Tuesday, February 23, 2021

Jokowi dan Waduk Napun Gete

 

Selasa, 23 Februai 2021 merupakan hari istimewa bagi masyarakat NTT dan secara khusus untuk masyarakat Sumba dan Maumere – Sikka yang menerima kedatangan Bapak Presiden, Joko Widodo. Beberapa foto dan video yang beredar tentang kedatangan Jokowi di Sumba dan Maumere, memperlihatkan antusiasme warga yang menunggu berjam-jam di pinggir jalan hanya untuk menyapa kedatangan presiden kesayangan rakyat itu. Walau di tengah Covid 19 melanda dunia dan masyarakat pedesaan seperti di Sumba dan Maumere, masyarakat tetap memberikan perhatian pada presiden, walau menyapanya dari pinggir jalan.

Dalam sambutan yang singkat itu, presiden mengatakan bahwa ada 7 waduk yang dibangun di NTT dan tiga di antaranya sudah jadi, sementara yang lain masih menunggu proses penyelesaian. Di mata seorang Jokowi, ketika permintaan masyarakat NTT akan waduk dan sumur bor harus dipenuhi karena permintaan mereka adalah permintaan yang tepat. Apa yang dikatakan oleh Jokowi ini mau menunjukkan bahwa Jokowi sebagai presiden memahami benar tentang kondisi alam yang memiliki curah hujan yang rendah dan minimnya ketersediaan air. Bahwa air menjadi penting dan memiliki pengaruh pada tingkat kemakmuran bagi masyarakat.  Dengan adanya waduk yang diresmikan (waduk Napun Gete), bisa digunakan untuk aktivitas pertanian.

Kehadiran air memberikan daya yang mengubah kehidupan sekitarnya. Ketika aliran sungai membentang, maka terlihat sepanjang itu pula ada kehidupan baru. Kehadiran air dalam jumlah besar bisa memberikan kehidupan, tidak hanya dunia pertanian tetapi juga memberikan kesempatan pada ternak untuk mereguk air itu agar bertahan hidup. Pada kesempatan kunjungan itu juga, Jokowi mengatakan bahwa salah satu daerah di Sumba, dulunya menjadi pemasok hewan ternak seperti sapi. Tetapi karena kekurangan air maka hewan-hewan ternak juga menjadi musnah. Air bisa memberikan kehidupan pada rumput dan dengan rumput itu bisa menjadi makanan sapi.

Ketika melihat presiden berada dekat waduk dan memberikan kata sambutan itu, mengingatkan aku pada teks kitab suci yang menampilkan kisah tentang Yesus yang berdialog dengan perempuan Samaria di dekat sumur. Dialog tentang sumur yang menampung air itu, tidak sekedar air dalam konteks harafiah tetapi ketika dimaknai secara lebih jauh maka air melambangkan air kehidupan. Barang siapa meminum air itu maka ia tidak akan haus lagi. Kata-kata Yesus ini menggiring kesadaran iman kita sebagai peziarah yang berada pada titik letih untuk terus mencari air agar rasa dahaga bisa terhapuskan. Makna perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria juga memberikan simbol keberpihakan dan mengangkat kembali martabat orang Samaria yang selama itu dipandang oleh orang Yahudi sebagai masyarakat kelas dua. Perjumpaan itu membawa konsekuensi akan pengangkatan harga diri seorang Samaria. Yesus pada saat bertemu dengan perempuan Samaria, tidak menempatkan diri sebagai seorang Yahudi tetapi sebagai utusan Allah yang bersikap netral penuh cinta kasih.

Kehadiran Yesus bersama perempuan di tepi sumur, memberikan sebuah informasi penting bahwa air kehidupan itu tetap memberikan rasa puas kepada siapa pun yang mereguk air kehidupan itu. Dalam konteks hari ini, ketika kehadiran presiden di Maumere yang terkenal panas suhunya, sepertinya menghapus rasa dahaga. Kehadiran presiden di Maumere dan Sumba juga mau mengangkat kembali pamor NTT untuk bergerak ke arah kemakmuran secara ekonomi. Dengan keberadaan waduk bisa mengangkat kembali perekomian warga agar perlahan bisa menghapus stigma banyak orang bahwa NTT itu daerah miskin. Gunakan waduk sebaik mungkin agar kelak kemakmuran itu berpihak pada masyarakat NTT.***(Valery Kopong)

 

 

 

 

 

Monday, February 22, 2021

Banjir dan Aksi Solidaritas

 

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah berbicara dengan salah seorang teman yang rumahnya selalu terkena banjir. Hampir setiap tahun ketika banjir besar datang menghampiri, perumahannya selalu menjadi langganan. Melihat kondisi perumahan itu, pada titik pembicaraan, saya menganjurkan agar bisa pindah dari perumahan itu karena rumah itu tidak nyaman lagi untuk ditempati. Anjuran saya ini dibantah oleh teman saya yang selalu berlangganan banjir itu. “Saya malah senang kalau ada banjir. Walaupun rumah saya dan warga sekitar terkena banjir tetapi pada saat yang sama kami sepertinya begitu akrab. Kami bahu membahu untuk saling membantu terutama dalam mengevakuasi barang-barang. Karena banjir maka kami berada dalam satu tempat pengungsian dan mengenal satu sama lain.”

Jawaban yang diberikan oleh teman saya ini memang cukup beralasan. Ketika saya menilai dengan kaca mata saya, rupanya tidak masuk dalam hitungan mereka yang terkena banjir. Memang kita prihatin  bahwa setiap tahun, perumahan mereka selalu menjadi langganan banjir tetapi itu tidak menyurutkan niat mereka untuk tetap bertahan di tempat itu. Hampir puluhan tahun mereka berada di tempat itu dan sikap guyub para warga setempat semakin nampak ketika berada pada persoalan yang sama, yakni menghadapi banjir. Banjir bagi saya secara pribadi dan bagi kebanyakan orang menjadi sebuah ancaman tetapi di mata mereka, banjir itu membawa berkah. Warga perumahan yang terkena banjir, biasanya selalu siap dalam dua puluh empat jam. Mereka selalu mensuport antara satu dengan yang lain untuk sama-sama menghadapi persoalan banjir.

Dengan adanya banjir, mereka menjadi lebih solid karena merasakan bahwa mereka senasib dan sepenanggungan. Mereka berada pada “ruang terbuka” (tempat pengungsian) selama perumahan mereka terkena banjir. Sama-sama senasib, sama-sama terendam dalam banjir yang sama maka hal ini mendorong mereka untuk bertahan. Keakraban yang dibangun karena tuntutan situasi dan mendorong mereka untuk berani keluar dari diri dan menjumpai yang lain. Banjir menjadi “media perekat” yang memungkinkan mereka untuk menawarkan rasa iba pada orang lain, untuk pada akhirnya memberikan bantuan pada mereka.

Jika ada bencana maka di situ ada solidaritas. Jika ada bencana maka di situ ada keakraban. Tanpa banjir, para warga belum tentu tahu dan mengenal antara satu dengan yang lain. Banjir memang memberikan beberapa dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak negatif yang muncul karena banjir adalah mendatangkan kerugian material bahkan bisa menelan korban jiwa. Jika dilihat dari kerugian ini maka setiap orang, pasti menginginkan tidak terkena banjir. Banyak warga yang memilih untuk bertahan di tempat yang berlangganan banjir karena telah telanjur membeli rumah dan peluang untuk membeli rumah baru agar pindah dari tempat itu, sangat sulit karena kondisi ekonomi yang rapuh.

Memang semua orang merindukan agar tidak terjadi banjir. Hanya menjadi persoalan adalah tidak ada lagi ruang peresapan untuk air hujan, karena itu, air berada pada genangan di tengah pemukiman, ia tidak bisa meresap ke tanah karena area tanah sangat minim. Sementara itu dampak lain yang ditimbulkan oleh adanya banjir adalah aksi solidaritas untuk membantu orang lain, terutama yang terkena banjir. Banjir yang menghantam perumahan, tidak ada kompromi dan tidak mengenal kelas sosial tertentu. Di mana ada kerusakan lingkungan dan tidak adanya peresapan air maka pada saat yang sama, banjir pasti tetap menghantui wilayah pemukiman warga.   

Perumahan-perumahan warga di daerah Jabodetabek, tak akan luput dari banjir setiap tahun. Banjir yang kebanyakan merupakan kiriman dari Bogor harus mendapat perhatian. Penataan harus dimulai dari hulu agar di daerah-daerah hilir tidak terkena dampak banjir. Pernah ada wacana untuk membuat waduk raksasa untuk menghimpun banjir kiriman dari Bogor. Dengan adanya waduk yang bisa menampung air banjir dalam jumlah yang besar, menjadi penyangga utama agar banjir tidak meluap ke area perumahan warga. Waduk raksasa boleh dibangun tetapi jauh lebih penting adalah mengembalikan area villa di Bogor untuk menjadi hutan lindung dan menyediakan pori-pori tanah sebagai media peresapan. Hanya dengan melestarikan alam maka alam pun bersahabat dengan manusia.***(Valery Kopong)

Thursday, February 18, 2021

Puasa

 

Pertengahan bulan Februari merupakan bulan spesial bagi orang Katolik karena bertepatan dengan Rabu Abu di mana umat Katolik memulai masa pra paskah, memasuki sebuah retret agung untuk merenungkan kisah pengorbanan seorang Putera Tunggal Allah. Rabu Abu menjadi tanda pengingat bagi kita manusia yang tercipta dari debu dan tanah. Dengan menandai abu pada dahi, kita diingatkan  sebagai manusia rapuh dan tak berdaya di hadapan Allah. Kerapuhan manusia bisa terlihat dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Kita rapuh, karena itu gampang terjerumus ke dalam kubangan dosa. Kita rapuh maka pertobatan yang sering kita lakukan, sepertinya sebuah seremoni dan lalu kita lupakan itu. Kapan tradisi untuk mempersiapkan diri terutama pada masa pra paskah ini dimulai?

Bukti adanya tradisi mempersiapkan paskah ditemukan pada sekitar abad ke 3 M. Dalam suratnya kepada Paus Viktor I, St. Ireneus tidak hanya bercerita tentang perbedaan waktu perayaan Paskah, tetapi juga adanya praktek puasa di tengah umat. “Beberapa umat berpikir bahwa mereka harus berpuasa selama satu hari, yang lain selama dua hari bahkan yang lain selama beberapa hari, sementara yang lain berpuasa selama 40 jam sepanjang siang dan malam.

Praktik berpuasa selama 40 hari untuk menyambut Paskah , baru ditetapkan dalam Konsili Nicea  (325) dan Konsili Laokidia (360). Angka 40 memiliki makna rohani. Nabi Musa berpuasa selama 40 hari dan 40 malam sebelum menerima sepuluh perintah Allah di Gunung Sinai. Nabi Elia berjalan selama 40 hari dan 40 malam menuju Gunung Horeb (1 Raj.19:8). Tuhan Yesus berpuasa selama 40 hari dan 40 malam di padang gurun sebelum memulai pelayanan-Nya (Mat.4:2).   

Dari catatan sejarah perjalanan ritual penerimaan abu ini memberikan pemahaman kita tentang pengalaman para tokoh iman pada masa lampau dan juga diperkuat pada perjanjian baru. Puasa yang mereka lakukan sebelum memulai sebuah peristiwa besar. Doa, tapa dan puasa menjadi kewajiban yang terus dibangun agar prosesnya berjalan secara baik dan pada akhirnya ketika memasuki peristiwa besar yang dihadapinya, semuanya berjalan secara baik. Ketika Musa hendak menerima sepuluh perintah Allah dalam bentuk dua loh batu, Ia bersama umat pilihan Allah, mengadakan puasa agar peristiwa pertemuan dengan Allah di gunung Sinai terlaksana dengan baik. Demikian juga Yesus, setelah dibaptis di sungai Yordan, Ia memulai puasanya di padang gurun. Dalam hening doa dan puasanya, Yesus mendapatkan tantangan atau lebih tepatnya godaan yang datang dari setan. Tetapi godaan-godaan itu dihadapinya dengan baik karena Yesus teguh pada prinsip dan berpegang pada misi awal kedatangan-Nya, yakni mewartakan Kerajaan Allah.

Kerajaan Allah menjadi inti pokok pewartaan-Nya sehingga apa pun godaan yang datang menggerusnya, Ia tetap teguh menghadapinya. Dalam masa pra paskah ini, kita sebagai pengikut Kristus, hendak membangun rasa tobat dan tapa di saat-saat keheningan panjang ini berlangsung. Kita diminta untuk berpuasa dan pantang terhadap makanan tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana membangun sikap tobat dan berbagi kasih kepada orang-orang di sekitar kita. Dengan momentum puasa ini, kita diminta untuk membangun hidup sederhana dengan makan secukupnya dan dari kecukupan hidup itu, kita berusaha untuk berbagi kepada orang lain.

Di sini, makna puasa tidak hanya dimengerti  menahan rasa lapar saja tetapi dengan menahan rasa lapar itu, kita memangkas separuh uang belanja dan bisa didonasikan kepada mereka yang miskin. Puasa tidak mengarah pada aspek asketis personal tetapi mengarah pada nilai-nilai sosial. Dengannya, puasa mengasah kesadaran sosial kita untuk peka terhadap situasi sekitar yang rapuh dari kemerosotan sosial-ekonomi. Dalam rentang retret agung ini, kita berusaha untuk  berbuat sesuatu kepada orang lain. Sekecil apa pun tindakan yang kita lakukan, bisa berdampak luarbiasa pada mereka yang membutuhkan.***(Valery Kopong)

 

Tuesday, February 16, 2021

Mereka Seperti "Lebah"

Beberapa hari terakhir ini, santer terdengar kata Buzzer karena beberapa tokoh yang berseberangan dengan pemerintah sudah mulai gerah dengan para buzzer yang lebih pro pada pemerintah saat ini. Siapa itu para buzzer sehingga sangat ditakuti oleh para oposisi? Buzzer adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan membangun percakapan, lalu bergerak dengan motif tertentu. Atau secara umum, para buzzer adalah orang-orang giat di media sosial yang siap memberikan kritik balik kepada tokoh-tokoh tertentu yang ingin memanaskan situasi melalui cuitan twitter atau media sosial lainnya. Para buzzer bukanlah orang bayaran istana tetapi mereka adalah orang-orang yang membiayai kuota internet sendiri untuk bisa bermedia sosial. Para buzzer itu terkadang dilihat seperti “lebah” yang kalau diganggu maka semuanya melawan si pengganggu itu. Tapi dalam situasi normal, para buzzer pun diam pada sarang masing-masing.

Para buzzer ini muncul sebagai bentuk kecintaan terhadap NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Mereka (para buzzer) hadir di dunia maya tanpa adanya mobilisasi dari penguasa. Mereka memberikan kontribusinya terhadap negara dengan memberikan kritik tajam terhadap para pengganggu republik ini ketika ideologi  Pancasila diobrak-abrik oleh para pejuang khilafah. Buzzer pun hadir membela  ketika sang presiden dihina dan dicela oleh para oposisi pemerintahan. Kalau dilihat dari cara kerja buzzer ini, bagi mereka yang mencintai negeri dan pemerintahan yang sedang bekerja ini, merupakan sebuah bentuk sederhana untuk mempertahankan keadaban publik.  

Namun keberadaan buzzer ini sering dilihat sebagai “benalu” yang mengganggu jalannya proses demokratisasi di negeri ini. Karena itu ketika Hari Pers Nasional 9 Februari 2021, Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan bahwa, musuh terbesar pers saat ini, khususnya daring adalah para buzzer yang ia anggap tidak bertanggung jawab.  “Pers Indonesia secara khusus dalam dinamika politik kebangsaan saat ini penting menjalankan fungsi checks and balances sebagaimana menjadi DNA media massa sepanjang sejarah di negeri manapun.” (Tirto.id, 9/1/2021)

Merujuk pada apa yang dikatakan oleh pimpinan pusat Muhammadiyah di atas berkenaan dengan hari pers nasional, membersitkan perang gagasan antara media mainstream dengan  media sosial. Ketika para wartawan pada media mainstream yang diharapkan untuk memberikan informasi berimbang, mendidik dan mencerahkan masyarakat, ternyata jauh dari harapan publik maka nilai beritanya menjadi berbeda dengan fakta di lapangan. Kinerja wartawan pada media-media ternama sepertinya “tertawan” oleh kepentingan pemodal dan pesanan tertentu yang sengaja memanfaatkan peran kewartawanan untuk menggiring opini publik melalui tulisan di media. Jika wartawan pada media ternama sudah terkontaminasi dengan kepentingan konglomerat pada berita-berita yang disajikan dan opini-opini yang digaungkan itu tidak memiliki nilai karena jauh dari sentuhan fakta.


Kehadiran media sosial, di satu sisi dianggap mengganggu tetapi di sisi lain para buzzer yang aktif memberikan kritik balik pada media mainstream, sepertinya mengarahkan tingkat kepercayaan publik pada para buzzer. Di sini bisa dipahami bahwa untuk membangun kepercayaan publik dan mengembalik marwah pemberitaan, media mainstream harus membangun karakter baru yang berpihak pada kebenaran dengan mengedepankan fakta. Namun sayang, tingkat kepercayaan publik terhadap media-media ternama semakin tergerus, sementara masyarakat atau para nitizen lebih berpihak para buzzer yang berani bertaruh untuk kepentingan publik. Para buzzer adalah orang-orang merdeka, membeli kuota internet dan mengelola akun sendiri tanpa berharap pada siapa pun. Seperti lebah, para buzzer mengerumuni sebuah persoalan dan menjaga “sarang” (baca: Indonesia) dari serangan orang-orang tidak bertanggung jawab.***(Valery Kopong)
 

 

 

 

Monday, February 15, 2021

Berpihak Pada Kebenaran

 

Beberapa waktu yang lalu, sebuah kejadian menimpah seorang wartawan di salah satu wilayah di Flores Timur. Wartawan dari media online itu ditonjok oleh salah seorang pekerja proyek bangunan puskesmas yang sedang dikerjakan. Mengapa wartawan itu ditonjok? Karena wartawan itu menulis tentang kondisi bangunan puskesmas yang belum rampung dan menelan biaya yang cukup besar. Memang sangat memprihatinkan bahwa ketika bekerja meliput berita dan berpihak pada fakta sesungguhnya, ada resiko yang harus ditanggung oleh seorang wartawan. Menjadi wartawan peliput berita berarti ia harus turun ke lapangan dan melihat kondisi yang terjadi, setelah itu ia menulis sesuai fakta yang ada.

Banyak wartawan zaman sekarang tidak mau mengambil resiko. Kebanyakan wartawan lebih senang meliput berita-berita yang memiliki nilai jual yang positif ketimbang harus berkutat dengan berita yang sensitif dan beresiko terhadap wartawan jika memberitakan peristiwa sensitif itu. Peran wartawan saat ini sangat dilematis, di antara tuntutan profesionalitas dan juga tuntutan hidup yang berkaitan dengan tuntutan ekonomi. Wartawan yang memiliki integritas tinggi, tentunya berkomitmen untuk menyampaikan sebuah peristiwa sesuai fakta dan tanpa mempertimbangkan sebuah resiko yang akan merenggutnya. Seperti yang dilakukan oleh Agus, seorang wartawan media online yang harus berurusan dengan para pekerja karena  menuliskan sebuah fakta di lapangan.

Keberadaan wartawan menjadi fungsi kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Apa yang sudah dilakukan oleh Agus yang menuliskan berita tentang proses pengerjaan puskesmas itu, memberikan informasi kepada publik  dan sekaligus mengingatkan pemerintah dan DPRD setempat untuk mengontrol jalannya sebuah program yang menelan begitu banyak biaya. Harus diakui bahwa banyak proyek pemerintah di seluruh Indonesia, tidak berjalan secara mulus dan bahkan ada yang mangkrak begitu saja. Dengan melihat kondisi seperti itu, wartawan tentunya gelisah dan ingin memberikan fungsi kontrol melalui pemberitaan terhadap peristiwa itu.    

Fakta dan peristiwa sepertinya harus menyatu dengan jiwa seorang wartawan. Seseorang tidak bisa menegaskan dirinya sebagai wartawan ketika belum menyatu hidupnya dengan fakta dan peristiwa di sekitarnya. Ketika ia (wartawan) itu menegaskan diri sebagai pencinta kebenaran maka pada saat yang sama ia harus jujur saat melakukan peliputan berita. Kejujuran seorang wartawan dalam meliput berita juga menjadi ancaman bagi mereka yang terlibat dalam sebuah peristiwa. Apabila berita yang ditulis itu adalah berita yang menyenangkan dan memberi inspirasi bagi orang lain dan wartawan itu disanjung.  Tetapi menjadi persoalan adalah ketika berita yang diberitakan itu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang sangat sensitif dan bisa meruntuhkan kredibilitas orang lain, terutama para pejabat dan pemangku kepentingan maka ancaman terhadap wartawan menjadi langganan.

Berita yang mau diberitakan itu sensitif seperti persoalan korupsi, proyek yang mangkrak dan peristiwa sensitif lain, seorang wartawan harus berusaha untuk mendapatkan berita akurat. Ia (wartawan) harus turun ke lapangan untuk menemui dan mewawancarai nara sumber primer agar data yang terhimpun menjadi akurat. Memang ini tidak mudah karena kebanyakan wartawan saat ini, lebih mengandalkan “telinga orang lain” untuk mendapatkan berita, atau juga mengolah berita dari media lain untuk kemudian menyajikan berita yang sama, hanya berbeda kemasan bahasanya. Mental wartawan yang mengandalkan “telinga orang lain” menjadi sangat rapuh dan tulisan yang dimuat pada media juga dianggap tidak kredibel. Memang berat menjadi wartawan karena ia membawa berita kebenaran. Bagi seorang wartawan, berpihak pada kebenaran dalam menuliskan sebuah fakta, bisa menyandung orang dan juga mengancam para pemangku kepentingan. Wartawan disanjung, wartawan didera karena berpihak pada kebenaran.***(Valery Kopong)     

Thursday, February 11, 2021

Perjuangan Belum Membuahkan Hasil

 

Ketika bertemu dengan para pengurus yang tergabung dalam tim perijinan gereja Katolik, bisa kita lihat dinamika yang terjadi dalam internal gereja. Ada banyak problem yang harus dihadapi oleh tim perijinan. Beberapa hari yang lalu, saya dan penyelenggara Katolik-Kemenag Kabupaten Tangerang mengunjungi lokasi yang hendak didirikan bangunan gereja Katolik yang letaknya di Cikasungka –kecamatan Solear – Kabupaten Tangerang. Mendengar penuturan dari Bapak Vinsen, ketua tim perijinan, membersitkan sebuah perjuangan yang panjang. Perjuangan mereka tidak hanya sebatas urusan administrasi sebagai pemenuhan tuntutan  SKB 2 menteri. Tim perijinan harus melalui membangun pendekatan pada “akar rumput” untuk mendapatkan dukungan terhadap pendirian gedung gereja.

Perjuangan tim perijinan memberikan banyak pembelajaran. Mereka belajar untuk bersabar, mereka belajar untuk membangun komunikasi dan belajar untuk bertahan ketika dihujat. Proses belajar ini merupakan “sekolah kehidupan” yang memberikan kematangan dan kedewasaan. Dihambat ketika proses itu dimulai, tidak menyurutkan semangat mereka dan tidak membuat mereka marah tetapi diyakini bahwa Tuhan belum memberikan waktu yang tepat untuk mendapat ijin membangun.

Tetapi dengan keterhambatan dalam proses untuk mendapatkan ijin membangun ini, memberikan nilai lain, yakni kehidupan umat Katolik semakin guyub. Ketika mendapat tekanan dan penolakan dari kelompok-kelompok lain yang tidak setuju didirikan gedung gereja, pada saat yang sama, mereka membawa persoalan itu dalam terang kebersamaan umat. Hambatan yang sedang mereka alami bukanlah sebuah tantangan yang mesti dihindari tetapi justeru dengan persoalan itu, mereka tetap solid dan melihat semuanya dalam terang ilahi. “Penderitaan Kristus, jauh lebih berat ketimbang tantangan yang sedang dialami ini.” Kata-kata ini menjadi penghibur dikala persoalan dan pergumulan hidup keagamaan menawarkan tantangan. Kristus menjadi tokoh sentral iman kita dan menjadi cermin bagi kita ketika segala persoalan itu dihadapi. Penderitaan-Nya menjadi role model dan sekaligus menjadi spirit yang memberikan energy untuk berjuang membangun rumah-Nya.

Dalam proses perjuangan itu perlu disadari bahwa Gereja kita adalah Gereja Martir. Artinya bahwa kehadiran Gereja menjadi pembawa kabar gembira selalu membawa konsekuensi, yakni mendapatkan tantangan-tantangan bahkan tantangan itu mengancam nyawa sekalipun. Pendekatan yang dibangun terhadap sesama berlandaskan kasih, tidak semuanya ditanggapi dengan kebaikan tetapi justeru yang didapatkan adalah hujatan. Memang berat untuk membumikan kasih dan kebaikan di dunia sekitar kita. Kita perlu ingat bahwa Yesus Sang Guru selalu menyebarkan pesan kebaikan cinta kasih dan memperlihatkannya melalui tindakan nyata yang berpihak pada mereka yang tersingkirkan, justeru Ia sendiri mendapatkan ancaman pada mereka yang tidak suka dengan ajaran dan tindakan-Nya yang penuh kasih itu.

Pengalaman umat yang dengan susah payah berjuang membangun gedung gereja, mengingatkan kita akan pengalaman Getzemani dan narasi puncaknya pada peristiwa Golgota. Pada titik kelam kehidupan yang dialami oleh Yesus ini, memberikan kisah inspiratif yang menggugah kesadaran kita sebagai pengikut-Nya. Masih ingatkah kita ketika membaca peristiwa Getzemani di mana Yesus hendak ditangkap dan Petrus yang membela gurunya menghunuskan pedang dan menyebabkan putusnya telinga Maltus? Yesus mengambil telinga yang terpotong itu untuk merekatkan kembali pada si pemilik telingan itu. Pesan penting bagi kita adalah bahwa Yesus selalu memancarkan kebaikan kepada siapa saja, termasuk musuh.

Menghadirkan kasih dan kebaikan di tengah masyarakat harus  membutuhkan proses panjang. Upaya mendirikan gedung gereja tidak semata-mata untuk membangun menara gading tetapi yang jauh lebih penting adalah kehadiran Gereja membawa suka cita bagi mereka yang belum mengenal Kristus dan ajaran-Nya. Kehadiran Gereja bisa merangkul semua orang, entah sahabat atau musuh. Dalam rangkulan kasih itu, mereka akan menemukan cinta kasih yang sedang tumbuh dalam diri anggota Gereja. ***(Valery Kopong)

Tuesday, February 9, 2021

Maut dan Pengampunan

 

Ketika membaca berita semalam, salah satu

breaking news adalah meninggalnya Ustad Maaher At Thuwailibi dalam usia yang sangat muda, 29 tahun. Berita meninggalnya ustad ini menghiasi jagat maya dan bahkan banyak yang mempertanyakan kebenaran informasi ini. Dari informasi pada media yang terpercaya membenarkan bahwa Ustad Maaher meninggal dunia ketika ia masih berada dalam tahanan Bareskrim Polri. Kita masih ingat saat ia berseteru dengan lantang dan bahkan bersitegang dengan Nikita Mirzani. Namun dari peristiwa kematian ustad Maaher, sepertinya semua larut dalam diam dan mendoakan agar jiwanya mendapatkan tempat yang baik di sisi Allah.

Semua doa dan harapan yang baik muncul pada permukaan hidup, hal ini menunjukkan sebuah kedewasaan sikap yang ditunjukkan oleh publik. Para nitizen tahu menempatkan diri dan membedakan situasi yang tengah dialami oleh Ustad Maaher dan keluarganya.  Bahwa peristiwa sebelum masuknya ustad Maaher ke tahanan sepertinya membakar situasi sehingga ada ketegangan dan ancaman terjadi. Tapi hal ini merupakan sesuatu yang manusiawi, yang gampang terprovokasi dan menempatkan ego sektoral melampaui segala nilai persaudaraan manusia.

Ada saat di mana kita harus bersitegang dan ada saat di mana kita harus merunduk untuk memahami situasi kedukaan. Rasa kemanusiaan semakin terasa ketika doa yang baik dilantunkan oleh para nitizen yang sebelumnya memperlihatkan ketidaksukaan mereka pada tingkah ustad Maaher. Dalam rentang kejengkelan sebagai manusia, pada titik tertentu kita juga harus memainkan rasa, untuk memberikan iba pada mereka yang terkena musibah ini. Musibah kematian, tidak hanya dialami oleh Ustad Maaher namun hari ini giliran dia yang mendapatkan tawaran Allah itu untuk mendahului kita. Kematian itu bukan soal siapa yang berperilaku baik dan siapa yang berperilaku jelek di dalam hidupnya. Tetapi soal batas akhir kehidupan manusia yang ditandai dengan kematian, hanya Allah yang tahu.


Banyak orang mengatakan bahwa tentang kematian, bukan soal berapa usiamu dan seberapa jauh perilakumu dalam hidup ini tetapi tentang kemahakuasaan Allah yang mengatur kehidupan dan kematian manusia. Kehidupan menarasikan sebuah kerapuhan dan hal ini mau menunjukkan betapa manusia bergantung pada sang pencipta. Hidup hanyalah sementara dan dalam kesementaraan itu, setiap kita mengisi hari-hari hidup secara produktif untuk kemudian menjadi warisan untuk dikenang oleh mereka yang menjalani hidup ini. Memang, sadar atau tidak bahwa setiap jejak langkah kita selalu meninggalkan bekas sejarah yang memberi makna pada hidup dan kehidupan ini.

 

Doa yang tulus dari rivalnya selama hidup mau menunjukkan betapa berharganya manusia dalam konsep kematian yang berharga. Sejelek-jeleknya orang di dalam hidupnya dan bahkan perilakunya menimbulkan kegaduhan tetapi pada saat ketika ia mengalami  kematian, doa-doa yang mengalir membersitkan penghargaan dan menjadikan kematian itu sebagai peristiwa iman yang menyadarkan manusia. Ustad Maaher telah tiada dan berbaring kaku tetapi publik yang selama ini seakan tergiring kesadaran untuk membencinya, harus memberikan pengampunan baginya sebagai bekal untuk menjalani ziarah menuju tanah air surgawi. Sampai berapa kali kita mengampuni? Sampai tujuh puluh kali tujuh kali, kita mengampuni sesama. Artinya pengampunan itu tanpa batas terutama pada mereka yang kita benci. Kebencian kita semakin lenyap ketika maut itu membawanya pergi ke alam lain, alam keabadian.***(Valery Kopong)