Wednesday, May 25, 2011

Jalan Terjal Capres Independen

Oleh Bill Nope ( Dosen FH Undana, Mahasiswa Hukum Kenegaraan UGM )

DEWAN Perwakilan Daerah telah menyerahkan penyusunan draft atau rancangan perubahan kelima Undang-Undang Dasar 1945 kepada DPR pada akhir maret lalu. Terdapat beberapa isu penting dalam draft perubahan UUD 1945 ini, antara lain : calon presiden independen, memperkuat sistem presidensil, memperkuat lembaga perwakilan, memperkuat otonomi daerah termasuk memperkuat kewenangan DPD.

Wacana yang paling mengemuka di kalangan para ahli maupun masyarakat atas usulan ini adalah tentang hadirnya calon presiden independen yang usulannya terdapat dalam Pasal 6 A UUD 1945 berubah menjadi “Pasangan calon presiden dan wakil presiden berasal dari usulan partai politik peserta pemilihan umum atau perseorangan”. Dalam Pasal 37 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan “Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

Usulan perubahan konstitusi oleh DPD ini masih membutuhkan perjuangan berat. Mengapa? DPD hanya terdiri dari 132 anggota, ini tentunya belum memenuhi syarat sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Artinya, usulan perubahan konstitusi kita yang disokong DPD ini masih berada di jalan terjal semisal lobi-lobi DPD kepada fraksi-fraksi di DPR agar ikut mendukung usulan ini sehingga dapat memenuhi syarat minimal 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Catatan penulis, kehadiran DPD selama ini masih dianggap saingan oleh DPR kita.
Kita lihat beberapa contoh tentang kewenangan DPD yang selama ini yang hanya bisa memberi pertimbangan, nasihat dan pengawasan kepada DPR (Pasal 22D UUD 1945). Penulis menganggap salah satu isi usulan tentang calon presiden independen yang diusulkan DPD ini terlampau berlebihan - dapat dikatakan usulan capres independen ini hanya sebagai ‘tameng’ DPD agar mendapatkan perhatian dan dukungan dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat bahkan tokoh masyarakat.

Usulan tentang hadirnya capres independen sebaiknya bukan alasan utama pentingnya amandemen konstitusi kelima. Khusus tentang calon presiden independen, resistensi dari partai politik yang ada di DPR akan sangat kuat di tengah berbagai alasan tentang turunnya tingkat kepercayaan masyarakat akan partai politik, pemantapan sistem presidensil dan kedaulatan di tangan rakyat.

Penguatan Sistem Bikameral

Bagi penulis, jalan terjal DPD dalam usulan amandemen konstitusi ini sebaiknya lebih dititikberatkan pada penguatan kewenangan DPD dalam konstitusi kita yang selama ini masih ‘tumpul’. Sebagai catatan, kita lihat selama ini DPD hanya diperlakukan sebagai lembaga legislatif ‘kelas dua’ — tanpa ‘kekuatan legislasi’ yang memadai. Fungsi legislasi DPD yang selama ini tumpul berada pada sembilan persoalan yakni: otda, hubungan pusat daerah, pembentukan-pemekaran serta pembangunan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat daerah, APBN, Pajak, Pendidikan dan Agama (Pasal 22D UUD 1945).

Beberapa poin usulan DPD tentang Amandemen UUD 1945 yang mesti ditekan misalnya dalam Pasal 30, “DPR dan DPD memegang kekuasaan legislatif”. Pasal 35 ayat (1) “DPR dan DPD memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan, fungsi pengisian jabatan publik, dan fungsi keterwakilan.” Pasal 44 ayat (1) “Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dan DPD mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.” Kemudian usulan yang terakhir pada Pasal 72 ayat (1) “Hubungan antara pusat dan daerah propinsi serta daerah kabupaten dan kota diatur dalam undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”.

Usulan amandemen kelima konstitusi yang dititikberatkan pada penguatan fungsi legislasi DPD diharapkan dapat mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bicameral). Jimly Asshiddiqie menyebut dengan struktur parlemen dua kamar, diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan dengan mekanisme double-check yang memungkinkan DPD sebagai representasi teritorial atau regional (regional representation) dan DPR sebagai representasi politik (political representation).

Pentingnya sistem dua kamar ini juga didasarkan pada kebutuhan menciptakan sistem checks and balances antarkamar legislatif. Dengan sistem ini kamar perwakilan yang satu mengawasi kamar perwakilan yang lain sehingga dapat mencegah kecendrungan kesewenang-wenangan dari lembaga legislatif. *

0 komentar: