Wednesday, May 25, 2011

Pilatus Cuci Tangan (Mencermati kasus Bansos di Sikka)

Oleh Hendrik Nong, belajar teologi pada STFK Ledalero, tinggal di Pastoran St. Thomas Morus Maumere

Kisah Pilatus cuci tangan
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, khususnya keempat Injil, Pilatus dikisahkan sebagai seorang penting di kalangan orang-orang Yahudi pada masa itu. Pilatus bukanlah seorang yang berasal dari kalangan Yahudi. Namun, padanya ada kuasa atas kehidupan orang-orang Yahudi yang berada di wilayah kekuasaannya. Ia berkuasa untuk menentukan nasib hidup kebanyakan orang. Dari mulutnya keluarlah perintah-perintah yang harus ditaati. Bila Pilatus berbicara, semua rakyat yang berada di bawah kuasanya harus turut. Bila ia memberi perintah supaya seseorang dihukum, maka seseorang itu harus dihukum.

Sebaliknya, bila ia menghendaki agar seseorang dibebaskan, maka seseorang itu harus dibebaskan. Pilatus juga berkuasa untuk memerintahkan orang-orang atau kalangan tertentu untuk bertindak atas dirinya. Tentu saja, perintahnya tidak harus tertulis.

Orang-orang Yahudi tahu akan kapasitas seorang Pilatus sebagai penguasa. Karena itu, mereka mengadukan Yesus kepada Pilatus untuk dihukum. Orang-orang Yahudi; para ahli taurat dan imam-imam kepala (dan rakyat jelata yang mereka hasut) menuntut Pilatus untuk menggunakan kekuasaannya atas diri Yesus. Pilatus sendiri pun tahu dan sadar akan kekuasaan yang dimilikinya. Maka, ketika pengaduan itu datang kepadanya, ia tidak menyia-nyiakannya. Dia menunjukkan kepada semua orang bahwa memang dialah orang yang berkuasa. Dengan berkata kepada orang banyak, "Maukah kamu, supaya aku membebaskan raja Orang Yahudi bagimu?" (Yoh 18:39b), dan kepada Yesus, "Tidakkah Engkau tahu, bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?" (Yoh 19:10b), Pilatus hendak mengatakan dirinya sebagai seorang penguasa.

Satu hal yang menonjol dalam adegan penyaliban Yesus ialah 'permainan' yang dilakukan oleh Pilatus dan orang-orang Yahudi. Pilatus sebagai pihak yang memegang kekuasaan melakukan 'tawar-menawar' dengan orang-orang Yahudi yang memiliki tuntutan. Kepentingan masing-masing pihak dipertaruhkan! Bila Pilatus tidak menggunakan kekuasaan untuk memenuhi tuntutan orang-orang Yahudi, maka kekuasaannya terancam dicopot, karena "Jikalau engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat Kaisar." Dan, pada pihak imam-imam kepala orang-orang Yahudi, bila Pilatus menolak tuntutan mereka, maka eksistensi mereka di hadapan orang-orang Yahudi sendiri terancam hilang. Bukankah sejak Yesus tampil di hadapan umum dengan mengajar dan melakukan banyak mujizat, para ahli taurat dan imam-imam kepala kehilangan simpatisan?

Adegan itu diakhiri dengan keputusan Pilatus menyerahkan Yesus kepada orang-orang Yahudi untuk dihukum dan disalibkan menurut aturan hukum Yahudi sendiri. Di sini mulai tampak dengan jelas kelicikan seorang Pilatus. Di satu pihak, kekuasaan Pilatus tidak akan diganggu. Dengan menyerahkan Yesus untuk dihukum dan disalibkan, Pilatus tetap diakui sebagai sahabat Kaisar. Dan itu menjadi jaminan untuk kelanggengan kepemilikannya atas kekuasaan. Di lain pihak, Pilatus membebaskan dirinya dari perasaan bersalah. Dengan cara membasuh tangan dan berkata, "Aku tidak bersalah atas darah orang ini!" (Mat 27:24), Pilatus merasa benar atas keputusannya. Demikianlah, Pilatus hidup dalam kekuasaannya yang tidak diganggu dan terhindar dari perasaan bersalah, tetapi orang-orang Yahudi yang menyalibkan Yesus mewarisi kesalahan terbesar, menyalibkan seorang yang tidak bersalah!

Kasus Bansos di Sikka
Dari kisah tentang Pilatus yang licik, saya mengajak kita untuk mencermati kasus Bansos yang terjadi di Kabupaten Sikka. Kasus ini terkuak setelah BPK RI Perwakilan NTT menemukan penyimpangan-penyimpangan dalam penggunaan dan pertanggungjawaban oleh pihak yang mengelola keuangan untuk kesejahteraan rakyat itu.

Pansus DPRD menemukan bahwa ada sejumlah pejabat legislatif dan eksekutif yang terlibat dalam kasus hilangnya dana miliaran rupiah ini. Para pejabat yang berkuasa untuk mengelola keuangan untuk kesejahteraan rakyat umum diduga menyalahgunakan Bansos. Orang-orang sederhana, rakyat jelata yang tidak berkuasa untuk mengelolanya dana Bansos tidak mungkin melakukan tindakan amoral itu. Jadi, dugaan ini bukanlah hal yang luar biasa.

Persoalannya adalah siapa yang berinisiatif untuk melakukan penyelewengan itu? Substansi kebenaran mesti diungkap secara tuntas! Kalau dikatakan bahwa para pejabat dalam lingkup legislatif dan eksekutif terlibat di dalamnya, maka pertanyaan menyusul adalah sejauh mana keterlibatan mereka? Apakah mereka semua adalah orang-orang yang berinisiatif untuk melakukan penyimpangan itu? Bisa jadi demikian; ada kesepakatan bersama untuk mengucurkan dana untuk dibagi-bagikan di antara mereka. Atau, apakah keterlibatan banyak pejabat merupakan akibat dari kesalahan yang dilakukan orang tertentu, sehingga itu hanya merupakan satu taktik untuk melindungi diri? Melindungi diri dengan cara melibatkan banyak pejabat dan pejabat-pejabat itu memanfaatkan kesalahan pejabat tertentu untuk memperkaya diri?

Beberapa pernyataan sudah terungkap dari beberapa pejabat penting di daerah ini. Bukan hanya pernyataan, melainkan juga reaksi psikis dalam menanggapi dugaan-dugaan yang ditujukan kepada mereka. Akan tetapi, berbagai pernyataan itu bukan untuk mengakui diri bersalah, melainkan keinginan untuk menghindar dari tuntutan pertanggungjawaban. Dalam upaya ini juga tindakan bunuh diri coba dilakukan (Flores Pos, Rabu 11 Mei 2011). Pernyataan terakhir, hingga tulisan ini dibuat, diberikan oleh Bupati Sikka, Drs. Sosimus Mitang (Flores Star, Kamis 19 Mei 2011). Meskin demikian, satu kebenaran yang tidak disangkal oleh pejabat-pejabat itu ialah adanya penyelewengan dan Bansos! Tidak ada (belum ada?) satu pun dari antara mereka yang menolak temuan BPK RI Perwakilan NTT atas penyelewengan dana Bansos sebesar 10,7 miliar itu.
Rp 10,7 miliar! Angka yang teramat besar. Siapa yang berani menggunakan uang sebesar itu untuk sesuatu yang salah?


Siapa yang berani mengeluarkan uang sebesar itu kalau tidak didukung dengan kekuasaan yang sepadan? Menurut akal sehat, uang sebesar itu, bila penggunaannya dilakukan dengan pengetahuan bahwa akan dituntut pengembaliannya (ganti rugi), maka itu lebih pasti dilakukan oleh orang yang memiliki kekayaan yang melebihi angka itu. Pertanyaannya, siapakah dari antara mereka yang memilikinya? Berapakah gaji para pejabat di daerah ini yang bisa melebih 10,7 miliar? Bupati saja mungkin tidak mampu mengembalikan uang sebesar itu bila hanya menggunakan gaji atau kekayaan yang dimilikinya.

Kalau demikian, kita perlu menduga bahwa itu lebih pasti dilakukan oleh orang yang mempunyai kuasa tidak hanya memerintah untuk menggunakan uang itu, tetapi juga berkuasa untuk mengadakan dana baru yang sepadan untuk menutupi penyalahgunaan atas dana terdahulu.

Pilatus dan kasus Bansos
Pilatus berhasil mengamankan kekuasaannya dari pemecatan yang bisa saja terjadi bila ia menolak tuntutan Ahli-ahli Taurat dan Imam-imam Kepala, karena ia dipandang bukan sebagai sahabat kaisar. Pilatus juga membebaskan dirinya dari perasaan bersalah dengan cara menyerahkan Yesus kepada orang-orang Yahudi untuk menghukum dan menyalibkan Yesus. Tampak di sini, Pilatus menampilkan diri sebagai seorang yang haus akan kekuasaan dan sebagai seorang penguasa yang ingin dipandang baik oleh semua orang lain. Ia adalah seorang yang lihai dalam menggunakan kekuasaan. Dengan berkata-kata saja ia bisa mengamankan diri. Seperti inikah pelaku (pejabat) dalam kasus Bansos di Sikka akan bermain? Apakah dengan kata-kata yang mengandung kuasa mereka akan mengamankan diri, meski korban tentu saja tidak akan terelakkan? Seperti Pilatus, mereka kehilangan kualitas moral dalam dirinya!

Merujuk pada temuan BPK RI Perwakilan NTT, maka adanya penyimpangan dalam penggunaan dana Bansos tidak dapat diragukan. Kebenaran ini menuntut terungkapnya pelaku penyimpangan. Pilatus tidak akan membiarkan dirinya kehilangan kekuasaan dan dicela sebagai orang yang tidak bermoral di dalam penerapan kekuasaannya. Di dalam kasus Bansos, pejabat yang telah meraup keuntungan tidak akan menunjukkan dirinya bersalah karena hal itu akan mengancam kenyamanan kekuasaannya. Tidak hanya kekuasaan yang dijaganya, tetapi juga berusaha untuk menunjukkan diri sebagai orang yang (seolah-olah) bermoral. Dengan melimpahkan kewenangan kepada orang-orang Yahudi untuk menghukum dan menyalibkan Yesus, Pilatus berhasil! Apakah dengan menyerahkan kekuasaan kepada orang-orang tertentu untuk mengucurkan dana itu, seorang pejabat juga berhasil? Bukan tidak mungkin bila hal itu dilakukan dengan perintah lisan yang tidak dapat dipegang namun mengandung kuasa.

Kebenaran temuan BPK RI Perwakilan NTT harus ditunjang dan diteguhkan dengan pengungkapan secara meyakinkan adanya penyalahgunaan kekuasaan dari pejabat. Bila kita mengatakan bahwa tidak ada pelaku di dalam penyimpangan itu, maka kita mementahkan kebenaran dari temuan BPK. Karena suatu penyimpangan dalam skala demikian tidak akan terjadi bila tidak dilakukan oleh orang yang berwenang di dalamnya. Sampai di sini, kita boleh bertanya, apa yang bisa diharapkan untuk mengungkapkan secara tuntas kebenaran itu? Sekali lagi, Pilatus tidak akan membiarkan dirinya kehilangan kekuasaan dan harga diri di hadapan rakyat. Satu-satunya jalan adalah hukum. Jalur hukum mesti ditempuh. Untuk maksud ini, kredibilitas moral para penegak hukum akan sangat menentukan. Janganlah hukum dan penegak hukum menjadi sarana uang dan kekuasaan! *

No comments: