Monday, April 12, 2021

Ayub

 

Membaca sebuah info singkat di media sosial cukup menggelitik pasca tragedi di Adonara dan Lembata. Puluhan nyawa menjadi korban dan harta benda tersapu bersih oleh banjir bandang yang terjadi pada dini hari, 4 April 2021. Sebuah momentum yang sedikitnya paradox karena pada saat yang sama, umat Katolik sedang merayakan kebangkitan Kristus, namun suka cita itu berubah menjadi duka cita mendalam atas tragadi yang memilukan itu. Puluhan orang meregang nyawa seketika dan bahkan banyak sekali tertimbun lumpur dan batu sehingga sulit dicari.

Dalam proses pencarian korban, seorang pegiat sosial menemukan sebuah kitab suci yang sudah bercampur lumpur. Kitab suci yang ditemukan dalam kondisi terbuka ini, persis memperlihatkan kitab Ayub yang berada dalam kondisi terbuka. Mengapa ini menjadi menarik di saat kondisi masyarakat yang terkena musiba itu? Apakah ini merupakan peringatan akan tokoh Ayub yang semasa hidupnya bertahan dalam penderitaan? Ayub menjadi tokoh penting dalam perjanjian lama sekaligus memberikan inspirasi bagi orang-orang yang kehilangan harapan. Kita tahu bahwa Ayub ketika berada dalam penderitaan, ia diejek bahkan disuruh untuk tidak lagi mengimani Allah.

Namun dalam kondisi yang memprihatinkan itu, Ayub mengatakan bahwa apakah kita hanya menerima hal yang baik saja dari Allah, sedangkan hal yang jelek seperti penderitaan harus kita tolak? Ayub tentu memahami makna terdalam dari hidup ini yang selalu memberikan sebuah keseimbangan hidup. Hidup yang kita jalani ini tidak harus memperlihatkan hal yang menggembirakan saja tetapi juga hal yang menyedihkan. Bahwa tragedi yang diterima di dalam hidup merupakan sesuatu yang wajar dan sekaligus mengingatkan kita sebagai manusia yang rapuh dan tak berdaya di hadapan Allah.

Dalam kondisi banjir bandang yang memiriskan itu, tokoh Ayub menjadi sumber inspirasi yang bisa membangunkan harapan kita, terutama para keluarga korban untuk bangkit kembali dari keterpurukan hidup. Hidup ini hanyalah sementara dan Allah dengan caranya tersendiri memanggil pulang manusia dari dunia ini dengan cara yang unik dan tragis. Dalam situasi duka itu, bersama Ayub kita pun berkata: “Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang mengambil. Terpujilah Dia.” (Valery Kopong)