Thursday, April 19, 2018

Selamat Jalan Nol Pareira Mandalangi

Sejak terbentuknya LP3KD Banten pada awal Juli 2017, aku mengenal Pak Nol Pareira. Pembawaannya sederhana dan selalu menebarkan keramahan kepada siapa saja yang ditemuinya, termasuk kami yang terlibat dalam mempersiapkan PESPARANI (Pesta Paduan Suara Gerejani) Katolik. Beberapa kali pertemuan, baik di LP3KD Banten maupun team kecil pra-pesparani yang akan menyeleksi para peserta paduan suara, Pak Nol Pareira tidak pernah absen. Ia tetap hadir dan seakan memberikan spirit bagi team LP3KD Banten dan team kecil pra-pesparani untuk terus maju dalam mempersiapkan kontingen untuk mewakili Banten yang akan ke Ambon pada bulan Oktober 2018.   

Wednesday, April 18, 2018

"Kapek Kiwang"

“Ata loge kapek jawhan, ina tite loge kapek kiwang.”  Wengen lagu Simon L. Muda naen ni, ra marin tek’a oneket, teka puho. Kalau goe wengen lagu ni, go peten inak rae lewo, peten ata ribhun.  Lagu ni na tutu koda puke, marin kirin makene. Bagi goe Ata Gelong Lama Ledan, lagu ni na tutu ata ribuhun noon ata kebelen.  Memang, rae lewo tanah Adonara, temutu nolhon mengingatkan tite tentang relasi yang kurang harmonis antara ata ribhun noon ata kebelen.

Lagu Simon L. Muda naen ni mengisahkan secara singkat  mengenai kehidupan ata ribhun yang selalu sederhana, terutama mengenai “rekan renu” dan “tel’e towe.” Hanya yang lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Adonara umumnya, “tele towe” menjadi pemandangan yang sangat menyolok dan sekaligus menegaskan status sosial seseorang.  Status sosial menjadi sebuah jalan utama untuk menempatkan seseorang dalam strata sosial tertentu, apakah seseorang menempati posisi pada strata atas, menengah atau bawah? Hal ini bergantung pada keseharian hidupnya dan juga bisa dilihat dari mana dia berasal.

Tidak Sekedar Menyuluh

Ketika menerima SK pertama sebagai CPNS dan ditempatkan sebagai Penyuluh Agama Katolik,  sebuah tantangan baru sedang aku hadapi. Sebagai Penyuluh Agama Katolik dengan label PNS,  aku berdiri pada titik tengah, antara pemerintah dan Gereja.   Apakah Gereja antusias atau berusaha “senyum” melihat Penyuluh Agama Katolik  yang bekerja untuk mewartakan kabar baik? Pertanyaan ini menggelitik karena ketika  ditempatkan pertama kali sebagai penyuluh agama di wilayah Kecamatan Pamulang, langkah pertama yang harus dilakukan adalah melaporkan diri pada pimpinan  Kantor Urusan Agama di Kecamatan Pamulang-Tangerang Selatan dan juga bertemu dengan Pastor kepala Paroki  Barnabas-Pamulang. 
Dua instansi yang aku lapori ini sepertinya tidak memberikan respek tentang keberadaanku sebagai Penyuluh Agama Katolik. Bisa dipahami bahwa satu-satunya Penyuluh Katolik di wilayah Tangerang, hanyalah aku. Pertama kali aku ditempatkan di Kantor Urusan Agama, Kecamatan Pamulang-Tangeran Selatan. Beberapa teman penghulu agama Islam di KUA Pamulang, ketika tahu bahwa aku Penyuluh Katolik, mereka  langsung menitipkan pesan, “tolong bereskan gereja-gerejamu yang ada di ruko-ruko.” Aku lalu menjelaskan bahwa itu bukan gerejaku tetapi gereja Kristen Protestan. Aku berusaha untuk menjelaskan secara detail mengenai letak perbedaan antara Katolik dan Kristen Protestan dan dari situ, mereka  mulai mengetahui tentang perbedaan kedua agama itu.

Thursday, April 12, 2018

Mengenal Tarekat Maria Mediatrix

Tarekat Maria Mediatrix merupakan tarekat pribumi pertama di Indonesia. Tarekat ini berdiri pada 1 Mei 1927  dengan pendirinya  Mgr. Aerts, MSC.  Tarekat suster-suster Maria Mediatrix yang kini berkembang pesat ini  memulai karyanya di tanah Ambon, setelah didirikan oleh Mgr. Aerts. Berawal dari niat seorang gadis Ambon ingin menjadi suster. Namun panggilan Olive Fofid  itu masih menunggu keputusan Mgr. Aerts  Olive Fofid saat itu  bersama anak-anak gadis lain dididik di sebuah asrama dengan  para pendidiknya  yang adalah suster-suster berkebangsaan Belanda.
          

Wednesday, April 11, 2018

SALAHKAH AKU KARENA BERBEDA DENGANMU?


Judul: Menembus Badai
Penulis: Wu Da Ying dan Peilin Go
Penerbit: Galang Pustaka

Hidup dan berada sebagai kelompok minoritas selalu tidak menyenangkan. Ruang  gerak kebebasan sepertinya dipangkas  karena didominasi oleh kelompok mayoritas. Diskriminasi pasti tetap ada dan bahkan penghilangan hak-hak yang dimiliki secara sepihak, adalah cara vulgar yang harus dihadapi oleh  kelompok minoritas ini.
                Buku sederhana ini mau menggambarkan  kisah bagaimana sepak terjang seseorang yang menjadi bagian dari kelompok minoritas. Minoritas dalam konteks Indonesia bisa dilihat dari beberapa sisi, seperti agama yang dianut,  suku dan  ras dari kelompok tertentu.  Tak  dapat dipungkiri  bahwa stigma tentang minoritas  yang ada di Indonesia tak pernah hilang dari ingatan publik.  Berbekal  memori dan sejumlah literatur, Wu Da Ying mencoba untuk  mengkonstruksi  perlakuan yang tidak wajar terhadap  kelompok  tertentu.     
                Belajar dari keindonesiaan berarti belajar  tentang keberagaman.  Keberagaman yang ada di Indonesia bukanlah  sebuah upaya permintaan  dari negeri ini tetapi keberagaman dilihat sebagai sesuatu yang terberi dari Allah. Adakah yang salah dari keberagaman Indonesia?***(Valery Kopong)



Tuesday, April 10, 2018

2 + 2


Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat SMS dari salah seorang  teman. SMS-nya singkat dan memberikan pesan  yang kabur padaku. Dia mengatakan, 2+2  hasilnya bukan empat lagi. Membaca pesan singkat ini semakin membuat aku  tak karuan berpikir. Hitungan matematis semenjak dulu, bahwa 2 + 2 sama dengan empat. Lalu mengapa hari ini digugat melalui SMS dan yang menggugat adalah orang yang biasa aja dan bukan ahli matematika?  Kalau seorang ahli matematika yang menggugat, saya melihatnya sebagai hal yang biasa tetapi karena yang menggugat adalah seorang yang biasa maka hal itu dilihat sebagai sesuatu yang luar biasa.

Monday, April 9, 2018

“Waiting for Godot”


Komisi pemberantasan korupsi pernah membuka sebuah warung dan diberi nama “warung kejujuran.” Banyak barang yang dijual diletakkan di etalase dan diberi harga masing-masing. Setiap orang yang mengunjungi warung tersebut dibiarkan untuk memilih dan membeli sesuai dengan harga yang tertera pada masing-masing barang dagangan  dan uang yang merupakan hasil pembelian diletakkan pada tempat yang telah disediakan. Apa yang merupakan tujuan utama dari adanya pembukaan warung kejujuran tersebut? Apakah cara sederhana ini menjadi sarana pembelajaran bagi warga agar selalu bersikap jujur tanpa perlu dikontrol?
            Mencari orang jujur pada saat ini untuk menjadi pemimpin merupakan suatu pekerjaan yang amat sulit. Menjelang Pilkada, banyak orang beramai-ramai menampilkan diri sebagai orang baik dan jujur dan layak menjadi pemimpin. Ada pula yang menjagokan figur yang digadang sebagai calon pemimpin yang bersih dan berkualitas. Ada banyak calon pemimpin  yang ingin tampil di atas pentas politik dan menawarkan jalan baru menuju sebuah tujuan yang mau dicapai yaitu kesejahteraan masyarakat. Tawaran yang dikedepankan dibarengi juga dengan afirmasi diri maupun partai. “Pilih aku sebagai calon pemimpin yang bersih dan peduli. Atau pilih partai X yang tidak korup.” Apa yang dikatakan oleh calon pemimpin  maupun partai, hanyalah merupakan jargon politik yang bersifat sesaat dan kemudian lenyap dari permukaan hidup setelah mendulang suara yang mengantarnya pada kursi kekuasaan.
           

Friday, April 6, 2018

Kemah


Oleh: Valery Kopong*

TANGGAL 21 malam, bulan November 2009 waktu itu.  Di tengah mendung menggelayut langit sekolah Tarsisius Vireta, ada banyak kemah berdiri tegak di jantung halaman sekolah. Dalam sorotan api unggun yang memikat, seakan membakar kesadaranku untuk selalu berjaga dan berjaga. Anak-anak SD Vireta tengah mendesis di ruang kemah itu yang seakan mengundang kemarahan dari kak Pembina. Tapi apakah mereka yang berkemah adalah potret simpel dan simbol dari sebuah kehidupan yang fana?
         

Thursday, April 5, 2018

AKU TETAP INGIN MENARI


Oleh: Theresia Yuni

            Alunan musik Bali yang membangkitkan semangat mengalun merdu. Terlihat lenggak-lenggok empat anak berlatih menari tari Belibis. Pelatih memberikan contoh sambil meneriakkan aba-aba yang harus diikuti para penari pemula.
            “Adik-adik ingat ya, tari belibis ini menggambarkan kehidupan sekelompok burung belibis yang dengan riangnya menikmati keindahan alam. Jadi, menarinya harus dengan riang, dan lincah. Mukanya jangan muram dan semua gerakan harus menunjukkan kesungguhan.” Kata Tante Astrit, sang pelatih.
            “Sekarang kita mulai lagi. Siap ya! yak mulai.” Teriakan Tante Astrit terdengar jelas. Semua penari mencoba mengikuti gerakannya, termasuk Ella yang gerakannya terlihat terseret-seret karena belum begitu hafal.
            Tiga bulan sudah ia belajar menari di sanggar Tante Astrit. Ketertarikan awal Ella menari yaitu ketika ia melihat pementasan tari Cenderawasih dan tari Belibis, di  acara kantor Bapaknya. Ia jadi ingin tampil seperti mereka yang lincah dan menarik hati  dengan iringan musik Bali.Tapi kenyataannya, menari Bali bagi Ella tidaklah mudah. Hari ini cukup membuat semangatnya hilang ia tidak terpilih sebagai wakil sanggar dalam lomba menari antar sanggar.
           

Wednesday, April 4, 2018

SASTRA DAN SEKSUALITAS, KEINDAHAN YANG TERCEMAR


MEMBACA beberapa karya sastra berupa novel, para sastrawan terkadang secara vulgar menampilkan suatu  situasi riil yang sering dialami oleh manusia. Tulisan yang mengangkat masalah biasa yakni seksualitas yang sering menimbulkan suasana luar biasa ini tidak lain merupakan bentuk revolusi dari sastrawan yang menggunakan pintu kesusastraan sebagai jalur penyadaran bagi masyarakat tentang penghargaan terhadap perempuan dan terutama menghargai seksualitas sebagai yang terberi dari Sang Pencipta. Menelusuri penulisan ini muncul suatu pertanyaan nakal untuk direnungkan. Mengapa para sastrawan harus memilih jalur kesusastraan sebagai media penggugah nurani penghuni kolong langit ini? Masih kurangkah tulisan-tulisan yang termuat dalam pelbagai pers yang umumnya menyertakan data dan dilengkapi foto-foto yang akurat yang berbicara tentang seksualitas?
                Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk misalnya, telah menggambarkan suatu kondisi dilematis yang menjadi pilihan pahit seorang perempuan yang diwakili oleh Srintil, tokoh utama dalam penceritaan itu. Srintil sebagai penghadir figur lama, yakni peronggeng ulung yang telah meninggal harus menuruti aturan sebelum dikukuhkan sebagai peronggeng baru. Beberapa aturan dalam ritus pengukuhan telah dijalani dengan baik dan terakhir tuntutan yang dipenuhi adalah sayembara pembukaan keperawanan. Sebuah acara bernuansa vulgar begitu memikat pemirsa, terutama laki-laki yang haus akan seks untuk mengikutsertakan diri dalam sayembara bergengsi itu.
               

Tuesday, April 3, 2018

Di Tangkai Langit


                   (Elegi sang perantau)

             
Siapa yang tahu persis, kapan kematian itu menjemput seseorang? Di sore yang sedikit mendung dengan awan sisa menggelantung di tangkai langit, seolah menerima keramahan dan senyuman terakhir bagi mereka yang melewati pos satpam Vireta. Ia pamit pulang karena jam kerjanya sudah selesai. Makan sore pun mulai. Piring yang ada di tangan menjadi saksi bisu kepergian Frans De’ona, lelaki dari pulau lomblen yang telah lama merantau.
            Semua pada panik karena kondisinya kejang. Ia dilarikan ke Rumah Sakit tapi dalam perjalanan ia menghembuskan nafas terakhir. Kami yang menunggu dengan jantung setengah berdenyut, tiba-tiba hanyut dan larut dalam kemelut dingin. Ia mati sebagai seorang security. Ketika bertugas berjaga, mata-mata para satpam belalak liar mengintai pencuri atau musuh yang datang tapi kali ini ia tak sanggup lagi mengintai kedatangan maut. Ia hanyat terbawa dalam arus sakratul maut. Ia mati selamanya.Dan tentang kematian, seorang sahabat saya yang meninggal setelah menulis puisi ini, menuangkan nilai-nilai puitis bernada demikian:
Kuusung jenasahku sendiri
Menyinggung tepian samudra
Angin yang mengawal pantai
Menebar bau kematian ini
Kumakamkan diriku sendiri di sini
Tanpa kembang seribu janji
Tiada pula syair-syair kebangkitan…
           

Monday, April 2, 2018

Dewasa Dalam Cobaan Hidup


Judul                     : Dari Penciptaan Sampai Babel
Pengarang          : Y.M.Seto Marsunu
Penerbit              : Kanisius, Yogyakarta (Cetakan ke 5 tahun 2012)

                Kisah perjanjian Lama, melukiskan pengalaman iman umat Israel tentang Yahwe (Allah orang Israel) yang senantiasa menyertai mereka dalam setiap detak kehidupan. Pengalaman perjumpaan dan keterlibatan Yahwe dalam kehidupan bangsa Israel, dituturkan  secara turun-temurun dalam lingkup keluarga dan masyarakat. Kisah Bapa-Bapa bangsa dan peristiwa eksodus bani Israel dari Mesir dan disusul dengan pengembaraan mereka selama 40 tahun, menjadikan pengalaman ini sebagai pengalaman kolektif yang tidak pernah hilang dari ingatan sejarah.
                Kisah yang ditutur secara lisan ini bertahan untuk beberapa generasi dan selanjutnya ditulis sebagai cara untuk mendokumentasi seluruh pengalaman hidup itu. Kisah penciptaan alam semesta dan manusia, ditulis dengan amat baik dalam kitab genesis (kejadian). Allah berperan penting dan yang  menjadi tokoh sentral dari narasi penciptaan itu. Allah dilukiskan sebagai Allah yang berperan, terlibat dalam seluruh peta penciptaan alam semesta. Mengapa Allah terlebih dahulu  mempersiapkan alam semesta dan isinya dan manusia diciptakan Allah paling akhir?