Thursday, May 26, 2011

Menyulut Dian di Bukit Tandus (1)

Oleh Charles Beraf
Langit belum kunjung benderang. Sejak awal Maret 2011, seminggu yang lewat, hujan tak berhenti mengguyur. Di bilangan pesisir utara Maumere, dari Wolomarang hingga Magepanda, genangan air bercampur lumpur masih tampak menyolok serupa kubangan. Tak cuma di halaman rumah. Juga di lubang - lubang jalan raya Pantura (Pantai Utara), yang belum sempat tersulami aspal.
Jalur Pantura, di hari itu, Sabtu 12 Maret, memang tak seramai biasanya. Cuaca yang kurang bersahabat sepertinya mengenggankan banyak pengendara untuk keluar rumah. Bisa terhitung jari, kendaraan yang melintas hari itu di jalur Pantura. Berkendaraan di musim hujan seperti itu, apalagi di jalur jalan yang banyak menanjak dan berlubang seperti Pantura, memang tak selalu luput dari resiko, atau.....atau..... Atau mandi lumpur atau tertahan lumpur, atau masuk lubang atau tergelincir dari badan jalan.
Tapi di jalan dan di tengah cuaca sesulit itu pun, pick up Panther-nya Om Fendy bernopol EB 2172 B meluncur dengan entengnya. Meski cuma dengan gigi persneling yang lebih sering berkisar dua - tiga, Om Fendy (42), warga Wolomarang yang sudah malang melintang dalam dunia otomotif itu, bisa mengatur lajunya Panther.
“Kita sudah tiba”, kata Om Fendy sesaat setelah melewati batas kampung, memasuki Reroroja.
Reroroja, desa di ujung utara Kabupaten Sikka itu, sepintas barangkali tak cukup menarik di mata banyak orang. Selain terapiti oleh bukit yang kering dan tandus, letaknya yang relatif jauh, kira-kira 40 kilometer dari pusat kota, Maumere, membuat Reroroja sepertinya jauh dari lirikan. “Jarang kami dikunjungi pejabat dari kabupaten”, kata Nong Sil (26), warga Dusun Koro, Desa Reroroja.
Desa berpenduduk 3652 jiwa itu pun hanya menyandarkan hidupnya cuma dari hamparan ladang dan laut. Dari 788 kepala keluarga (KK), 30 % penduduk bekerja menjadi nelayan atau pun sebagai penampung ikan hasil tangkapan untuk dijual kembali, dan 70 % lainnya bertaruh dengan jengkalan-jengkalan tanah di bawah kaki bukit berbatu. “Itu pun tak tentu hasilnya. Kadang hanya cukup untuk makan”, ungkap Amina (36), dari perkampungan Bajo, Reroroja.
Dengan nada sedikit memelas, Kepala Desa (Kades) Reroroja, Cyrilinus Badjo mengamini itu. Dia mengaku, petani jagung di daerahnya hanya mampu menghasilkan 2,4 ton/hektare. Kalau pun terjual, sekilo cuma seharga Rp.1500. Belum lagi dikurangi pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja.
Tentu bisa dibayangkan, untuk petani jagung saja, berapa pendapatan bisa dikantongi dalam setahun? Sebulan? Seminggu? Atau bahkan sehari? Kalau itu “cukup untuk makan”, bagaimana dengan pena dan buku tulis anak-anak sekolah? Bagaimana dengan investasi jangka panjang?
Urusan ‘kampung tengah’ saja sudah repot. Apalagi yang lain. Kondisi infrastruktur yang memprihatinkan, sanitasi yang jauh dari harapan dan pendidikan yang tak selalu menjanjikan seakan-akan mengusir mimpi akan kecerahan di Reroroja. Mungkin bagi banyak orang, memilih tinggal di sana seolah-olah, seperti kata Filosof Heidegger, memilih untuk pelan-pelan mati di hamparan ladang yang berbatu dan kering .
Tapi rupanya itu tidak bagi warga Reroroja dan Kades Cyrilinus yang terkenal militan itu. Cyrilinus berkisah, selain bertaruh dengan hamparan laut dan ladang yang ada, beternak dan ekstensifikasi lahan pertanian menjadi pilihan yang tidak main-main.
Menurut Cyrilinus, selama bertahun-tahun, pada September hingga Oktober warga Reroroja secara intensif membersihkan dan menyiapkan lahan – lahan tidur. “Ini pun tak susah urusnya. Cuma dengan tebas dan bakar, lahan sudah siap dipakai di musim hujan. Cara semacam ini tak butuh banyak tenaga. Dengan membakar, rumput baru kesukaan ternak bisa tumbuh saat datang hujan”, katanya.
Tapi apakah dari lahan-lahan tidur dan dengan pola tebas – bakar tahunan ini sudah cukup bagi warga Reroroja untuk bisa keluar dari belitan “cukup untuk makan”?
Kegelisahan malah tak kunjung berujung. Pola tebas – bakar justru berbuah petaka: bukit kian gundul, curah hujan semakin menurun, debit air pun ikutan turun. Di Kabupatan Sikka yang bercurah hujan rata-rata hanya 173 mm di puncak musim penghujan dengan intensitas rata-rata 20an hari, pola tebas - bakar ala Reroroja ini tentu tak bisa mengubah keadaan. Malah makin memperparah. Makin menggelisahkan warga Reroroja.
Kegelisahan itulah sempat tercuat saat Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) tingkat Kecamatan Magepanda pada 2007 lalu. Dan tak satu pun bisa menyangka, bahwa api kesadaran warga pun cepat tersulut saat Musrenbang itu.
“Saat itu masyarakat mulai sadar. Menggunduli hutan bisa datangkan masalah baru. Tebas-bakar bukanlah jalan terbaik. Sebaliknya, langkah yang mesti diambil warga adalah menghijaukan”, kisah Cyrilinus.
Tapi dengan apakah daerah perbukitan seluas 150 hektare itu dihijaukan? Lalu, apakah hanya cukup dengan menghijaukan, perkara “cukup untuk makan” bisa menguap pergi dari tanah Reroroja?
Bak ditawari barang bagus, gayung pun bersambut. Selepas Musrenbang, akhir September 2008 Asian People’s Exchange (APEX), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Jepang bekerja sama dengan Yayasan Dian Desa pun melancarkan proyek “Environmentally Friendly Development by Multiple Use of Jatropha curcas in Indonesia“ (Pengembangan Ramah Lingkungan dengan aneka pemanfaatan Jarak Pagar (Damar) di Indonesia) di Reroroja.
Ujung-ujungnya? Tak cuma hijaunya bukit Reroroja, tapi juga keluarnya warga Reroroja dari belitan kemiskinan. “Proyek yang didukung kementrian luar negeri Jepang ini bertujuan menciptakan model pengembangan ramah lingkungan dengan aneka pemanfaatan jarak pagar”, kata Petrus S. Swarnam, Pimpinan Yayasan Dian Desa Perwakilan NTT.
Awalnya, kisah Petrus, warga ragu-ragu. Menghijaukan areal seluas 150 hektare itu tentu tak jauh berbeda dengan proyek lamtoronisasi untuk pengembangan usaha pertanian tanah kering. Proyek yang gencar di tahun 1980-an itu memang berbuah hasil. Selain erosi teratasi, Lamtoro pun bisa meningkatkan kesuburan tanah. Tapi perkara Lamtoro mengeluarkan warga dari belitan kemiskinan, rupanya perlu diskusi panjang lagi. “Awalnya kami ragu. Jangan-jangan proyek Jarak Pagar ini pun senasib Lamtoro. Ini mimpi siang bolong”, kisah Cyrilinus.
Tapi siapa bisa menyangka, mimpi di siang bolong itu bisa mewujud di Reroroja? Dalam sosialisasi, APEX dan Yayasan Dian Desa selalu meyakinkan warga akan nilai ekonomis Jarak Pagar. Tak cuma untuk menghijaukan lahan kritis, tapi juga warga bisa memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi.
Ini luar biasa. Petrus menjelaskan, selain menghijaukan, potensi Jarak Pagar pun bisa difungsikan sebagai bahan bakar bio-diesel. Biji Jarak, yang terdiri dari 60 % berat kernel (daging biji) dan 40 % berat kulit, mengandung minyak yang tidak main-main. Melalui proses rendering (teknik pengepresan secara mekanis, bisa didapatkan rendemen minyak 25 %-35 %. Selanjutnya melalui proses pemurnian (purifikasi), bisa didapatkan minyak dengan kualitas terbaik. Proses purifikasi ini terdiri dari deguming ( pemisahan getah yang masih terkandung dalam minyak jarak), netralisasi (pemisahan asam lemak bebas), pencucian yang diikuti dengan bleaching dan deodorisasi (pemurnian minyak untuk menghasilkan zat-zat warna pada minyak dan menghilangkan bau pada minyak).
Minyak yang telah diolah dengan proses pemurnian bisa langsung dipakai sebagai bahan bakar atau bisa juga diolah dengan proses trans-esterifikasi untuk memproduksi bio-diesel. “Inilah nilai tambah Jarak Pagar. Tak hanya untuk penghijauan. Tapi juga untuk bahan bakar, pengganti Solar 100 persen ”, tegas Petrus.
Di tengah merosotnya produksi minyak dalam negeri, ditambah naiknya harga minyak dunia, bukan tak mungkin minyak Jarak Pagar jadi alternatif. Kalau tidak ada alternatif semacam ini, krisis Bahan Bakar Minyak (BBM) bisa berefek fatal. Harga bahan pokok meningkat. Sejumlah usaha kecil dan menengah (UKM) bisa gulung tikar. Listrik tak bisa nyala maksimal. Pengendara, serupa Om Fendy dengan Panther-nya, pun “ciut” untuk keluar rumah. Dan, pengangguran pun bakal merajalela.
Menurut hasil penelitian Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI), akibat krisis BBM 2008, dalam rentang dua bulan saja, di Indonesia bertambah angka pengangguran sebanyak 7.000 orang dan orang miskin baru bertambah 110.000 jiwa. Bisa dibayangkan, betapa stganan-nya perekonomian Indonesia kalau krisis terus menyeruak.
Lalu? Apa Jarak Pagar terus dipandang sebelah mata? Di tengah krisis BBM seperti sekarang ini, usaha serupa punya warga Reroroja bukanlah hal remeh – temeh. Mereka perlu didukung. Mereka tidak bisa sendiri (disendirikan). Tak bisa juga hanya bergantung pada APEX dan Yayasan Dian Desa.
“Kalau pemerintah Jepang bisa bantu masyarakat, kenapa pemerintah sendiri tidak bisa bantu”, tukas Cyrilinus. Pemerintah mesti juga punya tanggungan. Sekurang-kurangnya bisa mendanai proyek Jarak Pagar ini.
Dengan pemerintah, hingga kini memang masyarakat Reroroja masih tetap berharap-harap cemas. Kalau – kalau di hadapan pemerintahnya sendiri, mereka tak senasib dengan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi). Aprobi, yang mulai berkibar di tahun 2007 bernasib apes, gara-gara kurang didukung pemerintah. Meski sudah lima dari 22 anggota Aprobi memiliki pabrik pengolahan biofuel berkapasitas 1,1 juta ton per tahun, cuma 15% kapasitas dari itu yang terpakai, karena permintaan dan bahan baku dalam negeri terbatas. Pemerintah toh masih tetap memilih diam dengan usaha Aprobi.
Lalu, apakah ini juga nanti terjadi dengan masyarakat Reroroja yang sudah mulai bertaruh dengan Jarak Pagar di bukit tandus itu? ###

Menyulut Dian di Bukit Tandus (2/habis)
“Ini namanya Desa Jarak Pagar”, kata Om Fendy dengan sedikit berguyon saat Panther-nya mulai merangkak pelan-pelan di jalan tengah Desa Reroroja. “Kalau Gubernur Lebu Raya bisa juluki NTT Provinsi Jagung, Provinsi Ternak dan macam-macam, Reroroja pun punya julukan sendiri”, tambahnya.
Tapi di Reroroja bukan sekedar perkara nama atau julukan. Nama, ya, selalu mesti jadi tanda, Nomen Est Omen. Dan, masyarakat Reroroja sudah membuktikan itu. Sudah sejak tiga tahun yang lalu, 2008, bersama APEX dan Yayasan Dian Desa, mereka mengendus nasib, mengusir ketandusan hamparan bukit dan kemiskinan yang sekian lama membelit. “Ternyata dari Jarak Pagar kami bisa hidup. Dari seember buah Jarak Pagar saja, sudah lumayan hasilnya. 2.500 rupiah per ember”, kata Kades Cyrilinus.
Dari hasil Riset dan Analisa Komersial Industri Minyak Jarak yang dipublikasikan oleh Majalah Damar dari PUSPHA (Pusat Teknologi Tepat Guna Jatropha) (Vol 1 tahun 2009), ditunjukkan bahwa tanaman Jarak Pagar di NTT menghasilkan persentase minyak yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang ditanam di daerah lain. “Tanaman ini prospeknya luar biasa. Ini hal yang amat menjanjikan bagi peningkatan pendapatan petani di NTT”, kata Alexander F Rego, Project Manager Lokal PUSPHA.
Selain itu, pada 3-5 tahun awal, setiap tanaman Jarak Pagar menghasilkan 4 kilogram biji per tahunnya. Di setiap hektare-nya, dengan jarak tanam 2 x 2 meter, dapat ditanam 2500 pohon. Dengan kandungan minyak pada tiap kilogram Jarak sebesar 35 % maka akan dihasilkan 3500 kg atau 3850 liter crude oil per hektarenya. Bila satu liter crude oil dihargai Rp.2500, maka omzet per hektare dari tanaman Jarak Pagar bisa mencapai Rp. 9,625 juta. Jumlah ini akan terus meningkat sejajar dengan peningkatan areal tanam Jarak Pagar.
Sungguh luar biasa! Bisa dibayangkan, betapa banyaknya untung yang diraup di Reroroja dengan 150 hektare areal tanam Jarak Pagar itu. Betapa terangnya kehidupan masyarakat Reroroja dari bukit yang tak lagi tandus itu. “Kalau ini dari dulu, warga Reroroja bukan seperti sekarang”, imbuh Cyrilinus.
Tapi akhirnya ‘masa gelap’ itu pelan-pelan terusir dengan Jarak Pagar. “Hampir tiap hari warga di sini, termasuk anak-anak selalu cari buah Jarak untuk dijual. Buah Jarak kan masak setelah 5-6 bulan, jadi cepat panen”, imbuh Cyrilinus.
Apalagi, kata Cyrilinus, di Reroroja sudah ada Gathering Center (Pusat Pengumpulan Biji dari Pusat Teknologi Tepat Guna Jatropha) yang diresmikan pada tanggal 10 April 2010. Gedung Gathering Center, yang terletak di kaki bukit Reroroja ini digunakan sebagai pos pengumpulan biji atau buah Jarak Pagar. Tidak hanya dari Desa Reroroja, tetapi juga dari desa-desa lain yang ikut mengumpulkan biji, seperti dari Kabupaten Sikka, Kabupaten Ende dan sekitarnya.
Tak hanya itu. Pada tanggal 26 Agustus 2010 lalu, di Wairita, Desa Wairbleler, Kecamatan Waigete, Sikka, oleh Gubernur Lebu Raya diresmikan Jatropha Center yang berfungsi sebagai pusat pengolahan biji dan pemasaran produk minyak Jarak Pagar. Jatropha ini terdiri dari Gudang Biji seluas 288 meter persegi, Gudang Produksi dengan fasilitas ekstraksi dan pemurnian minyak seluas 128 meter persegi, tempat penyimpanan minyak seluas 192 meter persegi, tempat pengolahan limbah seluas 96 meter persegi dan laboratorium seluas 57 meter persegi.

Itu berarti petani Jarak Pagar di Reroroja tidak susah-susah cari pasar. Tinggal saja petik, kumpul dan jual ke Gathering Center. Semudah menimbang Kemiri dan Kopra kepada para pengusaha lokal, menimbang buah Jarak Pagar pun bak perkara membalik tangan. “Tapi menyadarkan warga soal ini memang butuh waktu. Mereka sudah lama terbiasa dengan komoditi lain. Jadi ketika di daerah lain kami menawarkan untuk budidaya Jarak Pagar, warga masih susah terima”, kata Alex F Rego.
Menyadarkan warga soal serupa budidaya Jarak Pagar ini memang gampang-gampang susah. Mentalitas “liat dulu hasilnya, baru buat” sudah lama mengidapi warga. Padahal, menurut Petrus S. Swarnam, budidaya Jarak tidak susah. “Memang Yayasan Dian Desa dan APEX memperkenalkan upaya perbanyak bibit melalui cara Kloning Ex Vitro, klon dari pohon unggul dan propagasi akar. Tapi dengan menanam biji dan stek pun hasilnya lumayan. Tapi itulah, orang-orang kita selalu mau liat bukti dulu”, kata Petrus
Karena itu, menurut Petrus, selain Proyek Jarak Pagar di Reroroja dengan teknik biji dan Kloning Ex Vitro, Memorandum of Understanding (MoU) antara PT. PLN Wilayah NTT dan PUSPHA (APEX dan Yayasan Dian Desa) bisa jadi pemicu kesadaran warga. MoU yang ditandatangani pada 25 Agustus 2010 ini didasarkan atas hasil ujicoba pemakaian minyak Jarak Pagar di subranting PLN di Kecamatan Magepanda pada bulan Juli 2010. Karena hasil uji coba itu terbukti memadai, maka dalam MoU tersebut telah ditetapkan bahwa PLN bersedia membeli minyak Jarak Pagar dari PUSPHA. “Ini yang harus warga sadari. Terbukti, PLN sudah mau pakai minyak Jarak Pagar, kenapa warga belum mau gencar dengan budidaya Jarak Pagar”, kata Petrus.
Menurut Petrus, 20 tahun kemudian krisis BBM akan berpuncak. Pasokan minyak dari hasil endapan fosil akan habis. “Kita membutuhkan sumber minyak alternatif. Jarak Pagar salah satunya”, katanya.
Dan di Reroroja, yang alternatif itu sudah dimulai warga, APEX dan Yayasan Dian Desa. Mereka telah menyulap bukit tandus menjadi bukit Jarak Pagar. Dengan upaya luar biasa itu, mereka tidak hanya menyulut api kesadaran kita, tetapi juga menyulut dian kehidupan. @@@

Wednesday, May 25, 2011

Timor Leste Anggota ASEAN Kado HUT Kemerdekaan yang Tertunda

Oleh Florencio Mario Vieira, Pemerhati Timor Leste, Alumnus John Heinz III - School of Public Policy and Management, Carnegie Mellon University (CMU), Pittsburgh, Pennsylvania, USA, tinggal di Kupang.

TIMOR Leste merayakan HUT kesembilan, tanggal 20 Mei 2011 setelah melepaskan diri dari Indonesia tahun 1999 melalui jajak pendapat. Selanjutnya restorasi kemerdekaan dideklarasikan pada tanggal 20 Mei 2002, difasilitasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ada harapan besar dari pemerintah bahwa pada HUT ke-9 kali ini, Timor Leste mendapat 'kado' istimewa, yakni menjadi anggota ke-11 pada 18th ASEAN Summit di Jakarta, 7-8 Mei 2011.

Sehubungan dengan itu Indonesia sangat getol memperjuangkan proposal dari Pemerintah Timor Leste. Proposal yang diajukan oleh Zakarya Albano da Costa (Menteri Luar Negeri Timor Leste), disirkulasi oleh counter part-nya, Marty Natalagawa (Menteri Luar Negeri Indonesia) sebagai urgent attention, akhirnya gagal diterima oleh anggota ASEAN lainnya.

Banyak alasan yang menyebabkan negara baru tersebut belum dapat bergabung dengan ASEAN. Alasan utamanya adalah kesenjangan ekonomi yang terlalu lebar sehingga negara baru tersebut sulit berkontribusi terhadap pembangunan komunitas ASEAN, sekaligus dapat menghambat visi Integrasi ASEAN 2015.

Kepentingan Cina-Indonesia-Australia
Indonesia mempunyai alasan strategis sehingga sangat getol memperjuangkan Timor Leste agar segera bergabung dengan ASEAN. Pertama, Indonesia yang mempunyai sejarah politik kurang baik berupaya untuk memenangkan hati rakyat Timor Leste. Kedua, dari aspek sosial budaya, masyarakat Timor Leste dan Timor Barat-Indonesia, tidak dapat dipisahkan.

Ketiga, ketergantungan Timor Leste secara ekonomi terhadap Indonesia tidak dapat dipungkiri. Barang dan jasa non-migas 90% diimport dari Indonesia. Keempat, aspek strategi geo-politik, Timor Leste yang secara geografis berada di dalam kawasan negara kepulauan Republik Indonesia, pemerintah Indonesia berupaya keras agar Timor Leste tidak didominasi oleh kepentingan negara lain, terutama persaingan Cina dan Australia menjadikan Timor Leste sebagai 'satelit' untuk kepentingan ekonomi dan politik. Pada masa perang dingin, Partai Fretilin sangat dekat dengan Partai Komunis Cina (PKC).

Fretilin juga menjadi pemenang pemilu dua kali berturut-turut sejak kemerdekaan Timor Leste.

Bagi Cina, nostalgia ideologi komunis saat perang dingin, berpeluang dilanjutkan kemesraan tersebut dalam ekspansi kepentingan ekonomi. Saat ini Cina merupakan donor terbesar bagi Timor Leste. Pembangunan istana negara Presiden Timor Leste dan infrastruktur, sebagian besar bantuan hibah Cina. Di lain pihak, pasca pemisahan dari Indonesia, Australialah yang berperan secara dominan di Timor Leste, antara lain pengiriman pasukan Interfet pasca kerusuhan 1999. Kepentingan Australia adalah menjadikan Timor Leste sebagai buffer zone (wilayah penyangga) bila ada ancaman dari Indonesia. Antisipasi adanya ancaman dari Indonesia, bilamana suatu saat - negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia - dikuasai oleh Islam fundamental, misalnya isu perjuangan Negara Islam Indonesia (NII). Australia juga menginginkan Timor Leste menjadi penyangga imigran gelap dari Timur Tengah.


Kesenjangan dengan ASEAN
Sejak restorasi kemerdekaannya pada tahun 2002, Pemerintah Timor Leste adalah negara yang hanya bergantung pada minyak, 95% dari keutungan minyak dipakai untuk belanja pemerintah. Keuntungan dari minyak dan gas adalah empat kali lipat dari seluruh sumber ekonomi bukan migas. Setiap orang di Timor Leste hidup dari keuntungan minyak dan gas, dapat menopang ekonomi sampai empat puluh tahun ke depan.

Salah satu proyek internasional, Bayu Undan yang dioperasikan oleh Conoco Philips di Timor Sea, hasil royalti sebagai hak bagi Timor Leste sebesar US$ 5 miliar saat ini disimpan di Amerika Serikat. Namun, jumlah keseluruhan kekayaan yang bersumber dari non-migas tidak cukup untuk menunjang kualitas hidup rakyat Timor Leste, bilamana empat puluh tahun ke depan persediaan minyak habis.

Ironi dari keuntungan yang didapati dari minyak, Timor Leste masih tercatat sebagai negara miskin. Dengan Gross Domestic Product (GDP) US$ 558 juta, jauh dari Laos yang GDP-nya US $ 5,9 miliar pada tahun yang sama. Ditambah lagi dengan penduduk Timor Leste hidup di bawah garis kemiskinan dan pengangguran 20%.

Menurut laporan UNDP 2011 yang di diumumkan langsung oleh Presiden Timor Lesre, Ramos Horta, disimpulkan bahwa memang ada pengurangan tingkat kemiskinan secara substansial sejak tahun 2007, namun 41 persen dari masyarakat di pedesaan masih terus hidup di bawah garis kemiskinan. Nilai Human Development Index (HDI) tahun 2010 adalah 0.502, terletak pada Medium Human Development Category, Timor Leste berada pada ranking 120 dari 169 negara-negara berdasarkan laporan Global Human Development.

Menurut Charles Scheiner, La'o Hamutuk Institute, dalam artikel Timor Leste Must Win Independence from Petroleum, Remarks at launch of the UNDP 2011 Timor-Leste Human Development Report bahwa "Hanya enam negara yang mempunyai Gross National Index (GNI) 20% lebih besar dari GDP, tidak ada yang lebih dari 80%. Bagi Timor Leste, GNI-nya unik - enam kali lebih besar - 548% lebih tinggi dari GDP. Hal ini menunjukkan konsekuensi ekstrim dari ketergantungan ekspor sumber-sumber non-migas. Sejak Timor Leste mengembangkan dana yang bersumber dari minyak untuk kesejahteraan rakyat, GNI tidak merefeksi kehidupan setiap warga negara pada hari ini'. Hal ini dapat dikuatkan oleh Human Developement Report (HDR), bahwa sekitar 15.000 pemuda pencari kerja setiap tahun, namun hanya ratusan pekerjaan yang dapat disediakan.


Dalam kunjungan penulis ke Timor Leste akhir tahun 2010 sampai awal tahun 2011 untuk merayakan Natal dan Tahun baru, hiruk-pikuk urbanisasi di Kota Dili menunjukkan perubahan yang signifikan bila dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu, namun sangat kontradiktif dengan kehidupan di distrik dan pedesaan. Kehidupan ekonomi (misal: pasar, transportasi antardesa, pertokoan) terasa 'mati'. Survai Kesehatan dan Demografi menunjukkan bahwa di Dili, 20% dari golongan terkaya dapat mengakses 71% dari sumber-sumber ekonomi, sedangkan 20% dari masyarakat miskin hanya dapat mengakses 4% dari sumber-sumber ekonomi.

Indikator-indikator tentang Timor Leste mencerminkan kesenjangan ekonomi yang sangat lebar berpengaruh signifikan terhadap pembangunan komunitas ASEAN dan bahkan dapat menghambat visi integrasi komunitas ASEAN. Pekerjaan rumah bagi Indonesia adalah mengambil peran penting dalam isu geo-politik dan geo-ekonomi, karena letaknya Timor Leste yang strategis di enclave kepulawan Indonesia. Timor Leste akhirnya berharap lagi pada Indonesia, tentu bukan sebagai bagian integrasi dengan NKRI tapi dalam kerangka integrasi ASEAN 2015. *

Pilatus Cuci Tangan (Mencermati kasus Bansos di Sikka)

Oleh Hendrik Nong, belajar teologi pada STFK Ledalero, tinggal di Pastoran St. Thomas Morus Maumere

Kisah Pilatus cuci tangan
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, khususnya keempat Injil, Pilatus dikisahkan sebagai seorang penting di kalangan orang-orang Yahudi pada masa itu. Pilatus bukanlah seorang yang berasal dari kalangan Yahudi. Namun, padanya ada kuasa atas kehidupan orang-orang Yahudi yang berada di wilayah kekuasaannya. Ia berkuasa untuk menentukan nasib hidup kebanyakan orang. Dari mulutnya keluarlah perintah-perintah yang harus ditaati. Bila Pilatus berbicara, semua rakyat yang berada di bawah kuasanya harus turut. Bila ia memberi perintah supaya seseorang dihukum, maka seseorang itu harus dihukum.

Sebaliknya, bila ia menghendaki agar seseorang dibebaskan, maka seseorang itu harus dibebaskan. Pilatus juga berkuasa untuk memerintahkan orang-orang atau kalangan tertentu untuk bertindak atas dirinya. Tentu saja, perintahnya tidak harus tertulis.

Orang-orang Yahudi tahu akan kapasitas seorang Pilatus sebagai penguasa. Karena itu, mereka mengadukan Yesus kepada Pilatus untuk dihukum. Orang-orang Yahudi; para ahli taurat dan imam-imam kepala (dan rakyat jelata yang mereka hasut) menuntut Pilatus untuk menggunakan kekuasaannya atas diri Yesus. Pilatus sendiri pun tahu dan sadar akan kekuasaan yang dimilikinya. Maka, ketika pengaduan itu datang kepadanya, ia tidak menyia-nyiakannya. Dia menunjukkan kepada semua orang bahwa memang dialah orang yang berkuasa. Dengan berkata kepada orang banyak, "Maukah kamu, supaya aku membebaskan raja Orang Yahudi bagimu?" (Yoh 18:39b), dan kepada Yesus, "Tidakkah Engkau tahu, bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?" (Yoh 19:10b), Pilatus hendak mengatakan dirinya sebagai seorang penguasa.

Satu hal yang menonjol dalam adegan penyaliban Yesus ialah 'permainan' yang dilakukan oleh Pilatus dan orang-orang Yahudi. Pilatus sebagai pihak yang memegang kekuasaan melakukan 'tawar-menawar' dengan orang-orang Yahudi yang memiliki tuntutan. Kepentingan masing-masing pihak dipertaruhkan! Bila Pilatus tidak menggunakan kekuasaan untuk memenuhi tuntutan orang-orang Yahudi, maka kekuasaannya terancam dicopot, karena "Jikalau engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat Kaisar." Dan, pada pihak imam-imam kepala orang-orang Yahudi, bila Pilatus menolak tuntutan mereka, maka eksistensi mereka di hadapan orang-orang Yahudi sendiri terancam hilang. Bukankah sejak Yesus tampil di hadapan umum dengan mengajar dan melakukan banyak mujizat, para ahli taurat dan imam-imam kepala kehilangan simpatisan?

Adegan itu diakhiri dengan keputusan Pilatus menyerahkan Yesus kepada orang-orang Yahudi untuk dihukum dan disalibkan menurut aturan hukum Yahudi sendiri. Di sini mulai tampak dengan jelas kelicikan seorang Pilatus. Di satu pihak, kekuasaan Pilatus tidak akan diganggu. Dengan menyerahkan Yesus untuk dihukum dan disalibkan, Pilatus tetap diakui sebagai sahabat Kaisar. Dan itu menjadi jaminan untuk kelanggengan kepemilikannya atas kekuasaan. Di lain pihak, Pilatus membebaskan dirinya dari perasaan bersalah. Dengan cara membasuh tangan dan berkata, "Aku tidak bersalah atas darah orang ini!" (Mat 27:24), Pilatus merasa benar atas keputusannya. Demikianlah, Pilatus hidup dalam kekuasaannya yang tidak diganggu dan terhindar dari perasaan bersalah, tetapi orang-orang Yahudi yang menyalibkan Yesus mewarisi kesalahan terbesar, menyalibkan seorang yang tidak bersalah!

Kasus Bansos di Sikka
Dari kisah tentang Pilatus yang licik, saya mengajak kita untuk mencermati kasus Bansos yang terjadi di Kabupaten Sikka. Kasus ini terkuak setelah BPK RI Perwakilan NTT menemukan penyimpangan-penyimpangan dalam penggunaan dan pertanggungjawaban oleh pihak yang mengelola keuangan untuk kesejahteraan rakyat itu.

Pansus DPRD menemukan bahwa ada sejumlah pejabat legislatif dan eksekutif yang terlibat dalam kasus hilangnya dana miliaran rupiah ini. Para pejabat yang berkuasa untuk mengelola keuangan untuk kesejahteraan rakyat umum diduga menyalahgunakan Bansos. Orang-orang sederhana, rakyat jelata yang tidak berkuasa untuk mengelolanya dana Bansos tidak mungkin melakukan tindakan amoral itu. Jadi, dugaan ini bukanlah hal yang luar biasa.

Persoalannya adalah siapa yang berinisiatif untuk melakukan penyelewengan itu? Substansi kebenaran mesti diungkap secara tuntas! Kalau dikatakan bahwa para pejabat dalam lingkup legislatif dan eksekutif terlibat di dalamnya, maka pertanyaan menyusul adalah sejauh mana keterlibatan mereka? Apakah mereka semua adalah orang-orang yang berinisiatif untuk melakukan penyimpangan itu? Bisa jadi demikian; ada kesepakatan bersama untuk mengucurkan dana untuk dibagi-bagikan di antara mereka. Atau, apakah keterlibatan banyak pejabat merupakan akibat dari kesalahan yang dilakukan orang tertentu, sehingga itu hanya merupakan satu taktik untuk melindungi diri? Melindungi diri dengan cara melibatkan banyak pejabat dan pejabat-pejabat itu memanfaatkan kesalahan pejabat tertentu untuk memperkaya diri?

Beberapa pernyataan sudah terungkap dari beberapa pejabat penting di daerah ini. Bukan hanya pernyataan, melainkan juga reaksi psikis dalam menanggapi dugaan-dugaan yang ditujukan kepada mereka. Akan tetapi, berbagai pernyataan itu bukan untuk mengakui diri bersalah, melainkan keinginan untuk menghindar dari tuntutan pertanggungjawaban. Dalam upaya ini juga tindakan bunuh diri coba dilakukan (Flores Pos, Rabu 11 Mei 2011). Pernyataan terakhir, hingga tulisan ini dibuat, diberikan oleh Bupati Sikka, Drs. Sosimus Mitang (Flores Star, Kamis 19 Mei 2011). Meskin demikian, satu kebenaran yang tidak disangkal oleh pejabat-pejabat itu ialah adanya penyelewengan dan Bansos! Tidak ada (belum ada?) satu pun dari antara mereka yang menolak temuan BPK RI Perwakilan NTT atas penyelewengan dana Bansos sebesar 10,7 miliar itu.
Rp 10,7 miliar! Angka yang teramat besar. Siapa yang berani menggunakan uang sebesar itu untuk sesuatu yang salah?


Siapa yang berani mengeluarkan uang sebesar itu kalau tidak didukung dengan kekuasaan yang sepadan? Menurut akal sehat, uang sebesar itu, bila penggunaannya dilakukan dengan pengetahuan bahwa akan dituntut pengembaliannya (ganti rugi), maka itu lebih pasti dilakukan oleh orang yang memiliki kekayaan yang melebihi angka itu. Pertanyaannya, siapakah dari antara mereka yang memilikinya? Berapakah gaji para pejabat di daerah ini yang bisa melebih 10,7 miliar? Bupati saja mungkin tidak mampu mengembalikan uang sebesar itu bila hanya menggunakan gaji atau kekayaan yang dimilikinya.

Kalau demikian, kita perlu menduga bahwa itu lebih pasti dilakukan oleh orang yang mempunyai kuasa tidak hanya memerintah untuk menggunakan uang itu, tetapi juga berkuasa untuk mengadakan dana baru yang sepadan untuk menutupi penyalahgunaan atas dana terdahulu.

Pilatus dan kasus Bansos
Pilatus berhasil mengamankan kekuasaannya dari pemecatan yang bisa saja terjadi bila ia menolak tuntutan Ahli-ahli Taurat dan Imam-imam Kepala, karena ia dipandang bukan sebagai sahabat kaisar. Pilatus juga membebaskan dirinya dari perasaan bersalah dengan cara menyerahkan Yesus kepada orang-orang Yahudi untuk menghukum dan menyalibkan Yesus. Tampak di sini, Pilatus menampilkan diri sebagai seorang yang haus akan kekuasaan dan sebagai seorang penguasa yang ingin dipandang baik oleh semua orang lain. Ia adalah seorang yang lihai dalam menggunakan kekuasaan. Dengan berkata-kata saja ia bisa mengamankan diri. Seperti inikah pelaku (pejabat) dalam kasus Bansos di Sikka akan bermain? Apakah dengan kata-kata yang mengandung kuasa mereka akan mengamankan diri, meski korban tentu saja tidak akan terelakkan? Seperti Pilatus, mereka kehilangan kualitas moral dalam dirinya!

Merujuk pada temuan BPK RI Perwakilan NTT, maka adanya penyimpangan dalam penggunaan dana Bansos tidak dapat diragukan. Kebenaran ini menuntut terungkapnya pelaku penyimpangan. Pilatus tidak akan membiarkan dirinya kehilangan kekuasaan dan dicela sebagai orang yang tidak bermoral di dalam penerapan kekuasaannya. Di dalam kasus Bansos, pejabat yang telah meraup keuntungan tidak akan menunjukkan dirinya bersalah karena hal itu akan mengancam kenyamanan kekuasaannya. Tidak hanya kekuasaan yang dijaganya, tetapi juga berusaha untuk menunjukkan diri sebagai orang yang (seolah-olah) bermoral. Dengan melimpahkan kewenangan kepada orang-orang Yahudi untuk menghukum dan menyalibkan Yesus, Pilatus berhasil! Apakah dengan menyerahkan kekuasaan kepada orang-orang tertentu untuk mengucurkan dana itu, seorang pejabat juga berhasil? Bukan tidak mungkin bila hal itu dilakukan dengan perintah lisan yang tidak dapat dipegang namun mengandung kuasa.

Kebenaran temuan BPK RI Perwakilan NTT harus ditunjang dan diteguhkan dengan pengungkapan secara meyakinkan adanya penyalahgunaan kekuasaan dari pejabat. Bila kita mengatakan bahwa tidak ada pelaku di dalam penyimpangan itu, maka kita mementahkan kebenaran dari temuan BPK. Karena suatu penyimpangan dalam skala demikian tidak akan terjadi bila tidak dilakukan oleh orang yang berwenang di dalamnya. Sampai di sini, kita boleh bertanya, apa yang bisa diharapkan untuk mengungkapkan secara tuntas kebenaran itu? Sekali lagi, Pilatus tidak akan membiarkan dirinya kehilangan kekuasaan dan harga diri di hadapan rakyat. Satu-satunya jalan adalah hukum. Jalur hukum mesti ditempuh. Untuk maksud ini, kredibilitas moral para penegak hukum akan sangat menentukan. Janganlah hukum dan penegak hukum menjadi sarana uang dan kekuasaan! *

Jalan Terjal Capres Independen

Oleh Bill Nope ( Dosen FH Undana, Mahasiswa Hukum Kenegaraan UGM )

DEWAN Perwakilan Daerah telah menyerahkan penyusunan draft atau rancangan perubahan kelima Undang-Undang Dasar 1945 kepada DPR pada akhir maret lalu. Terdapat beberapa isu penting dalam draft perubahan UUD 1945 ini, antara lain : calon presiden independen, memperkuat sistem presidensil, memperkuat lembaga perwakilan, memperkuat otonomi daerah termasuk memperkuat kewenangan DPD.

Wacana yang paling mengemuka di kalangan para ahli maupun masyarakat atas usulan ini adalah tentang hadirnya calon presiden independen yang usulannya terdapat dalam Pasal 6 A UUD 1945 berubah menjadi “Pasangan calon presiden dan wakil presiden berasal dari usulan partai politik peserta pemilihan umum atau perseorangan”. Dalam Pasal 37 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan “Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

Usulan perubahan konstitusi oleh DPD ini masih membutuhkan perjuangan berat. Mengapa? DPD hanya terdiri dari 132 anggota, ini tentunya belum memenuhi syarat sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Artinya, usulan perubahan konstitusi kita yang disokong DPD ini masih berada di jalan terjal semisal lobi-lobi DPD kepada fraksi-fraksi di DPR agar ikut mendukung usulan ini sehingga dapat memenuhi syarat minimal 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Catatan penulis, kehadiran DPD selama ini masih dianggap saingan oleh DPR kita.
Kita lihat beberapa contoh tentang kewenangan DPD yang selama ini yang hanya bisa memberi pertimbangan, nasihat dan pengawasan kepada DPR (Pasal 22D UUD 1945). Penulis menganggap salah satu isi usulan tentang calon presiden independen yang diusulkan DPD ini terlampau berlebihan - dapat dikatakan usulan capres independen ini hanya sebagai ‘tameng’ DPD agar mendapatkan perhatian dan dukungan dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat bahkan tokoh masyarakat.

Usulan tentang hadirnya capres independen sebaiknya bukan alasan utama pentingnya amandemen konstitusi kelima. Khusus tentang calon presiden independen, resistensi dari partai politik yang ada di DPR akan sangat kuat di tengah berbagai alasan tentang turunnya tingkat kepercayaan masyarakat akan partai politik, pemantapan sistem presidensil dan kedaulatan di tangan rakyat.

Penguatan Sistem Bikameral

Bagi penulis, jalan terjal DPD dalam usulan amandemen konstitusi ini sebaiknya lebih dititikberatkan pada penguatan kewenangan DPD dalam konstitusi kita yang selama ini masih ‘tumpul’. Sebagai catatan, kita lihat selama ini DPD hanya diperlakukan sebagai lembaga legislatif ‘kelas dua’ — tanpa ‘kekuatan legislasi’ yang memadai. Fungsi legislasi DPD yang selama ini tumpul berada pada sembilan persoalan yakni: otda, hubungan pusat daerah, pembentukan-pemekaran serta pembangunan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat daerah, APBN, Pajak, Pendidikan dan Agama (Pasal 22D UUD 1945).

Beberapa poin usulan DPD tentang Amandemen UUD 1945 yang mesti ditekan misalnya dalam Pasal 30, “DPR dan DPD memegang kekuasaan legislatif”. Pasal 35 ayat (1) “DPR dan DPD memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan, fungsi pengisian jabatan publik, dan fungsi keterwakilan.” Pasal 44 ayat (1) “Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dan DPD mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.” Kemudian usulan yang terakhir pada Pasal 72 ayat (1) “Hubungan antara pusat dan daerah propinsi serta daerah kabupaten dan kota diatur dalam undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”.

Usulan amandemen kelima konstitusi yang dititikberatkan pada penguatan fungsi legislasi DPD diharapkan dapat mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bicameral). Jimly Asshiddiqie menyebut dengan struktur parlemen dua kamar, diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan dengan mekanisme double-check yang memungkinkan DPD sebagai representasi teritorial atau regional (regional representation) dan DPR sebagai representasi politik (political representation).

Pentingnya sistem dua kamar ini juga didasarkan pada kebutuhan menciptakan sistem checks and balances antarkamar legislatif. Dengan sistem ini kamar perwakilan yang satu mengawasi kamar perwakilan yang lain sehingga dapat mencegah kecendrungan kesewenang-wenangan dari lembaga legislatif. *

Bangsa Pelupa dan Pendek Ingatan

Oleh John Haba (Penulis adalah Profesor Riset LIPI-Jakarta)

TERUS menumpuknya masalah-masalah nasional membawa masyarakat bertanya, masihkah pemerintah dan semua pemangku kepentingan serius menanganinya? Ataukah, pemerintah dan aparatnya dengan terencana sudah melupakan dan membiarkan berbagai masalah melilit bangsa Indonesia? Publik disentakkan dengan pernyataan para pemimpin agama bahwa “pemerintahan SBY telah berbohong”. Serta merta sikap para pemimpin agama itu lebih menyadarkan masyarakat bahwa ada masalah-masalah serius yang belum tuntas dikerjakan.
Lalu, apa sesungguhnya yang melatarbelakangi tunggakan masalah dalam negeri ini, sehingga masalah datang dan pergi, seakan negeri ini akrab dengan persoalan kronis? Banyak asumsi dikembangkan, seperti pemerintah barangkali tersangkut dengan berbagai mega kasus, lemahnya kepemimpinan Presiden SBY, dan tidak berfungsi maksimal sejumlah menteri kabinet. Salah satu dugaan yang bisa disebut adalah kita sudah menjadi bangsa pelupa, bangsa berpikiran pendek lagi sempit, dan beria-ria membiarkan berbagai permasalahan agar sirna ditelan waktu.

Melupakan dan membiarkan

Mencampuradukkan antara kosep ‘melupakan’ dan ‘membiarkan’ dalam konteks kekinian Indonesia semakin menjadi penting, sebab dua pemahaman ini justru terus menyesatkan. Melupakan tidak selalu membawa makna destruktif, dan sebaliknya membiarkan dapat menemukan makna konstruktif. Memposikan pemahaman melupakan dan membiarkan akan lebih menarik, kalau sejumlah mega kasus di negeri ini dipilah lebih dalam lagi. Tindakan melupakan dan membiarkan bertolak dari kesadaran diri (self-awareness) akan sesuatu peristiwa dalam sejarah diri atau sejarah bangsa. Untuk berdiri tegak dalam gejolak sosial politik, ada masa silam sejarah, yang kendatipun pedih dan merugikan mesti ikhlas dilupakan, agar perjalanan sejarah pribadi dan bangsa tidak terikat hanya kepada masa silam yang kelam.

Dalam sejarah, misalnya, keteladanan Nelson Mandela, bapak bangsa sekaligus pemersatu Afrika Selatan patut diacungi jempol, kendatipun di bawah pemerintahan Apartheid ia dipenjarakan selama 27 tahun. Hak untuk menuntut balas terbuka di depan dirinya, tetapi watak seorang negarawan dan tabiat luhur Mandela yang mengutamakan keutuhan negara Afrika Selatan yang tercabik akibat politik Apartheid, ikut menguburkan segala peluang yuridis untuk mengembalikan martabat diri dan keluarganya.

Lain Nelson Mandela, lain juga pemimpn di negeri ini. Dendam dan tabiat tidak bersahabat selaku ‘negarawan’ sering membingungkan publik, kesanggupan melupakan disparitas idiologi justru terus ditabur ke ranah privat.
Akibatnya, musuh bersama bangsa (the common enemy) seperti kemiskinan dan keterbelakangan tidak diterima sebagai tanggung jawab bersama, tetapi telah dialihkan menjadi tanggung jawab pemerintahan tertentu. Keterpecahan pemikiran sebagai pemimpin, dan lemahnya kapasitas untuk memrioritaskan kepentingan bersama, berdampak pada kebiasaan melupakan tanggung jawab, sehingga kemudian menjadi pemimpin atau mantan pemimpin pelupa lagi berakal pendek.
Tabiat pelupa saat naik kelas menjadi kebiasaan membiarkan, apa pun yang hendak terjadi, berbagai kasus besar yang merugikan publik kemudian disepelekan.
Tidak mengherankan kalau cara pemerintah mengatasi masalah dengan tendensi menciptakan masalah, karena tindakan terhadap kasus-kasus besar di Indonesia yang tidak pernah tuntas secara hukum, sebaliknya menjadi konsumsi politis. Kasus Bank Century, mafia pajak Gayus Tambunan dan isu suap Wisma Atlet SEA Games Palembang, termasuk kasus-kasus besar yang entah kapan akan berakhir. Jatuh ke dalam perilaku tidak mau tahu kian menjadi marak dan merebak menjadi fenomena nasional. Bangsa yang mengklaim dirinya sebagai bangsa yang menjunjung kebersamaan telah menjelma menjadi bangsa individualistik, mengedepankan kepentingan kelompok dan berpikir parsial, sebab menjalarnya elit-elit faksional, yang asal muasal mereka berkiprah untuk kemaslahatan publik layak dipertanyakan.

Pelupa dan pendek ingatan

Kata lain untuk ‘bangsa pelupa’ adalah ‘bangsa pendek ingatan’. Ambiguitas pengertian serta merta timbul dari ungkapan ‘bangsa pendek ingatan’, sebab kata-kata ini dapat bernuansa negatif, sepadan dengan kelompok manusia yang bertindak emosional dan tidak sanggup berpikir jauh ke depan. Atau, setelah bertindak baru mulai berpikir, sehingga segala konsekuensi yang mengikutinya bukan lagi menjadi tanggung jawab si penutur. Fenomena lain dari bangsa pendek ingatan terlacak juga pada pola mengalihkan perhatian dari satu kasus ke kasus lainnya. Ketika sebuah kasus hangat diperdebatkan, multipihak ikut meramaikan diskursus itu seolah-olah mereka lebih berkompetensi dan memiliki otoritas tunggal.
Tetapi kalau tidak ada hasil konkrit yang diperoleh, atau sudah tidak berdaya memecahkan masalah yang mungkin mereka sendiri timbulkan, maka dengan cepat kasus-kasus itu dipetieskan dan beralih lagi ke kasus-kasus lain. Lonjatan pemikiran atau inkonsistensi serupa semakin marak dan terus digandrungi oleh masyarakat, terutama oleh pemerintah dan para wakil rakyat. Seandainya fenomena sosial ini benar, maka bisa diabsahkan bahwa segala peristiwa dan bencana sosial patut juga ditelusuri dalam pola berpikir manusia Indonesia saat ini.

Simpang siurnya isu dan kasus di negeri ini berdampak pada tidak fokus dan selesainya persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Yang membingungkan masyarakat Indonesia adalah sejumlah kasus yang disinyalir berkaitan dengan kepemimpinan dan figur Presiden SBY. Selaku tokoh nasional SBY berada pada pusaran dan titik perhatian masyarakat, sehingga selentingan apa pun yang datangnya dari pusat kekuasaan pasti akan menjadi berita.
Para penasihat beliau sering muncul dengan berbagai pemikiran yang ‘mewah’ dan tidak mudah dicerna publik. Kasus blue energy dua tahun silam yang menghebohkan yang bertalian dengan rekayasa teknik yang hasilnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip sains, dan belum teruji tingkat kebenarannya. Belum puas dengan pernyataan bersifat sensasional itu, mendadak datang pemikiran staf khusus SBY mengenai potensi ancaman gempa bersala 8,6 skala Richter yang berpotensi meluluhlantakkan Jakarta dan sekitarnya. Isu gempa berskala masif mencuat ke permukaan pemberitaan media massa dan media cetak manakala Partai Demokrat lagi diterpa isu miring akan anggota-anggotanya yang ditengarai terlibat kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan.

Segala isu yang mencakupi korupsi, lingkungan, NKRI dan suap belum lagi selesai ditangani, dan semakin menggiring negeri kita ke dalam kategori bangsa gagal, maka masyarakat dihebohkan dengan berita sensasional ‘Presiden SBY Menjalani Diet’. Aneh tapi nyata, dan inilah sejatinya wajah kita sekarang ini. Benturan antara prioritas nasional, tokoh, peristiwa serba tunggang menunggang satu dengan lainnya, sehingga rumit untuk memilah di antara kasus-kasus tersebut. Mencermati jalan berita di negeri ini yang cepat melengkung dan berpindah arah tanpa sinyal awal, sudah meyakinkan dan menjustifikasi asumsi publik bahwa ‘pengalihan isu menjadi senjata termudah dan tercepat untuk meminimalisasi tanggung jawab parapihak’.
Potensi kebenaran dapat juga tertoreh pada adagium ini, bahwa skala prioritas sebuah berita yang substansial telah ditekan oleh popularitas dan intervensi kekuasaan dan modal yang secara tidak langsung melemahkan peran utama pers. Atau saling memanfaatkan antara penguasa, pemilik modal dan parapihak, untuk mencapai agenda-agenda terselubung secara politis, namum dikemas dalam bentuk yang tidak mencurigakan. Apa urusan ratusan juta rakyat Indonesia dengan ‘diet SBY’ bila dibandingkan dengan akumulasi ketidakadilan, pengangguran, korupsi, suap, malapetaka lingkungan dan perilaku menyimpang para penentu kebijakan di negeri ini?

Kalau mau dicermati, mungkin setiap kali timbul tenggelam kasus-kasus besar di negeri ini, dan bersamaan waktu dengannya, lahir juga berita-berita aneh dan lucu yang tidak relevan, yang tidak sanggup diadopsi sebagai pijakan untuk mengoreksi kegelisahan-kegelisahan sosial itu. Tanda-tanda kemandegan berpikir simetris terjerembab dalam pola penalaran yang siklis (berputar) adalah indikator manusia yang terjebak dalam kegalauan diri sendiri, kemudian bermimpi menarik orang lain agar terperangkap dalam keterpurukannya. Kalau ini indikasinya, maka kondisi dan kualitasnya tidak lagi berada pada tahapan ‘bangsa pelupa’ tetapi ‘bangsa lemah dan pendek ingatan’. Barangsiapa terperangkap dalam kategori ini mesti diawasi karena berpotensi merongrong aturan sosial yang mapan, dan ia berpikir sementara membangunan tatanan masyarakat yang lebih baik. Realitas masyarakat kita akhir-akhir ini ada dalam suasana yang persis seperti orang yang rusak ingatan, tetapi berbangga bahwa kita adalah tokoh idola dari masyarakatnya. Sebab itu jangan pernah berharap banyak terhadap para pemimpin yang bermimpi bahwa mereka adalah figur-figur panutan, kalau gagasannya hanya untuk perutnya hari ini, namun garang menghunus pedang dan mengumbar janji sebagai sumber jawaban atas segala bencana sosial.

Dalam peradaban manusia, sejarah tidak pernah dikonstruksikan oleh pemikir yang kerdil, pengecut dan individualistik; apalagi oleh kelompok manusia beringatan pendek, yang bakatnya adalah meloncat dari satu gagasan ke gagasan lainnya. Ingatan kolektif (collective memory), dalam sejarah pemikiran bernalar dan memiliki daya tarik positif, mengatasi kenangan masa silam yang kelam kemudian bermuara pada medan perubahan yang menjanjikan. Nuansa bersama sebagai bangsa akhir-akhir ini sementara mengantisipasi perhelatan politik menyongsong tahun 2014, distorsi nilai, krisis identitas, pergulatan ekonomi dan sejumlah kasus yang mengakibatkan kita tersesat dan saling menyalahkan.
Terperangkap dalam pusaran realitas serupa ini akan mendesak manusia mencari selamat dan jalannya sendiri, dengan melahirkan pengkhianat-pengkhianat baru yang sejatinya berpikir mereka tidak pernah keliru. Pengkhianatan terhadap komitmen awal dari perjuangan bersama memberantas ketidakadilan adalah salah satu indikator dari manusia yang berlogika sempit, egois dan takut mengangkat tanggung jawab. Ingatan kolektif nantinya berujung pada keretakan kesadaran berbangsa, dari pada mereunifikasi kemampuan nasional untuk tidak jatuh dalam kesalahan sejarah masa silam. *

Ujian Partai Demokrat

Oleh: Ansel Deri ( Kader Partai Demokrat dan Tenaga Ahli (A-558) DPR RI)

PARTAI Demokrat kembali memasuki ujian. Dua kader dan petinggi partai masuk dalam pusaran arus dugaan skandal suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Republik Indonesia. Isunya bermula dari dugaan suap proyek pembangunan Wisma Atlet Sea Games Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan. Nilai kerugian negara mencapai Rp 200 miliar.
Selain melibatkan orang dalam Kemenpora, tersiar pula nama Direktur Pemasaran PT Anak Negeri Mindo, Rosalina Manulang, dan Direktur Pemasaran PT Duta Graha Indah, Mohamad El Idris, yang masuk dalam skandal itu.
Isu itu kian panas tatkala dua petinggi Partai Demokrat terseret dalam pusaran arus dugaan skandal suap. Pertama adalah Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhamad Nazaruddin (Nazar). Kedua, Wakil Sekretaris Jenderal, Angelina Patricia Pingkan Sondakh (Angie). Keduanya saat ini juga tercatat sebagai anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI.

Ujian

Jauh sebelum itu, Partai Demokrat, Dewan Pembina, dan kader-kadernya juga mendapat ujian black campaign. Melalui buku “Membongkar Gurita Cikeas” karya George Junus Aditjondro yang terbit pada 2010, George, doktor lulusan Cornell University, Ithaca, New York, menuding Partai Demokrat menang fantastis karena suara pemilihnya naik tiga kali lipat dalam satu periode pemerintahan dari sekitar tujuh menjadi sekitar dua puluh persen.
Penggalangan dana yang luar biasa serta besarnya pembelian suara (vote buying) oleh para kadernya memainkan peranan yang besar melonjaknya angka pemilih Partai Demokrat dan calon presidennya. Dengan kata lain, kemenangan SBY bukan hanya karena kehebatan kharismanya, yang dikemas oleh Fox Indonesia dalam iklan-iklan bernilai jutaan rupiah di media cetak dan elektronik dibarengi klaim-klaim kesuksesan periode kepresidenan yang pertama.
Resistensi Partai Demokrat terhadap penggunaan hak angket DPR mengungkapkan skandal Bank Century menjadi indikasi betapa besarnya keinginan petinggi partai itu menutupi hal-hal yang mencurigakan dalam pemberian dana talangan yang jauh melebihi yang sudah disepakati oleh parlemen.
Tak hanya itu. George juga membeberkan adanya sorotan masyarakat terhadap deposan terbesar Bank Century, khususnya Siti Hartati Murdaya dan Boedi Sampoerna. Hartati, kader Partai Demokrat dan pemilik Pekan Raya Jakarta (PRJ) bersama Boedi, melalui kelompok bisnisnya disebut-sebut menggelontorkan dana untuk kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya.

Soal Korupsi

Upaya memberantas korupsi di Indonesia sudah menjadi komitmen SBY dan Partai Demokrat. Sejak terpilih pada periode pertama dan dilanjutkan pada periode kedua, korupsi menjadi agenda penting lain yang dikerjakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pendiri Partai Demokrat. Selama menjadi presiden, banyak pejabat dan kader Partai Demokrat yang terbukti melakukan korupsi dijebloskan di tahanan. Komitmen ini terus menyata selama mengemban mandat rakyat.
Dalam kasus yang diduga melibatkan dua kader Partai Demokrat: Nazar dan Angie, misalnya, SBY juga mempersilahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga penegak hukum untuk mengungkapkan kasus itu secara transparan dan akuntabel. Dengan demikian masyarakat juga mengikuti tentang kebenaran dari apa yang diduga. Presiden meminta agar publik menunggu hasil penyelidikan KPK terlebih dulu. Ini penting karena komentar-komentar publik sering tidak bisa dibedakan mana yang fakta dan mana yang analisis.
Kasus dugaan keterlibatan Nazar dan Angie disebut-sebut merupakan bumerang bagi SBY. Mengapa? Dua kader itu adalah tokoh publik dan kasus dugaan suap itu terjadi di kementerian yang dipimpin kader Partai Demokrat.

Agenda Rakyat

Salah satu agenda penting pemerintahan SBY adalah masalah korupsi. Korupsi sudah pasti jadi musuh bersama. Itu yang juga pernah ditegaskan SBY saat menyampaikan pidato menyambut Hari Antikorupsi se-Dunia di Istana Negara Jakarta pada 8 Desember 2009. Memberantas korupsi tidak saja untuk menyelamatkan setiap rupiah uang rakyat, namun juga untuk membangun sebuah kesadaran baru bahwa korupsi adalah pengkhianatan terhadap amanat penderitaan rakyat.
Korupsi adalah perbuatan tercela secara moral, etika, dan agama. Korupsi adalah sebuah kejahatan yang menimbulkan kerugian luar biasa bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Korupsi adalah tindakan asosial dan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Korupsi adalah sebuah keonaran yang menghancurkan nilai-nilai dan solidaritas kemanusiaan. Karena itu, ia (korupsi) menjadi musuh bersama (Pos Kupang, 29/1 2010).
Selain masalah korupsi yang juga menjadi konsern SBY, ada banyak agenda rakyat yang butuh kerja keras mengatasinya. Agenda ini juga pernah tertuang dalam buku SBY-Boediono: Membangun Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan. Sekurangnya ada lima agenda, yaitu
(i) peningkatan kesejahteraan rakyat, (ii) perbaikan tata kelola pemerintahan, (iii) penegakan pilar demokrasi, (iv) penegakan hukum, dan (v), pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.
Namun, di tengah upaya pemerintah dan rakyat mengejar ketertinggalan di berbagai bidang kehidupan, praktik korupsi sepertinya tumbuh subur. Tak hanya melibatkan pejabat pemerintahan, tetapi juga elit partai politik.

Bagi kader Partai Demokrat, pesan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sangat tepat. Dalam situs pribadinya, www.bunganas.com, 17 Oktober 2010, Anas meminta agar politik cerdas dan santun mesti dijadikan merk dagang Partai Demokrat.

Partai harus membangun budaya organisasi. Basisnya adalah etika dasar berpolitik yang cerdas, bersih, dan santun. Jika semua itu menjiwai hati dan sanubari kader, ujian-ujian berat seperti kasus yang diduga membelit para kader dapat diminimalisir. *

Thursday, May 19, 2011

PASKAH: PAS KAH?

Di Gerbang Yerusalem, umat bagai lautan menyambut kedatangan Yesus. Dengan mengendarai keledai, simbol kendaraan orang-orang miskin, Yesus memasuki kota tua itu. Orang-orang yang hadir waktu itu melambaikan daun-daun palma bahkan menghamparkan pakaian di jalan. Suasana gembira ini hanya dirasakan oleh mereka yang hadir tetapi bagi Yesus, hal ini merupakan permulaan untuk memasuki gerbang derita. Ia tahu bahwa dibalik kegembiraan dan sorak gempita, tersembul sebuah niat untuk menghukum Sang Raja yang dieluk-elukannya.
Situasi ini juga masih terasa getaran kegembiraan di saat merayakan minggu palma. Umat yang membanjiri gereja Gregorius terus melambaikan daun-daun palma yang ada di tangannya untuk mengingat kembali peristiwa lampau yang penuh makna. Perayaan misa yang dihadiri oleh ribuan umat ini semakin memarakkan suasana bahkan menghadirkan masa lampau (mengkinikan masa lampau) untuk mengantar umat mendalami kisah-kisah sengsara yang dijalani oleh Yesus.
Setelah merayakan minggu palma, umat semakin merasakan detik-detik terakhir ketika Yesus melewati malam dengan penuh peluh. Tetapi sebelum menjalani sengsara-Nya, Yesus mengadakan perjamuan malam terakhir bersama para murid-Nya. Hari Kamis Putih diperingati secara meriah oleh umat Gregorius. Dalam khotbahnya di hari Kamis Putih itu, Romo Edy menekankan kasih yang tulus yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Untuk mengantar umat memahami kasih, Romo Edy mengajak umat untuk memahami kasih seorang ibu. Kasih ibu luar biasa dan tak terhingga. Ibu selalu membasuh, membersihkan anak-anaknya. Kasih seorang ibu adalah kasih yang tidak mengenal batas. Di sela-sela khotbahnya, Romo Edy mengajak seluruh umat untuk menyanyikan lagu “kasih ibu kepada beta.” Dalam lagu itu, setiap umat sepertinya digiring untuk mengenang masa lampau terutama ketika berada dalam pelukan sang bunda.
“Kasih dari seorang bapak-ibu adalah tulus,” apalagi kasih yang kita terima dari Allah, jauh lebih tulus. Melalui Yesus Putera-Nya ia membagikan kasih kepada kita. Allah rela memberikan Putera-Nya yang tunggal sebagai tebusan atas dosa-dosa umat manusia. Semua ini dilakukan karena kasih. Dalam kasih sayang itu terdapat rasa untuk mencintai dan mencintai berarti setiap orang harus keluar dari dirinya. Yesus telah memperlihatkan kepada kita, bagaimana mencintai orang lain dalam situasi apa pun. Mencintai manusia yang dilakukan oleh Yesus dijalani secara berbeda, yaitu dengan menjalani sengsara, wafat dan bangkit bagi kita. Dengan kasih ekaristis, orang diberi kekuatan untuk memiliki kasih. Mengasihi membuat Dia mampu untuk menahan derita. Yesus mengasihi kita sampai pada kesudahannya. Seperti air yang terus mengalir dan mengairi tempat-tempat yang gersang, demikian juga kasih. Kasih yang telah diperlihatkan Yesus adalah kasih yang terus mengalir dari mata air pengharapan.
Dalam perayaan ekaristi untuk mengenang malam perjamuan terakhir, diadakan juga upacara pembasuhan kaki bagi para murid. Peristiwa pembasuhan kaki ini menjadi tanda kerendahan hati dalam melayani. Yesus telah memperlihatkan kasih dan pelayanan melalui cara-cara sederhana agar mudah diingat dan diaplikasikan dalam kehidupan setiap hari. Seusai perayaan ekaristi, umat juga masih mengikuti perarakan sakramen maha kudus untuk ditaktahkan pada tabernakel sementara. Untuk selanjutnya diadakan doa bergilir (malam tuguran), berjaga sambil berdoa bersama Yesus yang sedang menghadapi bahaya maut yang akan mengancam-Nya.
Keesokan harinya,tepatnya pukul 10.00, umat melaksanakan jalan salib yang mengambil lokasi seputar gereja. Puluhan umat yang umumnya mengenakan pakaian berwarna hitam, terlihat khusuk mengikuti jalan salib. Di tengah terik yang menyengat, tidak menyurutkan niat umat yang dengan setia mengikutinya dari satu perhentian ke perhentian lain. Di sinilah, umat diajak untuk merenungkan pelbagai peristiwa yang direkam zaman tentang proses hukuman hingga penyaliban dan penguburan Yesus. Sore harinya, pada pukul 15.00, ribuan umat membanjiri gereja untuk mengikuti kisah sengsara dalam ibadat Jumat Agung. Dalam rangkaian ibadat itu, setiap umat diberi kesempatan untuk mencium salib. Satu persatu datang menghampiri salib dan mencium dengan penuh khidmat. Khotbah Romo Kesar lebih menekankan pada nilai pengorbanan yang telah ditunjukkan oleh Yesus kepada manusia. Dengan kematian Yesus, menunjukkan kepada kita, mengapa Anak Allah menderita? Hal ini menjadi perayaan iman dan apa yang dilakukan-Nya sebagai silih dosa sekaligus memberi teladan akan sebuah pengorbanan. Teladan yang telah diperlihatkan oleh Yesus perlu disyukuri dan dihargai.
Pengalaman menderita sengsara seperti yang dialami oleh Yesus telah mengantar kita pada suatu hidup baru, harapan baru melalui Paskah, sebuah inisiatif Allah membangkitkan Yesus Putera-Nya. Di malam Paskah nan syahdu, Romo Herman mengantar umat untuk memahami arti Paskah Yahudi dan Paskah Yesus yang dikenang saat ini. Paskah, Allah Yahwe lewat untuk melawati umat-Nya. Itu berarti Allah bertindak. Dalam arti tertentu, Paskah juga merupakan saat di mana Allah berpihak dan bertindak. Dimulai dari kisah kejadian. Dalam kisah penciptaan, Allah bertindak maka terjadilah sesuatu. Kitab keluaran juga melukiskan di mana Allah bertindak terutama kepada umat Israel yang berhasil keluar dari genggaman dan penindasan Mesir. Nabi Yehezkiel secara terbuka mengisahkan tentang umat Israel yang tetap dicintai oleh Allah. “Kamu akan menjadi umat-Ku dan Aku menjadi Allah-Mu.”
Allah bertindak berarti Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada manusia yang berdosa. Bukan karena kamu, Aku bertindak tetapi Akulah yang Kudus yang telah kamu najiskan di antara bangsa-bangsa. Allah bertindak, menyucikan kembali manusia dari dosa. Dalam Perjanjian Baru, Paulus menegaskan bahwa kamu telah mati bagi dosa tetapi hidup karena Kristus. Yesus dibangkitkah oleh Allah, itulah iman kita. Allah menerima persembahan diri Yesus secara total di kayu salib. Seperti Yesus yang telah mempersembahkan diri-Nya secara total kepada kita maka pastaslah apabila kita mempersembahkan diri dan segala kekurangan pada Allah maka Allah mau menyelamatkan kita. Sebagai orang yang telah dibaptis, harus menjadi saksi di tengah masyarakat. Kesaksian yang diperlihatkan adalah mau berkorban demi orang lain. Paskah, sudah pas kah buat kita untuk mengalami Putera Allah yang menderita dan bangkit? ***(Valery Kopong)

Wednesday, May 18, 2011

Paguyuban Sumarah

Sumarah adalah filsafat hidup dan suatu bentuk meditasi yang awalnya berasal dari Jawa. Praktek ini didasarkan pada pengembangan kepekaan dan penerimaan melalui relaksasi tubuh, perasaan dan pikiran. Tujuannya adalah untuk menciptakan ruang di dalam diri kita, batin dan kesunyian, yang diperlukan untuk mewujudkan jati diri.
Paguyuban ini berdiri di Yogyakarta pada 8 September 1935. Tercatat sebagai Pendiri dan Guru pertama Sumarah ialah R.Ng. Soekirnohartono, seorang pegawi Kesultanan Yogyakarta (Pak Kino). Penyebaran ajaran kebatinan Sumarah bermula ketika R.Ng. Soekirnohartono merasa menerima wahyu yang diturunkan padanya dari Tuhan YME. Setelah itu ia berkewajiban untuk menyampaikan ajaran sumarah kepada semua manusia.
Pada awal munculnya, Paguyuban Sumarah mengenal istilah Trio Pinisepuh yaitu Pak Kino, Pak Hardo, dan Pak H. Sutadi. Ketiganya mempunyai tugas berbeda namun tetap dalam koridor Sumarah. Pak Kino sebagai pengemban tugas Penerima dan sekaligus penjaga kemurnian Dawuh/Tuntunan Tuhan YME, Pak Hardo bertugas di bidang pendidikan warga dan Pak H. Sutadi sebagai pengembang organisasi.
Sejak tahun 1950, Paguyuban Sumarah membentuk sebuah organisasi. Inti kegiatan Organisasi Paguyuban Sumarah, tak lain mempelajari, mempraktekkan, sekaligus memerdalam ke-sumarah-an bagi seluruh anggotanya melalui bentuk ritual peribadatan rohani dan secara bersama-sama.
Perkembangan selanjutnya, Sumarah juga melahirkan banyak tokoh, baik pusat (sentral) maupun daerah. Tokoh-tokoh itu adalah sebagai berikut:

a. Tokoh sentral Organisasi:
1. Dari tahun 1935 - 1950 : Bp. R. Ng. Soekino Hartono, Pak Suhardo, Pak H. Sutadi
2. Dari tahun 1950 - 1966 : Bp. dr. Soerono ( selaku Pengurus Besar Paguyuban Sumarah)
3. Dari tahun 1966 - 1982 : Bp. Drs. Arymurti (selaku Ketua Umum DPP Pag. Sumarah)
4. Dari tahun 1982 - 1992 : Bp. Brigjen Zahid Husein (selaku Ket.Umum Pag. Sumarah)
5. Dari tahun 1992 - 1997 : Bp. Brigjen Soemarsono(selaku Ket. Umum Pag. Sumarah)
6. Dari Tahun 1997 -.......(kini) : Bp. Ir. Soeko Soedarso (selaku Ket.Umum Pag. Sumarah)
b. Tokoh daerah :
1. Bapak Soewondo (Surakarta) bersama Bapak Sri Sampoerno tokoh penghimpun WNA
2. Bapak Kyai Abdoel Hamid (Banjarsari - Madiun)
3. Bapak May. Purn. Soekardji (Jawa Timur)
4. Bapak Moestar (Gresik)
5. Bapak Sichlan dan Bapak Suyadi ( Ponorogo )

Selain tersebut di atas, menurut sumber yang pemakalah baca, masih banyak tokoh-tokoh lain di paguyuban ini.

B. Makna Sumarah

Kata Sumarah berarti menyerah total, menyerah percaya diri dan sadar ego ke diri universal. Penyerahan total pada kehidupan. Dalam bahasa Jawa, Sumarah memiliki arti pasrah atau berserah diri. Jika dikaitkan dengan perilaku hubungan antara manusia dengan Tuhan YME, maka sikap sumarah mengandung arti sikap batin yang pasrah total kepada Tuhan YME (Allah).
Sikap semacam ini tidak selalu harus berarti apatis atau masa bodoh, sebagaimana prinsip kaum Jabariyah dalam Islam. Namun lebih tepatnya sikap Paguyuban Sumarah ini diartikan sebagai sikap tunduk, takluk dan patuh (manut mbangun miturut) kepada Tuhan YME.
Sikap batin yang demikian hanya akan terwujud pada manusia yang memiliki keyakinan akan adanya Tuhan YME, yang telah memberi kita hidup dan kehidupan, Tuhan yang menciptakan dunia raya seisinya.
Tentu saja kadar ke-sumarah-an masing-masing orang akan berbeda satu sama lain, hal ini kiranya terjadi karena faktor tingkat keyakinan, tingkat kedewasaan jiwa, dan juga tingkat kesadaran yang dimiliki oleh masing-masing pribadi. Demikian pula latar belakang kondisi lingkungan, tingkat intelegensia serta keluasan wawasan juga ikut mempengaruhi kadar ke-sumarah-an tersebut disamping faktor-faktor yang lain.

C. Ajaran dan Ritual Paguyuban Sumarah

1. Konsep Manusia Sumarah

Manusia yang pertama kali diciptakan oleh Tuhan YME adalah Adam dan Hawa. Namun keduanya tidak dipandang sebagai manusia riil, tetapi mereka adalah roh suci yang berasal dari Zat Yang Maha Esa dan badan nafsu yang berasal dari iblis.
Firdaus sebagai alam kehidupan Adam dan Hawa yang pertama, menurut ajaran Sumarah, diartikan sebagai Alam Suci. Godaan Iblis kepada Adam dan Hawa ketika masih bermukim di Firdaus, pada dasarnya adalah godaan badan nafsu untuk kepada roh suci agar menyekutukan Tuhan. Kemudian setelah iblis berhasil menggoda Adam dan Hawa (roh suci dan badan nafsu), maka mereka diusir dari Alam Suci (Firdaus) dan masuk ke dalam alam rahim (kandungan) wanita. Adam dan Hawa setelah keluar dari Firdaus dalam keadaan telanjang bulat (sebagai lelaki dan perempuan), diartikan bahwa sesudah bayi lahir dalam keadaan telanjang baru dapat diketahui jenis kelaminnya.
Manusia menurut ajaran Sumarah terdiri dari: badan wadah (jasmani), badan nafsu, dan jiwa (roh). Badan wadah, merupakan unsur jasmani atau fisik manusia yang tersusun dari empat anasir, yaitu tanah, air, dan udara. Badan nafsu (emosiaonal body) merupakan percikan Tuhan dengan perantara iblis. Menurut ajaran Sumarah, manusia emiliki empat macam nafsu, pertama nafsu mutmainah, sebagai sumber semua perbuatan baik dan alat untuk menemukan Tuhan. Kedua, nafsu Amarah, yaitu sumber kemarahan dan kedurhakaan. Ketiga, nafsu Suwiyah, merupakan sumber erotik, pengundang birahi. Dan keempat, nafsu lawamah, sumber egoisme dalam diri manusia.
Disamping kelengkapan nafsu, manusia juga memiliki jiwa atau roh yang berasal dari Roh Suci (Tuhan). Rasa (dzauq) sangat terkait dengan jiwa, terdapat di dalam dada. Di dalam dada jantung, di dalam jantung terdapat Masjidil Haram, tempat Baitullah. di dalam Baitullah terdapat budi, nur. Dengan demikian, hakekat manusia bukan hanya wujud jasmani saja, tetapi juga memiliki wujud gaib dan wujud yang gaib lagi.

2. Sujud Sumarah

Sujud Sumarah adalah bentuk perilaku peribadatan (ritual) bagi para warga Paguyuban Sumarah dalam rangka berkomunikasi dengan Tuhan YME yang pada hakekatnya merupakan aktivitas batin/rohani/spiritual/jiwa si manusia untuk bermohon, menghaturkan bakti/sembah, menghaturkan puja dan puji serta serah diri total kepada Tuhan YME, melalui kehendak dan tuntunan /bimbingan Tuhan YME sendiri.
Karena sifatnya yang sangat spiritual (rohani) maka dalam pelaksanaannya Sujud Sumarah sama sekali tidak memerlukan persyaratan lahiriah baik tempat, waktu, pakaian, bebauan, gerakan-gerakan khusus ataupun persyaratan lain, seperti hafalan mantra dan sebagainya. Namun tentu saja sebagai manusia yang berbudaya, dalam berbusana maupun sikap tata lahir dalam sujud akan selalu mengikuti norma kewajaran dan kepantasan demikian pula akan selalu memperhatikan norma-norma sosial dan etika yang berlaku di sekelilingnya tanpa harus menonjolkan dirinya.
Sujud Sumarah memiliki jenjang atau tingkatan yang harus dilakukan oleh para pengikut secara bertahap. Adapun tingkatan tersebut adalah :

Tingkat pamagang, yaitu sujud yang dilakukan oleh para pemula sebelum resmi menjadi anggota, untuk menenangkan panca indra.
Tingkat satu, sujud ini merupakan sujud awal yang dilakukan oleh pengikut Sumarah setelah resmi dibaiat mengadi anggoata.
Tingkat dua, dilakukan setelah mahir pada sujud satu.
Tingkat tiga, dilakukan setelah mahir dalam sujud kedua.
Tingkat keempat, dilakukan setelah anggoat mahir sujud tingkat tiga.
Tingkat lima, sebagai tingkat paling akhir yang langsung dibimbing dan diimami oleh pemimpin (guru utama).

Dari jenjang atau tingkat sujud itu, para pengikut Sumarah dapat dikelompokkan dalam tiga martabat. Pertama. Martabat Tekad, yaitu martabatnya para pemagang, tingkat satu dan tingkat dua. Kedua, Martabat Imam, yaitu para pengikut yang sudah memasuki tingkat sujud tiga dan empat. Ketiga, Martabat Sumarah, yaitu mereka yang sudah memasuki tingka sujud kelima.

3. Etika Hidup Sumarah

Dalam kehidupan sehari-hari, ajaran Sumarah mengajarkan pada umatnya untuk dituntut berbuat baik terhadap siapa saja, tanpa memandang agama, ras, etnis, atau bangsa. Berbuat baik terhadap siapa saja berarti berbuat baik terhadapa diri sendiri dan juga Tuhan. Oleh sebab itu ajaran etika yang sekaligus menjadi keyakinan Sumarah adalah mereka percaya penuh adanya karma (buah dari amal perbuatan).
Istilah karma (dari bahasa Sansekerta) yang berarti perbuatan dan pahala (hasil), akan didapat oleh setiap orang sesuai perbuatannya. Hasil atau karma dari setiap perbuatan akan diterima oleh si pelaku bahkan sampai keturunannya, baik dalam kehidupan di dunia sekarang atau setelah mati.
Selain ajaran karma, etika hidup Sumarah juga dilandaskan pada konsep reinkarnasi (kelahiran kembali). Ajaran reinkarnasi yang bermula dari ajaran agama Hindu, yaitu samsara yang berarti kelahiran manusia yang berulang-ulang atau disebetu juga menitis. Manusia akan mengalami kelahiran kembali ke alam dunia ini karena selama hidup di dunia dia lebih banyak bebuat buruk atau jahat. Inti jiwa manusia (jiwatman) yang masih lekat dengan urusan keduniaan tidak akan dapat bersatu kembali dengan asal mula hidupnya, yaitu Tuhan YME. Jika seseorang sudah mampu memebaskan jiwatman-nya maka dia akan mampu moksa, mencapai pelepasan untuk bersatu kembali dengan Tuhab sang sumber hidup.

4. Meditasi Sumarah

Sebagaimana tertera di pendahuluan, Sumarah merupakan filsafat hidup dan suatu bentuk meditasi. Dalam praksisnya, meditasi Sumarah mengembangkan kepekaan dan penerimaan melalui relaksasi tubuh, perasaan dan pikiran, agar tercipta ruang di dalam diri, batin dan kesunyian. Tujuannya tak lain untuk mewujudkan jati diri.
Pada dasarnya, menurut Paguyuban Sumarah, meditasi adalah sebuah alat untuk membantu kita berjalan di dunia dan melalui hidup dengan cara terbaik. Meditasi adalah alat yang berharga untuk membantu kita berhenti dan ingat bahwa memang hanya diam dan hanya secangkir teh.
Tapi yang dilakukan Paguyuban Sumarah, berbeda dengan meditasi pada umumnya, sebagaimana terdapat dalam agama dan kepercayaan lain. Tidak ada peran tetap, seperti cara tertentu pernapasan, teknik untuk membantu konsentrasi, posisi spesifik untuk terus, sambil meditasi dan sebagainya. Meditasi Sumarah hanya didasarkan pada penerimaan apa adanya. Maksudnya, berawal dari penerimaan bahwa kita tidak akan pernah menjadi sempurna dan bahwa kita akan selalu melakukan kesalahan. Hal ini mengajarkan bahwa komitmen diperlukan, tetapi upaya yang berlebihan tak bukan hanyalah wajah lain dari ambisi kami.
Paguyuban Sumarah berpandangan, hidup adalah gerakan yang berkelanjutan dan perubahan realitas sepanjang waktu. Karenanya, kita harus belajar untuk tahu dan menghargai apa yang ada bagi kita, dan dalam waktu yang sama untuk tidak terlalu melekat padanya. Sumarah tidak menawarkan solusi, tidak menjanjikan keselamatan, tidak menjamin kesuksesan.
Meditasi Sumarah adalah jalan, alat hidup, untuk hidup dan dalam kehidupan, bukan tujuan itu sendiri. Jadi, meditasi diibaratkan suatu alat yang membantu kita menuju ke suatu tempat. Begitu kita sampai di tujuan, maka alat tersebut harus kita lepaskan.
Praktek Sumarah tidak mengajarkan isolasi atau menghindari hal-hal duniawi. Sebaliknya hal itu mengajarkan kita untuk menerima hidup dalam totalitasnya, membenamkan diri di dalamnya untuk baik dan buruk. Inilah sebabnya mengapa Sumarah suka menggunakan ungkapan rame tapa, mundur bising, cara untuk belajar praktek yang benar perdamaian di tengah medan perang dan diam di tengah-tengah kebingungan bising.
Sumarah membagi meditasi menjadi dua, yakni meditasi khusus dan harian. Yang pertama, disebut 'khusus' untuk membedakannya dari kehidupan normal sehari-hari. Ini adalah waktu tertentu di mana kita duduk, santai dan terbuka untuk menerima energi ilahi. Ini adalah kesempatan untuk latihan dan melepaskan ketegangan dan pikiran. Membiarkan diri kita menyadari perasaan dan melepaskan konsep-konsep yang terlalu sering merupakan kendala bagi pengembangan diri sebenarnya.
Tapi meski disebut ‘khusus’, tetap saja tak ada aturan baku terhadap meditasi ini. Semua diserahkan kepada masing-masing individu, berapa kali atau berapa lama dalam sehari ia perlu melakukan meditasi.
Di sisi lain, meditasi harian adalah upaya memertahankan meditasi khusus. Dengan cara ini manusia belajar melihat kualitas luar biasa saat-saat biasa dan kualitas biasa saat-saat yang luar biasa. Biasanya antara meditasi khusus dan harian ada jurang yang nyata. Karenanya, praktek adalah tepat tentang mengurangi kesenjangan tersebut.
Keinklusifan cara meditasi Sumarah juga didasarkan atas kritiknya terhadap meditasi pada umumnya. Umumnya, para penganut agama atau kepercayaan tertentu menggunakan meditasi sebagai pelarian dari kenyataan setiap kali menemukan hal-hal yang tak disukai, saat dalam kesukaran atau takut pada malapetaka. Selain itu meditasi menjadi terlalu terikat dengan sebuah negara interior yang dengan mudah berubah menjadi kepuasan diri.
Sebaliknya, meditasi dalam kondisi sulit dan tidak menguntungkan, dalam keheningan maupun keramaian adalah pelatihan yang sangat baik. Setelah kita telah dalam gelap untuk sementara waktu, kita mulai melihat dan menghargai bahkan lampu kecil. Apa yang baik untuk ego biasanya buruk bagi jiwa, dan sebaliknya.

Menurut Sumarah, berada di meditasi berarti pertama-tama berada dalam keadaan kesadaran tinggi. Hal itu berarti santai secara fisik, emosional, dan mental. mengurangi hambatan yang biasanya datang di antara kita dan visi kita yang terbatas tentang diri kita sendiri dan realitas di sekitar kita.
Seringkali, ketika seseorang duduk untuk bermeditasi, benaknya penuh terisi harapan, berat dengan keinginan. Kondisi tersebut dengan sendirinya telah mencegah dari benar-benar bersantai. Sebuah kondisi dalam non-resistensi dan relaksasi bersatu dengan perhatian dan keterbukaan adalah syarat mutlak untuk kedua jenis meditasi.
Paguyuban Sumarah tidak punya kitab suci. Kitab suci kami adalah Hidup, Begitu kata mereka. Namun menurut Sumarah, orang sering kali lupa akan kehidupan itu sendiri. Sumarah berpegang pada prinsip, bahwa hidup hanya sebentar. Laksana orang istirahat di perjalanan untuk numpang minum saja. Di situlah ibarat meditasi berlaku. Semacam rehat dari jalan panjang mengingat perjalanan yang masih sangat panjang.
Diposkan oleh MS. WIBOWO di 5/28/2010 01:05:00 PM

Pengantar Jurnalisme Investigasi

Reportase Investigasi

Reportase berasal dari bahasa Latin, reportare, yang berarti membawa pulang sesuatu dari tempat lain. Bila dikaitkan dengan kegiatan jurnalisme, hal itu menjelaskan seorang jurnalis yang membawa laporan kejadian dari suatu tempat, di mana telah terjadi sesuatu.
Sedangkan investigasi berasal dari bahasa Inggris investigative, yang asalnya juga dari bahasa Latin, vestigum artinya jejak kaki. Pada sisi ini menyiratkan pelbagai bukti yang telah menjadi suatu fakta.
Reportase investigasi merupakan sebuah kegiatan peliputan yang mencari, menemukan, dan menyampaikan fakta-fakta adanya pelanggaran, kesalahan, atau kejahatan yang merugikan kepentingan umum.
Dalam bukunya “Jurnalisme Investigasi”, Septiawan Santana mengutip pernyataan Ullman dan Honeyman yang menggambarkan dan mendevinisikan reportase investigasi sebagai sebuah reportase, sebuah kerja menghasilkan produk dan inisiatif, yang menyangkut hal-hal penting dari banyak orang atau organisasi yang sengaja merahasiakannya.
Sementara Goenawan Mohamad, wartawan senior Indonesia menyatakan, investiasi adalah kegiatan jurnalisme yang hendak “membongkar kejahatan”. Hal ini ketika seorang jurnalis mengikuti naluri penciuman untuk membuka pihak-pihak yang menutupi suatu kejahatan. Karenanya, kegiatan peliputannya berbeda dengan reportase pada umumnya. Ciri peliputannya meliputi kegiatan pengujian berbagai dokumen dan rekaman, pemakaian informan, keseriusan dan penelusuran riset.
Reportase biasa hanya mengungkap apa yang terjadi dan tampak di permukaan. Sedangkan reportase investigasi berusaha untuk menyingkap sesuatu dibalik permukaan. Ia memiliki fokus tertentu yang dituju. Peliputan jenis ini membutuhkan perencanaan matang dan waktu yang cukup panjang dalam pengerjaannya. Selain itu, resiko dan bahaya yang mengancam jurnalis investigasi lebih besar. Sebab, ia berhadapan dengan kelompok atau organisasi yang tak ingin kejahatannya terbongkar.
Prinsip liputan investigasi mengindikasikan kegiatan penggalian informasi. Sebagaimana diketahui, di antara perkerjaan seorang wartawan ialah mengumpulkan informasi untuk membantu masyarakat memahami pelbagai kejadian yang memengaruhi kehidupan mereka.
Penggalian informasi ini membawa seorang reporter melakukan tiga kegiatan. Pertama, surface fact, yakni penelusuran fakta-fakta dari sumber orisinil, seperti rilis berita, catatan-catatan tangan, dan berbagai omongan. Kedua, reportarial enterprise, yang meliputi kerja memverifikasi, menyelediki dan meliputi kejadian-kejadian mendadak serta mengamati latar belakang. Ketiga, interpretation and analysis, yakni, coba mengukur akumulasi informasi berdasar tingkat signifikasi, dampak, penyebab dan konsekwensinya.




Jurnalis Investigatif

Perbedaan awal dari jurnalis investigasi dan jurnalis biasa terletak pada inisiatifnya. Seorang jurnalis investigasi selalu peka dan mengasah instingnya. Telah sering kita sebut, seorang jurnalis harus bermata elang, telinga ayam dan hidung anjing. Penglihatan, pendengaran dan penciuman jurnalis di atas rata-rata manusia dalam menghadapi realitas yang terjadi sehari-hari. Masyarakat umumnya, menerima kejadian dan kenyatan yang dikatakan dan terjadi sebagai kebenaran, tanpa memertanyakan lebih lanjut kenapa dan bagaimana suatu itu terjadi.
Jurnalis investigatif selalu punya inisiatif beda. Ia tidak selalu serta merta menerima yang ada dan yang telah berjalan sebagai kebenaran. Ia terus menelisik sampai kedalam dari sebuah realitas kehidupan. Ia tidak menunggu sampai suatu masalah atau peristiwa timbul atau diberitakan. Sebaliknya, ia justru menampilkan peristiwa baru atau sesuatu hal baru atau membuat berita.
Karena kerumitan dan kepelikan masalah yang dihadapi, jurnalis investigasi membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat mengungkap satu masalah. Berbeda dengan wartawan ‘ronda’ yang menjalin sebanyak mungkin pejabat resmi yang berpotensi sebagai sumber berita.
Jurnalis investigasi sangat seletif dan skeptis terhadap bahan berita resmi, meneliti dengan kritis setiap pendapat, catatan dan bocoran informasi, tidak serta merta membenarkan. Jika wartawan umum memberitakan apa yang terjadi atau yang diumumkan, jurnalis investigatif mengungkapkan, mengapa suatu hal diumumkan atau terjadi, mengapa terjadi lagi.
Jurnalis investigatif bukanlah jurnalis biasa yang hanya menjadi penyaluran dari berita-berita resmi. Jurnalis biasa umumnya hanya menghadiri jumpa-jumpa pers, rapat-rapat anggota dewan, seminar, pertemuan, sesuadah itu mencatatnya. Karenanya, wartawan macam ini tak lebih dari seorang pencatat saja.
Seorang jurnalis investigatif harus memiliki agresivitas tinggi terhadap data dan keterangan yang muncul dipermukaan, yang tersedia begitu saja di hadapannya. Punya kepekaan tinggi terhadap adanya persekongkolan, para penghasut rakyat, atau keculasan yang terjadi di masyarakat. Ia juga harus memiliki kamampuan untuk marah, menderita semacam kegusaran moral yang sungguh-sungguh terhadap suatu keculasan. Mereka mengamsalkan bahwa jurnalisme adalah memberikan kepada publik informasi yang oleh pemerintah dilarang keras untuk diketahui publik.
Sebab paling mendasar terkait dengan kaidah kerja investigasi ialah selalu memburu sesuatu. Pekerjaan investigasi wartawan berkaitan dengan nilai intensitas keingintahuan mengenai ‘how the world works or fails to work’. Seorang investigator tidak menerima mentah-mentah pernyataan sumber-sumber resmi. Ia melakukan riset mendalam, tekun mengontruksi suatu kejahatan dan tak kenal lelah mengejar sumber-sumber penting. Mereka tidak mau terbujuk untuk menuruti pandangan yang dikemukakan tokoh-tokoh publik atau orang-orang terkemuka atau pun kata-kata dari narasumber yang biasa mereka hubungi.
Ada tiga level atau tingkatan kerja dalam dunia jurnalisme. Level pertama, reporter melaporkan pelbagai kejadian masyarakat dan memaparkan apa yang terjadi. Level berikutnya, menginterpretasikan apa yang harus dilakukan. Pada level ketiga, mencari pelbagai bukti yang ada di balik sebuah peristiwa.
Untuk memeroleh laporan investigasi yang baik, harus selalu memiliki rasa ingin tahu, kemampuan untuk mendapatkan fakta, mampu memahami dan mampu menyampaikan kepada publik. Selain itu, ia harus bisa menimbulkan keinginan beraksi, peduli terhadap permasalahan orang lain, khususnya kaum tertindas. Untuk itu, ia memerlukan kecukupan pemilikan akan pengetahuan fakta-fakta, rasa iba, semangat melawan ketamakan dan perbaikan sosial. Di tambah lagi, seorang jurnalis investigasi harus mengembangkan tempramen dan talenta di dalam dirinya.


Proses Kerja Investigasi

Kehidupan berjalan dan kita ada di dalamnya. Jika kita terus mengikutinya tanpa ada rasa memertanyakan, semua seperti terjadi tanpa masalah. Padahal, jika kita mau merenung sejenak dan coba merefleksikan kehidupan secara mendalam, banyak permasalahan dan kejanggalan yang terjadi di sekitar kita. Karena itulah, butuh kecerdasan dan ketajaman pikiran seorang jurnalis untuk mengungkap ketidakberesan yang terjadi.
Seorang jurnalis harus memiliki rasa keingintahuan seperti anak-anak, ketahanan fisik seorang kuli bangunan dan kecerdasan seorang profesor. Ini terkait medan yang dihadapi membutuhkan ketiga hal tersebut. Tanpa itu, sulit bagi seorang untuk menjadi jurnalis yang sesungguhnya. Maka, salah-satu yang mungkin adalah terus mengembangkan, melatih dan mengasah, baik insting, fisik dan memerkaya ilmu dan pengetahuan.
Terkadang, kerja wartawan investigatif mirip dengan kerja seorang reserse atau intelejen. Ia menelusuri sebuah kejahatan sampai kedalam-dalamnya, yang bagi orang awam susah ditembus. Bahkan bila perlu ia harus melakukan penyamaran. Namun hal terakhir ini sebisa mungkin dihindari, kecuali memang tak ada jalan lain. Sebab, jurnalisme sangat menjunjung tinggi kejururan, baik dalam penulisan maupun peliputan.
Terkait proses kerja investigasi secara sederhana terbagi dalam dua bagian. Kegiatan awalnya ialah menelusuri pelbagai kasus/skandal/permasalahan yang mesti ditindaklanjuti. Jika dapat, maka pada tahap yang lebih serius, investigasi memulai kerjanya.
Wartawan investigasi dari Omaha, yang juga teoritisi di Ohio State University, Paul N. Williams memberikan sebelas langkah reportase investigatif.

1. Conseption
Unsur awal ini terkait dengan apa yang disebut pencarian berbagai ide/gagasan, yang menurut Williams merupakan proses unending. Ide atau gagasan ini bisa didapat darimana saja. Baik dari saran seseorang, menyimak pelbagai narasumber reguler, membaca, menyimak potongan berita, mengembangkan sudut pandang lain dari sebuah berita atau observasi langsung.

2. Fisibility Study
Langkah ini ialah mengukur kemampuan dan perlengkapan yang diperlukan. Hal ini karena investigasi berbeda dari liputan biasa, yang hanya mengungkap apa yang tampak dalam peliputan. Oleh sebab itu, liputan investigasi memerlukan penyiapan yang bukan sekadar perangkat yang harus dimiliki wartawan. Di sini, butuh upaya wartawan untuk menganalisis kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi. Di antaranya, berbagai halangan yang harus dihadapi, perhitungan terhadap berbagai objek yang harus direportase serta menjaga kerahasian terhadap media lain.

3. Go-No-Go-Decision
Langkah ini merupakan pengukuran terhadap hasil investigasi yang akan dilakukan. Setiap liputan investigasi mesti memerhitungkan akhir dari proyek penyelidikan yang akan dikerjakan. Singkatnya, ada target dari kerja investigasi yang dilakukan.

4. Basebuilding
Upaya wartawan untuk mencari dasar pijakan dalam menganalisis sebuah kasus. Ini disebabkan, tiap kasus yang terjadi di masyarakat akan terkait dengan pemahaman dasar mengenai kehidupan manusia, institusi, atau isu-isu, yang biasanya berhubungan dengan berbagai wacana sejarah dan kontemporer. Sebab, untuk paham bagaimana sesuatu itu terjadi, adalah penting memelajari bagaimana sesuatu itu bisa terjadi.

5. Planing
Mengingat resiko dan ketelitian serta kerapihan kerja, perlu adanya perencanaan/planing yang terkait dengan pengumpulan dan penyusunan informasi, pembagian tugas dan sebagainya.
Proses penyusunan dilakukan setelah mengumpulkan berbagai isu yang merebak di masyarakat. Setelah itu, pengecekan dan penyusuan biasa dilakukan dengan menyilang-referensikan seluruh dokumen dan catatan wawancara dengan berbagai topik yang relevan.
Pembagian tugas meliputi, pengerjaan: peliputan, penulisan, copy-editing, fotografi, grafik, pengecekan akurasi dan penuduhan-penuduhan.

6. Original Reseach
Kegiatan ini umumnya terbagi menjadi dua, papers trails dan people trails. Papers trails adalah pencarian berbagai keterangan yang bersifat tekstual. Ini meliputi penggalian terhadap sumber-sumber skunder seperti surat kabar, majalah, selebaran, naskah-naskah, buku referensi, desertasi, tesis, database komputer, internet dan lain-lain.
Di samping itu yang lebih penting adalah dokumen-dokumen primer seperti, naskah, perjanjian, catatan administrasi, pajak, data-data kelahiran, kematian, keuangan, sampai database pemerintah.
Sementara itu, people trails meliputi pekerjaan mencarai dan mewawancarai sumber-sumber terkait.


7. Reevaluation
Setelah semua data terkumpul dan dievaluasi, kembali pertanyakan, haruskah investigasi dilanjutkan? Atau haruskah disusun sekarang? Atau ditunda dulu untuk sementara waktu?

8. Filling the Gap
Ini adalah fase kegiatan yang mengupayakan beberapa bagian yang belum terdata.

9. Final Evaluation
Tahap ini berbeda dengan tahap sebelumnya. Tahap evaluasi final ini ialah mengukur hasil investigasi dengan kemungkinan buruk atau negatif, seperti, menghitung apakah pekerjaan penelusuran ini berdasarkan pretensi jurnalisme atau politik atau lainya. Atau bahkan tidak terkait dengan kaidah dasar pekerjaan kewartawanan.
Bila diekspos, apakah tidak ada persoalan dengan privasi (hak privasi) dari seorang tokoh publik. Di sini juga diperhitungkan keamanan sumber-sumber yang tak mau disebutkan, atau diberitakan. Di tepi lain, perlu perhitungan apakah berita ini melanggar hukum atau tidak. Dan yang paling penting adalah mengevaluasi keakurasian pihak-pihak yang hendak diaporkan, sesuai dengan standar jurnalistik.

10. Writing And Writing
Menulis laporan investigasi memerlukan kesabaran, ketekunan dan kemauan untuk terus memerbaiki penulisan berita, secara terus menerus bila diperlukan.

11. Publication and Follow-Up Stories
Pelaporan berita investigasi biasanya tak hanya muncul dalam satu kali penerbitan. Masyarakat kerap menunggu dari masalah yang telah diungkap. Penyelesaian dari pihak-pihak yang terungkap dan sebagainya.


Pada peralihan abad 19 ke 20, berita dibuat menurut “apa yang dilakukan orang” bukan “apa yang terjadi pada orang”. Sejalan dengan perkembangan masyarakat, kerangka perumusan berita berkembang pula mengikuti tuntutan kebutuhan masyarakat. Konsep tradisional apa, siapa, kapan, di mana, bagaimana, dan mengapa pun mulai diubah ke penekanan tertentu. Pelaporan mementingkan jawaban mengapa, untuk memenuhi kebutuhan pemerintah masyarakat dan pemerintah akan penjelasan berbagai kejadian yang dilaporkan wartawan. Wartawan dituntut untuk mengangkat permasalahan dengan kriteria nilai berita yang yang berlatar belakang isu-isu kompleks. Mereka harus melaporkan peristiwa dengan kedalaman dan kelengkapan isu sosial yang akan memengaruhi kehidupan masyarakat.




Komponen Moral

Tujuan kegiatan jurnalisme investigasi adalah memberitahu kepada masyarakat adanya pihak-pihak yang telah berbohong dan menutup-nutupi kebenaran. Masyarakat diharapkan waspada terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan berbagai pihak.
Dari tujuan tersebut, dapat dilihat bahwa ada tujuan moral. Segala yang dilakukan wartawan investigasi dimotivasi oleh hasrat untuk mengoreksi keadilan dan menunjukkan adanya kesalahan.
Menurut Melvin Mencher, the moral component merupakan unsur penting dalam peliputan investigasi. Wartawan mengumpulkan segala bukti yang menguatkan fakta adalah didorong oleh motivasi moral. The desire to correct an injuctice, to right a wrong, and persuade the public to alter the situation. Pada akhirnya, pekerjaan jurnalisme investigasi mengajak masyarakat untuk memerangi pelanggaran yang tengah berlangsung dan dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.

Mengembangkan Fakta dengan Dangerous Projects

Jurnalisme investigasi dialokasikan sebagai pekerjaan berbahaya atau dangerous projects. Para wartawannya berhadapan dengan kesengajaan pihak-pihak yang tidak mau urusannya diselidiki, dinilai, dan juga dilaporkan kepada masyarakat. Oleh karena itu, kewaspadaan dalam karier kewartawanan menjadi hal yang penting.
Dan harus diingat bahwa jurnalisme investigasi bukan hanya menyampaikan sebuah dugaan adanya sebuah persoalan pelanggaran, melainkan juga merupakan kegiatan memproduksi pembuktian konklusif terhadap suatu persoalan dan melaporkannya sejara jelas dan sederhana.
Kegiatan jurnalisme investigasi terkait dengan upaya mengembangkan bangunan fakta-fakta. Nilai mutu laporan jurnalistik ini terletak dalam membangun dasar fakta-fakta. Hasil liputannya mengeluarkan sebuah judgement yang didasari oleh fakta-fakta yang melingkupi persoalan yang dilaporkan wartawan. Untuk itulah pekerjaan ini mementingkan sekali kesiapan kerja wartawan untuk selalu mengecek fakta-fakta, tidak mudah menaruh kepercayaan kepada segala sesuatu,termasuk tidak langsung memercayai orang-orang yang memiliki kepentingan.
Kerja investigasi wartawan kerap menemukan area liputan yang mesti dibuka dengan sengaja. Berbagai narasumber bahkan diasumsikan mempunyai kemungkinan untuk memanipulasi data. Oleh sebab itu, berbagai data yang didapat memerlukan analisis kritis wartawan investigasi.

Setetes Embun Filsafat Barat

Rene Descrates

- Kesangsian Metodis. Sangsi akan segala hal, supaya tinggal diterima hal yang betul-betul pasti, sehingga dapat terjadi suatu sistem filsafat seperti suatu sistem ilmu pasti. Yaitu suatu sistem yang berdasarkan aksioma-aksioma, dan tersusun menurut langkah-langkah logis.
- Cogito ergo sum. Subyek yang sedang berfikir menjadi titik pangkal filsafat Descrates. Kata dia, kalau saya raga akan segalanya, saya masih punya kepastian tentang kesangsian saya. Maka, saya sedang berfikir.
- Subyek sebagai pusat. Manusia sendiri menjadi kekuasaan yang membawa, memikul kenyataan. Manusia yang berfikir merupakan pusat dunianya.
- Ide-ide yang jelas dan tegas. Ide tentang aku berfikir maka aku ada adalah ide yang jelas dan tegas. Dan semua hal yang saya punya sebagai ide-ide yang jelas dan tegas, itu pasti.Akal, rasio mencapai kepastian ini tanpa pertolongan apapun.
- Dualisme. Salah-satu dari ide-ide yang jelas dan tegas adalah memang ada tiga subtansi yakni, Allah, pemikiran (cogitatio), dan keluasan (extensio). Pemikiran itu bidang psikologi, bidang jiwa. Sedangkan keluasan itu bidang ilmu alam, bidang materi.

Baruch Spinoza

- Rasionalisme dan mistik.
- Allah = Alam = satu subtansi. Segala sesuatu itu termuat dalam Allah-Alam. Allah itu sama dengan aturan alam. Kehendak Allah, aturan Allah adalah kehendak alam, aturan alam dan hukum-hukum alam.penyelenggaraan itu sama dengan keperluan mutlak, sama dengan nasib. Cinta kepada Allah itu sama dengan cinta kepada nasib, Amor Dei = Amor Fati
- Etika. Kebahagian itu sama dengan kebebasan. Kebebasan memilih memang tidak ada. Kebebasan menurut Spinoza adalah kebebasan untuk perasaan. Perasaan ini dapat dicapai dengan pengertian. Kalau berkat pengertiannya manusia bebas dari semua gerak emosional, maka dia ‘merasa bebas’. Kebahagian itu kebebasan. Kebabasan itu mengerti keperluan dan mengerti keperluan itu kemerdekaan dari emosi-emosi. Kebebasan itu hanya menyesuaikan diri dengan keseluruhan.
- Ada tiga jenis pengetahuan. Pengetahuan pancaindera, pengetahuan akal budi dan pengetahuan intuitif. Yang ketiga ini adalah yang paling sempurna. Orang yang mencapai pengetahuan ini melihat sesuatu dengan perspektif keabadian. Pengetahuan ini, yakni kontemplasi, memberi persesuaian dengan keselurahan. Sebagai hasilnya ialah kebebasan dan kebahagiaan.



Gotfried Wilhelm Leibniz

- Monadologi. Spinoza mengakui hanya ada satu subtansi Alam atau Allah, Descrates mengakui tiga subtansi, Allah, Pemikiran dan Keluasan. Tidak demikian dengan Leibniz. Baginya jumlah subtansi itu tak terhingga besarnya. Kenyataan terdiri dari monade-monade: bagian-bagian paling kecil, yang semua merupakan subtansi-subtansi. Monade-monade itu seperti jiwa-jiwa, karena semua monade memunyai kesadaran. Namun monade dari taraf anorganik memunyai kesadaran hanya dalam keadaan mimpi. Monade-monade pada hewan dan tumbuhan sudah lebih tinggi. Manusia terdiri dari monade-monade yang sangat tinggi. Sementara Allah adalah monade yang paling tinggi.
- Theodicee. Lebniz menciptakan kata teodise, “Pembenaran Allah” terhadap kejahatan. Lebniz menerangkan kebaikan Allah tidak bertentangan dengan adanya kejahatan. Kebebasan manusia tidak bertentangan dengan kemahakuasaan Allah.
- Dinamisme. Segala sesuatu pada hakikatnya adalah energi, kehendak dan kekuatan.

Blaise Pascal

- Anti Rasionalisme. Ada yang lebih penting daripada rasio, yakni logika hati. Hati memunyai alasan-alasan yang sama sekali tidak diketahui oleh akal. Perbuatan paling tertinggi dari akal adalah mengakui bahwa kadang-kadang akal itu terbatas. Akal hanya salah-satu sumber pengetahuan. Ada sumberlain yang lebih penting yakni pengetahuan intuitif. Pengetahuan ini disebut hati (coeur), intelligence, dan logika hati. Pengetahuan ini adalah intuitif, irasional dan dapat dikenal melalui rasa kepastian yang selalu berhubungan dengan pengetahuan ini.
- Pascal tidak ingin mengadu domba antara filsafat dan teologi melainkan antara akal budi dan hati, raison dan couer. Pascal mau mengatakan, manusia bisa bertemu dengan Allah dalam hatinya.

Empirisme adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang menekankan peraman empiria (pengalaman inderawi). Empirisme di rintis oleh Francis Bacon dan Thomas Hobes. Kemudian menjadi penting berkat John Locke.

John Locke
- Segala sesuatu dalam pikiran saya berasal dari pengalaman inderawi, bukan dari akal budi. Otak seperti sehelai kertas putih. Melalui pengalaman, helai kertas itu diisi.
- Pengalaman lahiriah dan pengalaman batin. Menurut Locke, semua pengetahuan itu berasal dari pengalaman lahiriah (dari sense atau external sense) atau pengalaman batin (internal sense atau reflexion). Yang lahiriah memberi informasi tentang dunia di luar kita, yang batin tentang dunia dalam kita, yaitu jiwa. Pengalaman lahiriah, sensation itu dari sifat-sifat seperti ‘keluasan’, ‘bentuk’, ‘jumlah’ dan ‘gerak’. Pengalaman batin itu terjadi kalau kesadaran melihat keaktifannya sendiri. Dengan cara ini terjadi “ingat”, ‘memerbandingkan’, ‘menghendaki’ dan seterusnya.
- Simple ideas dan complex ideas. Isi otak ini terdiri dari ide-ide. Simple ideas berasal secara langsung dari pengalaman inderawi. Complex ideas hanya berupa hubungan-hubungan dari ide-ide tunggal. Misalnya sebab, relasi, dan sebagainya. Tidak dilihat secara langsung tapi dilihat melalui kombinasi ide-ide tunggal.

George Berkeley

- Plato telah mengajarkan bahwa kenyataan terdiri dari dua dunia, yakni dunia ide-ide dan dunia material, yang merupakan bayangan dari dunia ide-ide. Sejak itu, percobaan menerangkan antara keduanya, antara ide dan materi, jiwa dan badan, pemikiran dan keluasan, bentuk dan materi, spiritual dan material tersu dilakukan. Percobaa-percoabaan ini sering menghasilkan dualisme, yang sering berat sebelah. Pada Berkeley, ini hanya ada kesadaran saja. Karena itu, filsafatnya sering disebut ‘spiritualisme’.
- Pada Berkeley, maeri dikeluarkan. Perbedaan antara materi dan jiwa tidak ada. Locke yang mengatakan bahwa semua pengetahuan itu berasal dari pengalaman. Pikiran ini diteruskan Berkeley: pengalaman itu tidak disebabkan oleh sesuatu di luar kita. Sebab tak ada sesuatu di luar kesadaran kita. Benda-benda hanya ada kalau diamati. Sesuatu yang tidak diamati,sama sekali tidak ada.
- Esse est percipi. Apakah tidak ada kalau kita tidur? Matahari tetap ada karena ada masih tetap diamati oleh orang lain. Dan akhirnya segala sesuatu yang ada diamati oleh Allah. Sehinga kontinuitas tetap terjaga. Kalau saya tidak mengamati apa-apa, “kesadaran pada umumnya” masih tetap aktif. Sehingga benar-benar bahwa esse est percipi “ada itu: diamati”.

David Humu

- Skeptisisme. Hum meneruskan pikiran Locke dan Berkeley hingga batas di mana empirisme menjadi agak mustahil. Ia juga empiris terakhir. Filsafatnya skeptisistis. Dunia material sudah dicoret oleh Berkeley. Sekarang juga subjek yang sedang mengamati dicoret oleh Hume, Aku sebagai pusat pengalaman, kesadaran, pemikiran dan perasaan, menurut Hume hanya satu rangkaian ‘kesan-kesan’, impressions. Impressions ini merupakan ‘bahan’ dari mana isi pengetahuan tersusun. Pikiran-pikiran itu hanya sisa-sisa pengalaman inderawi. Dan sisa-sisa itu adalah kesan-kesan. Dari kesan-kesan itu dapat disusun connexions dan associations oleh keatifan kehendak kita. Namun keaktivan kehendak ini tidak berarti banyak. Sebab kesadaran manusiawi ini bukanlah ‘jiwa’, melainkan hanya deretan kontinue dari kesan-kesan. Berdasarkan pendapat ini, Hume disebut sebagai wakil pertama psikologi tanpa jiwa.
- Agama. Dalam bidang etika dan agama pun Hume cukup skeptis. Kata Hume, secara teoritis tidak dapat dibuktikan apa-apa dari perkataan tentang agama dan etika. Kepentingan agama hanya dapat dibuktikan secara teoritis. Dia membedakan agama menjadi dua. Natural religion yang berasal dari akal budi dan agama rakyat yang penuh fanatisme. Natural religion itu mempunyai nilai, tapi agama rakyat itu hanya berbahaya.

J.J Rouseau

- Kebudayaan melawan alam. Menurut Rouseau, manusia justru terasingkan dari dirinya sendiri oleh kemajuan ilmiah dan oleh kemajuan pada umumnya. Untuk menjadi sembuh dari alienasi ini manusia harus kembali ke keadaan alamiah.

KERINDUAN SEORANG NAPI

“Sebuah jubin lantai rumahku terpecah. Terlihat, seekor jangkrik keluar dari retakan jubin sambil mengibas sayap, pratanda ada kebebasan baru yang dialami.”

Langit kota Tangerang-Banten semakin cerah. Sinar mentari pagi perlahan menyusup menembusi dedauan yang masih melekat rapih di pohonnya. Kecerahan langit tak secerah langit jiwa sang kelana yang kini mendekap di hotel prodeo. Langkahku semakin merapat pada pintu besi di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang. Deru mesing-mesin kota dan semburan asap dari knalpot, sepertinya tidak mengganggu kehidupan mereka yang sangat terbatas. Kerinduan untuk bebas selalu menggema setiap saat tetapi itu hanya kerinduan. Waktulah yang menentukan dan memungkinkannya untuk keluar dari arena tak bebas itu.
Di depan pintu besi Lapas yang sulit didobrak itu, saya menitipkan HP, KTP dan tas ranselku juga digeledah. Di ruang itu saya menyuruh petugas Lapas untuk memanggil Didik, (bukan nama sebenarnya) dan beberapa rekannya untuk kami ngobrol bersama di ruang tunggu. Cukup lama saya menunggu dan tiba-tiba ia dan beberapa temannya yang Katolik datang dari arah kapel. Di tangan Didik, tergenggam Injil dan didahinya diberi tanda salib dengan abu. Ketika masuk di ruangan, beberapa temannya menanyakan soal arti pemberian diri dengan abu di dahi. Dengan penuh keyakinan, Didik menjelaskan pada teman-teman narapidana yang muslim, bahwa tanda abu yang dikenakan pada dahi mengingatkan kita sebagai manusia lemah yang diciptakan dari tanah, suatu saat akan kembali ke tanah. Mendengar penjelasan itu, saya hanya manggut sebagai cara untuk mengapresiasi terhadap apa yang dikatakan sebagai kebenaran dari ajaran yang diterimanya.
Ruang tunggu itu tak beda jauh dengan “ romantic room.” Semua nara pidana yang saya jumpai sedang memeluk isteri atau anaknya dengan penuh kasih sayang. Kerinduan itu tersembul dari sorotan mata yang tak bisa menipu realita. Sambil menikmati coca-cola, saya mengobrol bersama beberapa napi yang katolik. Ketika saya tanya, apakah banyak napi katolik? Dengan penuh kepastian, ia menjawab, sekitar 30-an orang napi katolik. Mereka masuk atau dipaksa masuk ke situ dengan beragam masalah. Ada yang dihukum karena melakukan tindakan kriminal, ada yang terjerat masalah narkoba dan banyak lagi kasus yang menimpah mereka yang pada akhirnya menyeret mereka ke Lembaga Pemasyarakatan itu.
Socrates pernah berujar, “apabila banyak sekolah didirikan maka suatu saat, penjara-penjara bisa ditutup.” Ungkapan Socrates ini membahasakan bahwa keberadaan sekolah menjadi jaminan bahwa pola perilaku manusia bisa tertata rapih dan kejahatan perlahan lenyap dari bumi ini. Tetapi apa realita yang muncul saat ini? Pendirian sekolah hampir bersamaan dengan pendirian penjara atau sekarang disebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Di depan papan pengumuman itu aku melihat data-data terutama jumlah orang yang ada dalam penjara sekitar 1000 lebih orang. Ini belum terhitung dengan jumlah nara pidana di Lapas wanita dan anak-anak. Sebuah angka yang menggila dan fantastis. Tetapi apakah mereka adalah orang-orang terbuang dari pergaulan umum karena ulah tingkah dan salah mereka? Melihat jumlah napi yang semakin menanjak, menjadi sebuah sindiran bagi lembaga keluarga, sekolah dan agama yang selalu mendengungkan moralitas dan nilai cinta kasih. Masing-masing institusi mempertanyakan diri. Seberapa jauh nilai cinta kasih dan moralitas ditanamkan dalam diri anak-anaknya?
Dalam rentang waktu yang tidak mengenal titik habis, kita terus bertanya, mengapa mereka terhempas dan dihempas dalam penjara? Sampai kapan mereka mengalami pertobatan yang berarti? Inilah pertanyaan yang sederhana terus menggeliat dalam lika-liku waktu. Didik, walau dianggap sebagai pembunuh kelas kakap, tetapi beberapa tahun terakhir menunjukkan diri ke arah perubahan yang lebih baik. Menurut penuturannya dengan saya, dengan berbekal pengalaman yang tidak bebas di Lapas, ia selalu menasihati keluarganya agar menghindari hal-hal yang bersentuhan dengan tindakan kriminal. Pengalaman di Lapas adalah pengalaman yang tidak mengenakkan dan ruang gerak kebebasan selalu dipantau.
Apa yang harus dilakukan sebagai upaya dalam mengatasi pelbagai persoalan? Baginya, hanya satu cara yang ditempuh yaitu mengikuti proses hukum dan menjalaninya secara normatif. Cara ini memperlihatkan sebuah upaya untuk bersahabat dengan keputusan hakim yang telah mengetuk palu. Menghitung hari-hari hidup dibalik jeruji adalah menghitung sebuah kesia-siaan. Mengapa kesia-siaan? Karena setelah menghitung, berapa lama lagi saya mendekap dalam penjara, saya tetap menjalani hidup sebagai napi dan masih menunggu waktu untuk suatu saat keluar dari penjara. Memang, penjara (Lapas) hanya memenjarakan saya secara fisik tetapi kerinduan saya tak bisa terpenjara. Kebanyakan napi hidup dalam kerinduan, rindu untuk pulang rumah, untuk ada bersama dengan anggota keluarga.
Semangat dan kerinduan menjadi spirit yang menggerakkan kesadaran mereka untuk bertahan dalam penjara. Tanpa harapan dan kerinduan maka pupus sudah makna hidup yang dijalaninya. Memang penjara, di mata kebanyakan orang adalah tempat pembuangan bagi mereka yang menyalahi aturan normatif. Namun penjara juga dilihat sebagai wadah yang membentuk atau mendaur kembali kehidupan orang-orang yang sudah jauh dari sentuhan moralitas. Di ujung pertemuan itu, Didik semakin menguatkan diri dengan melihat figur Paulus, yang dulu dikenal sebagai penjahat dan membunuh orang-orang yang menamakan diri sebagai pengikut Yesus, tetapi setelah mengalami pertobatan, ia menjadi rasul terbesar dalam Gereja Katolik. Ia tidak hanya mewartakan Yesus di kalangan orang Yahudi tetapi melampaui kelompoknya sendiri.
Penjara (Lapas) bisa dikatakan sebagai tempat untuk memurnikan kembali nurani agar setelahnya para mantan napi dapat bertindak secara baik. Seperti emas yang disepuh dalam tanur api, di sanalah kita temukan kemurnian emasnya. Demikian juga penjara, telah menyepuh para napi dalam tanur peradaban agar kelak, para mantan napi menjadi manusia yang utuh kembali.***