Wednesday, May 25, 2011

Bangsa Pelupa dan Pendek Ingatan

Oleh John Haba (Penulis adalah Profesor Riset LIPI-Jakarta)

TERUS menumpuknya masalah-masalah nasional membawa masyarakat bertanya, masihkah pemerintah dan semua pemangku kepentingan serius menanganinya? Ataukah, pemerintah dan aparatnya dengan terencana sudah melupakan dan membiarkan berbagai masalah melilit bangsa Indonesia? Publik disentakkan dengan pernyataan para pemimpin agama bahwa “pemerintahan SBY telah berbohong”. Serta merta sikap para pemimpin agama itu lebih menyadarkan masyarakat bahwa ada masalah-masalah serius yang belum tuntas dikerjakan.
Lalu, apa sesungguhnya yang melatarbelakangi tunggakan masalah dalam negeri ini, sehingga masalah datang dan pergi, seakan negeri ini akrab dengan persoalan kronis? Banyak asumsi dikembangkan, seperti pemerintah barangkali tersangkut dengan berbagai mega kasus, lemahnya kepemimpinan Presiden SBY, dan tidak berfungsi maksimal sejumlah menteri kabinet. Salah satu dugaan yang bisa disebut adalah kita sudah menjadi bangsa pelupa, bangsa berpikiran pendek lagi sempit, dan beria-ria membiarkan berbagai permasalahan agar sirna ditelan waktu.

Melupakan dan membiarkan

Mencampuradukkan antara kosep ‘melupakan’ dan ‘membiarkan’ dalam konteks kekinian Indonesia semakin menjadi penting, sebab dua pemahaman ini justru terus menyesatkan. Melupakan tidak selalu membawa makna destruktif, dan sebaliknya membiarkan dapat menemukan makna konstruktif. Memposikan pemahaman melupakan dan membiarkan akan lebih menarik, kalau sejumlah mega kasus di negeri ini dipilah lebih dalam lagi. Tindakan melupakan dan membiarkan bertolak dari kesadaran diri (self-awareness) akan sesuatu peristiwa dalam sejarah diri atau sejarah bangsa. Untuk berdiri tegak dalam gejolak sosial politik, ada masa silam sejarah, yang kendatipun pedih dan merugikan mesti ikhlas dilupakan, agar perjalanan sejarah pribadi dan bangsa tidak terikat hanya kepada masa silam yang kelam.

Dalam sejarah, misalnya, keteladanan Nelson Mandela, bapak bangsa sekaligus pemersatu Afrika Selatan patut diacungi jempol, kendatipun di bawah pemerintahan Apartheid ia dipenjarakan selama 27 tahun. Hak untuk menuntut balas terbuka di depan dirinya, tetapi watak seorang negarawan dan tabiat luhur Mandela yang mengutamakan keutuhan negara Afrika Selatan yang tercabik akibat politik Apartheid, ikut menguburkan segala peluang yuridis untuk mengembalikan martabat diri dan keluarganya.

Lain Nelson Mandela, lain juga pemimpn di negeri ini. Dendam dan tabiat tidak bersahabat selaku ‘negarawan’ sering membingungkan publik, kesanggupan melupakan disparitas idiologi justru terus ditabur ke ranah privat.
Akibatnya, musuh bersama bangsa (the common enemy) seperti kemiskinan dan keterbelakangan tidak diterima sebagai tanggung jawab bersama, tetapi telah dialihkan menjadi tanggung jawab pemerintahan tertentu. Keterpecahan pemikiran sebagai pemimpin, dan lemahnya kapasitas untuk memrioritaskan kepentingan bersama, berdampak pada kebiasaan melupakan tanggung jawab, sehingga kemudian menjadi pemimpin atau mantan pemimpin pelupa lagi berakal pendek.
Tabiat pelupa saat naik kelas menjadi kebiasaan membiarkan, apa pun yang hendak terjadi, berbagai kasus besar yang merugikan publik kemudian disepelekan.
Tidak mengherankan kalau cara pemerintah mengatasi masalah dengan tendensi menciptakan masalah, karena tindakan terhadap kasus-kasus besar di Indonesia yang tidak pernah tuntas secara hukum, sebaliknya menjadi konsumsi politis. Kasus Bank Century, mafia pajak Gayus Tambunan dan isu suap Wisma Atlet SEA Games Palembang, termasuk kasus-kasus besar yang entah kapan akan berakhir. Jatuh ke dalam perilaku tidak mau tahu kian menjadi marak dan merebak menjadi fenomena nasional. Bangsa yang mengklaim dirinya sebagai bangsa yang menjunjung kebersamaan telah menjelma menjadi bangsa individualistik, mengedepankan kepentingan kelompok dan berpikir parsial, sebab menjalarnya elit-elit faksional, yang asal muasal mereka berkiprah untuk kemaslahatan publik layak dipertanyakan.

Pelupa dan pendek ingatan

Kata lain untuk ‘bangsa pelupa’ adalah ‘bangsa pendek ingatan’. Ambiguitas pengertian serta merta timbul dari ungkapan ‘bangsa pendek ingatan’, sebab kata-kata ini dapat bernuansa negatif, sepadan dengan kelompok manusia yang bertindak emosional dan tidak sanggup berpikir jauh ke depan. Atau, setelah bertindak baru mulai berpikir, sehingga segala konsekuensi yang mengikutinya bukan lagi menjadi tanggung jawab si penutur. Fenomena lain dari bangsa pendek ingatan terlacak juga pada pola mengalihkan perhatian dari satu kasus ke kasus lainnya. Ketika sebuah kasus hangat diperdebatkan, multipihak ikut meramaikan diskursus itu seolah-olah mereka lebih berkompetensi dan memiliki otoritas tunggal.
Tetapi kalau tidak ada hasil konkrit yang diperoleh, atau sudah tidak berdaya memecahkan masalah yang mungkin mereka sendiri timbulkan, maka dengan cepat kasus-kasus itu dipetieskan dan beralih lagi ke kasus-kasus lain. Lonjatan pemikiran atau inkonsistensi serupa semakin marak dan terus digandrungi oleh masyarakat, terutama oleh pemerintah dan para wakil rakyat. Seandainya fenomena sosial ini benar, maka bisa diabsahkan bahwa segala peristiwa dan bencana sosial patut juga ditelusuri dalam pola berpikir manusia Indonesia saat ini.

Simpang siurnya isu dan kasus di negeri ini berdampak pada tidak fokus dan selesainya persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Yang membingungkan masyarakat Indonesia adalah sejumlah kasus yang disinyalir berkaitan dengan kepemimpinan dan figur Presiden SBY. Selaku tokoh nasional SBY berada pada pusaran dan titik perhatian masyarakat, sehingga selentingan apa pun yang datangnya dari pusat kekuasaan pasti akan menjadi berita.
Para penasihat beliau sering muncul dengan berbagai pemikiran yang ‘mewah’ dan tidak mudah dicerna publik. Kasus blue energy dua tahun silam yang menghebohkan yang bertalian dengan rekayasa teknik yang hasilnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip sains, dan belum teruji tingkat kebenarannya. Belum puas dengan pernyataan bersifat sensasional itu, mendadak datang pemikiran staf khusus SBY mengenai potensi ancaman gempa bersala 8,6 skala Richter yang berpotensi meluluhlantakkan Jakarta dan sekitarnya. Isu gempa berskala masif mencuat ke permukaan pemberitaan media massa dan media cetak manakala Partai Demokrat lagi diterpa isu miring akan anggota-anggotanya yang ditengarai terlibat kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan.

Segala isu yang mencakupi korupsi, lingkungan, NKRI dan suap belum lagi selesai ditangani, dan semakin menggiring negeri kita ke dalam kategori bangsa gagal, maka masyarakat dihebohkan dengan berita sensasional ‘Presiden SBY Menjalani Diet’. Aneh tapi nyata, dan inilah sejatinya wajah kita sekarang ini. Benturan antara prioritas nasional, tokoh, peristiwa serba tunggang menunggang satu dengan lainnya, sehingga rumit untuk memilah di antara kasus-kasus tersebut. Mencermati jalan berita di negeri ini yang cepat melengkung dan berpindah arah tanpa sinyal awal, sudah meyakinkan dan menjustifikasi asumsi publik bahwa ‘pengalihan isu menjadi senjata termudah dan tercepat untuk meminimalisasi tanggung jawab parapihak’.
Potensi kebenaran dapat juga tertoreh pada adagium ini, bahwa skala prioritas sebuah berita yang substansial telah ditekan oleh popularitas dan intervensi kekuasaan dan modal yang secara tidak langsung melemahkan peran utama pers. Atau saling memanfaatkan antara penguasa, pemilik modal dan parapihak, untuk mencapai agenda-agenda terselubung secara politis, namum dikemas dalam bentuk yang tidak mencurigakan. Apa urusan ratusan juta rakyat Indonesia dengan ‘diet SBY’ bila dibandingkan dengan akumulasi ketidakadilan, pengangguran, korupsi, suap, malapetaka lingkungan dan perilaku menyimpang para penentu kebijakan di negeri ini?

Kalau mau dicermati, mungkin setiap kali timbul tenggelam kasus-kasus besar di negeri ini, dan bersamaan waktu dengannya, lahir juga berita-berita aneh dan lucu yang tidak relevan, yang tidak sanggup diadopsi sebagai pijakan untuk mengoreksi kegelisahan-kegelisahan sosial itu. Tanda-tanda kemandegan berpikir simetris terjerembab dalam pola penalaran yang siklis (berputar) adalah indikator manusia yang terjebak dalam kegalauan diri sendiri, kemudian bermimpi menarik orang lain agar terperangkap dalam keterpurukannya. Kalau ini indikasinya, maka kondisi dan kualitasnya tidak lagi berada pada tahapan ‘bangsa pelupa’ tetapi ‘bangsa lemah dan pendek ingatan’. Barangsiapa terperangkap dalam kategori ini mesti diawasi karena berpotensi merongrong aturan sosial yang mapan, dan ia berpikir sementara membangunan tatanan masyarakat yang lebih baik. Realitas masyarakat kita akhir-akhir ini ada dalam suasana yang persis seperti orang yang rusak ingatan, tetapi berbangga bahwa kita adalah tokoh idola dari masyarakatnya. Sebab itu jangan pernah berharap banyak terhadap para pemimpin yang bermimpi bahwa mereka adalah figur-figur panutan, kalau gagasannya hanya untuk perutnya hari ini, namun garang menghunus pedang dan mengumbar janji sebagai sumber jawaban atas segala bencana sosial.

Dalam peradaban manusia, sejarah tidak pernah dikonstruksikan oleh pemikir yang kerdil, pengecut dan individualistik; apalagi oleh kelompok manusia beringatan pendek, yang bakatnya adalah meloncat dari satu gagasan ke gagasan lainnya. Ingatan kolektif (collective memory), dalam sejarah pemikiran bernalar dan memiliki daya tarik positif, mengatasi kenangan masa silam yang kelam kemudian bermuara pada medan perubahan yang menjanjikan. Nuansa bersama sebagai bangsa akhir-akhir ini sementara mengantisipasi perhelatan politik menyongsong tahun 2014, distorsi nilai, krisis identitas, pergulatan ekonomi dan sejumlah kasus yang mengakibatkan kita tersesat dan saling menyalahkan.
Terperangkap dalam pusaran realitas serupa ini akan mendesak manusia mencari selamat dan jalannya sendiri, dengan melahirkan pengkhianat-pengkhianat baru yang sejatinya berpikir mereka tidak pernah keliru. Pengkhianatan terhadap komitmen awal dari perjuangan bersama memberantas ketidakadilan adalah salah satu indikator dari manusia yang berlogika sempit, egois dan takut mengangkat tanggung jawab. Ingatan kolektif nantinya berujung pada keretakan kesadaran berbangsa, dari pada mereunifikasi kemampuan nasional untuk tidak jatuh dalam kesalahan sejarah masa silam. *

0 komentar: