilegal importasi. Meski menurut WTO bea masuk maksimum 110 persen masih ditolerir hingga tahun 2010, guna melindungi konsumen dan produsen angka perlu ditetapkan secara moderat.

Kedua, upaya peningkatan produktivitas dan produksi gula dalam negeri. Sejarah mencatat, hingga tahun 1960-an, Indonesia adalah eksportir gula terbesar kedua dunia. Namun, kini kondisinya terbalik. Untuk mengembalikan kejayaan itu, agroindustri gula perlu direvitalisasi lebih revolusioner.

Perlu dilakukan pembaruan paradigma dalam kebijakan swasembada gula yang ditargetkan pemerintah tahun 2009. Ada hal yang amat mengganjal dalam kebijakan swasembada gula, di mana kebijakan ini masih mendasarkan kebutuhan gula rafinasi impor. Ini merupakan pembodohan, seolah target swasembada gula tercapai, padahal 30 persen pemenuhan gula rafinasi untuk industri makanan/minuman berasal dari impor.

Ketiga, upaya pengawasan dan penegakan hukum yang ketat. Masyarakat umum mengetahui, tata niaga pangan negeri ini lekat dengan aktivitas perburuan rente dan praktik kotor, seperti underinvoicing dan penyelundupan. Penegakan hukum dan pengawasan harus dilakukan.

Kemauan politik yang kuat dari semua pemangku kepentingan dapat menolong petani dari keterpurukan. Tanpa itu, kekecewaan petani tebu akan menjadi bom waktu yang siap meledak.

Toto Subandriyo Wakil Ketua HKTI Kabupaten Tegal, Jawa Tengah


Wednesday, September 3, 2008

Flores Pos daily newspaper


By Frans Anggal chief editor of the Flores Pos in Ende

A paper presented at the Conference of the Representatives of Catholic newspapers in Asia Seoul, 22-23 March 2007. This paper was translated from Malay to English by Andreas Harsono of Pantau media group in Jakarta.


Indonesia is a country that hosts the largest Muslim population in the world. But it has a strong Christian presence on its eastern area, living in sparsely populated islands like Flores, Rote, Timor, Papua, the Malukus, central and north Sulawesi as well as smaller islands like Tanimbar, Kei, Dobo etc. Indonesia’s most important island is Java where around 65 percent of Indonesia’s total population of 220 million live. Java’s landmass, however, accounts for about six percent of the total land areas, putting the issues of population the most crucial agenda in Indonesia.

Flores is a predominantly Catholic area. Around 95 percent of its 2.5 million population are Catholics. The most influential Catholic organization in Flores is the Societas Verbi Divini (SVD). In 1912, SVD established office in Ende, a small town in central Flores, to start doing evangelical works initiated earlier by Jesuit and Dominican priests since the 17th century in eastern Flores and Timor Island.

SVD runs not only churches but also schools, farms and publications. It currently has a book publishing company, PT Arnoldus Nusa Indah, as well as the Flores Pos daily, Dian weekly tabloid and Kunang-kunang children magazine. PT Arnoldus' office is located on El Tari Street in Ende, sharing a single compound with the Flores Pos daily, the Dian weekly and the Kunang-kunang children magazine. It also has some meeting rooms and a hall for a bigger event.

Historial Backgrounds

In 1925, four years after securing its office in Ende, SVD published the Bintang Timur monthly magazine. Unpaid subscription, however, prompted the SVD to close this magazine in 1937. It is very likely that Indonesia nationalist leader Soekarno, who was exiled in Ende in the early 1930s by the Netherlands Indies administration, also subscribed to Bintang Timur. Soekarno befriended some SVD priests in Ende.

In 1948, SVD published Bentara bi-weekly and its insert Anak Bentara children magazine. Bentara became quite popular, supporting SVD’s education programs and schools, making the circulation to peak at around 35,000 copies. Financial difficulties again prompted SVD to close the bi-weekly in 1958.

In 1973, SVD created new magazines: Dian bi-weekly and Kunang-kunang children monthly magazine. Kunang-kunang was pretty famous not only in Flores but also in many parts of Indonesia, including Java. In 1987, Dian became a weekly tabloid.

In the 1980s, Indonesia started to see the emergence of Java-based media conglomerates such as the Kompas Gramedia Group, the Tempo Jawa Pos group and the television industries. An unexpected result of the SVD’s media works is that Flores has produced many journalists, prompting the Flores-educated journalists and editors to work in the emerging media networks. Today the number of Flores journalists working in Java is bigger than those working in their homeland.

In 1998, General Suharto, Indonesia’s strongman who ruled the country since 1965, was forced to step down from power. It prompted a huge political upheaval in the archipelago. Indonesia’s secessionist provinces such as Aceh, Papua and East Timor immediately pressured for their independence. Other provinces in the Maluku islands, partly in Borneo as well as in Sulawesi were involved in violent communal violence. Muslim and Christian fighters engaged in deadly wars in the Malukus and Poso in central Sulawesi. Anti-Chinese riots also rocked Jakarta and Solo in Java as well as Medan in northern Sumatra. Political assassinations were the news of those days.

In August 1999, East Timor voted for independence in a UN-administered referendum. Indonesian military and their militias burned and looted East Timor. Around 10,000 East Timorese died in the massive burning and killing, raising the anger of the international community against the Indonesian military. President Bill Clinton decided to impose a military embargo against Indonesia. His move was copied by other western countries.

Retreating Indonesian generals subsequently faced a new problem. Where should they place thousands of displaced soldiers and militias as well as their families? International peacekeeping forces obviously prevented these frustated soldiers to return to East Timor. An idea circulated among the generals. They wanted to move their retreating soldiers and militias to neighboring Flores. They wanted to move the Dili-based Wirasakti military command to Ende.

It alarmed Flores leaders as well as the Flores diasporas in Java. Hosting thousands of frustated soldiers, who were regularly involved in burning and killing, is a serious threat in a relatively peaceful area like Flores. As a major institution in Flores, SVD was also involved in the debate. Dian weekly was considered to slow to report on the rapid daily development of the pressing issue. SVD decided to publish a daily newspaper in a bid to accommodate various opinions over the plan and to inform the public about such a plan. On Sept. 9, 1999 SVD published the Flores Pos daily in Ende, mobilizing the public opposition against the plan. Founding members included publisher Henri Daros SVD, chief editor John Dami Mukese SVD, Frans Ndoi SVD and Valens G. Doy (Kompas daily journalist). Flores figures in Jakarta intensively lobbied the military. President Abdurrahman Wahid finally shelved the military plan in 2000.

SWOT Analysis

The military issue was the starting point in publishing the Flores Pos. It then began to regularly bring news reports and editorial pieces from Monday to Saturday every week. Its mission is to voice the oppressed and to monitor those in power.
It is owned by a Catholic order but the Flores Pos is more like a regular newspaper. In a bid to promote religious dialogues, it provides religious columns for every religion in Flores. Its workers are religiously diverse. They are mostly Catholic but it has Muslim and Protestant employees indeed. The Friday Forum column is dedicated for Muslims while the Sunday Forum are for Catholics and Protestants.

Currently it also conducts monthly discussions on various issues in a bid to broaden the intellectual discourses among its audience. It sometimes open public donation for the poor and natural disasters victims. When Manggarai had a major landslide in March, killing more than 60 people, the Flores Pos opened a public donation. It collected more than 20 million rupiah ($2,000). It also conduct annual seminars on economic, political and cultural outlooks.

Fact Sheet
Format: tabloid Monday-Saturday
Pages: 1999 (8) 2001 (12) 2003 (16)
Legal status:
1999-2002 under Flores Media Foundation
2002-now under PT Arnoldus Nusa Indah
Vision: establishment of truth, justice, peace and integration of creation
Mission: to conduct prophetic dialogues with the oppressed people, other religious communities, other cultures and other ideologies


The Flores Pos has some strength factors. According to the 2006 audience survey by Pantau, it has a strong brand name. Eighty four (84) percent of the surveyed respondents in Flores know the Flores Pos. It is just less two percents from its main competitor, Pos Kupang daily, at 86 percent. Pos Kupang is a subsidiary of the Kompas Gramedia Group. It is based in Kupang in western Timor.

Flores Pos locally produces 90 percent its contents. They are supplied mainly by its seven bureaus in Flores and one in Kupang. The bureaus are stationed in towns like Labuan Bajo, Ruteng, Bajawa, Ende, Sikka, Larantuka and Lewoleba on Adonara Island. More than 60 people work for the Flores Pos. They include 23 editorial staff. The others are working on its marketing, finance, distribution etc.

In September 2006, the newspaper began to make unprecedented changes. Georgia Scott of The New York Times helped redesign the Flores Pos. She introduced cleaner, more spacious and easy-to-navigate news design. The newspaper also introduced bylined news reports. It is a rare even among Jakarta newspapers. The newspaper also put the mobile number of its reporters near their names, providing a chance to involved readers to call the reporters if the stories lacking something. It also publishes a feature story everyday on the front page. Reporters should also verify their stories. They can’t publish single-sourced stories. The SVD is committed to have these chances.

Obviously the newspaper also has its weakness. Its human resources lack training. Many journalists are not well trained to report and to write analitically. The non-editorial staff are mostly high school graduates. None of them specializes on business development and marketing.

Financially its income is not enough to cover expenses. Everyday it prints 3,500 copies of which 70 percent go to subscribers. It is priced at 2,000 rupiah per copy ($20 cents). Financially it should only break even if printed 7,000 copies.

Its equipments, from computers to cameras, from printing press to transportation means, are pretty old. Most correspondents send their stories by fax. The reports, when reaching the newsroom in the evening, must be retyped. Most bureaus have no internet connection. Its printing press is not for newspaper printing. It has no newspaper folding facility. Workers have to manually fold 3,500 copies of printed papers, every night, into folded newspapers.

The Flores Pos has some opportunities. It could increase its circulation based on the fact that the reading habit in Flores is higher than Indonesia's national average. It is now working with Swisscontact and Pantau to increase the newspaper’s capacity building.

In March, the Flores Pos is also published jointly with Hidup magazine in Jakarta. It makes a possible passage to raise advertisement incomes from ad agencies in Jakarta. Last but not the least, small and medium enterprises are growing in Flores. Flroes has no big industries. But these small companies are stronger and more durable than the big ones. It was proven during the Asian economic crisis. They want to advertise in the Flores Pos.

The possibility to set up a Catholic newspaper network in Asia is also a chance to increase its capabilities.

The treatment factors are quite numerous. Land transportation in mountainous Flores is very tough. It takes one week just to travel from Labuan Bajo in the west to Larantuka in the east. Newspaper distribution is very expensive. Using public transport is costly. Having our own distribution is also costly.

Today the Flores Pos is “surrounded” by Pos Kupang’s long distance printing presses in Ruteng (west Flores) and Maumere (east). It is quite a challenge. In Flores, people don’t buy two newspapers in a single day. If they already buy Pos Kupang, obviously they won’t buy the Flores Pos.

Newsprint must also be imported from Java and the shipment cost is quite dear. Another treatment is the oil prices that always increase in Indonesia over the last ten years. It prompts higher inflation every year. Flores is also one of Indonesia’s lowest income areas. The public buying power is limited. They prefer to secure their meals rather than buying a newspaper.

A network of Catholic newspapers in Asia might create a cooperation in the region, benefiting newspapers like the Flores Pos, Dian and Kunang-kunang children magazine in Ende. The Flores Pos also needs a capital injection to buy a new printing press to print long distance both in Maumere and Ruteng. Similar assistances like what Georgia Scott’s are highly needed in Ende
Rabu, 3 September 2008 | 03:00 WIB

Kartini Sjahrir

Ciil itu ibarat air, mengalir tak henti. Dia tidak memandang di mana berada, dan tak mempermasalahkan dengan siapa dia berhadapan.

Bagi dirinya, semua orang adalah sama. Status sosial tak terlalu dipedulikan. Ia bergaul dengan siapa saja dan dari berbagai kalangan. Seperti air, ia pun tidak terkotak-kotak dan mengotakkan diri pada satu atau beberapa aliran pemikiran dalam ilmu pengetahuan.

Mencintai dunia akademis

Ketika masih kuliah di Harvard, ia amat mengagumi Samuel Huntington dan pemikirannya. Semua buku Huntington, dia lalap dengan cepat. Saya bahkan terkena imbasnya, disuruh (jika tak hendak mengatakan di-”paksa”) membacanya saat saya mengambil mata kuliah antropologi politik di Boston University. Namun, pada saat sama, ia juga mengkritik pandangan Huntington yang disampaikan langsung kepadanya.

Dia juga mengagumi Prof Stanley Hoffman, pakar politik ekonomi Rusia dan Eropa Timur. Ia belajar mengenai pembuatan policy dari Prof Jack Montgomery, ahli kebijakan publik (public policy), di mana Ciil sendiri pernah menjadi asistennya selama tiga tahun. Ciil juga berguru kepada Prof Richard Musgrave tentang public finance. Ia juga menyukai Francis Fukuyama dalam buku The Great Disruption, seperti kekagumannya terhadap tulisan dan buku Kenneth Galbraith seperti The Affluent Society. Saya rada yakin Ciil hafal titik koma isi buku itu.

Pada awal tahun 2000, ia berteman dengan Prof Paul Krugman, kolumnis ekonomi The New York Times, dan profesor ekonomi dari Princeton. Ciil bahkan mengundang Krugman dua kali datang ke Indonesia untuk berceramah bersama antara lain Marie Pangestu. Ia juga menyukai pikiran ”kiri” Richard Robinson, seperti halnya ia tertarik dengan jalan pikiran Hal Hil dan Ann Booth dari Australia.

Cukup banyak mazhab dalam ilmu ekonomi yang membuat Ciil menatap kagum meski ia mungkin berbeda pendapat dengan sejumlah mazhab itu. Baginya yang terpenting bukan mempelajari perbedaan yang ada, tetapi mengupayakan bagaimana mengelola perbedaan itu bagi kepentingan pembuatan kebijakan publik. Lima tahun terakhir, pemikirannya banyak dipengaruhi pemenang hadiah Nobel Ekonomi Amartya Sen. Hampir semua buku Amartya dikoleksi dan dibaca berulang-ulang, diulas, dikomentari, dan didiskusikan.

Pada dasarnya, Ciil amat mencintai dunia akademis. Ia menyukai peran sebagai dosen dan penulis. Setiap kali ada ide menarik, ia ingin segera melukiskannya. Ide itu dapat datang kapan saja dan di mana saja. Biasanya ia mendikte ide itu langsung dari tempat dia berada: dari mobil, restoran, atau dari Bakoel Coffee, tempat favoritnya untuk minum kopi pada sore hari.

Berikut ilustrasi saat Ciil menelepon Poppy, sekretarisnya, ”Hallo Poppeke, di mana posisi? di kantor? Ok, tolong segera di komputer, aku mau dikte–cepetan! Jangan lebih lama dari 5 menit. Siap? Sekarang aku mulai….” Mulailah ide keluar seperti air mancur. Begitu selesai: ”Ada yang terlewat Pop? Ok kan semua? Tolong print out-kan ya. Aku balik kantor satu jam lagi….” Begitu Ciil kembali ke kantor, draf tulisan sudah siap dikoreksi. Ciil sendiri tidak pandai mengetik meski amat ingin karena jari-jari tangannya lebih besar daripada tuts komputer.

Perbedaan itu indah

Ibarat air mengalir, Ciil adalah sebuah mosaik. Bermacam ide, pikiran, dan aktivitas menjadi satu dalam tubuhnya yang subur. Ia memiliki karakter yang saya sebut ”pluralistik”.

Menurut Ciil, semua orang adalah sama dan perbedaan bukan untuk dipertentangkan, dikelola saksama. Perbedaan itu indah karena membentuk berbagai corak dan warna dalam suatu sinergi yang serasi. Ia sering mengutip istilah dari sahabatnya, Rocky Gerung, yang mengatakan, orang diukur berdasarkan ”ayat konstitusi” dalam suatu negara demokratis. Bukan dari ”ayat- ayat suci”. Bagi Ciil, agama adalah sesuatu yang teramat suci yang tidak boleh ditransaksikan secara politik. Hubungan seseorang dengan pencipta-Nya adalah sesuatu yang amat pribadi dan sakral.

Sikapnya yang amat mendukung kemajemukan inilah yang kemudian mendorong Ciil membangun Partai Perjuangan Indonesia Baru pada tahun 2002, selain pemahaman tentang pentingnya kemakmuran ekonomi berlandaskan keadilan sosial, seperti pemikiran Amartya Sen. Dengan mesin politik ini, menurut Ciil, teman-teman yang sepaham mau dan bersedia keluar dari ”sarang nyaman” (comfort zone) untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dan berkeadilan. Pada Pemilu 2004, ia memberikan kesempatan bagi kaum perempuan dan minoritas Tionghoa untuk menduduki kursi nomor 1 dan 2. Hingga tak mengherankan, anggota-anggota DPRD 1 dan 2 Partai PIB banyak yang perempuan dan Tionghoa.

Keluarga

Ciil adalah anak tunggal dari keluarga yang ayah-ibunya bercerai. Pengalaman pahit masa kecil begitu membekas sehingga membuat dia bertekad untuk membangun keluarga yang bahagia. Saya dan anak-anak betul- betul dilimpahi kasih sayang dan perhatian dengan segala kelucuan dan kekonyolan khas Ciil. Baginya, keluarga adalah segala-galanya. Ciil menjadi guru dan mentor utama bagi pendidikan kedua anak kami: Pandu dan Gita. Ia melatih anak-anak berdebat dan berdiskusi sejak kecil. Setiap tahun sambil berlibur, ia melakukan swot meeting dengan anak- anak dan saya. SWOT adalah S: strength (kekuatan), W: weakness (kelemahan), O: opportunities (kesempatan) dan T: threat (ancaman).

Dalam swot meeting, ia membahas berbagai hal dengan anak- anak, mulai soal di sekolah sampai pergaulan anak muda. Ciil juga membuka diri untuk dikritik secara terbuka oleh anak-anak. Saya ingat, kritik anak-anak kepada Ciil setiap tahun adalah ”ayah terlalu gemuk”, ”ayah terlalu mau ngatur semua”, atau ”ayah kayak kepala suku, semua orang mau diurusin”, atau saat anak- anak mulai besar, mereka bilang ”ayah terlalu baik dan terlalu percaya bahwa semua orang seperti ayah....”

Meski sesudah anak-anak besar dan menempuh studi S-2, ia juga mengeluh kepada saya bahwa anak-anak, terutama Gita, amat pandai mendebat dan dia sering kewalahan menjawab. Saya menangkap ada rasa bangga di dalamnya. Berulang kali dia sampaikan, saat kami duduk berdua berbincang-bincang, bahwa sebetulnya tidak ada lagi yang dia cari dalam hidupnya. Bagi Ciil, achievement dia yang terbesar adalah keberhasilan dari pendidikan dan pembentukan karakter kedua anak kami.

Air itu berhenti mengalir pada Senin, 28 Juni 2008, pukul 09.08 di Rumah Sakit Mt Elizabeth, Singapura. Jam Ciil berhenti berdetak. Perjuangannya melawan sakit yang tiba-tiba datang menyergap usai sudah. Wajahnya tenang dan damai dalam pelukan kami: Pandu, Abdul (calon menantu), dan saya, seolah berkata: ”… aku mengalir terus dalam jiwa dan semangat, dalam cita-cita dan pengharapanku….”

Empat puluh hari kau telah meninggalkan kami. Selamat jalan Ciil….

Kartini Sjahrir Istri (alm) Dr Sjahrir; Antropolog lulusan Boston University, AS; Ketua Umum Partai PIB

Konsep Dulu, Baru Uang


Daoed JOESOEF

Salah satu ucapan Presiden yang disambut hangat di dalam dan di luar DPR adalah keputusan mewujudkan anggaran 20 persen APBN untuk pendidikan.

Sambutan ini berdasarkan asumsi, kekurangan dana menjadi faktor utama impotensi pendidikan nasional selama ini.

Benarkah? Sepertinya tidak. Asumsi itu keliru. Kalaupun tambahan anggaran itu diwujudkan secara efisien, efektif, dan mencapai sasaran, hal itu justru mengukuhkan penyakit yang membuat pendidikan tak berdaya melaksanakan misinya. Sistem pendidikan kita mandek, bahkan amburadul, bukan (hanya) karena kekurangan dana, tetapi lebih dari itu, terkait ketiadaan konsep idiil yang mendasari.

Tidak ada sistem apa pun yang tepat sebagaimana adanya (in itself). Ia tepat, maka itu dinilai baik, ditinjau dari konteks tujuan perumusannya, untuk apa ia diadakan. Dengan predikat ”nasional”, fungsi pendidikan jelas berdimensi nasional (kepentingan negara-bangsa) selain individual (hak warga negara perseorangan). Berarti, kejelasan citra dari komunitas nasional yang diidam-idamkan harus ada lebih dulu. Dan, citra ini merupakan keputusan nasional yang disepakati oleh semua negarawan, politikus, dan cendekiawan bangsa.

Namun, justru citra ideal itu yang tidak ada, belum pernah ada. Padahal, bahan-bahan untuk perumusan tersebar dalam ucapan, tulisan para pendiri negara-bangsa—adakalanya begitu eksplisit, dan kandungan-kandungan pasal/ayat UUD.

Jadi, jangan disalahkan jika para profesional di Depdiknas bekerja seadanya, pragmatis/reaktif, mengesankan amburadul, ganti menteri ganti kurikulum. Keamburadulan kian parah karena tidak ada konsep nasional yang integralistik, disuntikkan aneka otonomi ke dalam proses pendidikan, mulai otonomi daerah yang berlapis—provinsi, kabupaten, kota—hingga otonomi sekolah yang atomistis.

Kini departemen diberi dana kerja amat besar, padahal tidak ada program aksi relevan yang disiapkan sebelumnya.

Mengingat negara-bangsa tidak ”memberi” kriteria tentang apa yang harus dilakukan oleh pendidikan nasional, sebagai lembaga formal tertinggi dalam memasok suatu kualitas pendidikan, wajar Depdiknas menyiapkan konsep pendidikan demi pendidikan itu sendiri. La noblesse oblige! Jangan membiarkan pemerintah terus memperlakukan pendidikan hanya sebagai urusan marjinal dalam seluruh urusan politik yang ditangani.

Tiga keharusan

Paling sedikit ada tiga keharusan yang membenarkan departemen bertindak demikian, yaitu yang bersifat konstitusional, moral, sosial dan ekonomis.

Dalam Pembukaan UUD 1945 tertera, dengan menyatakan kemerdekaannya, rakyat Indonesia bertekad, antara lain, ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Para pendiri Republik menyadari betapa kehidupan bangsa perlu dicerdaskan mengingat unsur-unsur konstitutifnya tidak homogen. Maka, kecerdasan merupakan satu keharusan demi pemahaman genuine sebagai dasar kesatuan dan persatuan di tengah kemajemukan alami. Persatuan dalam arti menerima adanya aneka perbedaan dengan ikhlas, penuh toleransi (integrasi). Kesatuan dalam arti menyatukan dan menegakkan kesamaan (unifikasi).

Mencerdaskan kehidupan bangsa dilakukan melalui pendidikan sebab kecerdasan tidak genetically fixed, tetapi dapat diajarkan. Berhubung anak didik adalah warga bangsa, melalui kecerdasannya karakter bangsa dibantu membaik menjadi terpuji. Jadi, mendidik anak bangsa tidak hanya merupakan keharusan konstitusional, tetapi juga moral.

Pendidikan untuk semua anak perlu dipertegas dengan keharusan sosial, yaitu memberi pendidikan yang sama kepada anak perempuan dan laki-laki. Kesamaan ini merupakan keharusan mengingat jenis kolektivitas yang dikehendaki adalah kehidupan berbangsa di mana ada keadilan jender dan political independence bagi perempuan, yang berarti punya hak suara, hak memilih dan dipilih untuk memegang jabatan politis dan jabatan teknis apa saja yang dia mampui secara fisik dan mental.

Ketiga keharusan itu perlu digenapi keharusan ekonomis, yaitu pendidikan untuk semua harus diartikan sebagai pendidikan yang menjangkau anak miskin dan cacat, tidak terbatas anak kaya dan sempurna. Kehidupan bangsa baru dapat dikatakan cerdas bila tiap warganya yang berlatar belakang apa pun dapat naik dari tempat kelahiran terendah ke tingkat pencapaian tertinggi berkat pendidikan. Lagi pula bangsa yang berhasil pada masa depan adalah yang tidak hanya membukakan pintu bagi sebagian talenta dari sebagian anak-anaknya, tetapi mengembangkan semua talenta dari semua anaknya.

Dalam menyusun konsep pendidikan, Depdiknas seharusnya berprinsip bahwa misinya berurusan dengan nilai, tidak hanya transmisi pengetahuan dan keterampilan antargenerasi, tetapi membudayakan manusia karena sistem nilai yang dihayati adalah budaya. Pembudayaan nilai-nilai asing oleh sistem pendidikan biasa terjadi di banyak bangsa. Melalui penghayatannya, dengan sadar melakukan aneka perubahan guna mewujudkan jenis masyarakat nasional yang mereka idealkan.

Oleh karena itu, secara esensial pendidikan adalah proses yang membiasakan manusia sedini mungkin mempelajari, memahami, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai berguna bagi individu, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya. Bagi kita, juga ada nilai-nilai asing yang harus bisa dihayati sebagai budaya alami melalui pendidikan demi kemajuan individual dan kolektif. Salah satu yang amat penting dan menentukan adalah ”semangat ilmiah”, yaitu ilmu pengetahuan dalam arti proses, yang mengembangkan ”pengetahuan” menjadi ”pengetahuan ilmiah” dan tentu saja disiplin yang sudah jadi (ilmu pengetahuan dalam arti produk).

Semangat ilmiah diperlukan untuk semakin menyempurnakan pembawaan human kita. Ia membantu menciptakan pengetahuan ekstra genetik agar terbebas dari ketergantungan pada pengetahuan genetik semata. Ia juga berguna dalam pembentukan pengetahuan ekstra somatik, yaitu informasi yang disimpan di luar tubuh, di tempat khusus—perpustakaan, laboratorium, museum, dan lain-lain.

Integritas departemen

Semangat ilmiah dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan juga dapat menyempurnakan hidup kemakhlukan kita. Kita hidup di antara dua infinitas alami yang keberadaannya amat menentukan kondisi kehidupan makhluk di bumi, baik dalam arti positif maupun negatif. Di satu pihak ada yang besar tak terhingga, yaitu galaksi di angkasa luar, nebula bercahaya warna-warni dari Bimasakti, planet-planet dari sistem solar. Di lain pihak, ada yang kecil tak terhingga, seperti sel hidup, jaringan neuron, DNA, subatomic particles. Akses ke potensi natural yang dikandung kedua infinitas itu terbukti dimungkinkan oleh ilmu pengetahuan.

Jadi, sistem pendidikan yang kita kembangkan demi mencerdaskan bangsa adalah bagian dari kebudayaan. Maka, sungguh aneh jika urusan kebudayaan tidak dikembalikan ke jajaran departemen yang mengurus pendidikan. Lebih aneh lagi jika Depdiknas membiarkannya tetap begitu. Mana integritas intelektual departemen ini? Cakupan kebudayaan jauh lebih luas dari sekadar kesenian selaku pemancing dollar turis asing! Nilai-nilai perlu diolah oleh kecerdasan melalui penemuan dan kombinasi baru demi pembentukan peradaban baru yang sejalan tuntutan abad XXI dan selanjutnya.

Bila konsep pendidikan nasional yang menyeluruh dan terpadu telah selesai, berikan kepada politik agar diterima. Politik harus memutuskan konsep yang ia sendiri tidak mampu merumuskannya. Dengan cara begini alih-alih politik mengorupsi pendidikan, the intellectual integrity of education needs to contribute to the decorruption of politics. Bagaimanapun ada politik dalam pendidikan, sebagaimana ada pendidikan dalam politik.

Daoed JOESOEF Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-सोर्बोंने


Anggaran Peningkatan Mutu Pendidikan



Baskoro Poedjinoegroho

Dalam pidato di depan anggota DPR, Presiden menetapkan anggaran pendidikan nasional sebesar 20 persen dari total APBN 2009.

Bila dirupiahkan, total anggaran untuk pendidikan pada APBN 2009 sebesar Rp 244,44 triliun, kenaikan yang amat mencolok dibanding anggaran 2008 sebesar Rp 154, 2 triliun. Insan pendidikan agaknya puas, karena putusan itu sejalan dengan amanat UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Perbaikan mutu pendidikan menjadi prioritas. Masalahnya, mungkinkah dengan dana sebesar itu kemajuan pendidikan bisa terwujud?

Memperbaiki mutu

Kebijakan penaikan anggaran pendidikan, tentu bukan tanpa alasan. Banyak alasan dapat dikemukakan, antara lain keinginan dan tuntutan dalam berbagai bentuk dari insan pendidikan entah penyelenggara, pelaku, ataupun pemerhati. Pantas disyukuri bahwa pemerintah menyambut keinginan insan pendidikan. Rasa syukur layak dikemukakan jika terjadi perjumpaan antara keinginan yang baik untuk memajukan pendidikan dan kemauan baik untuk mendukungnya. Maksudnya, keinginan dan kemauan baik yang tidak melulu demi besarnya jumlah dana atau uang, atau muatan politis lainnya. Bukankah uang senantiasa menggiurkan, apa.lagi sebesar anggaran pendidikan nasional 2009?

Memang, orang boleh berpendapat, anggaran itu masih lebih kecil dibanding anggaran negara tetangga, misalnya dengan basis produk domestik bruto (PDB) angka Indonesia adalah 1,9 persen, sementara Thailand 5,0 persen, Malaysia 5,2 persen, dan Vietnam 2,8 persen.

Bagaimanapun Rp 244,44 triliun adalah jumlah amat besar. Jumlah itu akan kian bermakna karena merupakan kebijakan politik atau jawaban tepat dan kini dibutuhkan. Apalagi, bangsa ini sedang mengalami kemunduran di segala bidang, terutama karena kemerosotan moral, yang harus diyakini akan dapat diimbangi dengan pendidikan bermutu.

Dalam pidato Presiden (15/8/2008) itu, anggaran 20 persen ditujukan untuk perbaikan sarana-prasarana (gedung sekolah) dan SDM (guru, dosen, beasiswa). Dengan demikian, diharapkan akan terjadi kemajuan mutu pendidikan. Dari sisi lain, ada yang menantang pelaku atau pengguna anggaran, yakni pembuktian sekaligus perwujudan pengembangan diri bahwa mereka adalah insan-insan yang melakukan kemajuan pendidikan melalui pemanfaatan dana sesuai maksud/tujuan pengadaan (intentio dantis). Meski juga harus disadari, tidak selalu mudah menanggapi atau melaksanakan apa yang sudah diketahui; acap kali apa yang diketahui tidak selalu dilaksanakan terlebih bila menyangkut soal dana atau uang.

Keadaan ini mengingatkan akan apa yang baru saja digumuli para pendidik, yaitu sertifikasi pendidik. Entah sudah mengerti ihwal makna sertifikasi atau belum, yang pasti, mereka yang lolos sertifikasi akan mendapat tambahan pendapatan. Inilah yang hidup di benak pengajar sertifikasi. Sertifikasi diperjuangkan mati-matian jika perlu dengan bertindak curang, tidak peduli bertentangan dengan prinsip pendidikan. Misalnya, memalsukan dokumen/portofolio demi lengkapnya persyaratan.

Di antara pengejar sertifikasi belum pernah terdengar, sertifikasi diburu sebagai bukti bahwa seorang pendidik telah dan selalu mengejar kompetensi atau profesionalitas dalam mendidik. Yang lazim adalah sertifikasi diperjuangkan demi bertambahnya pendapatan atau uang. Bila demikian, mutu pendidikan akan biasa-biasa saja meski pendapatannya bertambah.

Bukan milik pribadi

Banyak orang amat rentan dengan uang, tak bijaksana dalam mengelola uang. Apa saja yang terkait uang senantiasa membuat mabuk, kehilangan kesadaran diri, kehilangan akal sehat, kehilangan ketajaman nurani. Banyak bukti mudah ditemukan saat ini. Setiap hari media tak pernah absen memberitakan kejahatan yang terkait uang.

Karena itu, penetapan anggaran pendidikan 20 persen harus dijadikan momentum bagi para insan pendidikan untuk membuktikan diri, mereka adalah pribadi-pribadi yang berharkat luhur yang amat bernilai lebih daripada nilai nominal uang. Caranya, dengan memperlakukan anggaran atau dana pendidikan sebagai bukan milik pribadi. Inilah sikap dasar yang harus dimiliki oleh siapa pun sebelum melibatkan diri dalam penggunaan anggaran atas nama perbaikan mutu. Bila tidak, perbaikan mutu pendidikan tak akan terjadi, bahkan akan semakin merosot.

Baskoro Poedjinoegroho Direktur SMA Kanisius जकार्ता


A A A

Tuhan Peluklah aku


Saat aku lelah dan tak kuasa untuk berjalan
Aku yakin TUHAN menopangku
Saat aku sakit hati dan tak kuasa menahan tangis
Aku yakin TUHAN memebelaiku
Saat aku kuatir dan tak kuasa menahan gemetar
Aku yakin TUHAN memelukku
Saat aku terluka dan tak kuasa menahan sakit
Aku yakin TUHAN membebatku
Saat aku kehilangan dan tak kuasa menahan sedih
Aku yakin TUHAN menghiburku
Saat aku merasa tak berarti dan tak kuasa untuk melanjutkan hidup
Aku yakin TUHAN katakan :"Kau berarti bagiku"
Saat aku merasa tak dicintai dan tak kuasa menahan pilu
Aku yakin TUHAN katakan :"Aku mencintaimu"
Saat aku dibuang dan aku tak kuasa menahan galau
Aku yakin TUHAN katakan :"Aku tak akan pernah membuangmu"

Di dunia ini begitu banyak kesusahan yang tak bisa ditolak. siapapun, semua orang dan tak terkecuali aku.
Aku dibuang, aku dianggap tak berarti, aku dianggap sampah, aku ditinggalkan oleh orang yang sangat kucintai,
Tapi....
Aku yakin TUHAN selalu ada dan kasih-Nya tak pernah berubah untukku.
Untukmu pun, DIA tak pernah berubah.
**** prie****

Patung Katak Disalib Dianggap Menghina Tuhan

Jumat, 29 Agustus 2008 | 03:58 WIB

—ROMA, KAMIS — Sebuah museum di Italia menentang Paus Benediktus dan menolak melepaskan sebuah karya seni berupa patung katak berwarna hijau yang disalib dengan tangan memegang mug bir dan sebuah telur yang dianggap Vatikan sebagai penghujatan.

Dewan Museum Museion di utara kota Bolzano memutuskan berdasarkan suara terbanyak mereka tetap memasang kodok itu di tempatnya selama pameran berlangsung. Patung katak kayu yang dibuat seniman Jerman, Martin Kippenberger, ini sepanjang 1,30 meter dengan salib berwarna coklat. Katak ini dalam posisi disalib dengan tangan kanan memegang mug bir dan tangan kiri memegang sebuah telur.

Disebut Zuerst die Fuesse atau yang pertama kali adalah kaki, patung ini juga menjulurkan lidah. Hasil karya ini dipamerkan di Galeri Tate Modern dan Saatchi di London, juga di Bennale, Venisia. Rencananya, patung katak ini juga akan dipamerkan di Los Angeles dan New York.

Paus Benediktus yang orang Jerman dan sedang berlibur berada tidak jauh dari Bolzano jelas-jelas tidak setuju dengan pameran ini. Vatikan, atas nama Paus, telah menulis surat mendukung Franz Pahl, gubernur setempat yang menentang dipamerkannya patung ini. Dalam suratnya, Pahl mengatakan, "Patung ini telah menimbulkan sentimen agama dan melukai banyak orang yang melihat salib sebagai simbol cinta Tuhan."

Pahl, yang wilayahnya banyak didiami warga Katolik, begitu marah dengan hal ini. "Jelas-jelas ini bukan seni, melainkan penghujatan dan pelecehan yang mengecewakan banyak orang," ujarnya.

Tentu saja, kata Pahl, keputusan untuk tetap mempertahankan salib ini jelas tidak bisa diterima. Namun, para artis berkata lain. "Seni harus selalu bebas dan seniman seharusnya bebas berekspresi dan tidak semestinya dibatasi," ujar Claudio Strinati, pengawas Museum Negara Roma kepada koran Italia, Kamis.