Thursday, April 17, 2008

UJIAN NASIONAL: EPILOG TANPA MAKNA



Oleh: Valery Kopong*

Pemberlakuan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), semata-mata sebagai pemberi arah dalam dunia pembelajaran. Pemberi arah di sini lebih dimengerti sebagai pedoman baku yang dapat memberi gambaran secara kolektif tentang materi, sistem penilaian dan pelbagai permasalahan lain yang termuat di dalamnya.

KTSP memiliki keterkaitan yang erat dengan ujian, baik itu ujian semester maupun ujian Nasional. Tetapi yang tetap menjadi problem utama di sini adalah apakah ujian nasional menjadi sentral penentu mutu suatu pendidikan? Kalau ujian nasional dilihat sebagai penentu mutu dalam dunia pendidikan maka penulis dapat menilai bahwa pendidikan yang terselenggara tidak lebih sebagai “sebuah sandiwara” yang terbagi dalam dua bagian penting yaitu prolog dan epilog. “Sandiwara dalam sistem pendidikan Indonesia” lebih menekankan epilog dengan menilai ujian nasional penentu akhir kualitas pendidikan ketimbang memaknai pendidikan sebagai suatu proses.

Sekolah yang dikelola secara profesional adalah sekolah yang tidak perlu menyelenggarakan ujian nasional karena ia (sekolah bermutu) lebih menekankan pada sistem pendidikan sebagai suatu proses. Pendidikan sebagai suatu proses adalah pendidikan yang lebih mengenal kemampuan dasar siswa yaitu kognitif, psikomotorik dan afektif. Pengenalan kemampuan dasar ini perlu diinvestigasi sejak awal ketika siswa yang bersangkutan masuk pada sekolah tersebut. Proses pematangan ketiga kemampuan dasar di atas menjadi suatu kebutuhan yang mendesak dan orang yang tahu persis kemampuan dasar ini adalah guru dan orangtua.

Oleh kemampuan mengenal ini maka semestinya dalam menguji kompetensi siswa entah dalam bentuk ujian, baik lisan maupun tertulis, seharusnya diserahkan kepada sekolah yang bersangkutan sebagai penyelenggara dan berhak mengujikan kemampuan para siswanya. Pemberian kewenangan pada para guru dalam memberikan ujian sendiri didasari pada dua faktor yakni, pertama, guru adalah pelaku aktif dalam membina dan mengajar para siswanya. Sebagai pelaku aktif, tentu ia tahu batas-batas kemampuan siswa sehingga dalam pembuatan soal juga harus disesuaikan dengan kemampuan mereka. Pengalaman selama ini sangat bertolak belakang dengan kondisi riil di lapangan. Guru yang mengajar dan mendampingi para siswa setiap hari tetapi pada saat penyelenggaraan ujian, justeru orang lain yang membuat soal dan mengujikannya. Pola pengujian seperti ini mirip dengan seorang sutradara yang membuat skenario film tetapi tidak tahu tentang selera publik yang beragam. Apakah soal-soal ujian yang diujikan selama ini melihat kemampuan dan selera publik (siswa)? Pemberlakuan ujian nasional yang berlangsung selama ini juga menyamaratakan kemampuan siswa, baik di tingkat kota maupun di desa-desa terpencil yang minim dengan sarana pembelajaran. Hal ini menunjukkan intervensi pemerintah (dinas pendidikan) yang terlalu kuat bahkan berupaya menyeragamkan pola berpikir pada seluruh siswa. Bukankah ini merupakan pemaksaan dan penindasan secara akademik?

Kedua, pendidikan adalah suatu proses. Dalam perkembangan selama ini, tahap-tahap selektif mulai dari tahun pertama sampai tahun terakhir dilihat sebagai tahap pemurnian. Tahapan seleksi yang dilakukan pada setiap kali menginjak jenjang yang berbeda, semestinya dilihat sebagai ujian yang berharga, yang bobotnya tidak jauh berbeda dengan ujian nasional. Proses seleksi seperti ini dilihat lebih human dan membuka kesadaran baru pada siswa untuk meraih sebuah masa depan yang lebih cerah.

Ujian Nasional, apabila ditelaah lebih jauh tentang hakikatnya, tidak lebih sebagai momok yang menakutkan siswa. Dia (ujian nasional) sebagai monster pembunuh masa depan siswa karena orientasi siswa ke depan mengalami ketersendatan ketika gagal pada 6 bidang studi yang dianggap “keramat.” Mungkinkah peta persoalan ujian bisa dijejaki dengan langkah lain yang lebih humanis dan fleksibel sesuai tuntutan “roh kurikulum?”

Dr.Paul Budi Kleden, SVD dalam artikel tentang “Sekolah Masyarakat,” secara vulgar menyoroti kelemahan ujian nasional ditengah dunia pendidikan Indonesia yang carut marut. Menurutnya, “gong yang ditabuhkan dalam kaitan dengan ujian nasional dengan segala permasalahannya patut menjadi momen untuk membuat refleksi atas dunia pendidikan di Indonesia. Kalau ujian nasional hendak dipakai sebagai alat ukur untuk menilai mutu pendidikan para siswa dan siswi, maka menjadi pertanyaan: mutu pendidikan macam mana? Penentuan mutu selalu berkaitan erat dengan penentuan tujuan. Maka pertanyaan lanjutannya adalah: apakah yang kita sepakati sebagai tujuan pendidikan?”

Tujuan pendidikan seharusnya dirumuskan secara jelas berbarengan dengan pemberlakuan kurikulum. Penentuan tujuan ini menjadi sebuah tuntutan mendesak karena tanpa penetapan tujuan pendidikan yang jelas maka para praktisi pendidikan dan pengelola pendidikan itu sendiri mengalami disorientasi. Apakah ujian nasional dapat mendongkrak mutu pendidikan kita? Ataukah mutu pendidikan menjadi mundur hanya karena ujian nasional yang kesannya sebuah proyek yang harus diselesaikan?***

*Penulis, Alumnus STFK Ledalero, Staf pengajar pada SMA Vianney, Jakarta Barat

Wednesday, April 16, 2008

ROHTO: MEMPERPANJANG KISAH PENGLIHATAN


Oleh: Valery Kopong*

INTAN, sinetron fenomenal yang ditayangkan oleh RCTI menghadirkan sebuah kebohongan publik yang terpendam rapi oleh Rosa, isteri Rado, yang telah diubah paksa namanya menjadi Aditya. Rado, dalam sebuah peristiwa kecelakaan, mengalami kebutaan total pada matanya. Kebutaannya bertahan untuk beberapa lama. Dalam peristiwa lain yaitu kebakaran di salah satu kafe, ia (Rado) yang ada dalam peristiwa itu diselamatkan oleh Rosa dan matanya yang buta digantikan dengan mata Aditya, tunangan Rosa yang lebih dahulu meninggal.

Moment pengalihan mata di atas, menunjukkan sebuah perhatian intensif dan keterlibatan penuh dalam memaknai keberadaan mata bagi seseorang. Rado, seperti yang tercuplik dalam sinetron, mengalami “kegelapan sesaat” dalam peristiwa kecelakaan yang membutakan matanya. Kebutaan matanya menjadi praisyarat bahwa ruang gerak penglihatannya terkondisi oleh “tembok kebutaannya.” Dunia bagi Rado setelah buta, berada dalam situasi gelap. Ia hanya membayangkan dunia sekitarnya berdasarkan rekaman masa lalu saat kedua matanya melihat secara normal.

Rado dapat menuai keberuntungan baru dibalik kisah kecelakaan berikutnya. Ia diselamatkan dan kedua matanya digantikan dengan mata orang lain. Peristiwa penggantian mata ini hanya diketahui oleh Rosa sendiri karena Rado sendiri kehilangan daya ingat karena benturan yang menyebabkan kepalanya terluka dan gegar. Saat amnesia ini menjadi kesempatan emas bagi Rosa untuk membungkus rapi segala kebohongan atas perenggutan diri Rado dari keluarga dan Intan, tunangannya. Hampir semua orang yang mengenal pribadi Rado, selalu memanggil Aditya sebagai Rado. Tetapi yang menjadi alasan mendasar bagi Rosa untuk membenarkan diri yaitu Rado yang dikenal adalah Rado yang buta. Sekarang ia sudah dapat melihat, ia bukan lagi Rado melainkan Aditya.

Nama tidak menjadi alasan baku dan mendasar untuk menipu orang lain. Tetapi kondisi fisik terutama mata, dari yang buta, yang tidak dapat melihat kemudian dapat melihat, memungkinkan seseorang untuk keliru dalam mengenali lebih dalam. Mata telah membentuk kesempurnaan kepribadian seseorang. Lewat mata, orang dapat menilai kepribadian seseorang dan bisa ditafsir dari pelbagai dimensi hidup. “Mata ganti mata,” tidak dimengerti sebagai kekerasan dibalas dengan kekerasan, tetapi bagi Rado, ungkapan di atas memiliki makna terdalam yaitu ia terpaksa kehilangan mata tetapi pada akhirnya menemukan kembali penglihatan dengan meminjam mata orang lain. Terhadap peristiwa dalam penggalan sinetron, mendorong penulis untuk bertanya lebih jauh. Seberapa jauh peranan mata bagi seseorang? Apakah mata sebagai indera pertama yang membangun pengalaman empiris hanya semata-mata digunakan untuk sebatas melihat? Adakah nilai lain yang lebih berarti dibalik sorotan mata?

Mata: Jiwa dari Tubuh

Banyak ungkapan yang mengatakan bahwa “mata adalah jiwa dari tubuh”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa mata dapat memberikan spirit bagi indera-indera lain. Dengan melihat mata, orang dapat memberikan penilaian bagi indera-indera yang lain dan terutama kondiri riil kepribadian seseorang. Lewat mata, seluruh kondisi tubuh diarahkan untuk menelesuri jalan yang benar. Dalam arti tertentu mata dapat diibaratkan dengan “tongkat” yang setia menggembala untuk kawanan anggota tubuh lain yang tengah menelusuri peziarahan hidup ini. Dia (mata) memberi petunjuk dan memberi peluang bagi anggota tubuh yang lain untuk melangkah. Sebagai anggota tubuh lain yang selalu ditopang oleh tatapan mata, seharusnya menyadari bahwa kehadiran mata menjadi “motor primum”, penggerak utama bagi yang lain. Kehadiran mata di tengah anggota tubuh yang lain, adalah sebuah kehadiran yang istimewa karena melalui mata, ia telah memperkenalkan pada anggota tubuh lain tentang dunia di luar dirinya.

Apabila melihat sambil tidak merendahkan anggota tubuh yang lain, mata memegang peranan dan tanggung jawab yang sangat besar. Dia (mata) adalah koridor utama yang dapat memberikan stimuli bagi indera yang lain. Ia seakan mengajak anggota tubuh lain untuk terus terlibat dengan bercermin pokok pada mata. Karena itu, dalam kisah Rado yang kebutaan mata akibat kecelakaan, menjadi momentum pahit untuk menyadari kisah kehilangan secara kolektif. Kehilangan mata Rado seakan dapat membunuh masa depannya sendiri. Ia kehilangan orientasi hidup dan bersikap pasrah pada kenyataan, sambil menunggu sebuah mujizat yang bakal mendistorsi hidupnya yang terpuruk.

Hidup seorang Rado dalam sebuah episode sinetron itu memperlihatkan keprihatinan yang mendalam. Ia dibutakan matanya dalam peristiwa kecelakaan dan dalam musibah lain, ia hadir sebagai Rado yang sebenarnya. Di sini, dapat terbaca secara jeli akan peta perjalanan hidup Rado yang begitu getir. Ia disanggupkan untuk kehilangan mata oleh situasi rawan dan melalui pengalaman lain, ia menerima mata dalam kondisi ignoran. Ia menderita amnesia, suatu moment yang dimanfaatkan oleh Rosa untuk mengkondisikan ia sebagai Aditya.

Walaupun belum sadar secara menyeluruh, Rado yang kini menjadi Aditya, menunjukkan sebuah kelegaan karena menemukan kembali mata sebagai “mutiara yang telah hilang.” Menemukan mutiara itu adalah sebuah alasan bagi Rado untuk berbahagia. Menemukan sesuatu dapat dijadikan tujuan hidup dan perlu mewartakan pada publik tentang apa artinya mengalami dan menjadi sadar bahwa dirinya telah terselamatkan oleh mata orang lain dan membuka dunia baru baginya untuk mengenal realitas. Perubahan secara fundamental menjadi kesempatan baik untuk bertanya diri. Sudah sejauh mana mata memberikan peranan terhadap kehidupan setiap orang?

Mata memiliki daya mengubah, dia adalah kekuatan ampuh untuk dapat mematahkan atau menumbuhkan. Mata dapat mematahkan lawan, hal ini dapat dimengerti bahwa melalui sorotan mata yang tajam, orang yang disoroti matanya dapat hanyut dalam sorotan tersebut dan merunduk malu. Namun dalam tatapan mata juga, orang dapat menemukan pengalaman yang lain yaitu “cinta.” Melalui mata, orang dapat membahasakan jalinan cinta dan ketertarikan orang akan “aku-nya” (baca: sesama) yang lain. Di sini dapat dikatakan, mata membuka peluang untuk menumbuhkan yang lain dan menggerakkan kesadaran baru untuk membangun relasi dengan orang lain lewat “jembatan cinta.”

Relasi interpersonal yang dibangun lewat mata menunjukkan sebuah keterbukaan terhadap publik. Di sini dapat dimengerti bahwa mata memiliki peranan untuk mengeluarkan orang dari egonya untuk “ada” bersama yang lain. Martin Heidegger, seorang filsuf eksistensialis, telah mengungkapkan secara tepat tentang ada dan keberadaan manusia. Menurutnya, keberadaan manusia adalah “ada” untuk orang lain. Ketika menyadari keberadaannya sendiri, serentak itu pula manusia membangun refleksi tentang diri dan perhadapannya dengan orang lain.

Dalam konteks pandangan filsuf di atas, lebih memberatkan perhatian pada peranan mata sebagai media empiris yang memberikan impuls pada indera lain sebelum memulai komunikasi. Sebuah komunikasi yang komunikatif dan lebih produktif apabila si komunikator dan komunikan sama-sama berada di bawah empat mata. Model pendekatan komunikasi dengan mata sebagai tatapan awal sebuah perjumpaan dapat menjadikan pertemuan lebih intens dan berdaya makna.

Peranan Rohto Untuk Masyarakat Urban

Kehidupan kota Jakarta banyak menampilkan situasi polusif. Tanah dapat mengalami polusi karena keberadaan pabrik-pabrik yang membuang limbah tidak pada tempatnya. Dengan pembuangan limbah secara tidak terkontrol ini maka dapat terkontaminasi dengan air. Polusi lain yang lebih menghebohkan adalah polusi udara. Munculnya polusi ini disebabkan beberapa hal, pertama, kendaraan bermotor dan kedua, karena adanya pabrik, yang selain mengeluarkan limbah berupa cairan tetapi juga mengeluarkan asap.

Kondisi yang memprihatinkan ini semakin hari memperparah situasi hidup masyarakat urban. Kehidupan yang serba polusif ini memberi efek yang kurang baik terhadap kesehatan secara umum. Paru-paru bisa terganggu karena hampir setiap saat menghirup udara kotor dengan ketebalan kotornya melewati batas ambang normal. Tetapi yang lebih berbahaya adalah kondisi mata, yang apabila tidak terawat secara baik maka akan mengganggu penglihatan. Penulis punya pengalaman tersendiri dengan mata. Setiap hari, aku bekerja dengan mengendarai motor. Di samping melewati jejalan motor dan angkotan kota, sadar atau tidak saya sedang berjejal dan bertarung hidup dengan kepulan asap hitam. Melalui pertarungan seperti ini sebenarnya saya sedang menggadaikan kesehatan pada situasi yang polusif. Mata menjadi sasaran pertama dari kepungan asap hitam. Mataku perih dan kemerah-merahan. Setetes Rohto Tears membalut permukaan mataku yang merah itu. Seketika itu aku merasakan ada perubahan yang signifikan yaitu aku dapat melihat secara jernih dengan bantuan Rohto. Bagi saya, Rohto adalah penyelamat pertama yang sanggup membentengi hidup saya dari kebutaan.

Menelusuri kehadiran Rohto dalam pentas kehidupan masyarakat kota, memungkinkan saya untuk berefleksi lebih dalam tentangnya. Keberadaanya turut memberi makna pada manusia terutama masyarakat kota. Keberadaannya bukanlah suatu kebetulan saja tetapi ia lahir dari sebuah tuntutan situasi. Karena lahir dari desakan situasi maka perlu untuk meninjau kembali tentang hubungan kausalitas yang mengedepankan sebab dan akibat kemunculan obat ini. Hubungan kausalitas yang dimaksud adalah hubungan yang menampilkan sebab dan akibat dari keterlahiran sesuatu. Sesuatu itu bisa ada karena disebabkan oleh yang lain. Tak sesuatu pun di dunia ini yang lahir dari suatu kekosongan.

David Hume, filsuf berkebangsaan Inggris pertama-tama memberikan gagasan penting tentang cara pandang “kausalitas.” Untuk dapat memahami sebuah kausalitas secara utuh maka perlu menghadirkan beberapa variabel yang mempunyai hubungan korelatif antara satu dengan yang lain. Kalau menelusuri permasalahan kehidupan kota dengan tingkat polusi yang tinggi dan hadirnya Rohto sebagai obat mata yang efektif untuk masyarakat kota maka akan tertemukan dua variabel yang saling bersinggungan. Variabel pertama yaitu: tingkat polusi udara yang tinggi dan kedua adalah kehadiran obat mata, Rohto. Dua variabel ini masing-masing berperan sebagai variabel bebas dan varibel terikat. Varibel terikat nampak jelas terlihat pada substansi udara yang tidak kondusif dan kesannya bahwa keadaan seperti ini berlangsung secara permanen. Sedangkan variabel bebas adalah munculnya obat mata Rohto sebagai salah satu penawar rasa perih pada mata sebagai akibat adanya udara yang kotor.

Bila melihat secara jeli dan kritis, bangunan variabel yang termuat di atas, sedikit sekali menemukan titik kesalahan. Keterkaitan situasi dan keberadaan Rohto sebagai obat mata bukanlah suatu kebetulan belaka. Ia lahir dari sebuah tuntutan situasi dan dalam situasi yang sama orang berusaha untuk berperan secara maksimal untuk publik yaitu dengan memproduksi obat mata tersebut. Kehadiran orang lain dan produktivitasnya memberi makna secara global. Makna yang ditawarkan sebagai representan kepedulian orang (PT. Rohto) menembus ke dalam setiap lini kehidupan. Kehadirannya memperpanjang kisah penglihatan untuk masyarakat urban.

Masyarakat urban dengan dinamika kehidupan yang berbeda, telah berperan menyatuleburkan pelbagai kelompok manusia dari strata sosial yang berbeda untuk merasakan sentuhan kelembutan Rohto. Rohto sebagai pembersih mata memperlihatkna diri sebagai penyelamat awal bagi publik. Dengan pembersihan seperti ini membuka kesempatan bagi publik untuk menegaskan diri sebagai orang yang berkepribadian sehat dan melaksanakan aktivitas secara paripurna.

Dalam konteks peranan Rohto di atas, memberi peluang pada penulis untuk membahasakan bahwa Rohto adalah “jiwa utama” untuk masyarakat urban yang secara kontinu memperhatikan masalah kesehatan mata yang secara langsung mengena dengan karier. Hanya orang-orang yang memiliki mata yang sanggup bekerja secara baik dan maksimal. Tanpa mata atau mata yang berada dalam kondisi sakit memperlihatkan seluruh anggota tubuh turut berbela rasa dan dengan demikian, seluruh kepribadian bisa terganggu.

Memang dapat diakui bahwa populasi pengguna Rohto untuk masyarakat kota tidaklah merata, dalam artian bahwa hanya sebagian besar yang tahu secara baik fungsi obat yang bersangkutan dan dapat memanfaatkan secara kontinu. Melalui hubungan kausalitas seperti ini dapat terbaca bahwa populasi pengguna Rohto berasal dari kelas menengah ke atas dan yang setiap hari melewati jalan raya untuk bekerja dan harus bergumul dengan kehidupan kota yang telah terpolusi.

Rohto telah memperpanjang denyut nadi kehidupan masyarakat urban. Kehadirannya turut memberi makna kehidupan bagi yang lain. Ia telah menyapu kabut mata dan memberikan purifikasi diri terhadap masyarakat urban. Ia telah menyanggupkan mata untuk melihat dunianya lewat kemujaraban. Walaupun mata bisa melihat dunia lain tetapi ia (mata) tidak sanggup melihat matanya sendiri. ***


KEPUSTAKAAN

Kleden, Paulus Budi. 2002. Aku Yang Solider, Aku Dalam Hidup Berkaul. Ledalero. Flores

Sindhunata, G.P. 1988. Air Penghidupan (Peziarahan Mencari Diri). Kanisius. Yogyakarta

Strathern, Paul. 1997. 90 Menit Bersama Nietzsche. Erlangga. Jakarta

MENULIS ITU MUDAH

Menulis merupakan sesuatu yang menyenangkan, sejauh penulis itu memahami cara-cara penulisan dan kepada siapa tulisan itu ditujukan atau dibaca oleh publik. Sebagai penulis pemula, sebaiknya mempelajari semua jenis tulisan, entah itu puisi, cerpen, maupun prosa. Menulis pada akhir-akhir ini kurang diminati oleh para siswa. Rendahnya minat menulis ini barangkali disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah kemampuan diri seorang siswa yang kurang atau tidak diberdayakan sama sekali. Sedangkan faktor eksternal lebih menyangkut pada pelatihan menulis yang diberikan oleh para guru.
Dengan memberikan tugas-tugas yang sederhana seperti meliput peristiwa dan melaporkannya merupakan salah satu cara dalam membiasakan anak dalam menulis. Karena menulis bukan dilatih untuk sekali dan jadi tetapi butuh sebuah proses panjang maka sebaiknya perlu adanya pendampingan berkelanjutan terhadap anak didik. Media-media yang dapat dijadikan dalam proses ekspresi diri (tulisan) adalah majalah dinding dan koran atau majalah sekolah. Tetapi sayang, majalah-majalah dinding di hampir setiap sekolah tidak dikelola secara baik. Yang tampak terlihat hanyalah papan kosong tak berisi. Karena itu, mari kita mulai melatih diri untuk menulis karena dengan menulis, begitu banyak hal yang diperoleh.***