Wednesday, May 29, 2013

MISKIN PERHATIAN



(Sumber inspirasi: Yoh.11:1-45)
                                                                        Kematian Lazarus, potret  ketakberdayaan manusia miskin. Lazarus menjadi simbol orang-orang tak berpunya, meninggal dalam kesendirian, dalam kesunyian.  Semasa hidupnya, kehidupan Lazarus jauh dari sentuhan kemewahan bahkan diperlakukan secara tidak adil oleh orang kaya. Ia makan dari rema-rema yang jatuh dari meja si kaya raya. Meja orang kaya dengan Lazarus yang ada di bawahnya, menunjukkan jarak pemisah yang jauh, sulit dipadu dalam satu kesepakatan.
                Kehidupannya penuh dengan derita dan perjuangan, dan pada saat  meninggal pun sepertinya jauh dari pantauan masyarakat sekitar. Yesus yang sebelumnya berada bersama mereka tetapi pada menjelang kematiannya, Yesus malah meninggalkan dia. Secara manusiawi dapat dikatakan bahwa di sini memunculkan unsur kesengajaan Yesus. Yesus sengaja, membiarkan Lazarus meninggal, mengalami pembaringan dalam kasih Allah. Allah mengambil alih seluruh hidupnya yang penuh dengan derita. Kematiannya di dunia menjadi tanda pelepasan beban dan keterikatannya dengan simpul keangkuhan orang-orang kaya.
                Tetapi apakah kematiannya, untuk seterusnya ia pamit dari dunia ini dan tak pulang lagi? Mari kita membangunkan Lazarus yang sedang tidur. Inilah ajakan Yesus kepada para murid-Nya untuk melihat  Lazarus yang tertidur. Apa yang dikatakan Yesus dimengerti secara utuh atau harafiah? Untuk apa kita pergi membangunkannya?  Karena suatu saat ia akan bangun sendiri. Ini terjadi kesalahan persepsi antara Yesus dan murid-murid-Nya. Di sini, Yesus seakan mengajak para murid untuk tenggelam memahami arti dari rahasia tidur dalam pulasan abadi. Yesus sengaja memperlihatkan sekaligus menunjukkan ke-Allahan-Nya pada para murid tentang apa yang akan dilakukan-Nya.
                Yesus selalu memanfaatkan ketepatan “saat” untuk  memproklamirkan keallahan-Nya melalui mujizat. Tentunya Yesus tidak mengadakan “show” religius tetapi Ia menyatakan kepenuhan kerajaan Allah dalam diri orang-orang miskin. Pembangkitan Lazarus dari alam maut menjadi tanda pemerdekaan orang-orang yang tertindas dalam hidupnya setelah mengalami pengalaman Allah selama kematiannya sesaat. Di sini jelas memperlihatkan bahwa Allah sedang “memapah” umat-Nya yang telah derita dalam hidup dan tenggelam dalam dasar maut. Allah tidak membiarkan ia menjerit dalam kesendirian. Jeritan permintaan akan belas kasih juga datang dari Maria dan Marta, saudaranya.
                “Seandainya Tuhan masih ada di sini, saudaraku pasti tidak akan meninggal.” Inilah rentetan penggalan harapan yang keluar dari mulut saudara Lazarus. Harapan akan “kehadiran” Yesus menjadi tanda untuk mempertahankan kehidupan itu sendiri. Kehadiran Yesus menjadi tanda legitimasi keberadaan atau eksistensi manusia. Tanpa kehadiran Yesus, orang merasa kehidupannya seolah-olah mengalami kesia-siaan. Kecemasan ini pada akhirnya terhapus oleh “peran” dan campur tangan Allah yang menyata dalam diri Yesus. Allah memperlihatkan mujizat lewat Yesus dengan membangkitkan Lazarus dari alam maut. Maut tunduk pada kuasa Yesus dan membiarkan kehidupan baru bersemi kembali dalam diri Lazarus.
                Lazarus hidup miskin  secara materi tetapi bukan menjadi halangan baginya untuk menerima kemurahan dan kemahakuasaan Allah. Kebangkitan Lazarus memperlihatkan betapa Allah masih memiliki rasa peduli terhadap mereka yang tersisihkan yang diwakili oleh Lazarus. “Kemiskinan terburuk zaman ini adalah  orang-orang merasa tidak dicintai lagi, jauh dari sentuhan kemanusiaan.” ***(Valery Kopong)          



Monday, May 20, 2013

GEREJA BERTUMBUH DAN BERAKAR DALAM MASYARAKAT



            Sore itu cukup mendung, seolah mengajak umat untuk bersahabat dalam meriahrayakan pesta peresmian Gereja Paroki Santo Gregorius. Kurang lebih tujuh ribu umat memadati gereja untuk menghadiri misa peresmian ini. Mereka datang dari lingkungan-lingkungan dengan mengenakan kaos berwarna hijau. Dengan mengenakan kaos berwarna hijau secara serentak, seakan menegaskan identitas sekaligus memperkokoh kesatuan umat yang berani memproklamirkan diri menjadi sebuah paroki mandiri.
            “Semoga kehidupan umat semakin tumbuh dan berakar dalam masyarakat, “demikian Mgr. Ignatius Suharyo dalam kata pembukaan saat bertindak sebagai selebran utama misa peresmian gereja. Beliau mengajak umat membangun rasa syukur atas rahmat yang diberikan Allah. Lahirnya paroki merupakan bagian dari karya penyelamatan Allah. Karena selama perjalanan sejarah Gereja ini, umat tidak mengandalkan kekuatannya sendiri melainkan mengandalkan Allah sebagai pembimbing yang setia menyangga iman umat.
            Paroki Santo Gregorius merupakan paroki ke 63 dalam Keuskupan Agung Jakarta dan paroki ke 12 di wilayah dekenat Tangerang. Dalam kesempatan itu Bapak Uskup menyampaikan syukur dan terima kasih kepada Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang yang dengan setia dan susah payah membimbing  Stasi Gregorius untuk menjadi sebuah paroki mandiri.
            Lebih jauh, ditandaskan oleh Mgr. Ignatius bahwa dalam menghidupkan gereja, masing-masing umat memberikan peran tersendiri. “Imam, umat dan anak-anak serta remaja memberikan peran masing-masing terhadap perkembangan hidup menggereja. Tidak hanya hidup menggereja tetapi juga diharapkan untuk semakin berakar dalam masyarakat. Keberadaan Gereja tidak menutup diri melainkan membaur dengan masyarakat. Memang berat apabila Gereja  mengakar dalam masyarakat karena akan menemukan pelbagai masalah.” Masalah yang dihadapi merupakan tantangan dan juga dilihat sebagai peluang. Karenanya masing-masing umat berani untuk berbuat sesuatu supaya lingkungan, tempat kita hidup menjadi manusiawi dan kristiani. “Siapapun, hanya dapat melaksanakan cita-cita untuk menghidupkan Gereja kalau rajin mengajukan pertanyaan, apa yang harus kita buat supaya lingkungan hidup semakin menjadi manusiawi dan kristiani. Berakar dalam masyarakat berarti memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah atau persoalan yang sedang terjadi. Seperti Yesus yang menyatakan kematian-Nya dan hal ini merupakan muara dari pengorbanannya terhadap manusia.
            Pada kesempatan itu semua umat diajak untuk mengenal dan menghayati semangat pelindung Gereja yaitu Santo Gregorius Agung. Ada dua hal yang perlu dicontohi. Pertama, Santo Gregorius adalah seorang pembaharu dalam Gereja. Ketika Gereja mulai lemah, ia hadir mewarkan lagu-lagu gregorian. Kedua, Gregorius Agung adalah seorang Paus. Dalam masa kepemimpinannya ia menyatakan diri sebagai hamba dari segala hamba yang sampai saat ini masih diabadikan oleh para paus sesudahnya. Umat diharapkan dapat meniru keteladanan hidup Santo Gregorius.
            Pada kesempatan ini juga, Mgr. Ignatius Suharyo memberikan kesempatan kepada Romo Swasono sebagai Pastor Kepala Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang untuk mengisahkan perjuangan untuk mengajukan Stasi Gregorius untuk  menjadi sebuah paroki. Menurut Romo Swa, panggilan akrab Romo Swasono, bahwa ketika berbincang-bincang dengan para pendahulu yang pernah menjabat sebagai Pastor Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang, mereka menganjurkan agar Stasi Gregorius segera menjadi sebuah paroki. Stasi Gregorius sendiri memiliki wilayah yang sangat luas dan umat semakin bertambah seiring dengan perkembangan perumahan. Dengan melihat luas wilayah dan umat yang begitu banyak maka ini menjadi alasan bagi pihak paroki HSPMTB mengajukan Stasi Gregorius ini menjadi sebuah paroki.
            Tentang kehidupan umat di Stasi Gregorius, Romo Swa menjelaskan bahwa lebih dari 50 % adalah kaum buruh dan selebihnya terdapat  profesi yang lain. Lebih jauh ia menegaskan bahwa kehadiran gereja ini tidak terlepas dari dukungan masyarakat sekitar. “Orang-orang Kampung Jambu sungguh memberikan dukungan. Kami ingin balas budi,” demikian ungkapan tulus dari Romo Swasono. “Kalau sudah menjadi paroki, lalu apa yang kita lakukan?” Kalau sudah menjadi paroki maka dituntut tata kelola yang baik, baik dari segi administrasi maupun keuangan. Pada misa peresmian Paroki Santo Gregorius, juga diadakan pelantikan para dewan stasi untuk menjadi dewan paroki, dengan susunan:
Ketua dewan : Romo Adrianus Andy Gunardi, Pr
                         Romo Natalis Kurnianto, Pr
Wakil             : Paulus Budi Soleman
Sekretaris I    : Yulius Iriana
Sekretaris II  : Petrus Sugiantara
Bendahara    : Ibu Lena
Anggota   : Bernadus Apul Tumanggor, Innocentius Tharob, Misten Sihaloho, Yanuarius Suharjo, Agustinus Purwiyanto   
            Para pengurus dewan stasi yang lama,  masa bakti 2011-2014, akhirnya diperpanjang lagi untuk masa bakti 2012-2015 dengan mengenakan status baru yakni menjadi dewan Paroki Santo Gregorius. Kiranya Tuhan senantiasa memberkati seluruh karya kita.***(Valery Kopong)  

Friday, May 17, 2013

MENGHIDUPKAN SPIRITUALITAS PELINDUNG



Tanggal  18 dan 25 November 2012 yang lalu, penulis dan beberapa anggota dewan Paroki Santo Gregorius-Tangerang mengikuti rapat karya  yang diselenggarakan oleh Paroki Ibu Teresa Cikarang. Rapat karya yang diselenggarakan ini merupakan momentum untuk berefleksi terdapat program yang telah terlaksana dan menyusun program baru yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya.  Keikutsertaan kami dari Tangerang tidak lain adalah mau mengadakan sebuah studi banding dan mau belajar tentang kehidupan di Gereja Paroki Ibu Teresa Cikarang. Memang kedengaran aneh, di Gereja kok ada studi banding? Studi banding tidak hanya dilakukan oleh elit birokrat saja tetapi juga dalam lingkup Gereja, kegiatan pembelajaran seperti ini merupakan hal yang penting karena dalam studi banding itu, kita bisa belajar, bagaimana membuat program, penataan pola pastoral yang benar-benar menyentuh umat. Paroki kami (Santo Gregorius-Tangerang) masih baru, diresmikan tanggal 23 september 2012. Karena itu sangat wajar kalau anggota dewan paroki mencoba untuk belajar dari paroki lain sebagai cara sederhana dalam proses pembenahan diri dan pada akhirnya menumbuhkan iman umat akan Yesus sendiri.
                Ada beberapa keunikan dari Gereja Paroki Ibu Teresa Cikarang, salah satunya adalah menghidupkan peran umat dalam kehidupan menggereja. Para pengurus Gereja (dewan paroki)  hanya berperan sebagai fasilitator sedangkan yang bergerak penuh adalah umat sendiri. Sistem yang berlaku adalah piramida terbalik, artinya bahwa peran serta umat berada pada posisi yang teratas, sedangkan dewan paroki berada di tengah-tengah umat. Memang, mengupayakan tumbuh-kembangnya  kehidupan umat dengan pola seperti ini sangat sulit. Mengapa sulit? Karena kondisi seperti ini memerlukan  penataan dan persiapan secara matang.
                Kalau saya mengamati, kehadiran sang gembala (pastor) sangat penting karena memberikan spirit dan nuasa baru dalam hidup menggereja. Gereja menyadari bahwa  Gereja bisa hidup karena kekuatan keluarga yang membentuk lingkungan dan pada akhirnya menyokong kehidupan sebuah paroki. Maka langkah utama yang ditempuh adalah membangun kekuatan umat basis yang dimulai dari keluarga.

Menghidupkan Spiritualitas Pelindung
                Ciri khas dalam kehidupan menggeraja secara umum, yakni memiliki pelindung, entahkah nama pelindung untuk pribadi maupun institusi religius. Tetapi menjadi pertanyaan, seberapa jauh, orang menghidupkan spiritualitas atau semangat hidup dari sang pelindung? Jangankan menghidupkan spiritualitas, mengetahui riwayat hidup sang pelindung, mungkin juga belum. Tetapi gejala ini sudah ada dalam kehidupan kita. Kita dengan seenaknya mencari dan menggunakan santo-santa pelindung namun kurang mendalami kehidupan mereka.
                Untuk apa mendalami spiritualitas hidup mereka? Seberapa pengaruhnya terhadap individu ataupun instansi religius yang menggunakan nama pelindung tersebut?  Gereja Paroki Ibu Teresa Cikarang, sungguh-sungguh menghidupi semangat hidup  pelindung paroki. Hal ini jelas terlihat dalam rumusan visi dan misi paroki. Visi Gereja Paroki Ibu Teresa Cikarang merupakan suatu paguyuban umat beriman yang mau berbagi dan merakyat. Sedangkan misinya adalah Gereja Paroki Ibu Teresa berkehendak untuk membangun paguyuban umat beriman (komunitas basis beriman penuh harapan) dalam ikatan persaudaraan sejati murid-murid Kristus, yang dijiwai oleh Roh Kudus, berani berkata “cukup” kepada godaan duniawi, mempunyai spiritualitas berbagi dan jiwa merakyat (inkarnatoris) sehingga kehadirannya merupakan rahmat bagi masyarakat sekitar.   
                Visi dan misi yang digulirkan itu memiliki landasan spiritual yang sangat kuat dengan mencontohkan apa yang dilakukan oleh Ibu Teresa dari Calcuta semasa hidupnya dan kesalehan sosial yang telah ditunjukkan kepada dunia. Tetapi lebih dari itu, Gereja dalam pola pastoralnya berusaha mengikuti teladan Yesus Kristus sebagai Gembala yang baik (bdk. Yoh.10). Gembala yang selalu murah hati, penuh kasih dan mencari domba yang hilang serta menyelamatkan semua orang. 
                Kehendak Sang Gembala ini perlu diwujudkan dalam suatu paguyuban umat beriman yang berpadan dengan komunitas umat perdana (Kis 2: 41-47). Paguyuban umat beriman di Cikarang yang sehati sejiwa berkumpul dalam kesatuan iman karena telah ditebus oleh Yesus. Pengalaman iman tersebut memampukan umat (Gereja) untuk berempati satu sama lain dalam persaudaraan sejati dengan siapa saja  (penderitaanmu adalah penderitaanku, kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku, bdk. GS 1).
                Dalam evaluasi program yang telah terselenggara, ada dua hal yang menjadi program unggulan Paroki Ibu Teresa Cikarang, yakni memberikan pelayanan kesehatan dan santunan pendidikan kepada masyarakat. Apa yang dilakukan ini mencontohkan apa yang sudah dilakukan oleh Ibu Teresa semasa hidupnya. Kepedulian terhadap mereka yang tersisih karena sakit dan tidak diperhatikan menjadi prioritas perhatian Ibu Teresa. “Teresa adalah salah satu titik perenungan tentang  kemanusiaan yang terabaikan. “ Mengenang Teresa dan perjuangan mengumpulkan orang-orang terbuang di Calcuta, adalah mengenang kemanusiaan yang terabaikan hingga titik nadir. Tindakan kemanusiaan yang dilakukan, tidak membuat orang memuji kebaikannya, tetapi lebih banyak orang mencela bahkan mencibir kebaikan yang ia curahkan kepada orang-orang miskin di sudut-sudut kota.
                Cikarang bukanlah Calcuta namun tentu memiliki kesamaan yakni masih dijumpai orang-orang miskin dan sederhana di wilayah itu. Apa yang dilakukan oleh pihak paroki memang jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Ibu Teresa di Calcuta. Ibu Teresa melakukan semua itu dalam purna waktu, seluruh perhatian dan cinta kasih dicurahkan kepada orang-orang miskin. Sedangkan apa yang dilakukan oleh Gereja Paroki Ibu Teresa, walaupun di selah-selah kesibukan namun perhatian terhadap orang-orang kecil tidak dengan setengah hati tetapi dengan sepenuh hati. Apa yang dilakukan itu merupakan cara sederhana untuk memperkenalkan Kristus kepada mereka yang menderita. Suatu waktu, mereka (orang-orang miskin) lebih tahu dan mengenal, siapa itu Yesus Kristus dan tujuan utama kedatangan-Nya ke dunia.***(Valery Kopong)