Showing posts with label Politik. Show all posts
Showing posts with label Politik. Show all posts

Saturday, December 3, 2022

Mafia

 

Ketika berlibur ke kampung halamanku Gelong-Adonara Timur pada Juli 2022 yang lalu, penulis berkesempatan ngobrol dengan orang-orang kampung yang berbicara tentang peluang dari figur-figur yang menjadi capres dan cawapres pada pemilu 2024 nanti. Obrolan kami seputar pentas politik nasional dengan melihat rekam jejak dan kalkulasi peta kekuatan berdasarkan aspek primordial yang melekat pada basis pemili di Indonesia. Diskusi tentang politik ini sempat terhenti ketika salah seorang yang tergabung dalam obrolan itu mendadak bertanya padaku. Apa itu politik? Pertanyaan tentang arti politik menjadi penting terutama untuk warga kampung yang kurang paham tentang arti sesungguhnya dari politik.

Memang, pertanyaan tuyul ini menjadi penting karena setiap orang dan khususnya politisi harus mengerti dan memahami tentang esensi dasar tentang politik. Politik menurut orang-orang kampung yang selama ini dipahami sebagai “seni menipu” masyarakat dan pelakunya adalah para politisi. Apa yang dipahami secara salah tentang politik dalam skala kampung, bertitik tolak dari pengalaman orang-orang kampung yang rajin dikunjungi pada saat menjelang Pilkada maupun Pilpres. Para politisi selalu menjagokan diri dan figur yang mau dicalonkan walaupun pada kenyataannya jauh dari harapan masyarakat. Sikap bombastis yang mengumbar secara berlebihan dan bahkan terjadi proses penipuan secara terbuka untuk mendulang suara pada menjelang Pilkada maupun Pilpres, pada akhirnya mengerucut pada pemahaman yang salah tentang esensi dari politik itu sendiri.

Apa makna sebenarnya dari politik? Secara sederhana, politik adalah seni untuk menata keseimbangan hidup bersama. Ketika melihat makna dasar arti politik yang menata keseimbangan hidup bersama, ada hal yang memiriskan nurani anak bangsa ini karena dalam berpolitik tidak terjadi lagi keseimbangan bahkan situasi masyarakat tercabik-cabik karena perhelatan demokrasi. Situasi menjadi ambigu karena masyarakat terpolarisasi sesaat di musim pilkada maupun pilpres. Ada tarik menarik kepentingan dalam masyarakat dan masyarakat sendiri menjadi korban dari perhelatan itu dan menjadi penonton adalah kaum elite politik. Masyarakat terpolarisasi sesaat karena menjadi bagian dalam mendukung calon tertentu. Banyak pengamat memprediksi bahwa dalam tahun politik ini bisa terjadi konflik horizontal yang mengarah pada perpecahan. Jika terjadi perpecahan karena disebabkan oleh pilihan politik yang berbeda maka esensi dasar politik yang mau menata keseimbangan bersama belum menemukan titik keberhasilan.

Kita bisa saksikan sendiri bahwa sebelum pertarungan politik terjadi di tahun 2024, sudah mulai memanas dengan munculnya pelbagai isu yang menyerang calon tertentu. Anies Baswedan yang telah dideklarasikan menjadi capres sudah mulai melakukan safari politik walaupun itu belum waktunya untuk melakukan kegiatan politik. Komunikasi politik terus dibangun sebagai upaya untuk mendekatkan diri dengan rakyat namun tidak banyak juga yang melemparkan cibiran sebagai bentuk ketidaksukaannya.

Kehadiran Anies sebagai kandidat tidak serta merta memperlihatkan sikap publik yang menerimanya. Ada lawan politik yang mulai mencari-cari isu untuk menumbangkan lawan politiknya.  Politik identitas yang terjadi pada masa lampau dibongkar kembali untuk disajikan pada ruang publik dengan satu tujuan utama adalah menumbangkan lawan sebelum dan saat bertarung. Memang, berpolitik a la Indonesia, sudah masuk ke wilayah abu-abu dan sulit ditebak oleh lawan. Atau meminjam bahasa Ben Anderson: musuh bangsa Indonesia adalah “mafia.”

Ben Anderson melihat bahwa seluruh lini kehidupan bangsa ini sudah dirasuki oleh mafia dan dengan demikian kita sulit untuk membangun peradaban politik yang bersih dan lebih elegan. Demi mengejari kursi kekuasaan, ada “mafia” yang bekerja secara investigatif untuk mencari dosa-dosa masa lampau dari lawan politik. “Mafia” menjadi gerakan masif dalam membangun strategi politik yang bisa mematahkan lawan. Mafia sepertinya menjadi agenda terselubung pada politisi yang ingin menghancurkan lawan politik. Di sini kita bisa membaca kegamangan dalam memahami esensi politik sebenarnya.

Isu yang dihembuskan oleh para politisi dengan memanfaatkan orang lain sebagai penyebar isu, menjadikan mafia politik ini semakin menjijikan dan masyarakat semakin muak dengan tingkah laku para politisi. Mestinya para pendukung maupun partai pengusung harus mengedepankan program-program yang berpihak pada rakyat karena hanya dengan program unggul yang ditawarkan kepada masyarakat, menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat dan pada akhirnya memberikan pilihan yang tepat. Kenyataan berbicara lain, bahwa yang dikedepankan oleh para politisi dan calo pemimpin lebih banyak merancang isu sebagai strategi untuk menjatuhan lawan dan bukannya merancang program yang bisa ditawarkan kepada masyarakat.

sumber gambar: www.silontong.com

Semua figur yang menjadi capres sedang menanti pinangan dari partai koalisi.  Masyarakat diminta untuk menjejali rekam jejak para figur yang akan bertarung. Barisan para capres dan cawapres nanti, mudah-mudahan tidak seperti barisan kafilah padang pasir yang nampak begitu dahaga dan berburu sumber air. Politik praktis dalam skala nasional  masih memperlihatkan hausnya para calon akan kursi kekuasaan yang direbutnya. Publik menanti dengan cemas. Siapa sesungguhnya pemimpin baru untuk Indonesia?*** (Valery Kopong)

Monday, January 4, 2016

DEFINISI DAN PENGERTIAN BUDAYA POLITIK MENURUT PARA AHLI



budaya+politik+Indonesia
Sebagai warga negara yang baik perlulah kita mengenal lebih dekat pengertian budaya politik dan fenomena perkembangan budaya politik ini di Indonesia. Apa itu budaya politik? Mari sama-sama kita simak dalam rangkuman dari para ahli di artikel berikut.


BEBERAPA DEFINISI DAN PENGERTIAN BUDAYA POLITIK MENURUT PARA AHLI

Berikut ini beberapa definisi dan pengertian budaya politik menurut beberapa ahli.
Almond dan Verba
Budaya Politik merupakan sikap orientasi yang khas dari warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada dalam sistem itu.
Warga Negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegarran berdasarkan orientasi yang mereka miliki.

Samuel Beer
Budaya politik adalah nilai-nilai keyakinan dan sikap-sikap emosi tentang bagaimana pemerintahan seharusnya dilaksanakan dan tentang apa yanga harus dilaksanakan ileh pemerinta.

Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.

Sidney dan Verba
Budaya politik terdiri atas sebuah sistem kontrol yang berhubungan dengan keyakinan-keyakinan, Verba menyarankan sejumlah dimensi budaya politik, khususnya negara bangsa, dengan sesama warga negara, serta dengan proses pengambilan keputusan input politiknya.
Miriam Budiardjo
Budaya politik adalah keseluruhan dari pandangan-pandangan politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik dan pandangan hidup pada umumnya.
Rusadi Kantaprawira
Budaya politik merupakan persepsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai masalah politik dan peristiwa politik terbawa pula ke dalam pembentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintah(an), karena sistem politik itu sendiri adalah interrelasi antara manusia yang menyangkut soal kekuasaan, aturan dan wewenang (Kantaprawira, 1999:26).
Mochtar massoed
Budaya politik adalah sikap dan orientasi warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan negara dan politiknya.
Albert Widjaja
Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang terdiri ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya ini dikenal dan diakui sebagain besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberi rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.

Tuesday, July 14, 2015

MENGHARAPKAN ISLAH PERMANEN


(Catatan Politik)
Ketika menulis skripsi tentang Golkar, saat yang sama waktu itu, Golkar sedang mengalami problema dan hampir dibubarkan. Problema itu  terus mendera Golkar seiring dengan waktu yang menambah usia partai itu yang semakin tua. Semakin tua beringin itu, semakin dia diterpa pelbagai badai ambisi kekuasaan. Melihat tingkah para politisi, masyarakat umum semakin hari semakin muak dengan situasi yang tengah menjadi tontonan yang  tidak menarik. Tetapi kondisi ini tetap mendera partai-partai politik, seiring dengan ambisi  para elite politik yang haus akan kekuasaan.   
                Dua kubu dalam satu tubuh partai, mencerminkan keterbelahan yang semakin parah. Ketika pilkada serentak yang sudah diambang pintu maka gesekan kedua kubu dalam lindungan “beringin” semakin kuat terasa. Namun ketika kubu Agung Laksono dinyatakan menang dan upaya islah semakin terbuka, walau hanya dalam kesepakatan terbatas. Sebuah kesepakatan yang boleh dikata sebagai kesepakatan ‘terpaksa’ untuk melanggengkan langkah kedua kubu menjaring calon kepala daerah untuk disandingkan calon yang diusung dari  partai lain. Menjadi pertanyaan penting di sini adalah, ke kubu manakah seorang calon kepala daerah yang diusung berdasarkan kesepatakan kedua kubu di partai Golkar itu berpihak?
               

Monday, April 30, 2012

Menghadapi Politik Amnesia

Setiap hari Kamis, sekelompok kecil warga berpakaian hitam berdiri di depan istana negara. Dengan payung hitam di tangan, mereka menghabiskan sisa senja dengan menghadap "rumah negara" itu sembari menunggu saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono keluar istana menuju Cikeas. Presiden dari balik kaca mobil barangkali sudah bosan melihat keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan aktivis ini berada di situ, apalagi jumlah mereka bertambah terus. Mereka mengingatkan tanggung jawab moral dan kemanusiaan negara ini yang telah menghilangkan banyak nyawa anak bangsa, korban pelanggaran HAM. Kelompok kecil ini setia berjuang melawan politik amnesia negara yang membiarkan kasus-kasus pelanggaran HAM mengambang dalam arus birokrasi dan politik. Sebut saja tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, pembunuhan terhadap aktivis HAM, Munir, peristiwa Wamena 4 April 2003, dan kasus Wasior 2001. Komnas HAM merekomendasikan ini sebagai pelanggaran HAM berat, tapi mandek di tangan kekuasan Kejaksaan Agung. Mereka setia berdiri untuk menagih janji-janji politik yang diucapkan Presiden dalam banyak kesempatan, tapi hingga detik ini tidak pernah terselesaikan satu kasus pun. Kelompok "Kamisan" ini pun sudah bertemu dan berdialog dengan Presiden Yudhoyono di istana negara tentang kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu, tapi hingga kini hanya janji yang mengisi harapan. Negara tampak tak berdaya di hadapan impunitas pelaku palanggaran HAM. Malah negara menjadi benteng perlindungan "aman" bagi para pelanggar HAM berat yang hingga saat ini leluasa di ruang publik. Negara terus saja mempraktikkan politik amnesia dengan membiarkan kasus-kasus pelanggaran HAM itu tertimbun waktu dan tertindih kasus-kasus lain yang terus saja diproduksi. Para keluarga korban dibuat putus asa dan tetap dalam nestapa. Rakyat dibuat sedemikian agar lupa dan para aktivis dialihkan perhatiannya dengan menciptakan berbagai isu baru. Dari sisi instrumen hukum, negara sebetulnya telah membuat sebuah pilihan politik signifikan. Pada tahun 2000, Presiden BJ Habibie membentuk UU No 39/1999 tentang HAM dan UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM. Pasca kedua produk politik ini, praktis tidak ada satu presiden pun yang menghadirkan kebijakan politik menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Padahal, seluruh mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu sudah jelas diatur dalam UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM. Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati memang tidak memiliki masa kekuasaan yang lama. Presiden Yudhoyono yang dipercaya rakyat selama dua periode ini sebetulnya memiliki cukup banyak waktu untuk menciptakan sejarah kebenaran dan keadilan bagi rakyat. Tapi, pada sisa masa kekuasaannya nyaris tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam penyelesaian kasus-kasus HAM itu. HAM hanya menjadi komoditas politik yang indah dalam pidato. Isu ini cuma sebatas alat barter politik ketika berhadapan dengan lawan. Komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus ini memang sudah banyak terucap, tetapi hingga detik ini publik dan keluarga korban belum melihat sebuah eksekusi yang menghadirkan kebenaran dan keadilan. Para peneliti dan aktivis HAM sudah mengirim banyak dokumen pelanggaran HAM masa lalu ke istana negara, namun hanya berakhir pada pengarsipan gagasan, tanpa aksi politik yang nyata. Berharga Proses pembiaran dan mekanisme politik amnesia inilah yang sedang dihadapi kelompok kecil Kamisan itu. Saat artikel ini ditulis, kelompok ini sudah 252 kali berdiri di depan istana negara. Mereka akan terus berdiri hingga tidak ada orang lagi. Di tengah kebisingan dan kemacetan arus lalu lintas di depan istana negara yang selalu dijaga ketat aparat militer, keluarga korban dan aktivis menghadirkan berteriak dalam kediaman di hadapan tembok kekuasaan yang membisu. Mereka mengingatkan harga nilai kemanusiaan, tapi begitu mudah ditiadakan aparatus. Hanya Tuhan yang memiliki kekuasan penuh untuk memanggil kembali manusia ke dalam pangkuan-Nya. Bahkan, Tuhan dalam agama-agama mengajarkan, manusia tidak boleh merampas hak hidup sesamanya. Kelompok Kamisan ini setia mengingatkan negara bahwa betapa pun kecil dan sederhana, hak hidup setiap orang di republik ini harus dijaga, dirawat, dan dibela. Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 menjamin hak hidup bagi setiap warga negara. Tetapi, ketika hak hidup warga dicabut dengan tragis oleh negara yang direpresentasi aparat militer, negara kehilangan kekuatan untuk memutus impunitas pelaku pelanggaran HAM tersebut. Para pelaku tetap bebas dan terus saja berjuang memasuki lorong-lorong birokrasi dan politik. Bagaimana menghadapi politik amnesia? Pertama, aksi Kamisan mesti terus dilakukan untuk mengingatkan negara akan tanggung jawab moral kemanusiaannya. Aksi ini merupakan model perlawanan publik yang dalam ziarah waktu akan membangun solidaritas perjuangan dalam menegakkan HAM. Kekuasaan negara sekuat apa pun tidak akan mampu menghadapi kesadaran moral yang terus disuarakan. Kedua, dibutuhkan pemimpin yang memiliki kemauan politik dan komitmen untuk membela HAM warganya yang terlanggar. Pemimpin sejati tegas terhadap bawahan. Dia peduli dan empati dengan kemanusiaan. Jika ada pelanggaran bawahan, ia tegas dalam koridor hukum sebagai wujud empati pada martabat hidup publik. Perpaduan keduanya akan menumbuhkan kewibawaan alamiah di hati rakyat. Negara sudah terlalu lama disesaki kata-kata yang tak pernah terimplentasi dalam tindakan politik dan hukum. Berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu yang tidak dituntaskan tidak hanya terus menuai perlawanan, tetapi juga akan membangun kesadaran palsu di kalangan aparatus negara bahwa tindakan melanggar HAM adalah sesuatu yang niscaya dan dilindungi negara. Legitimasi palsu jika dibiarkan akan terus menjadi ancaman serius kemanusiaan. Inilah rantai panjang kekerasan yang mesti diurai negara melalui aksi konkret penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Argumen inilah yang mesti terbaca di balik aksi Kamisan keluarga korban dan aktivis HAM di depan istana negara. Sebuah perlawanan terhadap mekanisme politik amnesia negara yang hanya mampu "mengarsipkan" kasus-kasus pelanggaran HAM, tanpa penuntasan. Steph Tupeng Witin, SVD Penulis adalah rohaniwan

Wednesday, May 25, 2011

Timor Leste Anggota ASEAN Kado HUT Kemerdekaan yang Tertunda

Oleh Florencio Mario Vieira, Pemerhati Timor Leste, Alumnus John Heinz III - School of Public Policy and Management, Carnegie Mellon University (CMU), Pittsburgh, Pennsylvania, USA, tinggal di Kupang.

TIMOR Leste merayakan HUT kesembilan, tanggal 20 Mei 2011 setelah melepaskan diri dari Indonesia tahun 1999 melalui jajak pendapat. Selanjutnya restorasi kemerdekaan dideklarasikan pada tanggal 20 Mei 2002, difasilitasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ada harapan besar dari pemerintah bahwa pada HUT ke-9 kali ini, Timor Leste mendapat 'kado' istimewa, yakni menjadi anggota ke-11 pada 18th ASEAN Summit di Jakarta, 7-8 Mei 2011.

Sehubungan dengan itu Indonesia sangat getol memperjuangkan proposal dari Pemerintah Timor Leste. Proposal yang diajukan oleh Zakarya Albano da Costa (Menteri Luar Negeri Timor Leste), disirkulasi oleh counter part-nya, Marty Natalagawa (Menteri Luar Negeri Indonesia) sebagai urgent attention, akhirnya gagal diterima oleh anggota ASEAN lainnya.

Banyak alasan yang menyebabkan negara baru tersebut belum dapat bergabung dengan ASEAN. Alasan utamanya adalah kesenjangan ekonomi yang terlalu lebar sehingga negara baru tersebut sulit berkontribusi terhadap pembangunan komunitas ASEAN, sekaligus dapat menghambat visi Integrasi ASEAN 2015.

Kepentingan Cina-Indonesia-Australia
Indonesia mempunyai alasan strategis sehingga sangat getol memperjuangkan Timor Leste agar segera bergabung dengan ASEAN. Pertama, Indonesia yang mempunyai sejarah politik kurang baik berupaya untuk memenangkan hati rakyat Timor Leste. Kedua, dari aspek sosial budaya, masyarakat Timor Leste dan Timor Barat-Indonesia, tidak dapat dipisahkan.

Ketiga, ketergantungan Timor Leste secara ekonomi terhadap Indonesia tidak dapat dipungkiri. Barang dan jasa non-migas 90% diimport dari Indonesia. Keempat, aspek strategi geo-politik, Timor Leste yang secara geografis berada di dalam kawasan negara kepulauan Republik Indonesia, pemerintah Indonesia berupaya keras agar Timor Leste tidak didominasi oleh kepentingan negara lain, terutama persaingan Cina dan Australia menjadikan Timor Leste sebagai 'satelit' untuk kepentingan ekonomi dan politik. Pada masa perang dingin, Partai Fretilin sangat dekat dengan Partai Komunis Cina (PKC).

Fretilin juga menjadi pemenang pemilu dua kali berturut-turut sejak kemerdekaan Timor Leste.

Bagi Cina, nostalgia ideologi komunis saat perang dingin, berpeluang dilanjutkan kemesraan tersebut dalam ekspansi kepentingan ekonomi. Saat ini Cina merupakan donor terbesar bagi Timor Leste. Pembangunan istana negara Presiden Timor Leste dan infrastruktur, sebagian besar bantuan hibah Cina. Di lain pihak, pasca pemisahan dari Indonesia, Australialah yang berperan secara dominan di Timor Leste, antara lain pengiriman pasukan Interfet pasca kerusuhan 1999. Kepentingan Australia adalah menjadikan Timor Leste sebagai buffer zone (wilayah penyangga) bila ada ancaman dari Indonesia. Antisipasi adanya ancaman dari Indonesia, bilamana suatu saat - negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia - dikuasai oleh Islam fundamental, misalnya isu perjuangan Negara Islam Indonesia (NII). Australia juga menginginkan Timor Leste menjadi penyangga imigran gelap dari Timur Tengah.


Kesenjangan dengan ASEAN
Sejak restorasi kemerdekaannya pada tahun 2002, Pemerintah Timor Leste adalah negara yang hanya bergantung pada minyak, 95% dari keutungan minyak dipakai untuk belanja pemerintah. Keuntungan dari minyak dan gas adalah empat kali lipat dari seluruh sumber ekonomi bukan migas. Setiap orang di Timor Leste hidup dari keuntungan minyak dan gas, dapat menopang ekonomi sampai empat puluh tahun ke depan.

Salah satu proyek internasional, Bayu Undan yang dioperasikan oleh Conoco Philips di Timor Sea, hasil royalti sebagai hak bagi Timor Leste sebesar US$ 5 miliar saat ini disimpan di Amerika Serikat. Namun, jumlah keseluruhan kekayaan yang bersumber dari non-migas tidak cukup untuk menunjang kualitas hidup rakyat Timor Leste, bilamana empat puluh tahun ke depan persediaan minyak habis.

Ironi dari keuntungan yang didapati dari minyak, Timor Leste masih tercatat sebagai negara miskin. Dengan Gross Domestic Product (GDP) US$ 558 juta, jauh dari Laos yang GDP-nya US $ 5,9 miliar pada tahun yang sama. Ditambah lagi dengan penduduk Timor Leste hidup di bawah garis kemiskinan dan pengangguran 20%.

Menurut laporan UNDP 2011 yang di diumumkan langsung oleh Presiden Timor Lesre, Ramos Horta, disimpulkan bahwa memang ada pengurangan tingkat kemiskinan secara substansial sejak tahun 2007, namun 41 persen dari masyarakat di pedesaan masih terus hidup di bawah garis kemiskinan. Nilai Human Development Index (HDI) tahun 2010 adalah 0.502, terletak pada Medium Human Development Category, Timor Leste berada pada ranking 120 dari 169 negara-negara berdasarkan laporan Global Human Development.

Menurut Charles Scheiner, La'o Hamutuk Institute, dalam artikel Timor Leste Must Win Independence from Petroleum, Remarks at launch of the UNDP 2011 Timor-Leste Human Development Report bahwa "Hanya enam negara yang mempunyai Gross National Index (GNI) 20% lebih besar dari GDP, tidak ada yang lebih dari 80%. Bagi Timor Leste, GNI-nya unik - enam kali lebih besar - 548% lebih tinggi dari GDP. Hal ini menunjukkan konsekuensi ekstrim dari ketergantungan ekspor sumber-sumber non-migas. Sejak Timor Leste mengembangkan dana yang bersumber dari minyak untuk kesejahteraan rakyat, GNI tidak merefeksi kehidupan setiap warga negara pada hari ini'. Hal ini dapat dikuatkan oleh Human Developement Report (HDR), bahwa sekitar 15.000 pemuda pencari kerja setiap tahun, namun hanya ratusan pekerjaan yang dapat disediakan.


Dalam kunjungan penulis ke Timor Leste akhir tahun 2010 sampai awal tahun 2011 untuk merayakan Natal dan Tahun baru, hiruk-pikuk urbanisasi di Kota Dili menunjukkan perubahan yang signifikan bila dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu, namun sangat kontradiktif dengan kehidupan di distrik dan pedesaan. Kehidupan ekonomi (misal: pasar, transportasi antardesa, pertokoan) terasa 'mati'. Survai Kesehatan dan Demografi menunjukkan bahwa di Dili, 20% dari golongan terkaya dapat mengakses 71% dari sumber-sumber ekonomi, sedangkan 20% dari masyarakat miskin hanya dapat mengakses 4% dari sumber-sumber ekonomi.

Indikator-indikator tentang Timor Leste mencerminkan kesenjangan ekonomi yang sangat lebar berpengaruh signifikan terhadap pembangunan komunitas ASEAN dan bahkan dapat menghambat visi integrasi komunitas ASEAN. Pekerjaan rumah bagi Indonesia adalah mengambil peran penting dalam isu geo-politik dan geo-ekonomi, karena letaknya Timor Leste yang strategis di enclave kepulawan Indonesia. Timor Leste akhirnya berharap lagi pada Indonesia, tentu bukan sebagai bagian integrasi dengan NKRI tapi dalam kerangka integrasi ASEAN 2015. *

Pilatus Cuci Tangan (Mencermati kasus Bansos di Sikka)

Oleh Hendrik Nong, belajar teologi pada STFK Ledalero, tinggal di Pastoran St. Thomas Morus Maumere

Kisah Pilatus cuci tangan
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, khususnya keempat Injil, Pilatus dikisahkan sebagai seorang penting di kalangan orang-orang Yahudi pada masa itu. Pilatus bukanlah seorang yang berasal dari kalangan Yahudi. Namun, padanya ada kuasa atas kehidupan orang-orang Yahudi yang berada di wilayah kekuasaannya. Ia berkuasa untuk menentukan nasib hidup kebanyakan orang. Dari mulutnya keluarlah perintah-perintah yang harus ditaati. Bila Pilatus berbicara, semua rakyat yang berada di bawah kuasanya harus turut. Bila ia memberi perintah supaya seseorang dihukum, maka seseorang itu harus dihukum.

Sebaliknya, bila ia menghendaki agar seseorang dibebaskan, maka seseorang itu harus dibebaskan. Pilatus juga berkuasa untuk memerintahkan orang-orang atau kalangan tertentu untuk bertindak atas dirinya. Tentu saja, perintahnya tidak harus tertulis.

Orang-orang Yahudi tahu akan kapasitas seorang Pilatus sebagai penguasa. Karena itu, mereka mengadukan Yesus kepada Pilatus untuk dihukum. Orang-orang Yahudi; para ahli taurat dan imam-imam kepala (dan rakyat jelata yang mereka hasut) menuntut Pilatus untuk menggunakan kekuasaannya atas diri Yesus. Pilatus sendiri pun tahu dan sadar akan kekuasaan yang dimilikinya. Maka, ketika pengaduan itu datang kepadanya, ia tidak menyia-nyiakannya. Dia menunjukkan kepada semua orang bahwa memang dialah orang yang berkuasa. Dengan berkata kepada orang banyak, "Maukah kamu, supaya aku membebaskan raja Orang Yahudi bagimu?" (Yoh 18:39b), dan kepada Yesus, "Tidakkah Engkau tahu, bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?" (Yoh 19:10b), Pilatus hendak mengatakan dirinya sebagai seorang penguasa.

Satu hal yang menonjol dalam adegan penyaliban Yesus ialah 'permainan' yang dilakukan oleh Pilatus dan orang-orang Yahudi. Pilatus sebagai pihak yang memegang kekuasaan melakukan 'tawar-menawar' dengan orang-orang Yahudi yang memiliki tuntutan. Kepentingan masing-masing pihak dipertaruhkan! Bila Pilatus tidak menggunakan kekuasaan untuk memenuhi tuntutan orang-orang Yahudi, maka kekuasaannya terancam dicopot, karena "Jikalau engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat Kaisar." Dan, pada pihak imam-imam kepala orang-orang Yahudi, bila Pilatus menolak tuntutan mereka, maka eksistensi mereka di hadapan orang-orang Yahudi sendiri terancam hilang. Bukankah sejak Yesus tampil di hadapan umum dengan mengajar dan melakukan banyak mujizat, para ahli taurat dan imam-imam kepala kehilangan simpatisan?

Adegan itu diakhiri dengan keputusan Pilatus menyerahkan Yesus kepada orang-orang Yahudi untuk dihukum dan disalibkan menurut aturan hukum Yahudi sendiri. Di sini mulai tampak dengan jelas kelicikan seorang Pilatus. Di satu pihak, kekuasaan Pilatus tidak akan diganggu. Dengan menyerahkan Yesus untuk dihukum dan disalibkan, Pilatus tetap diakui sebagai sahabat Kaisar. Dan itu menjadi jaminan untuk kelanggengan kepemilikannya atas kekuasaan. Di lain pihak, Pilatus membebaskan dirinya dari perasaan bersalah. Dengan cara membasuh tangan dan berkata, "Aku tidak bersalah atas darah orang ini!" (Mat 27:24), Pilatus merasa benar atas keputusannya. Demikianlah, Pilatus hidup dalam kekuasaannya yang tidak diganggu dan terhindar dari perasaan bersalah, tetapi orang-orang Yahudi yang menyalibkan Yesus mewarisi kesalahan terbesar, menyalibkan seorang yang tidak bersalah!

Kasus Bansos di Sikka
Dari kisah tentang Pilatus yang licik, saya mengajak kita untuk mencermati kasus Bansos yang terjadi di Kabupaten Sikka. Kasus ini terkuak setelah BPK RI Perwakilan NTT menemukan penyimpangan-penyimpangan dalam penggunaan dan pertanggungjawaban oleh pihak yang mengelola keuangan untuk kesejahteraan rakyat itu.

Pansus DPRD menemukan bahwa ada sejumlah pejabat legislatif dan eksekutif yang terlibat dalam kasus hilangnya dana miliaran rupiah ini. Para pejabat yang berkuasa untuk mengelola keuangan untuk kesejahteraan rakyat umum diduga menyalahgunakan Bansos. Orang-orang sederhana, rakyat jelata yang tidak berkuasa untuk mengelolanya dana Bansos tidak mungkin melakukan tindakan amoral itu. Jadi, dugaan ini bukanlah hal yang luar biasa.

Persoalannya adalah siapa yang berinisiatif untuk melakukan penyelewengan itu? Substansi kebenaran mesti diungkap secara tuntas! Kalau dikatakan bahwa para pejabat dalam lingkup legislatif dan eksekutif terlibat di dalamnya, maka pertanyaan menyusul adalah sejauh mana keterlibatan mereka? Apakah mereka semua adalah orang-orang yang berinisiatif untuk melakukan penyimpangan itu? Bisa jadi demikian; ada kesepakatan bersama untuk mengucurkan dana untuk dibagi-bagikan di antara mereka. Atau, apakah keterlibatan banyak pejabat merupakan akibat dari kesalahan yang dilakukan orang tertentu, sehingga itu hanya merupakan satu taktik untuk melindungi diri? Melindungi diri dengan cara melibatkan banyak pejabat dan pejabat-pejabat itu memanfaatkan kesalahan pejabat tertentu untuk memperkaya diri?

Beberapa pernyataan sudah terungkap dari beberapa pejabat penting di daerah ini. Bukan hanya pernyataan, melainkan juga reaksi psikis dalam menanggapi dugaan-dugaan yang ditujukan kepada mereka. Akan tetapi, berbagai pernyataan itu bukan untuk mengakui diri bersalah, melainkan keinginan untuk menghindar dari tuntutan pertanggungjawaban. Dalam upaya ini juga tindakan bunuh diri coba dilakukan (Flores Pos, Rabu 11 Mei 2011). Pernyataan terakhir, hingga tulisan ini dibuat, diberikan oleh Bupati Sikka, Drs. Sosimus Mitang (Flores Star, Kamis 19 Mei 2011). Meskin demikian, satu kebenaran yang tidak disangkal oleh pejabat-pejabat itu ialah adanya penyelewengan dan Bansos! Tidak ada (belum ada?) satu pun dari antara mereka yang menolak temuan BPK RI Perwakilan NTT atas penyelewengan dana Bansos sebesar 10,7 miliar itu.
Rp 10,7 miliar! Angka yang teramat besar. Siapa yang berani menggunakan uang sebesar itu untuk sesuatu yang salah?


Siapa yang berani mengeluarkan uang sebesar itu kalau tidak didukung dengan kekuasaan yang sepadan? Menurut akal sehat, uang sebesar itu, bila penggunaannya dilakukan dengan pengetahuan bahwa akan dituntut pengembaliannya (ganti rugi), maka itu lebih pasti dilakukan oleh orang yang memiliki kekayaan yang melebihi angka itu. Pertanyaannya, siapakah dari antara mereka yang memilikinya? Berapakah gaji para pejabat di daerah ini yang bisa melebih 10,7 miliar? Bupati saja mungkin tidak mampu mengembalikan uang sebesar itu bila hanya menggunakan gaji atau kekayaan yang dimilikinya.

Kalau demikian, kita perlu menduga bahwa itu lebih pasti dilakukan oleh orang yang mempunyai kuasa tidak hanya memerintah untuk menggunakan uang itu, tetapi juga berkuasa untuk mengadakan dana baru yang sepadan untuk menutupi penyalahgunaan atas dana terdahulu.

Pilatus dan kasus Bansos
Pilatus berhasil mengamankan kekuasaannya dari pemecatan yang bisa saja terjadi bila ia menolak tuntutan Ahli-ahli Taurat dan Imam-imam Kepala, karena ia dipandang bukan sebagai sahabat kaisar. Pilatus juga membebaskan dirinya dari perasaan bersalah dengan cara menyerahkan Yesus kepada orang-orang Yahudi untuk menghukum dan menyalibkan Yesus. Tampak di sini, Pilatus menampilkan diri sebagai seorang yang haus akan kekuasaan dan sebagai seorang penguasa yang ingin dipandang baik oleh semua orang lain. Ia adalah seorang yang lihai dalam menggunakan kekuasaan. Dengan berkata-kata saja ia bisa mengamankan diri. Seperti inikah pelaku (pejabat) dalam kasus Bansos di Sikka akan bermain? Apakah dengan kata-kata yang mengandung kuasa mereka akan mengamankan diri, meski korban tentu saja tidak akan terelakkan? Seperti Pilatus, mereka kehilangan kualitas moral dalam dirinya!

Merujuk pada temuan BPK RI Perwakilan NTT, maka adanya penyimpangan dalam penggunaan dana Bansos tidak dapat diragukan. Kebenaran ini menuntut terungkapnya pelaku penyimpangan. Pilatus tidak akan membiarkan dirinya kehilangan kekuasaan dan dicela sebagai orang yang tidak bermoral di dalam penerapan kekuasaannya. Di dalam kasus Bansos, pejabat yang telah meraup keuntungan tidak akan menunjukkan dirinya bersalah karena hal itu akan mengancam kenyamanan kekuasaannya. Tidak hanya kekuasaan yang dijaganya, tetapi juga berusaha untuk menunjukkan diri sebagai orang yang (seolah-olah) bermoral. Dengan melimpahkan kewenangan kepada orang-orang Yahudi untuk menghukum dan menyalibkan Yesus, Pilatus berhasil! Apakah dengan menyerahkan kekuasaan kepada orang-orang tertentu untuk mengucurkan dana itu, seorang pejabat juga berhasil? Bukan tidak mungkin bila hal itu dilakukan dengan perintah lisan yang tidak dapat dipegang namun mengandung kuasa.

Kebenaran temuan BPK RI Perwakilan NTT harus ditunjang dan diteguhkan dengan pengungkapan secara meyakinkan adanya penyalahgunaan kekuasaan dari pejabat. Bila kita mengatakan bahwa tidak ada pelaku di dalam penyimpangan itu, maka kita mementahkan kebenaran dari temuan BPK. Karena suatu penyimpangan dalam skala demikian tidak akan terjadi bila tidak dilakukan oleh orang yang berwenang di dalamnya. Sampai di sini, kita boleh bertanya, apa yang bisa diharapkan untuk mengungkapkan secara tuntas kebenaran itu? Sekali lagi, Pilatus tidak akan membiarkan dirinya kehilangan kekuasaan dan harga diri di hadapan rakyat. Satu-satunya jalan adalah hukum. Jalur hukum mesti ditempuh. Untuk maksud ini, kredibilitas moral para penegak hukum akan sangat menentukan. Janganlah hukum dan penegak hukum menjadi sarana uang dan kekuasaan! *

Jalan Terjal Capres Independen

Oleh Bill Nope ( Dosen FH Undana, Mahasiswa Hukum Kenegaraan UGM )

DEWAN Perwakilan Daerah telah menyerahkan penyusunan draft atau rancangan perubahan kelima Undang-Undang Dasar 1945 kepada DPR pada akhir maret lalu. Terdapat beberapa isu penting dalam draft perubahan UUD 1945 ini, antara lain : calon presiden independen, memperkuat sistem presidensil, memperkuat lembaga perwakilan, memperkuat otonomi daerah termasuk memperkuat kewenangan DPD.

Wacana yang paling mengemuka di kalangan para ahli maupun masyarakat atas usulan ini adalah tentang hadirnya calon presiden independen yang usulannya terdapat dalam Pasal 6 A UUD 1945 berubah menjadi “Pasangan calon presiden dan wakil presiden berasal dari usulan partai politik peserta pemilihan umum atau perseorangan”. Dalam Pasal 37 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan “Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

Usulan perubahan konstitusi oleh DPD ini masih membutuhkan perjuangan berat. Mengapa? DPD hanya terdiri dari 132 anggota, ini tentunya belum memenuhi syarat sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Artinya, usulan perubahan konstitusi kita yang disokong DPD ini masih berada di jalan terjal semisal lobi-lobi DPD kepada fraksi-fraksi di DPR agar ikut mendukung usulan ini sehingga dapat memenuhi syarat minimal 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Catatan penulis, kehadiran DPD selama ini masih dianggap saingan oleh DPR kita.
Kita lihat beberapa contoh tentang kewenangan DPD yang selama ini yang hanya bisa memberi pertimbangan, nasihat dan pengawasan kepada DPR (Pasal 22D UUD 1945). Penulis menganggap salah satu isi usulan tentang calon presiden independen yang diusulkan DPD ini terlampau berlebihan - dapat dikatakan usulan capres independen ini hanya sebagai ‘tameng’ DPD agar mendapatkan perhatian dan dukungan dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat bahkan tokoh masyarakat.

Usulan tentang hadirnya capres independen sebaiknya bukan alasan utama pentingnya amandemen konstitusi kelima. Khusus tentang calon presiden independen, resistensi dari partai politik yang ada di DPR akan sangat kuat di tengah berbagai alasan tentang turunnya tingkat kepercayaan masyarakat akan partai politik, pemantapan sistem presidensil dan kedaulatan di tangan rakyat.

Penguatan Sistem Bikameral

Bagi penulis, jalan terjal DPD dalam usulan amandemen konstitusi ini sebaiknya lebih dititikberatkan pada penguatan kewenangan DPD dalam konstitusi kita yang selama ini masih ‘tumpul’. Sebagai catatan, kita lihat selama ini DPD hanya diperlakukan sebagai lembaga legislatif ‘kelas dua’ — tanpa ‘kekuatan legislasi’ yang memadai. Fungsi legislasi DPD yang selama ini tumpul berada pada sembilan persoalan yakni: otda, hubungan pusat daerah, pembentukan-pemekaran serta pembangunan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat daerah, APBN, Pajak, Pendidikan dan Agama (Pasal 22D UUD 1945).

Beberapa poin usulan DPD tentang Amandemen UUD 1945 yang mesti ditekan misalnya dalam Pasal 30, “DPR dan DPD memegang kekuasaan legislatif”. Pasal 35 ayat (1) “DPR dan DPD memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan, fungsi pengisian jabatan publik, dan fungsi keterwakilan.” Pasal 44 ayat (1) “Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dan DPD mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.” Kemudian usulan yang terakhir pada Pasal 72 ayat (1) “Hubungan antara pusat dan daerah propinsi serta daerah kabupaten dan kota diatur dalam undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”.

Usulan amandemen kelima konstitusi yang dititikberatkan pada penguatan fungsi legislasi DPD diharapkan dapat mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bicameral). Jimly Asshiddiqie menyebut dengan struktur parlemen dua kamar, diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan dengan mekanisme double-check yang memungkinkan DPD sebagai representasi teritorial atau regional (regional representation) dan DPR sebagai representasi politik (political representation).

Pentingnya sistem dua kamar ini juga didasarkan pada kebutuhan menciptakan sistem checks and balances antarkamar legislatif. Dengan sistem ini kamar perwakilan yang satu mengawasi kamar perwakilan yang lain sehingga dapat mencegah kecendrungan kesewenang-wenangan dari lembaga legislatif. *

Bangsa Pelupa dan Pendek Ingatan

Oleh John Haba (Penulis adalah Profesor Riset LIPI-Jakarta)

TERUS menumpuknya masalah-masalah nasional membawa masyarakat bertanya, masihkah pemerintah dan semua pemangku kepentingan serius menanganinya? Ataukah, pemerintah dan aparatnya dengan terencana sudah melupakan dan membiarkan berbagai masalah melilit bangsa Indonesia? Publik disentakkan dengan pernyataan para pemimpin agama bahwa “pemerintahan SBY telah berbohong”. Serta merta sikap para pemimpin agama itu lebih menyadarkan masyarakat bahwa ada masalah-masalah serius yang belum tuntas dikerjakan.
Lalu, apa sesungguhnya yang melatarbelakangi tunggakan masalah dalam negeri ini, sehingga masalah datang dan pergi, seakan negeri ini akrab dengan persoalan kronis? Banyak asumsi dikembangkan, seperti pemerintah barangkali tersangkut dengan berbagai mega kasus, lemahnya kepemimpinan Presiden SBY, dan tidak berfungsi maksimal sejumlah menteri kabinet. Salah satu dugaan yang bisa disebut adalah kita sudah menjadi bangsa pelupa, bangsa berpikiran pendek lagi sempit, dan beria-ria membiarkan berbagai permasalahan agar sirna ditelan waktu.

Melupakan dan membiarkan

Mencampuradukkan antara kosep ‘melupakan’ dan ‘membiarkan’ dalam konteks kekinian Indonesia semakin menjadi penting, sebab dua pemahaman ini justru terus menyesatkan. Melupakan tidak selalu membawa makna destruktif, dan sebaliknya membiarkan dapat menemukan makna konstruktif. Memposikan pemahaman melupakan dan membiarkan akan lebih menarik, kalau sejumlah mega kasus di negeri ini dipilah lebih dalam lagi. Tindakan melupakan dan membiarkan bertolak dari kesadaran diri (self-awareness) akan sesuatu peristiwa dalam sejarah diri atau sejarah bangsa. Untuk berdiri tegak dalam gejolak sosial politik, ada masa silam sejarah, yang kendatipun pedih dan merugikan mesti ikhlas dilupakan, agar perjalanan sejarah pribadi dan bangsa tidak terikat hanya kepada masa silam yang kelam.

Dalam sejarah, misalnya, keteladanan Nelson Mandela, bapak bangsa sekaligus pemersatu Afrika Selatan patut diacungi jempol, kendatipun di bawah pemerintahan Apartheid ia dipenjarakan selama 27 tahun. Hak untuk menuntut balas terbuka di depan dirinya, tetapi watak seorang negarawan dan tabiat luhur Mandela yang mengutamakan keutuhan negara Afrika Selatan yang tercabik akibat politik Apartheid, ikut menguburkan segala peluang yuridis untuk mengembalikan martabat diri dan keluarganya.

Lain Nelson Mandela, lain juga pemimpn di negeri ini. Dendam dan tabiat tidak bersahabat selaku ‘negarawan’ sering membingungkan publik, kesanggupan melupakan disparitas idiologi justru terus ditabur ke ranah privat.
Akibatnya, musuh bersama bangsa (the common enemy) seperti kemiskinan dan keterbelakangan tidak diterima sebagai tanggung jawab bersama, tetapi telah dialihkan menjadi tanggung jawab pemerintahan tertentu. Keterpecahan pemikiran sebagai pemimpin, dan lemahnya kapasitas untuk memrioritaskan kepentingan bersama, berdampak pada kebiasaan melupakan tanggung jawab, sehingga kemudian menjadi pemimpin atau mantan pemimpin pelupa lagi berakal pendek.
Tabiat pelupa saat naik kelas menjadi kebiasaan membiarkan, apa pun yang hendak terjadi, berbagai kasus besar yang merugikan publik kemudian disepelekan.
Tidak mengherankan kalau cara pemerintah mengatasi masalah dengan tendensi menciptakan masalah, karena tindakan terhadap kasus-kasus besar di Indonesia yang tidak pernah tuntas secara hukum, sebaliknya menjadi konsumsi politis. Kasus Bank Century, mafia pajak Gayus Tambunan dan isu suap Wisma Atlet SEA Games Palembang, termasuk kasus-kasus besar yang entah kapan akan berakhir. Jatuh ke dalam perilaku tidak mau tahu kian menjadi marak dan merebak menjadi fenomena nasional. Bangsa yang mengklaim dirinya sebagai bangsa yang menjunjung kebersamaan telah menjelma menjadi bangsa individualistik, mengedepankan kepentingan kelompok dan berpikir parsial, sebab menjalarnya elit-elit faksional, yang asal muasal mereka berkiprah untuk kemaslahatan publik layak dipertanyakan.

Pelupa dan pendek ingatan

Kata lain untuk ‘bangsa pelupa’ adalah ‘bangsa pendek ingatan’. Ambiguitas pengertian serta merta timbul dari ungkapan ‘bangsa pendek ingatan’, sebab kata-kata ini dapat bernuansa negatif, sepadan dengan kelompok manusia yang bertindak emosional dan tidak sanggup berpikir jauh ke depan. Atau, setelah bertindak baru mulai berpikir, sehingga segala konsekuensi yang mengikutinya bukan lagi menjadi tanggung jawab si penutur. Fenomena lain dari bangsa pendek ingatan terlacak juga pada pola mengalihkan perhatian dari satu kasus ke kasus lainnya. Ketika sebuah kasus hangat diperdebatkan, multipihak ikut meramaikan diskursus itu seolah-olah mereka lebih berkompetensi dan memiliki otoritas tunggal.
Tetapi kalau tidak ada hasil konkrit yang diperoleh, atau sudah tidak berdaya memecahkan masalah yang mungkin mereka sendiri timbulkan, maka dengan cepat kasus-kasus itu dipetieskan dan beralih lagi ke kasus-kasus lain. Lonjatan pemikiran atau inkonsistensi serupa semakin marak dan terus digandrungi oleh masyarakat, terutama oleh pemerintah dan para wakil rakyat. Seandainya fenomena sosial ini benar, maka bisa diabsahkan bahwa segala peristiwa dan bencana sosial patut juga ditelusuri dalam pola berpikir manusia Indonesia saat ini.

Simpang siurnya isu dan kasus di negeri ini berdampak pada tidak fokus dan selesainya persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Yang membingungkan masyarakat Indonesia adalah sejumlah kasus yang disinyalir berkaitan dengan kepemimpinan dan figur Presiden SBY. Selaku tokoh nasional SBY berada pada pusaran dan titik perhatian masyarakat, sehingga selentingan apa pun yang datangnya dari pusat kekuasaan pasti akan menjadi berita.
Para penasihat beliau sering muncul dengan berbagai pemikiran yang ‘mewah’ dan tidak mudah dicerna publik. Kasus blue energy dua tahun silam yang menghebohkan yang bertalian dengan rekayasa teknik yang hasilnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip sains, dan belum teruji tingkat kebenarannya. Belum puas dengan pernyataan bersifat sensasional itu, mendadak datang pemikiran staf khusus SBY mengenai potensi ancaman gempa bersala 8,6 skala Richter yang berpotensi meluluhlantakkan Jakarta dan sekitarnya. Isu gempa berskala masif mencuat ke permukaan pemberitaan media massa dan media cetak manakala Partai Demokrat lagi diterpa isu miring akan anggota-anggotanya yang ditengarai terlibat kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan.

Segala isu yang mencakupi korupsi, lingkungan, NKRI dan suap belum lagi selesai ditangani, dan semakin menggiring negeri kita ke dalam kategori bangsa gagal, maka masyarakat dihebohkan dengan berita sensasional ‘Presiden SBY Menjalani Diet’. Aneh tapi nyata, dan inilah sejatinya wajah kita sekarang ini. Benturan antara prioritas nasional, tokoh, peristiwa serba tunggang menunggang satu dengan lainnya, sehingga rumit untuk memilah di antara kasus-kasus tersebut. Mencermati jalan berita di negeri ini yang cepat melengkung dan berpindah arah tanpa sinyal awal, sudah meyakinkan dan menjustifikasi asumsi publik bahwa ‘pengalihan isu menjadi senjata termudah dan tercepat untuk meminimalisasi tanggung jawab parapihak’.
Potensi kebenaran dapat juga tertoreh pada adagium ini, bahwa skala prioritas sebuah berita yang substansial telah ditekan oleh popularitas dan intervensi kekuasaan dan modal yang secara tidak langsung melemahkan peran utama pers. Atau saling memanfaatkan antara penguasa, pemilik modal dan parapihak, untuk mencapai agenda-agenda terselubung secara politis, namum dikemas dalam bentuk yang tidak mencurigakan. Apa urusan ratusan juta rakyat Indonesia dengan ‘diet SBY’ bila dibandingkan dengan akumulasi ketidakadilan, pengangguran, korupsi, suap, malapetaka lingkungan dan perilaku menyimpang para penentu kebijakan di negeri ini?

Kalau mau dicermati, mungkin setiap kali timbul tenggelam kasus-kasus besar di negeri ini, dan bersamaan waktu dengannya, lahir juga berita-berita aneh dan lucu yang tidak relevan, yang tidak sanggup diadopsi sebagai pijakan untuk mengoreksi kegelisahan-kegelisahan sosial itu. Tanda-tanda kemandegan berpikir simetris terjerembab dalam pola penalaran yang siklis (berputar) adalah indikator manusia yang terjebak dalam kegalauan diri sendiri, kemudian bermimpi menarik orang lain agar terperangkap dalam keterpurukannya. Kalau ini indikasinya, maka kondisi dan kualitasnya tidak lagi berada pada tahapan ‘bangsa pelupa’ tetapi ‘bangsa lemah dan pendek ingatan’. Barangsiapa terperangkap dalam kategori ini mesti diawasi karena berpotensi merongrong aturan sosial yang mapan, dan ia berpikir sementara membangunan tatanan masyarakat yang lebih baik. Realitas masyarakat kita akhir-akhir ini ada dalam suasana yang persis seperti orang yang rusak ingatan, tetapi berbangga bahwa kita adalah tokoh idola dari masyarakatnya. Sebab itu jangan pernah berharap banyak terhadap para pemimpin yang bermimpi bahwa mereka adalah figur-figur panutan, kalau gagasannya hanya untuk perutnya hari ini, namun garang menghunus pedang dan mengumbar janji sebagai sumber jawaban atas segala bencana sosial.

Dalam peradaban manusia, sejarah tidak pernah dikonstruksikan oleh pemikir yang kerdil, pengecut dan individualistik; apalagi oleh kelompok manusia beringatan pendek, yang bakatnya adalah meloncat dari satu gagasan ke gagasan lainnya. Ingatan kolektif (collective memory), dalam sejarah pemikiran bernalar dan memiliki daya tarik positif, mengatasi kenangan masa silam yang kelam kemudian bermuara pada medan perubahan yang menjanjikan. Nuansa bersama sebagai bangsa akhir-akhir ini sementara mengantisipasi perhelatan politik menyongsong tahun 2014, distorsi nilai, krisis identitas, pergulatan ekonomi dan sejumlah kasus yang mengakibatkan kita tersesat dan saling menyalahkan.
Terperangkap dalam pusaran realitas serupa ini akan mendesak manusia mencari selamat dan jalannya sendiri, dengan melahirkan pengkhianat-pengkhianat baru yang sejatinya berpikir mereka tidak pernah keliru. Pengkhianatan terhadap komitmen awal dari perjuangan bersama memberantas ketidakadilan adalah salah satu indikator dari manusia yang berlogika sempit, egois dan takut mengangkat tanggung jawab. Ingatan kolektif nantinya berujung pada keretakan kesadaran berbangsa, dari pada mereunifikasi kemampuan nasional untuk tidak jatuh dalam kesalahan sejarah masa silam. *

Ujian Partai Demokrat

Oleh: Ansel Deri ( Kader Partai Demokrat dan Tenaga Ahli (A-558) DPR RI)

PARTAI Demokrat kembali memasuki ujian. Dua kader dan petinggi partai masuk dalam pusaran arus dugaan skandal suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Republik Indonesia. Isunya bermula dari dugaan suap proyek pembangunan Wisma Atlet Sea Games Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan. Nilai kerugian negara mencapai Rp 200 miliar.
Selain melibatkan orang dalam Kemenpora, tersiar pula nama Direktur Pemasaran PT Anak Negeri Mindo, Rosalina Manulang, dan Direktur Pemasaran PT Duta Graha Indah, Mohamad El Idris, yang masuk dalam skandal itu.
Isu itu kian panas tatkala dua petinggi Partai Demokrat terseret dalam pusaran arus dugaan skandal suap. Pertama adalah Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhamad Nazaruddin (Nazar). Kedua, Wakil Sekretaris Jenderal, Angelina Patricia Pingkan Sondakh (Angie). Keduanya saat ini juga tercatat sebagai anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI.

Ujian

Jauh sebelum itu, Partai Demokrat, Dewan Pembina, dan kader-kadernya juga mendapat ujian black campaign. Melalui buku “Membongkar Gurita Cikeas” karya George Junus Aditjondro yang terbit pada 2010, George, doktor lulusan Cornell University, Ithaca, New York, menuding Partai Demokrat menang fantastis karena suara pemilihnya naik tiga kali lipat dalam satu periode pemerintahan dari sekitar tujuh menjadi sekitar dua puluh persen.
Penggalangan dana yang luar biasa serta besarnya pembelian suara (vote buying) oleh para kadernya memainkan peranan yang besar melonjaknya angka pemilih Partai Demokrat dan calon presidennya. Dengan kata lain, kemenangan SBY bukan hanya karena kehebatan kharismanya, yang dikemas oleh Fox Indonesia dalam iklan-iklan bernilai jutaan rupiah di media cetak dan elektronik dibarengi klaim-klaim kesuksesan periode kepresidenan yang pertama.
Resistensi Partai Demokrat terhadap penggunaan hak angket DPR mengungkapkan skandal Bank Century menjadi indikasi betapa besarnya keinginan petinggi partai itu menutupi hal-hal yang mencurigakan dalam pemberian dana talangan yang jauh melebihi yang sudah disepakati oleh parlemen.
Tak hanya itu. George juga membeberkan adanya sorotan masyarakat terhadap deposan terbesar Bank Century, khususnya Siti Hartati Murdaya dan Boedi Sampoerna. Hartati, kader Partai Demokrat dan pemilik Pekan Raya Jakarta (PRJ) bersama Boedi, melalui kelompok bisnisnya disebut-sebut menggelontorkan dana untuk kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya.

Soal Korupsi

Upaya memberantas korupsi di Indonesia sudah menjadi komitmen SBY dan Partai Demokrat. Sejak terpilih pada periode pertama dan dilanjutkan pada periode kedua, korupsi menjadi agenda penting lain yang dikerjakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pendiri Partai Demokrat. Selama menjadi presiden, banyak pejabat dan kader Partai Demokrat yang terbukti melakukan korupsi dijebloskan di tahanan. Komitmen ini terus menyata selama mengemban mandat rakyat.
Dalam kasus yang diduga melibatkan dua kader Partai Demokrat: Nazar dan Angie, misalnya, SBY juga mempersilahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga penegak hukum untuk mengungkapkan kasus itu secara transparan dan akuntabel. Dengan demikian masyarakat juga mengikuti tentang kebenaran dari apa yang diduga. Presiden meminta agar publik menunggu hasil penyelidikan KPK terlebih dulu. Ini penting karena komentar-komentar publik sering tidak bisa dibedakan mana yang fakta dan mana yang analisis.
Kasus dugaan keterlibatan Nazar dan Angie disebut-sebut merupakan bumerang bagi SBY. Mengapa? Dua kader itu adalah tokoh publik dan kasus dugaan suap itu terjadi di kementerian yang dipimpin kader Partai Demokrat.

Agenda Rakyat

Salah satu agenda penting pemerintahan SBY adalah masalah korupsi. Korupsi sudah pasti jadi musuh bersama. Itu yang juga pernah ditegaskan SBY saat menyampaikan pidato menyambut Hari Antikorupsi se-Dunia di Istana Negara Jakarta pada 8 Desember 2009. Memberantas korupsi tidak saja untuk menyelamatkan setiap rupiah uang rakyat, namun juga untuk membangun sebuah kesadaran baru bahwa korupsi adalah pengkhianatan terhadap amanat penderitaan rakyat.
Korupsi adalah perbuatan tercela secara moral, etika, dan agama. Korupsi adalah sebuah kejahatan yang menimbulkan kerugian luar biasa bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Korupsi adalah tindakan asosial dan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Korupsi adalah sebuah keonaran yang menghancurkan nilai-nilai dan solidaritas kemanusiaan. Karena itu, ia (korupsi) menjadi musuh bersama (Pos Kupang, 29/1 2010).
Selain masalah korupsi yang juga menjadi konsern SBY, ada banyak agenda rakyat yang butuh kerja keras mengatasinya. Agenda ini juga pernah tertuang dalam buku SBY-Boediono: Membangun Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan. Sekurangnya ada lima agenda, yaitu
(i) peningkatan kesejahteraan rakyat, (ii) perbaikan tata kelola pemerintahan, (iii) penegakan pilar demokrasi, (iv) penegakan hukum, dan (v), pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.
Namun, di tengah upaya pemerintah dan rakyat mengejar ketertinggalan di berbagai bidang kehidupan, praktik korupsi sepertinya tumbuh subur. Tak hanya melibatkan pejabat pemerintahan, tetapi juga elit partai politik.

Bagi kader Partai Demokrat, pesan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sangat tepat. Dalam situs pribadinya, www.bunganas.com, 17 Oktober 2010, Anas meminta agar politik cerdas dan santun mesti dijadikan merk dagang Partai Demokrat.

Partai harus membangun budaya organisasi. Basisnya adalah etika dasar berpolitik yang cerdas, bersih, dan santun. Jika semua itu menjiwai hati dan sanubari kader, ujian-ujian berat seperti kasus yang diduga membelit para kader dapat diminimalisir. *