Wednesday, November 30, 2022

Mendekap Luka

 

Sumber foto: detik.com

Di tengah upaya membangun kerukunan umat beragama melalui gerakan “Moderasi Beragama,” rasanya sia-sia bila melihat tindakan intoleran yang terjadi di Cianjur, tempat terjadinya gempa bumi yang memporak-porandakan rumah-rumah warga bahkan menelan korban jiwa. Para korban saat ini berada di tenda-tenda darurat sebagai bentuk antisipasi jika terjadi gempa susulan. Kondisi seperti ini mengundang perhatian dari para pemerhati kemanusiaan untuk turun tangan dan mengatasi korban gempa. “Luka mereka adalah luka bersama” dan juga luka bangsa, karena itu tidak mengherankan hampir semua pihak turun tangan mengatasi persoalan kemanusiaan ini.

 

Tidak hanya para elite dan kaum berdasi yang menaruh harap dan perhatian pada mereka yang terluka serta membantunya namun juga orang-orang biasa. Hari-hari belakangan ini di jalan raya, kelompok-kelompok masyarakat meminta sumbangan dengan mengatasnamakan korban gempa Cianjur. Ada teman saya nyeletuk, apakah uang-uang itu sampai ke korban gempa Cianjur? Pertanyaan yang penuh keraguan ini adalah sesuatu yang lumrah karena soal tingkat kepercayaan masyarakat pada relawan dadakan yang muncul di tengah bencana. Namun siapa pun yang dengan tulus memberikan sumbangan, silakan memasukan uangnya pada kotak yang telah disediakan. Persoalan apakah uang itu disalurkan secara benar atau tidak, bukan urusan orang-orang yang dengan suka rela memberi uang itu.

 

Di tengah perhatian pemerintah  terhadap korban gempa Cianjur dan juga para relawan yang mengirimkan sumbangan dan tenaga-tenaga suka rela, ingin membantu agar Cianjur segera pulih. Namun kebaikan itu tidak dibalas dengan kebaikan. Apa yang kita lakukan baik, belum tentu dinilai baik oleh orang lain. Soal perhatian dan kebaikan yang diberikan pada Cianjur, justeru tidak dibalas dengan kebaikan yang sama, atau minimal mengucapkan kata terima kasih. Beberapa informasi di media sosial mengungkap persoalan intoleran dialami oleh orang-orang tertentu dengan mengedepankan label agama. Sebagai contoh, ada curhatan seorang dokter perempuan beragama Katolik di media sosial. Ketika ia datang ke Cianjur sebagai relawan untuk membantu masyarakat yang terkena bencana alam ini, justeru ditolak karena berbeda agama dengan korban yang dilayani itu.

 

Memang miris melihat situasi seperti ini, apalagi di tengah puing dan reruntuhan hidup. Masihkah kita menolak sesama yang mau membantu yang terluka hanya karena berbeda agama? Esensi agama, apa pun agama yang dianut, mengajarkan tentang kebaikan dan cinta kasih. Cinta kasih menjadi landasan utama dalam bertindak dan menjumpai sesama. Cinta menggerakan setiap orang untuk peka terhadap korban bencana itu, namun “atas nama agama” kelompok-kelompok tertentu harus menghentikan pelayanannya karena berbeda agama. Agama seakan-akan menjadi momok yang menakutkan dan memberi daya pisah di antara kita. Masihkah kita bertahan dengan sikap egois untuk tidak mau dilayani walaupun terus mendekap luka?***(Valery Kopong)

 

 

 

 

Tuesday, November 29, 2022

Tenda Pengungsi

 

Membaca berita di medsos yang beredar pada hari-hari belakangan ini tentang logo gereja yang melekat pada terpal tenda pengungsi korban gempa Cianjur dirobek oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Tindakan yang kurang terpuji ini menuai reaksi beragam dari pada  nitizen. Ada yang berpandangan bahwa sebaiknya kalau membantu orang, jangan membawa logo gereja karena “apa yang dilakukan oleh tangan kanan, tidak boleh diketahui oleh tangan kiri” dan  supaya tidak memancing reaksi. Pandangan sebagian nitizen ini juga baik bahwa memberi harus dengan tulus tanpa memperlihatkan logo serta identas seorang pemberi. Sementara itu ada pendapat lain yang mengatakan bahwa logo gereja itu tetap dipasang karena tenda yang dipakai itu inventaris gereja dan juga sebagai bentuk pertanggung jawaban gereja pada pihak donatur. Semua pandangan ini baik dan bisa diterima.

Dua pandangan nitizen ini berseberangan namun peristiwa yang dikritisi itu sudah terjadi. Dalam sebuah video yang beredar tentang peristiwa perobekan logo gereja pada tenda-tenda pengungsi, memperlihatkan bahwa para pengungsi tidak mempersoalkan logo, entah dari gereja atau dari instansi lain yang memberikan bantuan. Bagi para pengungsi, satu harapan mereka adalah bisa ditolong pada saat darurat ini agar perlahan mereka bisa pulih dan bangkit kembali. Akibat ulah dari orang yang tidak bertanggung jawab itu, tenda-tenda yang disobek logo gerejanya, pada akhirnya bocor dan kemasukan air hujan.

Aksi serupa ini juga mengingatkan penulis akan peristiwa yang pernah muncul di daerah Bantul pada situasi bencana alam. Ketika wilayah Yogyakarta terkena bencana gempa bumi dan memporak-porandakan rumah warga pada beberapa tahun yang lalu, semua pihak membuka mata dan membantu para korban, termasuk gereja. Para pengungsi yang waktu itu mengungsi di area salah satu paroki di Bantul, kebetulan banyak teman-teman muslim juga turut mengungsi di area gereja itu. Tidak jadi masalah karena dalam kondisi darurat dan musibah seperti itu, orang tak lagi memikirkan pengkotak-kotakan berdasarkan agama, tapi yang terpenting adalah bagaimana para pengungsi itu menyelamatkan diri dan ditangani dengan baik.

Sumber foto: www.konteks.co.id

Dalam situasi normal, sepertinya masih terjadi polarisasi kelompok-kelompok agama. Namun sangat disayangkan pada momentum musibah seperti itu, mestinya pemikiran yang sempit tentang agama dan kehidupan keagamaan  itu harus disingkirkan. Yang harus kita munculkan adalah kemanusiaan. Nilai-nilai keagamaan yang selama ini kita pelajari, mestinya diwujudnyatakan dalam tindakan kasih pada mereka yang terkena korban bencana. Puncak pemahaman nilai agama tidak terletak pada narasi biblis saja tetapi justeru mendapatkan penegasan pada tindakan membagi kasih pada mereka yang terluka karena bencana. Sampai saat ini, masih banyak orang Indonesia terlalu mementingkan aspek ketuhanan, sampai lupa dengan aspek kemanusiaan. Mudah-mudahan peristiwa yang tidak terpuji ini tidak terulang lagi.***(Valery Kopong)

Monday, November 28, 2022

Malaikat Mikhael

 


Malaikat Mikhael tidak asing bagi kita kalangan  Katolik. Malaikat ini berperan penting dalam melawan iblis dan kekuatan-kekuatan lain yang menghancurkan. Kitab Suci Perjanjian Lama mengisahkan kehancuran dua kota, Sodom dan Gomora dan juga berperan penting dalam membantu penguburan Nabi Musa. Sodom dan Gomora, dua kota ini menjadi saksi sejarah atas murkanya Allah terhadap manusia yang menghuni dua kota ini. Berfirmanlah TUHAN: "Sesungguhnya banyak keluh kesah orang tentang Sodom dan Gomora dan sesungguhnya sangat berat dosanya. Baiklah Aku turun untuk melihat, apakah benar-benar mereka telah berkelakuan seperti keluh kesah orang yang telah sampai kepada-Ku atau tidak; Aku hendak mengetahuinya."(Kejadian 18:20-21)

 

Ketika kota Sodom hendak menghancurkan, Abraham meminta kepada Allah untuk menangguhkan murka itu. Tawaran untuk menahan murka harus memberikan jaminan jumlah orang benar di hadapan Allah. Abraham menawar Tuhan untuk tidak membinasakan Kota Sodom, dan Tuhan sepakat untuk tidak membinasakan kota tersebut jika di dalam kota tersebut setidaknya terdapat 50 orang benar, kemudian 45, kemudian 40, kemudian 30, kemudian 20, atau juga 10 orang benar (Kejadian 18:23-32). Sepuluh orang benar tidak ada di kota itu maka murkalah Allah, namun Lot diselamatkan oleh malaikat Mikhael dalam peristiwa bersejarah itu.

 

Selain itu,  malaikat Mikhael juga berperan penting dalam penguburan Nabi Musa. Dalam proses pendampingan bangsa Israel dan mengembara selama 40 tahun di padang gurun, Musa tidak masuk dan menikmati tanah terjanji, Kanaan. Musa, sebelum meninggal, Ia memandang dari kejauhan tanah terjanji itu dari atas Gunung Nebo. Sebelum  meninggal, Ia berpesan bahwa bangsa Israel harus menunjukkan kesetiaan pada Allah. Kesetiaan menjadi penting karena hanya dengan kesetiaan pada Allah itu maka kehidupan manusia berada pada apa yang menjadi kehendak Allah.   

Malaikat Mikhael sering disebut sebagai Penjaga Sakramen Mahakudus Ekaristi. Ia adalah pemimpin bala tentara surga. Sebagai seorang prajurit, ia juga berperan untuk melindungi kita dari musuh. Ia pun memiliki kuasa untuk menghukum siapa saja yang berdosa melawan sakramen ini.***(Valery Kopong)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sunday, November 27, 2022

Cahaya Lilin

 


Setiap kali pesta Natal tiba, Erwin, bocah berusia 4 tahun itu begitu senang ke gereja bersama dengan kedua orang tuanya. Suatu kebiasaan yang dilakukan oleh Erwin yang  tidak pernah terlewatkan adalah selalu mengumpulkan sisa-sisa lilin yang ada di sekitar kandang Natal. Tingkah ini selalu dilihat dan dipelajari oleh kedua orang tuanya. Ketika ditanya oleh Bapaknya tentang maksud dari pengumpulan lilin itu, Erwin dengan santai menjawab bahwa apa yang dilakukan hanya sekedar iseng.  Tetapi keisengan Erwin, suatu saat  pasti membuahkan hasil.

              Hasil pengumpulan lilin-lilin sisa Natal disimpan di kardus. Beberapa tahun kemudian, rumah Erwin terkena banjir. Mereka tidak mengungsi keluar tetapi tetap bertahan di lantai atas rumahnya. Ketika lantai bawah mulai tergenang air dan berupaya untuk berpindah ke lantai atas, barang-barang yang pertama kali  dibawa ke atas adalah lilin-lilin sisa yang ada di kardus. Memang, tingkah Erwin sedikit lain dengan menyelamatkan lilin-lilin sisa itu. Tetapi tindakan yang dilakukan selama ini pada akhirnya membuahkan hasil.

              Setelah rumah tergenang banjir dan pada saat bersamaan, listrik pun dimatikan. Suasana menjadi gelap gulita dan sepi. Yang terdengar adalah bunyi guyuran hujan disertai banjir. Di tengah kegelapan itu Erwin dan kedua orang tuanya teringat akan lilin-lilin sisa Natal yang masih tersimpan di kardus. Dua batang lilin dinyalakan untuk menghalau kegelapan yang sedang mendera wilayah perumaha Erwin dan orang tuanya.    

              Apa yang dilakukan oleh Erwin terkesan sederhana. Tindakan mengumpulkan sisa lilin Natal beberapa tahun lamanya dianggap sebagai hal biasa. Tetapi Erwin kini merasa bangga. Bocah yang belum fasih berbicara ini memperlihatkan sebuah tindakan antisipatif pada hari-hari yang tidak pernah diketahui, dan apa yang terjadi di waktu-waktu mendatang. Orang tua  Erwin tersenyum bahagia di tengah kepungan banjir yang melanda rumah mereka. Rumah-rumah tetangga bagai perkampungan mati karena tidak ada aliran listrik. Tetapi rumah Erwin membersitkan penggalan cahaya dari sisa-sisa lilin Natal. Lilin sisa yang dipungut dari kandang hina tetap memberikan secercah cahaya bagi mereka yang berani melihat kerdipan lilin di tengah kegelapan.

              Tuhan membuat segala sesuatu itu indah pada waktunya. Cahaya lilin yang terpantul dari kegelapan adalah bentuk kerinduan terdalam dari mereka yang ingin untuk tidak diliputi oleh  kegelapan malam. Erwin telah menghantar kedua orang tuanya untuk bisa memahami makna cahaya baru dari sisa-sisa lilin Natal. Seperti Yesus yang memilih kandang hewan untuk dilahirkan dan membawa pesan kesederhanaan, demikian juga Erwin telah memberi pesan kesederhanaan dari cahaya lilin-lilin sisa yang dipungut sekian tahun di seputar kandang Natal.***(Valery Kopong)

Saturday, November 26, 2022

Panggilanku Terhambat

 


Setiap kali bertemu dengan Romo Dan di ruang sakristi, sepertinya naluri panggilanku untuk menjadi calon imam semakin terasa.  Khotbah Romo Dan  yang  selalu berapi-api memberikan semangat bagiku dan ingin mengikuti  jejak Kristus menjadi calon imam. Apakah benih panggilan yang mulai terpupuk sejak aku terlibat dalam kegiatan sebagai putera altar bisa terwujud? Pertanyaan sederhana ini sepertinya sedang membenturkan dinding  cita-citaku.

              Cita-citaku cuma satu. Ingin menjadi calon imam dan mengikuti pendidikan mulai di seminari menengah. Sejak duduk di bangku kelas 9 SMP Yos Sudarso, aku mempunyai niat khusus ini, apalagi didukung  oleh Romo Dan. Sosok Romo Dan adalah gembala yang baik, bisa membimbing aku untuk mengenal lebih jauh tentang arti panggilan.    

              “Cita-cita menjadi imam?” aku melamun sendiri di ruang sakristi itu

              “Jangan ngelamun, Anung!.” Boby menyadarkan Anung sekaligus sahabat putera altar.  Sekarang kita mulai bertugas. Tugas Anung hari ini adalah membawa salib.

              Dengan sigap aku mulai  mengambil salib dan bersiap untuk perarakan misa. Perarakan berjalan lancar. Misa dimulai dengan khitmat namun sangat terasa ketika mulai pembacaan Injil dan khotbah.  Romo Dan membacakan Injil tentang Yesus memanggil murid yang pertama, rasanya  seperti cocok dengan pergulatan hatiku ini. Dalam khotbahnya Romo Dan menekankan bahwa Yesus memanggil murid-murid-Nya menunjukkan inisiatif pertama datang dari Yesus sendiri. Karena itu tidak mengherankan bahwa para murid yang dipanggil segera meninggalkan segala-galanya tanpa kompromi.

 

Setelah misa, aku langsung  pulang ke rumah bersama kedua orang tuaku serta Tensae dan Doal adik-adiku. Dalam mobil kijang yang kami tumpangi, aku duduk terpaku diam dan sambil memikirkan, kapan aku harus menceritakan niatku untuk menjadi calon imam ini pada kedua orang tuaku. Tetapi dengan mendengar khotbah Romo Dan tentang panggilan, sepertinya menyiksa batinku dan seolah memaksa aku menceritakan cita-citaku pada kedua orang tuaku.

              “Anung kok diam aja?” Tanya ibunya yang duduk di samping dalam mobil itu.

              “Apa yang sedang Anung pikirkan?” Tanya ibunya dengan rasa ingin tahu.

              “Ibu mendengar isi khotbah Romo Dan di mimbar?” Aku menanya balik pada ibuku.

              “Ya, ibu mendengar baik tentang isi khotbah Romo Dan.” Romo mengatakan bahwa panggilan itu semata-mata karena inisiatif Yesus. Artinya seseorang yang dipanggil tidak punya hak untuk menolak melainkan menerima panggilan itu.

              “Mengapa Anung menanyakan isi khotbah pada ibu?” Tanya ibunya.

              “Ya, aku sengaja menanyakan isi khotbah Romo Dan dan ini menjadi kesempatan bagi aku untuk menceritakan cita-cita hidupku.

              “Apa cita-citamu, Anung?” Tanya ibunya dengan penuh penasaran

              “Cita-citaku ingin masuk ke seminari supaya bisa menjadi seorang imam. Sejak terlibat dalam kegiatan putera altar, aku merasa tertarik terutama pada kesaksian hidup Romo Dan. Bagi aku, Romo Dan adalah seorang gembala yang baik dan memimpin umatnya dengan sangat bijak. Karena itu menjadi daya tarik bagi aku  untuk menjalani hidup seperti Romo Dan.”

              “Ibu mendukungmu untuk melanjutkan pendidikan ke  seminari menengah untuk menunjang panggilanmu yang luhur ini.”

              “Apa? Ibu mendukung Anung menjadi imam? Tanya ayahnya dengan penuh sinis. Bapak sekali-kali tidak memperbolehkan Anung menjadi calon imam. Bapak ini orang Batak yang  tidak memperbolehkan anak laki-laki sulung untuk menjadi imam. Karena anak laki-laki pertama adalah pelanjut marga kita, sinaga. Adikmu saja yang akan masuk ke seminari tetapi Anung menjadi  andalan pelanjut marga kita dan pada waktunya nanti Anung menjadi pewaris keturunan dari marga sinaga.

 

              “Ah, Bapak ini suka menghalangi cita-citaku.” Tukas aku. Supaya bapak tahu bahwa panggilan dari Tuhan itu merupakan inisiatif  dari-Nya dan manusia yang dipanggil harus memberikan jawaban atas panggilan itu. Tuhan yang memanggil manusia tidak mengenal dari suku atau marga mana. Tuhan hanya mementingkan kerelasediaan manusia untuk membuka diri terhadap panggilan itu. Panggilan itu sedang aku rasakan  dan ada dorongan yang sangat kuat untuk mengikuti panggilan itu dengan memulai langkah awal masuk ke seminari menengah.

 

Sesampai di rumah, kami mulai berdebat lagi tentang panggilan dan menjadi cita-citaku. Tetapi bapakku berkeras kepala dan mempertahankan pola pikir lama dan selalu mengarah pada kepentingan marga Sinaga. Apakah karena mementingkan keberlangsungan  hidup  marga Sinaga sehingga cita-citaku menjadi korban?  Aku terus berdoa supaya Tuhan sendiri bisa membuka pintu hati bapakku untuk memahami lebih jauh arti panggilan ini.  Aku merasa gagal  menjalani panggilanku karena terbentur pada tuntutan marga.***(Valery Kopong)

 

 

 

Thursday, November 24, 2022

Filosofi Bola

 

Beberapa hari belakangan ini, obrolan seputar bola sedang menghangat pada setiap lini kehidupan. Di warung-warung kopi dan angkringan, sambil menyeruput minuman kopi jahe, topik tentang bola terus digelindingkan sebagai cara menghidupkan piala dunia, walau jarak antara Qatar sebagai tempat perhelatan piala dunia dan angkringan itu, mirip langit dan bumi, begitu jauh. Bola memberikan spirit, tak hanya pada laga hijau tanah lapang namun menembus jiwa para penonton. Ketika kesebelasan Arab membobolkan gawang dan menggetarkan jaring pada lini pertahanan Argentina, para fans Argentina sepertinya murung dan kehilangan selera makan. Bentangan kekalahan Argentina, negeri yang menghasilkan benih-benih pemain bola dunia harus bertekuk lutut di bawah “banana kick” pemain Arab.

Tak lama berselang, keesokan harinya kesebelasan Jerman bertarung melawan Jepang, ternyata negeri Samurai itu “memburai” gawang team banser yang terkenal garang pada piala dunia sebelumnya. Semua yang terjadi itu, baru langkah awal. Ini baru babak penyisihan, artinya masih ada peluang untuk bertarung meraih tiket supaya bisa masuk pada babak selanjutnya. Pada tahap penyisihan dengan kekalahan pada negara-negara bergengsi dan sangat disegani dalam piala dunia, harus tunduk sembari mengamini kemenangan lawan.

Piala dunia yang sedang berlangsung ini tidak hanya menggema di negara-negara yang terkenal dengan pemain sepak bola tingkat dunia. Namun Indonesia yang tak pernah masuk piala dunia pun lebih sibuk menonton dan bahkan menjadi komentator terbaik menurut para analis bola Indonesia. Riuhnya penonton Indonesia yang duduk di depan layar kaca, menunggu dengan jantung setengah berdenyut, menuruti alur permainan klub kesayangan.  Orang-orang Indonesia sebagai penonton aktif, terus memberikan spirit pada klub kesayangan. Dalam satu rumah saja, masing-masing anggota keluarga pasti memilih klub kesayangan dan pada akhirnya membuka pertarungan ini menjadi ramai. Bola memang bundar dan terus menggelinding di lapangan hijau. Bola tak sekedar kulit dan diisi dengan angin, namun lebih dari itu ada filosofi bola yang terus menghipnotis para penonton hingga pada akhirnya orang gila pada bola.


Bagi seorang pemain bola, “Setiap detik adalah final bagi kehidupan.” Karena itu para pemain, sebelum bertanding harus mempersiapkan diri secara matang. Mungkin selama ini Arab lebih serius melatih strategi dan membangun stamina untuk menghadapi lawan di lapangan hijau. Atau juga Jepang berani mempertaruhkan reputasi untuk mengangkat nama Asia semakin bergengsi dengan menekuk Jerman di babak penyisihan. Arab, Jepang barangkali di mata Argentina dan Jerman kurang diperhitungkan. Mungkin juga penonton tak memperhitungkan Arab dan Jepang yang bisa memenangi lawannya. Dan di arena permainan, kata Charles Baudelaire, Pelapis Schmidt di bagian depan, selalu mengingatkan para pemain bahwa hidup hanya mempunyai sebuah pesona tunggal yakni permainan. Dan jika kita masuk atau terperangkap masuk dalam pola permainan maka masing-masing orang harus mengantongi pertanyaan filosofis ini: “Maukah Anda menang atau kalah?”***(Valery Kopong)

 

 

 

 

 

 

Wednesday, November 23, 2022

Membaca “Siluet”

 

Ketika menjelang Pemilu, terutama Pilpres yang akan terjadi pada tahun 2024, biasanya para ketua umum partai memainkan peranan penting. Namun Pilpres yang akan terjadi pada tahun 2024, figur Jokowi juga memainkan peranan penting terkait arah dukungan pada salah satu figur capres. Memang Jokowi masih berada dalam naungan PDIP tetapi bukan berarti beliau tidak punya suara untuk menentukan capres nanti. Jika figur capres yang akan diputuskan oleh PDIP sesuai dengan kriteria Jokowi maka beliau langsung memberikan dukungan. Namun andai kata, figur yang diusung sebagai capres oleh PDIP yang tidak sesuai dengan kriteria Jokowi maka kemungkinan besar, Jokowi bisa memberikan rekomendasi  figur lain pada koalisi Indonesia Bersatu yang selama ini memberikan angin positif pada Jokowi.

Mengapa Jokowi bisa diandalkan dalam memberikan rekomendasi terhadap figur capres untuk tahun 2024? Jawabannya sederhana, yakni Jokowi mempunyai relawan tangguh yang bekerja selama ini untuk memenangkan Jokowi pada Pilpres yang telah berlalu. Beberapa kali Jokowi menghadiri acara yang diselenggarakan oleh para relawannya dan memberikan peringatan, “ojo kesusu,” artinya jangan buru-buruh menentukan capres dan jangan buru-buru mendeklarasikan capres saat ini. Apa yang dikatakan Jokowi ini sebagai “warning” bagi setiap partai untuk mempersiapkan figur secara matang dan diterima oleh publik. Kriteria itu tidak sekedar mantan gubernur tetapi rekam jejak masa lalu bisa memberikan informasi pada masyarakat yang pada akhirnya menentukan pilihan bijak.

Memahami  naluri politik Jokowi sepertinya membaca “siluet” yang sulit ditebak oleh lawan-lawan politik. Langkah politik Jokowi terkesan lamban namun pasti dan menukik. Filosofi letak keris Jawa bisa memberikan gambaran tentang cara berpolitik ala Jokowi. Ketika mengenakan pakaian ada Jawa, biasanya keris ditaruh pada posisi belakang. Sebagai lelaki Jawa, tidak sekedar untuk mengenyampingkan posisi keris itu tetapi ketika menelusuri kedalaman makna dan mengaitkan dengan tindakan politis, ada korelasi makna. Keris itu kelihatan kecil namun bisa menusuk dari belakang dan mematikan.

Dalam strategi perang, keris tidak diperlihatkan pada lawan, artinya bahwa lawan juga sulit membangun strategi untuk membela diri dan mematahkan lawan. Situasi ini agak berbeda ketika kita membandingkan dengan cara orang-orang Timur Indonesia, selalu memperlihatkan senjata saat melakukan peperangan. Memang ada baiknya memperlihatkan senjata perang untuk menakutkan lawan, namun dengan itu lawan bisa dengan mudah mencari strategi untuk mematahkannya.


Mungkin terlalu jauh jika kita  menganalisah keterkaitan antara senjata dengan langkah-langkah politik. Namun dalam berpolitik, mirip peperangan, ada yang harus dikalahkan melalui pertarungan demokrasi (pemilu) dan cara-cara tidak terpuji bisa dilakukan, mirip tusukan keris dari belakang yang sanggup mematikan lawan. Berpolitik itu  harus tahu strategi untuk mengalahkan lawan. Jokowi telah menjadi pemenang dalam pertarungan demokrasi.***(Valery Kopong)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tuesday, November 22, 2022

Romero dan Jalan Martyria

 

Membaca Kisah Para Rasul yang mengisahkan tentang kehidupan Jemaat Perdana, terlihat jelas tugas-tugas Gereja yang perlu dilakukan oleh Gereja saat ini. Ada persekutuan (koinonia) yang memperlihatkan sebuah persaudaraan sejati. Mereka hidup secara bersama dalam kelompok, tentu memperlihatkan sebuah aspek yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari. Ada gerak bersama seperti doa secara bergilir (liturgya) dari rumah yang satu ke rumah yang lain sambil memecah-mecahkan roti. Doa menjadi kekuatan yang bisa menopang ziarah perjalanan paguyuban itu. Selain itu mereka mendengarkan pengajaran para rasul (kerygma) dan  melayani (diakonia) satu dengan yang lain. Ada satu hal penting yang dilakukan adalah kesaksian (martyria) dan menjadi penting serta  memberikan ciri tersendiri pada kelompok Jemaat Perdana ini.

Tulisan sederhana ini hendak menyoroti kesaksian, tidak hanya dilakukan oleh Gereja perdana tetapi dalam Gereja masa kini, justeru seorang Uskup Agung Romero memberikan pembelaan pada kaum miskin dan upaya menghadirkan wajah Kristus yang berpihak, namun  pada akhirnya mengantarkan dirinya pada ujung senjata yang mematikan. Uskup Romero yang hidup di El Salvador menjadi terkenal di daerah Amerika Latin dan memberikan opsi keberpihakkannya pada orang kecil yang tanah-tanah mereka dikuasai oleh penguasa. Romero tak tinggal diam. Beliau tidak membangun menaruh gading untuk membentengi diri dari kebisingan hidup luar biara, namun beliau terlibat dengan caranya tersendiri, yakni berpihak pada mereka yang kecil dan tersingkirkan.

Suara profetisnya menyoroti tindakan represif dari mereka yang berkuasa. Ternyata suara sang gembala ini selalu mengusik ketenangan mereka yang menamakan diri sebagai penguasa. Karena itu ketika Ia sedang merayakan Ekaristi dan persis pada saat konsekrasi, Ia ditembak mati. Ia jatuh tersungkur di altar bersama tubuh dan darah Kristus yang sedang dihunjukkan itu. Kematian yang dialami oleh Romero bukanlah kematian sia-sia. Namun kematiannya merupakan kematian berharga karena telah membela orang-orang kecil. Memang, menjadi imam, nabi dan raja, tidak berhadapan dengan jalan hidup yang mulus, tetapi justeru selalu mendapatkan tantangan dan ancaman sehingga nyawa menjadi taruhan.    


Romero belajar dari Kristus yang datang mewartakan Kerajaan Allah dengan penuh resiko. Seperti Kristus yang mewartakan Kerajaan Allah harus menerima konsekuensi tragis sebagai bagian dari perutusan-Nya, demikian juga Romero.  Kisah korban Yesus menjadi kisah inspiratif sepanjang waktu. Kematian Yesus di atas kayu salib bukanlah kematian sia-sia, tetapi ada nilai lain di balik kematian-Nya. Upaya dari salib adalah keselamatan manusia. Semoga darah Romero menjadi benih bagi iman umat Kristiani.***(Valery Kopong)

 

Monday, November 21, 2022

“Unclean Spirit”

 

Beberapa hari belakangan ini muncul reaksi dari orang-orang Katolik dan Kristen Protestan terhadap apa yang dikatakan oleh Daniel Mananta saat mewawancarai Ustad Abdul Somad. Pernyataan Daniel bahwa di salib itu ada “unclean spirit” dan apa yang dikatakan ini memancing reaksi kemarahan publik. Terhadap reaksi yang diperlihatkan publik saat ini, belum terlihat reaksi balik dari Daniel. Terhadap apa yang dikatakan Daniel sebagai bentuk perendahan terhadap martabat Kristus yang tersalib, apakah menggerus iman kekatolikan?

Dalam sejarah perjalanan Gereja Katolik, begitu banyak hambatan yang dialami bahkan begitu banyak penindasan yang dialami itu, tidak pernah menyurutkan iman kekatolikan. Merendahkan salib dengan mengatakan “unclean spirit” merupakan sebuah dugaan dan khayalan atau jangan-jangan sebuah phobia semu. Apa yang dinarasikan oleh Daniel memperlihatkan lemah imannya akan Kristus. Daniel, menurut beberapa sumber mengatakan bahwa ia adalah seorang Katolik namun dalam peristiwa ini kita bisa mempertanyakan tentang sikap iman sebagai orang Katolik.

Sebagai orang Katolik dan beriman pada Kristus, salib adalah puncak kasih dan pengorbanan Kristus untuk menebus manusia.  Puncak iman kekristenan adalah pengalaman kebangkitan Kristus dan proses kebangkitan yang dilalui oleh Yesus, tentu melewati jalan terjal sampai puncak penyaliban-Nya di Golgota. Salib tidak dilihat sebagai akhir dari kehidupan Yesus namun melalui salib itu ada tawaran keselamatan. “Bapa, selesailah sudah!” Inilah kata-kata akhir sebagai bentuk pertanggung jawaban Yesus di atas kayu salib. Penderitaan manusia didekap-Nya pada puncak kayu salib itu. Melalui salib, Ia harus mati dan pada hari ketiga Ia bangkit dari alam maut.

Allah yang telah mengutus-Nya tak pernah membiarkan Ia bergulat dengan maut, namun karena kuasa Allah, Yesus bangkit mulia dari alam maut. Bagi kita yang beriman akan Kristus, proses penyelamatan manusia yang dilalui Yesus, tidaklah mudah. Ia setia dalam penderitaan, penyaliban dan bangkit dari alam maut. Proses ini dilalui seorang Mesias, penyelamat. Karena itu ketika Yesus di atas kayu salib dan diolok-olok, Ia tidak memberikan reaksi. “Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan! Ia Raja Israel?”  Baiklah Ia turun dari salib itu dan kami akan percaya kepada-Nya. Apakah Yesus bisa turun dari salib saat diolok? Bisa saja, namun andaikata Ia turun dari kayu salib, maka keselamatan tidak terjadi karena belum tuntas proses yang harus dilalui Yesus.


Yesus telah menunjukkan ketaatan pada Allah dan kecintaan-Nya pada manusia. Salib yang dipikul Yesus merupakan salib keselamatan. Tak ada “unclean spirit” yang bertengger di salib itu, yang ada adalah tawaran keselamatan. Spirit yang muncul dari salib adalah cinta tanpa pamrih.***(Valery Kopong)

 

 

Sunday, November 20, 2022

Stefanus dan “Hujan Batu”

 

Menelusuri kisah perjalanan hidup orang-orang kudus, memberikan pelajaran berharga bagi umat Kristiani. Orang-orang kudus, terutama yang mati karena mempertahankan imannya akan Kristus (martir) menjadi sebuah kesaksian yang hidup. Kebangkitan Kristus dan ajaran-ajaran-Nya tidak bisa didiamkan saja tetapi justeru diwartakan ke semua orang agar orang menjadi tahu, siapa sesungguhnya Yesus dan menjadi percaya pada-Nya. Ketika mempelajari sejarah kemartiran Santo Stefanus, ada nilai pengorbanan yang perlu diteladani. Ia dikenal sebagai martir pertama dalam Gereja Katolik.

Siapa itu Stefanus? Nama Stefanus pertama kali mengemuka di dalam Kisah Para Rasul. Ia adalah salah seorang di antara tujuh diakon yang dipilih para rasul untuk menyalurkan bantuan pangan dan santunan lain kepada warga termiskin Gereja Perdana, terutama para janda. Di antara tujuh diakon itu, Stefanus yang penuh Roh Kudus, didaulat menjadi kepala atas para diakon (pelayan). Ke tujuh diakon dan juga jemaat perdana, tidak hanya berkumpul untuk mendengarkan ajaran para rasul tetapi juga bergerak keluar untuk menjadi seorang pewarta. Beberapa catatan dari Kisah Para Rasul, menggambarkan bagaimana peran Stefanus dalam upaya memperkenalkan Kristus yang bangkit dan karya-karya-Nya kepada semua orang yang dijumpainya. Seperti Sang Guru, pewartaan itu penuh risiko. Risiko yang dialami, tidak kehilangan jabatan pelayanan tetapi lebih dari itu kehilangan nyawa. Apakah Stefanus menjadi gentar hatinya ketika diteror balik oleh mereka yang tidak percaya akan Kristus?  

Diriwayatkan bahwa rasul-rasul memilih para diakon sesudah munculnya keluhan di kalangan orang Yahudi Helenis (orang Yahudi yang berbudaya dan berbahasa Yunani) yang merasa janda-janda dari golongan mereka disepelekan sementara janda-janda dari golongan Yahudi Ibrani didahulukan dalam urusan pembagian santunan yang didanai derma jemaat. Karena "Stefanos" adalah nama khas Yunani, maka diduga Stefanus adalah seorang Yahudi Helenis.  Stefanus adalah orang yang penuh iman dan Roh Kudus, dan pernah mengadakan mukjizat-mukjizat disaksikan khalayak ramai (Kisah Para Rasul 6:5, 8).

Kegigihan Stefanus untuk memberikan kesaksian tentang Kristus semakin memuncuk, karena itu dia dihadapkan pada Sanhedrin (pengadilan agama). Stefanus pada peristiwa tragis berdarah itu diseret keluar dan dirajam dengan batu sampai mati. Dalam peristiwa itu, Saulus berperan penting untuk memberikan restu agar nyawa Stefanus dihabiskan karena telah memperkenalkan Yesus pada ruang-ruang terbuka. Ketika semakin nyaring ia mewartakan tentang Kristus dan menegaskan bahwa Ia adalah Mesias, para penentang Kristus menutup telinga dan tak mau mendengarnya. Stefanus diseret keluar kota Yerusalem dan membunuhnya dengan “hujan batu.”


Di tengah sakit dan luka yang menganga akibat hantaman beribu batu itu, Stefanus masih memberikan pengampunan pada mereka yang merajamnya. “Sambil berlutut ia berseru dengan suara nyaring: "Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!" Dan dengan perkataan itu meninggallah ia” (Kis : 7:60). Keterlibatan Saulus menjadi penting dalam mengeksekusi Stefanus. Namun pahala besar bagi Saulus adalah pengalaman pertobatan di kota Damsyik. Stefanus meninggal sebagai martir, sedangkan Paulus (yang dulu dikenal sebagai Saulus) mengalami titik balik hidupnya dan menjadi pewarta terbesar dalam Gereja Katolik.***(Valery Kopong)

 

 

 

Saturday, November 19, 2022

"Qohelet"

 

Ketika mengajar mata pelajaran Agama Katolik pada anak-anak, sesungguhnya saya sendiri juga terus belajar terutama tentang pendalaman terhadap Kitab Suci. Banyak orang Katolik, apabila disuruh untuk membaca dan mendalami Kitab Suci, biasanya menghindar dengan pelbagai alasan. Ada yang mengatakan bahwa Kitab Suci itu kurang menarik untuk dibaca dan ada juga mengatakan bahwa biarlah Kitab Suci dibaca dan ditafsir oleh para ahli Kitab Suci. Kita umat hanya sebagai pendengar setia. Beberapa alasan ini memang cukup masuk di logika namun dengan semakin menghindar untuk tidak membaca Kitab Suci, berarti pada saat yang sama, semakin kita kurang mengenal siapa itu sesungguhnya Yesus.

Santo Hironimus pernah mengatakan bahwa siapa yang tidak membaca Kitab Suci maka ia tidak mengenal Kristus. Pernyataan ini sangat menyentuh kesadaran kita untuk memahami esensi dasar Kitab Suci yang memuat pengalaman iman umat Israel (Kitab Suci Perjanjian Lama) dan mengenal Kristus serta ajaran-ajaran-Nya (Kitab Suci Perjanjian Baru). Dengan sentilan kuno seorang Hironimus memberikan gambaran pada kita bahwa Kitab Suci memberikan informasi dan sekaligus penguatan iman pada kita jika kita mengakrabi Kitab Suci itu. Cara sederhana mengakrabi Kitab Suci adalah dengan membaca. Membaca Kitab Suci adalah sebuah cara untuk membangun keintiman personal dengan Kristus sebagai tokoh iman.

Setiap orang yang membaca Kitab Suci, tentu memiliki daya tarik tersendiri terhadap kitab tertentu dengan pelbagai alasan. Jika membaca Kitab Suci Perjanjian Lama, satu kitab favorit saya adalah Kitab Pengkhotbah. Ketertarikanku pada Kitab Pengkhotbah tentu dengan pelbagai argumen, terutama si Pengkhotbah sendiri mengajak kita untuk merenungkan tentang waktu dan memulainya dengan sedikit pesimis. Tema utama Kitab Pengkhotbah adalah “ketiadaan makna dari segala sesuatu yang bersifat duniawi: “Kesia-siaan belaka,” kata sang pengkhotbah, “kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia” (Pkh 1:2,14; 12:8). Gagasan utama ini dikemukakan dengan berbagai macam variasi. Membaca Kitab Pengkhotbah ini sepertinya mengajak kita untuk terus merenungkan tentang kehidupan yang hari ini kita lalui, dan besok generasi lain melalui jalur waktu yang sama.


Perputaran waktu dan pergeseran generasi, namun bumi tetap ada. “Sungai-sungai mengalir ke laut tetapi laut juga tidak menjadi penuh.” Siklus kehidupan yang diungkapkan oleh Pengkhotbah ini memberikan gambaran tentang manusia dan perputaran waktu yang bisa mengubah segalanya.

Pengkhotbah atau sering disebut sebagai “Qohelet” memandang sesuatu dalam kekosongan bahkan kesia-siaan sebagai bagian dari proses pencarian manusia dan refleksi di bawah kolong langit ini. “Untuk apa kita berjerih lelah di bawah terik matahari ini? Angkatan yang satu pergi dan angkatan yang lain datang, namun bumi tetap sama.” Dalam rentang refleksi tentang rotasi waktu, hanya manusia yang larut di dalamnya. Allah tetaplah abadi.***(Valery Kopong)

Friday, November 18, 2022

Merdeka Berpikir

 

Menilai perdebatan di SMA Tarsisius Vireta tentang kurikulum cukup menarik perhatian. Anak-anak SMA/SMK sekaligus peserta lomba ternyata memiliki data tentang kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka  yang cukup kuat dan dengan data itu mereka bisa beradu argumentasi. Perdebatan yang menarik ini bisa melahirkan pertanyaan penting bagi kita. Seberapa penting pengaruh kurikulum terhadap dunia pendidikan dan dampaknya pada anak-anak sekolah? Pertanyaan ini menjadi penting karena sepanjang sejarah perjalanan pendidikan Indonesia, sudah beberapa kali terjadi pergantian kurikulum. Kesan kuat yang muncul adalah setiap kali pergantian presiden, pada saat yang sama, kurikulum diganti dan ditawarkan kurikulum yang baru.

Pada masa pemerintahan Jokowi ini, menteri pendidikan menggulirkan kurikulum baru yang “dibaptis” dengan nama kurikulum merdeka. Walaupun penerapan kurikulum ini masih terbatas namun esensi utama dari kurikulum ini lebih menekankan pada proses pembelajaran. Ada empat kekuatan pokok yang bisa memberi warna kurikulum merdeka ini, yakni:  struktur kurikulum lebih fleksibel, fokus pada materi esensial, penggunaan beragam perangkat ajar, pemanfaatan teknologi digital.

Terkait materi debat tentang kurikulum, cukup banyak disoroti mengenai pemilihan materi esensial pada kurikulum merdeka dan pada kurikulum 2013 lebih banyak materi yang dibebankan pada siswa. Pemilihan materi esensial pada kurikulum baru ini mengingatkan kita akan penerapan kurikulum di beberapa negara dengan memperhitungkan juga dunia kerja. Rancangan kurikulum dalam dunia pendidikan, tidak bisa berdiri sendiri tetapi juga para perancang kurikulum harus mampu adopsi kurikulum itu dengan konteks dunia kerja. Mengapa harus ada keterkaitan antara kurikulum dengan dunia kerja? Karena seluruh proses pembelajaran itu harus diimbangi dengan dunia kerja sebagai basis akhir dari proses pencarian kerja bagi anak-anak yang lulus sekolah.


Rancang bangun kurikulum mestinya menjawabi tantangan pada dunia kerja. Sebagai contoh di negara Thailand yang menghidupkan dunia pertanian modern, maka  kurikulum yang dirancang mendukung dunia kerja terutama menghidupi dunia agrikultura. Dengan dukungan pendidikan ini maka orientasi masyarakat sebagai produk akhir dari pendidikan, menyiapkan skill yang baik untuk langsung terpakai pada dunia kerja. Untuk Indonesia sendiri, belum menentukan jati diri, apakah sebagai negara agraris atau industri? Namun rancangan kurikulum dan perhatian pemerintah lebih mengarah pada dunia industri dan teknologi. Karena itu anak-anak perlu dipersiapkan secara maksimal tentang dunia industri dan teknologi melalui pemilihan materi esensial.***(Valery Kopong)

 

 

 

 

Wednesday, November 16, 2022

Relasi Mutualistik

 

Menjadi juri pada lomba debat di SMA Tarsisius Vireta merupakan sebuah kehormatan. Memposisikan diri sebagai seorang juri dalam lomba debat, harus jeli melihat esensi debat dan kronologi pemaparan materi secara sistematis serta bagaimana membangun pertahanan gagasan itu. Banyak  tema yang disodorkan oleh panitia untuk diperdebatkan. Ada tema tentang penggunaan media sosial, kurikulum, pembangunan infrastruktur di Jawa dan luar pulan Jawa, serta tak kalah penting adalah tema tentang pengembangan UMKM secara daring. Penulis sendiri mencoba untuk menelisik tema-tema ini secara lebih detail. Tulisan kali ini saya mencoba mengupas esensi debat terkait pengembangan UMKM secara daring.

Bagi saya secara pribadi, tema ini menarik karena bisnis daring yang dikembangkan saat ini memberikan peluang pada hampir setiap orang untuk bersaing. Bagi kelompok yang pro dalam debat itu melihat bahwa adanya bisnis secara daring memberikan kemudahan bagi para pembeli untuk memesan barang dan menerimanya di rumah. Dengan sistem penjualan seperti ini memberikan kesempatan pada setiap orang untuk mengembangkan kemampuan berbisnis dan juga mengembangkan ekonomi keluarga.

Sementara itu, dari kelompok yang kontra dalam debat itu, melihat bisnis secara daring tidak sekedar sebagai peluang yang menguntungkan tetapi juga membawa kebuntuan, baik bagi penjual maupun bagi pembeli. Secara jeli, kelompok kontra ini melihat kasus yang sedang terjadi, seperti traksaksi pembayaran dengan menggunakan struk palsu dan juga identitas pribadi bisa dilihat pada ruang publik.    

Dari materi debat tentang bisnis daring yang semakin hangat diperdebatkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar masyarakat kita, baik masyarakat kota maupun masyarakat desa, masih enggan untuk belanja secara online. Alasan utama, mengapa kebanyakan orang belum sepenuhnya belanja secara daring karena takut terjadi penipuan dan juga apa yang dibeli itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Dengan itu, mereka lebih cenderung menghidupi cara belanja secara langsung, karena bisa memudahkan memilih barang-barang yang menjadi kesukaan dan bisa bertraksaksi. Sedangkan bagi mereka yang tidak mau membuang-buang waktu untuk belanja, lebih senang mengadakan transaksi secara daring dan sekaligus siap menanggung resiko.


Dari hasil debat itu, pada akhirnya mendapatkan catatan dari para juri. Sebagai salah satu tim juri, saya sendiri melihat berbisnis tidak lebih dari sebuah pertarungan, mirip strategi peperangan dalam dunia militer.  Dalam membangun bisnis, perlu adanya strategi yang harus dirancang untuk mempertahankan bisnis  dan juga strategi untuk menciptakan peluang-peluang baru dalam berbisnis. Para pebisnis yang muncul beriringan dengan teknologi dituntut kreatif dan menempatkan daya kreatif mereka sebagai bagian dari proses pertahanan ekonomi. Seni berbisnis saat ini tidak semata-mata memperlihatkan kreasi yang manipulatif tetapi juga membangun seni mencintai pembeli sebagai rekan yang menyokong kehidupan dan pada akhirnya menawarkan relasi mutualistik.***(Valery Kopong)   

Tuesday, November 15, 2022

"Hidup Jadi Berkat"

 

Beberapa waktu lalu, tepatnya di hari pahlawan, seorang perempuan yang pernah mendonorkan ginjalnya ke salah seorang yang membutuhkan, meninggal dunia. Kepergiannya cukup mengagetkan dan mengundang perhatian publik. Setahun sebelumnya, Fransisca Ncis mendonorkan ginjalnya pada Budi, seorang yang gagal ginjal. Budi bukan keluarganya tetapi karena keprihatinan maka ia berani memberikan ginjalnya, organ tubuh yang sangat vital untuk diberikan kepada orang yang membutuhkan. Apa yang dilakukan oleh Fransisca Ncis merupakan “tindakan heroik” untuk menyelamatkan orang lain. Ia menempatkan penderitaan orang lain (Budi) sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam hidupnya.


“Organ tubuhmu tak diperlukan di surga, tapi diperlukan di dunia.” Kata-kata yang keluar dari mulut seorang Fransisca Ncis ini menggambarkan sikap peduli pada sesama manusia  yang tengah berziarah di dunia ini. Bahwa segala hal yang fana, termasuk organ tubuh masih bermanfaat jika kita masih hidup di dunia ini sejauh diberikan pada orang yang tepat dan pada situasi yang tepat pula. Memang organ tubuh tidak diperlukan di surga karena ketika manusia mati, jazadnya melebur dan menyatu dengan tanah, ibu pertiwi.

 

Dalam refleksi iman, kita bisa melihat pengorbanan diri seorang Fransisca Ncis berkaca pada sikap imannya akan Kristus yang diimani. Kehadiran Yesus di dunia ini membawa suatu harapan baru bagi manusia yang telah ditebus dengan darah dan nyawa-Nya di atas kayu salib. Pengalaman salib bukanlah pengalaman buntu tetapi pengalaman salib membawa puncak keselamatan dunia. Sebagai pengikut Kristus, penderitaan yang dilalui oleh Yesus adalah jalan terjal untuk memulihkan dunia dan menyelamatkan manusia. Hanya melalui pengalaman salib dan Jumat Agung, kita boleh bergembira merayakan warta kebangkitan Kristus pada Minggu Paskah.

Hidup yang sedang kita jalani ini tentu membawa dua sisi yang berbeda. Terkadang kita mengalami pengalaman kegelapan (pengalaman Jumat Agung) dan terkadang kita boleh merayakan kegembiraan Paskah setelah melewati jalan terjal kehidupan ini. Kita menyadari bahwa pengalaman pahit dan manis telah dilalui oleh Fransisca Ncis. Mendonorkan  ginjalnya pada Budi merupakan sebuah tindakan mulia. Ia rela berbagi pada orang lain, walaupun yang dibagi itu adalah hal yang sangat vital dalam hidup.  Dalam sikap imannya, ia menyatukan pengorbanannya dengan kurban Kristus di salib untuk melihat jeritan seorang Budi yang gagal ginjal itu sebagai orang yang wajib ditolongnya.  “Budi, penerima ginjal dari Fransiska Ncis turut mengantar kepergian abadi almarhumah. Kasih sejati memberi tanpa syarat. Budi akan membawa kenangan bersama Fransiska yang akan hidup selamanya. Melihat Budi menggenggam erat tangan Fransiska untuk terakhir kalinya, rasa haru menyeruak. Budi seolah berbisik: Sebagian dari dirimu akan terus hidup bersamaku." Hidup ini sudah jadi berkat.***(Valery Kopong)

 

 

 

 

Monday, November 14, 2022

Seruan Iman Bartimeus

 

Membaca Injil Luk. 18:35-43, memperlihatkan sebuah tindakan yang mengubah masa kelam si buta untuk menjadi melek dan bisa melihat kembali. Injil Lukas tidak memperlihatkan siapa sebenarnya si buta itu. Namun jika kita membaca Injil Markus 10:46-52, kita bisa melihat bahwa yang dimaksudkan dengan orang buta adalah Bartimeus. Menjadi buta bukan menjadi halangan baginya  untuk melihat Yesus. Namun justeru dalam kebutaan itu, ia sanggup melihat, siapa itu Yesus sesungguhnya.

Iman seorang Bartimeus sangat kuat. Ia berusaha untuk mencari tahu, siapa sesungguhnya Yesus akan lewat di jalan itu. Mendengar bahwa Yesus akan lewat, ia berusaha untuk mencari perhatian agar dirinya yang buta mendapatkan sentuhan kasih, terutama dari Yesus. Semakin ia mencari tahu dan semakin ia berteriak kencang, orang-orang di sekitarnya mengharapkan supaya ia diam. Namun ia berteriak:  “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!”  Kata-kata yang diucapkan oleh Bartimeus dan kemudian dijadikan sebagai gelar untuk Yesus, mengingatkan kita bahwa seorang Mesias lahir dari keturunan Daud. Mesias yang diramalkan kedatangan-Nya oleh nabi Yesaya dengan menyusuri jalan dan menjumpai orang-orang sekitar.

Kisah ini menarik dan penuh sensasi karena Bartimeus mendapatkan anugerah istimewa. Keterpurukan hidup dan tidak melihat dunia karena mengalami buta matanya, merupakan pengalaman yang menyakitkan. Tetapi pada titik perjumpaan dengan Yesus, ia mengalami titik balik dalam sejarah pengalaman hidup. Seperti Bartimeus yang buta, pernahkah kita mengalami anugerah istimewah dari Tuhan?  Sekecil apa pun pengalaman yang kita alami dalam hidup, pada saat yang sama kita mengalami kehadiran Tuhan. Mengalami kehadiran Tuhan, tidak menuntut kita harus buta terlebih dahulu, namun perlu membuka diri bagi kehadiran-Nya.


Perjumpaan membawa kegembiraan  tersendiri. Karena berjumpa dengan Yesus maka Bartimeus bisa mengalami dunia baru. Tetapi kerinduan terdalam untuk bisa melihat sangat bergantung pada iman seorang Bartimeus. Walau matanya buta namun ia sanggup melihat Yesus sebagai Mesias, penyelamat dengan mata batinnya. Sanggupkah kita mengalami kehadiran Tuhan dalam hidup?***(Valery Kopong)

 

 

Sunday, November 13, 2022

"Jalan Mamon"


 

Ketika mengikuti perhelatan demokrasi pada momentum pemilihan kepala desa dari jarak jauh, beberapa hal perlu mendapat sorotan. Pemilihan kepala desa dilihat sebagai pesta demokrasi yang mestinya membawa nuansa kegembiraan untuk memilih figur-figur yang dijagokan untuk memimpin desa itu. Tetapi fakta berbicara lain. Hajatan lima tahunan ini justeru memunculkan politik indentitas dan juga menjadi kesempatan pertarungan para anggota DPRD yang menjagokan incumbent yang selama ini berperan penting memuluskan jalannya menuju kursi terhormat itu. Mencermati dua fenomena ini menjadi menarik untuk ditelusuri karena politik primordial seperti ini mengabaikan figur-figur produktif yang menawarkan program-program unggulan dalam pemaparan visi dan misi itu.

Memang, dalam tataran nasional maupun tataran politik lokal, politik dengan mengedepankan aspek primordial seperti suku, dan agama menjadi identitas yang menekankan kedekatan dengan figur yang memiliki kesamaan dengan pemilih. Berpolitik dengan mengusung aspek primordial dalam tatanan masyarakat desa, jauh lebih berbahaya karena rentetan relasi kemargaan menjadi terganggu, tidak hanya urusan politik sesaat tetapi juga urusan-urusan adat. Jika si A berasal dari suku/marga A dan memilih untuk mendukung salah seorang figur dari suku/marga B maka ini menimbulkan sebuah pertanyaan di dalam kelompok masyarakat yang berasal dari suku/marga A. Orang yang bersangkutan menjadi musuh abadi dalam kalangan marga/suku A karena pilihan yang berbeda.

Menyimak pilihan bebas  si A yang berani melampaui batas suku/marga untuk memilih seorang figur dari suku/marga lain, tentu memiliki alasan yang kuat, terutama ketika terjadi pemaparan visi dan misi yang bisa memberikan harapan bagi para pemilih untuk melihat secara jernih, program-program unggulan yang ditawarkan oleh salah seorang figur, walaupun berasal dari suku / marga yang lain. Tindakan memilih secara bebas ini menjadi sebuah pembelajaran bahwa dampak dari politik identitas tidak membawa sebuah pencerahan. Karena itu jauh lebih penting jika menempatkan nilai demokrasi dalam konteks kebebasan nurani untuk memilih figur-figur mana yang tepat untuk memimpin desa.

Dalam konteks pemilihan kepala desa yang telah  berlangsung menyisahkan banyak persoalan, membuat masyarakat dan juga para penyelenggara semakin ruwet untuk memikirkan jalan keluar pemecahannya. Menurut penulis, budaya demokrasi yang mengedepankan asas LUBER (langsung, umum, bebas dan rahasia) masih jauh dari harapan. Soal kerahasiaan belum bisa terjaga karena masing-masing pendukung yang nota bene berasal dari suku/marga yang berbeda mencoba untuk menakar, berapa orang pemilih yang akan memilih figur si A dan juga berapa orang pemilih yang memilih si B. Kalkulasi ini dibuat berdasarkan teritori kesukuan / kemargaan yang di satu sisi baik bahwa masing-masing marga mengusung figurnya tetapi juga membawa dampak yang tidak baik karena memangkas kebebasan berdemokrasi. Kebebasan dipangkas demi politik primordial yang belum tentu menghasilkan figur yang diharapkan masyarakat.

Persoalan lain yang juga disoroti adalah keterlibatan anggota DPRD yang mendukung incumbent (petahana) dalam proses pemilihan kepala desa. Keterlibatan anggota DPRD tidak secara terang-terangan merupakan hal yang wajar karena bagaimanapun di desa yang sama dan suara-suara yang sama juga pernah mengantarkan anggota dewan tersebut untuk duduk di kursi terhormat itu. Tetapi menjadi persoalan adalah ada dugaan gelontoran dana pada salah satu figur yang dijagokan oleh anggota dewan tersebut. Perilaku ini tidak memberikan pendidikan politik yang baik pada masyarakat. Di satu sisi, selama ini digaungkan demokrasi berjalan secara normatif dan jauh dari money politic tetapi di sini lain, praktek money politic pada basis politik paling bawah sedang ditumbuh-suburkan.

Figur calon kepala desa yang didukung oleh anggota dewan dalam kalkulasi politik, mengarah pada kemenangan. Sokongan dana menjadi mesin penggerak utama dalam meraih kemenangan, apalagi orang-orang kampung yang umumnya gampang dibeli suaranya dengan uang. Uang menjadi daya tarik utama untuk memilih figur yang menawarkan jalan mamon itu. Dalam saat-saat terakhir pemilihan itu berlangsung, tim sukses terus bergerilya untuk menawarkan transaksi politik dengan uang. Dalam hitungan sekejap, politik identas bisa dilupakan, dan orang ramai-ramai memilih figur yang manawarkan “mamon” (uang) sebagai ikatan politik sesaat. Di bawah  “remang-remang” politik pedesaan ini, kita bertanya diri, apakah pemilihan kepala desa merupakan hajatan orang kampung atau hajatan anggota dewan?*** (Valery Kopong)

Thursday, November 10, 2022

Menjadi Pahlawan Untuk Diri Sendiri

 

Banyak cara yang dilakukan untuk memperingati hari pahlawan yang jatuh tepat pada 10 November. Keluarga besar SD Insan Teratai mengisi hari pahlawan ini dengan menampilkan tarian, musik angklung dan juga fashion show dari masing-masing kelas. Setiap anak mengenakan pakaian yang memperlihatkan profesi tertentu. Ada yang mengenakan pakaian, layaknya sebagai seorang dokter, polisi, tentara dan beberapa profesi lain.

Memaknai hari pahlawan ini, masing-masing anak memahaminya dalam konteks kekinian. Jika pahlawan tempo dulu yang dilihat sebagai pejuang yang mengusir penjajah maka dalam konteks kekinian, anak-anak berusaha memahami pahlawan sebagai pejuang yang memberikan spirit untuk bekerja dan mengabdi pada negara. Profesi seorang dokter misalnya, berusaha sedapat mungkin dengan keilmuan yang ada, berjuang menangani pasien. Karena itu seorang dokter di mata seorang pasien, tentu dilihat sebagai pahlawan yang mampu mengatasi penderitaannya dan memulihkan kembali dari sakit yang diderita.

Sebagai seorang guru, tetap menjadi seorang pahlawan bagi anak-anak didik. Setiap waktu, seorang guru berjuang mendampingi anak-anak dalam proses pembelajaran. Seorang guru, berdiri pada garis depan untuk setia mendampingi anak-anak dalam  menatap masa depan generasi muda. Di mata seorang murid, guru adalah pahlawan yang setia menemani mereka di saat mereka menapaki jalan panjang meraih cita-cita.

Keceriaan anak-anak memperlihatkan keceriaan masa depan. Menjadi seorang murid, menjadi seorang pembelajar yang terus menggali pengetahuan baru untuk membangun kualitas diri. Sekolah Insan Teratai yang berdiri tegak itu, memberikan harapan bagi mereka yang masih mengais masa depan melalui jalur pendidikan. Sejarah munculnya peringatan Hari Pahlawan ini mengacu pada peristiwa pertempuran pada 10 November 1945 di Surabaya. Memang moment ini kita mengenang kembali jasa para pahlawan di masa lalu dan sekaligus bagaimana kita menanamkan nilai-nilai kepahlawanan pada generasi muda saat ini.


Menjadi pahlawan dalam konteks saat ini, tidak berarti harus mengorbankan nyawa demi orang yang kita bela. Namun setiap orang bisa menjadi pahlawan untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Kita menjadi pejuang untuk memberantas kemiskinan, kemelaratan dan membangun masa depan yang lebih baik. Beranilah menjadi pahlawan untuk diri sendiri.***(Valery Kopong)