“Gong bawa nape alan golo-golo.
Alan golo tiro leim maan hedun gole kuan
tukan.” Bunyi
gong gendang bertalu-talu dan sang penari menghentakkan kaki berirama. Ia sedang
menarikan tarian hedung, sebuah tarian perang yang memperlihatkan nilai-nilai kepahlawanan. Saya coba
mengidentikkan tarian perang, tarian “hedung” ini dengan karakter dasar “Opu
Gole” yang selalu memperlihatkan karakter yang garang. Namun kegarangannya
lebih diperlihatkan pada tarian, seolah “Opu Gole” memainkan peran penting
sebagai “deket lewo tanah.”
Tuesday, June 25, 2019
Wednesday, June 19, 2019
Jan Ethes
Jan Ethes, cucu
Presiden RI, Joko Widodo selalu menarik perhatian publik. Kehadiran Jan Ethes
di tengah panasnya suhu politik nasional seolah membawa kesejukan tersendiri. Dengan
gayanya yang polos dan atraktif, ia mampu mencuri perhatian publik dan
sekaligus menurunkan tensi politik nasional, sebelum dan sesudah pemilu. Beberapa
hari yang lalu, ketika digelar sidang perdana sengketa pilpres di Mahkamah
Konstitusi dan publik seakan tergiring dengan analisis para advokat yang
membela masing-masing paslon, pada saat yang sama, Jan Ethes sedang berada di
Bali bersama Jokowi. Sempat terekam oleh kamera saat Jan Ethes bersama Jokowi
berjalan menyusuri pematang sawah yang terlihat hijau dan indah.
Dari pematang sawah
yang satu ke pematang sawah yang lain, Jan Ethes bersama Jokowi sepertinya
mengelilingi sambil menikmati keindahan alamnya. Yah, pematang sawah. Jika dilihat
dalam konteks keindonesiaan maka tiap pematang yang satu ke pematang yang lain
membahasakan kebhinekaan Indonesia. Sebuah pematang yang hanya dibatasi oleh
gundukan tanah dan menginformasikan kepemilikan yang berbeda, namun mereka
bekerja pada hamparan tanah yang sama untuk menghidupi keluarga. Hamparan padi
yang menghijau selalu mengingatkan kita akan petani yang selalu rajin untuk
merawat dan pada akhirnya bisa memetik hasil yang berlimpah.
Monday, June 17, 2019
Nenek Yang Lapar
Sumber foto: www.sabdaspace.org |
Hari ini Senin, 17
Juni 2019. Seperti biasa ketika jam makan siang, saya berkesempatan untuk makan
di salah satu warung padang yang terletak di Tigaraksa, dekat dengan pusat
pemerintahan. Setelah makan, saya masih duduk melihat pesan-pesan yang masuk ke
WAku sambil menikmati secangkir kopi yang menjadi langgananku. Memang,
menyeruput segelas kopi sepertinya berada dalam aroma kenikmatan hidup. Rasa lelah
sepertinya terbayar oleh pekatnya hitam kopi dan bangunan imajinasi mulai
muncul secara bernas ketika bersentuhan dengan aroma kopi.
Friday, June 14, 2019
Menyimpan Foto: Memendam Rasa
Sekitar tahun 2003, saya
mengenalmu dan tahun 2004 pengenalanku denganmu lebih dekat karena perkawinan
yang dilangsungkan antara saya dan Yuni, puterimu sendiri. Sejak menikah dengan
anakmu, saya terhitung sebagai menantu dan komunikasi yang dibangun selama ini
sangat baik. Ada spirit dan nasihat-nasihat bijak yang diberikan oleh bapa
Hardi Utomo kepada saya dan keluarga saya. Kata-kata menegakkan kami untuk
menjalani hidup ini tatkala kami merasa lesuh dan jenuh saat menapaki hidup
ini. Kata-kata menyejukkan seperti setetes air yang tengah berada pada “gurun
kembara.”
Tidak hanya kata-kata bijak
dan nasihat lembut yang telah engkau tinggalkan pada kami. Namun tindakan nyata
yang pernah dilakoni olehmu menjadi teladan hidup terbaik bagi kami. Ketika sedang
bermusuhan dengan siapa pun, engkau ajarkan kepada kami agar selalu “menyapa”
walau yang disapa adalah musuh kita. Ajaranmu ini mencontohi Sang Guru Agung
yang selalu mencintai siapa pun, termasuk musuh. Musuh-musuh pun harus disapa
dan didoakan agar “jembatan relasi” yang sempat ambruk oleh buruknya komunikasi
bisa terbangun kembali. Menjadi pertanyaan penting bagi saya, apakah ajaranmu
untuk menyapa musuh bisa saya terapkan? Pertanyaan ini penting bagi saya karena
kita berada pada dua budaya yang berbeda. Saya menganut budaya Lamaholot dan
Adonara khususnya, konsep menyapa seperti yang ditawarkan bapa, terkesan
bertolak belakang dengan latar budaya saya bahwa seorang musuh harus diberanguskan
dan tidak ada ruang komunikasi dalam setiap perjumpaan. Atau meminjam bahasa
kitab suci, “mata ganti mata, gigi ganti gigi.”
Monday, June 10, 2019
Aku Menulis Tentangmu
Kurang lebih dua tahun lalu ketika menyelesaikan
paket C pada pendidikan sekolah menengah atas, keputusanmu untuk “memburuh”
panggilan menjadi calon imam semakin menggebu-gebu. Sebuah niat baik dan ini
direspons oleh keluarga. Tanggal 27 Agustus 2017, bersama bu Yuni, kami
mengantarmu ke Tunas Xaverian di Pandega Asih Yogyakarta. Ketika mengantarmu
masuk ke kamar pribadi, rasanya bahwa Tuhan pasti memanggilmu dengan cara yang
unik. Dikatakan unik karena Helson pernah dikeluarkan dari Seminari San Dominggo
– Hokeng. Walaupun tidak selesai menyelesaikan pendidikan di panti imam yang
penuh aroma kopi itu, engkau hadir di ibu kota – Jakarta dengan bermodalkan
nekad.
foto ketika masuk KPA di Wisma Tunas Xaverian-Yogyakarta |
Setelah menyelesaikan pendidikan di
KPA Xaverian Yogyakarta dan menyelesaikan masa novisiat tahun pertama, kami
sangat mendukung segala usahamu agar cita-citamu menjadi imam bisa tercapai. Namun
pergulatanmu barangkali harus berakhir di Novisiat Xaverian Bintaro. Refleksi-refleksi
harianmu seakan tidak bermakna lagi ketika lamaranmu untuk menerima jubah,
pakaian kebiaraan itu ditolak. Tanggal 3 Juni 2019, pkl.21.24, lewat SMSmu
dengan menggunakan Hp biara, engkau mengabarkan bahwa anda ditolak dan harus
keluar dari biara. Memang, mendengar berita ini sungguh tidak mengenakan,
apalagi saat kami masih menghabiskan waktu liburan lebaran di Yogyakarta.
Subscribe to:
Posts (Atom)