Wednesday, May 25, 2011

Timor Leste Anggota ASEAN Kado HUT Kemerdekaan yang Tertunda

Oleh Florencio Mario Vieira, Pemerhati Timor Leste, Alumnus John Heinz III - School of Public Policy and Management, Carnegie Mellon University (CMU), Pittsburgh, Pennsylvania, USA, tinggal di Kupang.

TIMOR Leste merayakan HUT kesembilan, tanggal 20 Mei 2011 setelah melepaskan diri dari Indonesia tahun 1999 melalui jajak pendapat. Selanjutnya restorasi kemerdekaan dideklarasikan pada tanggal 20 Mei 2002, difasilitasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ada harapan besar dari pemerintah bahwa pada HUT ke-9 kali ini, Timor Leste mendapat 'kado' istimewa, yakni menjadi anggota ke-11 pada 18th ASEAN Summit di Jakarta, 7-8 Mei 2011.

Sehubungan dengan itu Indonesia sangat getol memperjuangkan proposal dari Pemerintah Timor Leste. Proposal yang diajukan oleh Zakarya Albano da Costa (Menteri Luar Negeri Timor Leste), disirkulasi oleh counter part-nya, Marty Natalagawa (Menteri Luar Negeri Indonesia) sebagai urgent attention, akhirnya gagal diterima oleh anggota ASEAN lainnya.

Banyak alasan yang menyebabkan negara baru tersebut belum dapat bergabung dengan ASEAN. Alasan utamanya adalah kesenjangan ekonomi yang terlalu lebar sehingga negara baru tersebut sulit berkontribusi terhadap pembangunan komunitas ASEAN, sekaligus dapat menghambat visi Integrasi ASEAN 2015.

Kepentingan Cina-Indonesia-Australia
Indonesia mempunyai alasan strategis sehingga sangat getol memperjuangkan Timor Leste agar segera bergabung dengan ASEAN. Pertama, Indonesia yang mempunyai sejarah politik kurang baik berupaya untuk memenangkan hati rakyat Timor Leste. Kedua, dari aspek sosial budaya, masyarakat Timor Leste dan Timor Barat-Indonesia, tidak dapat dipisahkan.

Ketiga, ketergantungan Timor Leste secara ekonomi terhadap Indonesia tidak dapat dipungkiri. Barang dan jasa non-migas 90% diimport dari Indonesia. Keempat, aspek strategi geo-politik, Timor Leste yang secara geografis berada di dalam kawasan negara kepulauan Republik Indonesia, pemerintah Indonesia berupaya keras agar Timor Leste tidak didominasi oleh kepentingan negara lain, terutama persaingan Cina dan Australia menjadikan Timor Leste sebagai 'satelit' untuk kepentingan ekonomi dan politik. Pada masa perang dingin, Partai Fretilin sangat dekat dengan Partai Komunis Cina (PKC).

Fretilin juga menjadi pemenang pemilu dua kali berturut-turut sejak kemerdekaan Timor Leste.

Bagi Cina, nostalgia ideologi komunis saat perang dingin, berpeluang dilanjutkan kemesraan tersebut dalam ekspansi kepentingan ekonomi. Saat ini Cina merupakan donor terbesar bagi Timor Leste. Pembangunan istana negara Presiden Timor Leste dan infrastruktur, sebagian besar bantuan hibah Cina. Di lain pihak, pasca pemisahan dari Indonesia, Australialah yang berperan secara dominan di Timor Leste, antara lain pengiriman pasukan Interfet pasca kerusuhan 1999. Kepentingan Australia adalah menjadikan Timor Leste sebagai buffer zone (wilayah penyangga) bila ada ancaman dari Indonesia. Antisipasi adanya ancaman dari Indonesia, bilamana suatu saat - negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia - dikuasai oleh Islam fundamental, misalnya isu perjuangan Negara Islam Indonesia (NII). Australia juga menginginkan Timor Leste menjadi penyangga imigran gelap dari Timur Tengah.


Kesenjangan dengan ASEAN
Sejak restorasi kemerdekaannya pada tahun 2002, Pemerintah Timor Leste adalah negara yang hanya bergantung pada minyak, 95% dari keutungan minyak dipakai untuk belanja pemerintah. Keuntungan dari minyak dan gas adalah empat kali lipat dari seluruh sumber ekonomi bukan migas. Setiap orang di Timor Leste hidup dari keuntungan minyak dan gas, dapat menopang ekonomi sampai empat puluh tahun ke depan.

Salah satu proyek internasional, Bayu Undan yang dioperasikan oleh Conoco Philips di Timor Sea, hasil royalti sebagai hak bagi Timor Leste sebesar US$ 5 miliar saat ini disimpan di Amerika Serikat. Namun, jumlah keseluruhan kekayaan yang bersumber dari non-migas tidak cukup untuk menunjang kualitas hidup rakyat Timor Leste, bilamana empat puluh tahun ke depan persediaan minyak habis.

Ironi dari keuntungan yang didapati dari minyak, Timor Leste masih tercatat sebagai negara miskin. Dengan Gross Domestic Product (GDP) US$ 558 juta, jauh dari Laos yang GDP-nya US $ 5,9 miliar pada tahun yang sama. Ditambah lagi dengan penduduk Timor Leste hidup di bawah garis kemiskinan dan pengangguran 20%.

Menurut laporan UNDP 2011 yang di diumumkan langsung oleh Presiden Timor Lesre, Ramos Horta, disimpulkan bahwa memang ada pengurangan tingkat kemiskinan secara substansial sejak tahun 2007, namun 41 persen dari masyarakat di pedesaan masih terus hidup di bawah garis kemiskinan. Nilai Human Development Index (HDI) tahun 2010 adalah 0.502, terletak pada Medium Human Development Category, Timor Leste berada pada ranking 120 dari 169 negara-negara berdasarkan laporan Global Human Development.

Menurut Charles Scheiner, La'o Hamutuk Institute, dalam artikel Timor Leste Must Win Independence from Petroleum, Remarks at launch of the UNDP 2011 Timor-Leste Human Development Report bahwa "Hanya enam negara yang mempunyai Gross National Index (GNI) 20% lebih besar dari GDP, tidak ada yang lebih dari 80%. Bagi Timor Leste, GNI-nya unik - enam kali lebih besar - 548% lebih tinggi dari GDP. Hal ini menunjukkan konsekuensi ekstrim dari ketergantungan ekspor sumber-sumber non-migas. Sejak Timor Leste mengembangkan dana yang bersumber dari minyak untuk kesejahteraan rakyat, GNI tidak merefeksi kehidupan setiap warga negara pada hari ini'. Hal ini dapat dikuatkan oleh Human Developement Report (HDR), bahwa sekitar 15.000 pemuda pencari kerja setiap tahun, namun hanya ratusan pekerjaan yang dapat disediakan.


Dalam kunjungan penulis ke Timor Leste akhir tahun 2010 sampai awal tahun 2011 untuk merayakan Natal dan Tahun baru, hiruk-pikuk urbanisasi di Kota Dili menunjukkan perubahan yang signifikan bila dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu, namun sangat kontradiktif dengan kehidupan di distrik dan pedesaan. Kehidupan ekonomi (misal: pasar, transportasi antardesa, pertokoan) terasa 'mati'. Survai Kesehatan dan Demografi menunjukkan bahwa di Dili, 20% dari golongan terkaya dapat mengakses 71% dari sumber-sumber ekonomi, sedangkan 20% dari masyarakat miskin hanya dapat mengakses 4% dari sumber-sumber ekonomi.

Indikator-indikator tentang Timor Leste mencerminkan kesenjangan ekonomi yang sangat lebar berpengaruh signifikan terhadap pembangunan komunitas ASEAN dan bahkan dapat menghambat visi integrasi komunitas ASEAN. Pekerjaan rumah bagi Indonesia adalah mengambil peran penting dalam isu geo-politik dan geo-ekonomi, karena letaknya Timor Leste yang strategis di enclave kepulawan Indonesia. Timor Leste akhirnya berharap lagi pada Indonesia, tentu bukan sebagai bagian integrasi dengan NKRI tapi dalam kerangka integrasi ASEAN 2015. *

No comments: