Thursday, July 29, 2021

Semangat Beralih


Semangat beralih atau lebih sering dikenal “Passing over spirituality” merupakan suatu semangat untuk keluar dari diri dan berani untuk memasuki wilayah orang lain dan berusaha untuk bisa memahami dan menerima situasi orang lain. Semangat ini biasanya dihidupi oleh para misionaris  yang datang dari tempat asal untuk bermisi (berkarya) mewartakan Injil dan berbuat baik kepada orang-orang di tanah misi. Semangat bermisi berarti menghidupi tanah misi dengan menanggalkan budaya sendiri bahkan bisa membawa budayanya sendiri untuk bisa membaur dengan kehidupan orang-orang yang dilayani di tanah misi itu.

Ketika sedang menulis tentang semangat beralih ini, ingatan saya tertuju pada beberapa teman yang kini sedang bekerja sebagai imam misionaris di beberapa belahan dunia. Para misionaris itu bekerja dalam diam untuk melayani umat di tanah misi bahkan ada yang mendirikan sekolah di tanah misi sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat setempat yang belum tersentuh oleh pendidikan. Atas jasa dalam mendirikan sekolah itu, sang misionaris itu diberi penghargaan oleh pemerintah setempat bahkan dibuatkan nama jalan sesuai nama sang misionaris itu.

Sebagai orang yang pernah menjadi bagian dari pusat misi itu, ada kebanggaan tersendiri karena pola pembentukan karakter dan bidang akademik tidak sia-sia diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam melayani umat. Sebagai misionaris, harus peka terhadap seluruh persoalan yang sedang dialami oleh umat. Mengasah kepekaan itu menjadi sebuah keharusan agar karya-karya pelayanan itu bisa bermakna untuk orang lain. Bermisi dalam konteks lebih radikal seperti yang diperlihatkan oleh Yosef Freinademetz, misionaris SVD yang pertama yang dikirim ke Cina, ia berani melepaskan budaya sendiri dan mengenakan budaya Cina. Menurutnya, bermisi berarti pergi untuk tidak pulang kembali ke tanah asal atau dalam bahasa yang lebih radikal adalah pergi untuk dikuburkan di sana (tempat misi).

Sebagai kaum awam, sadar atau tidak, setiap umat Katolik harus mampu menyadari dirinya sebagai misionaris-misionaris domestik yang mengembangkan tugas dan panggilan sebagai seorang awam yang bisa memperlihatkan pelayanan pada orang-orang sekitar. Kita telah melangkah dan keluar dari rumah dan meninggal kampung halaman untuk mengadu nasib di tanah rantau dan tanah rantau boleh saya katakan sebagai tanah misi untuk kaum awam. Gereja bisa dibangun dari komunitas-komunitas iman dan warta penyebaran nilai-nilai Injili semakin menyata dengan kehidupan orang-orang Katolik dalam satu payuyuban iman.

Dengan berbuat baik berarti kita sedang memperlihatkan cahaya kebaikan kepada mereka yang sedang mengalami keredupan hidupnya. Dengan berbuat baik pula maka kita sedang memperlihatkan diri sebagai garam dunia yang siap larut dalam kelompok-kelompok masyarakat agar mereka bisa merasakan kebaikan di tengah hidup mereka yang sedang hambar. Tindakan untuk berbuat baik adalah cerminan tindakan Yesus yang selalu berpihak pada mereka yang tersingkir, menderita dan disisihkan dari pergaulan umum. Kehadiran Yesus di dunia juga misi utama, yakni menyelamatkan manusia dengan memulai mewartakan Kerajaan Allah yang berpihak pada mereka yang terpinggirkan.


Puncak karya misi penyelamatan Yesus tidak hanya berhenti pada penyaliban di Golgota tetapi peristiwa Golgota dimaknai sebagai titik akhir dan sekaligus membuka babak baru  kehidupan Yesus melalui peristiwa kebangkitan-Nya dari alam maut. Keselamatan itu bisa terjadi melalui suatu proses panjang dan beruntun. Dan dalam proses itu, Yesus menunjukkan kesetiaan pada Bapa yang telah mengutus-Nya ke dunia dan kecintaan-Nya pada manusia. Kita semua yang mengimani Yesus sebagai  penyelamat ketika Ia rela memikul derita, setia dan bangkit dari alam maut. Hanya dengan kebangkitan-Nya, mau menegaskan pada dunia bahwa Ia sungguh penyelamat manusia dan dunia.***(Valery Kopong)

Wednesday, July 21, 2021

Berharga di Mata Allah


Perayaan Idul Adha tahun ini terasa sepi. Tidak hanya dirasakan di Indonesia tetapi juga dirasakan oleh seluruh dunia. Kesepian itu bisa terlihat ketika  ibadah haji yang seharusnya dilaksanakan setiap tahun di tanah suci, tetapi dua tahun terakhir ini ditiadakan karena alasan keselamatan manusia dari ancaman pandemi ini. Walaupun Indonesia dan negara-negara lain tidak memberangkatkan calon Jemaah haji ke tanah suci, tetapi proses penyembelihan hewan kurban tetap dilaksanakan sebagaimana biasa. Hewan kurban mengingatkan kita (baik kaum kristiani) maupun umat muslim akan pengurbanan yang laksanakan oleh Abraham dengan mempersembahkan anaknya yang tunggal itu. Allah menguji Abraham untuk mempersembahkan anaknya yang tunggal, namun pada saat yang sama, Allah telah menyiapkan seekor domba sebagai penggantinya.

Apa makna terdalam dari kisah pengurbanan ini? Abraham mempersembahkan miliknya yang paling berharga dan tidak pernah berkompromi dengan Allah. Abraham taat pada perintah Allah yang telah memanggilnya dan menjadikannya sebagai “Bapa segala Bangsa.” Pada momentum pandemi ini masih banyak orang (terutama kaum muslim) berusaha untuk memberikan kurban yang terbaik. Kurban yang diberikan dalam bentuk hewan ini mau menunjukkan sebuah bentuk persembahan berharga darinya untuk Allah yang telah membimbing dan memeliharanya. Keteladanan Abraham tidak hanya berhenti pada masa lampau tetapi masih tetap nampak dalam konteks masa kini.

Bagi orang-orang non muslim, melalui peristiwa Idul Adha (Idul kurban) ini kita juga belajar untuk berbagi kepada orang lain. Kita diajak untuk memberikan yang terbaik kepada Allah dengan berbagi suka dan duka kepada sesama yang sedang mengalami kesulitan hidup. Kita harus peka terhadap situasi di sekitar kita dan mencoba untuk membangun solidaritas antar teman sebagai upaya untuk menghadirkan kembali nilai pengurbanan diri kepada sesama yang tengah mengalami kekurangan. Ketika Abraham yang mau mengorbankan anaknya yang tunggal karena diuji oleh Allah sendiri, seberapa jauh Abraham menunjukkan kesetiaan dan ketaatannya pada Allah. Abraham tahu bahwa segala yang diperintah oleh Allah itu baik maka ia melakoni juga. Kita juga sebagai anak-anak Abraham turut mengasah kesadaran kita dan membuka diri terhadap bisikan Allah, serta menawarkan, persembahan apa yang terbaik datang dari diri kita.

Dalam konteks hari ini, persembahan terbaik, tidak hanya membangun rasa solider dengan sama saudara yang mengalami kekurangan, tetapi persembahan yang jauh lebih berharga adalah berani untuk “mengekang kebebasan” kita untuk tidak ke mana-mana selama musim pandemi ini. Mengapa saya sebut sebagai persembahan yang berharga? Karena hanya dengan berada di rumah maka secara tidak langsung, kita bisa menyelamatkan diri dari ancaman corona dan tetap sehat. Corona pun tidak mengalami pergerakan jika manusia tidak mengadakan pergerakan dari satu tempat ke tempat yang lain. Dengan berada di rumah dan membatasi ruang gerak maka orang lain pun turut diselamatkan karena kita tidak pernah bersentuhan secara langsung.


Saat ini begitu banyak korban nyawa berjatuhan karena terpapar virus corona. Kurban kita yang paling berharga adalah “menjaga diri dan orang lain.” Caranya sederhana, “stay at home” dan “pray from home.” Dalam momentum yang berharga ini, kita diingatkan bahwa kemanusiaan jauh lebih berharga dari segala-galanya. Allah telah mengganti putra tunggal Abraham dengan seekor  hewan, karena Ia tahu bahwa anak manusia adalah miliknya yang paling berharga. Dengan menuruti perintah Allah ini, Abraham berharga di mata Allah.***(Valery Kopong)  

Thursday, July 15, 2021

“Allah Yang Membumi”

 


Salah satu buku terjemahan yang menarik bagi saya adalah “Bapa Kami Yang Ada di Bumi.” Buku ini diterjemahkan oleh Wilhelmus David, pemilik penerbit Orbit Media. Buku ini terasa semakin menarik setelah mengikuti dari jauh, kepergian sang penerjemah sekaligus pemilik penerbit Orbit Media itu. Wilhelmus David meninggal dunia pada 8 Juli 2021, setelah bertarung melawan Covid yang menyerang tubuhnya. Selama beberapa minggu, ia bersama keluarga sedang mengadakan isolasi mandiri di rumah dan keadaannya semakin memburuk.  Pada akhirnya ia menghembuskan nafas terakhir. Sebagai teman diskusi dan juga membantunya untuk mengoreksi beberapa buku yang hendak diterbitkan, terasa ada beban tersendiri. Saya mau supaya bisa membantu dia di saat ia mengalami kematian tetapi di sini lain, saya juga harus menjaga diri dari ancaman virus yang mematikan ini. Dilema terus merasuki diri tetapi syukurlah bahwa ada relawan yang dengan berani untuk mengenakan APD seadanya, berusaha mengevakuasi jenazah korban dan menghantarnya ke tempat pemakaman terakhir.

 

Pada hari ke tujuh ketika mengikuti doa mengenang kepergiannya yang diselenggarakan oleh kelompok doa “Adoremus,” diakhir doa, beberapa orang diminta untuk memberikan kesaksian tentang pengalaman untuk ada berada Bapak Wilhelmus David selama hidupnya. Ada yang mensyeringkan pengalaman tentang perjumpaan bersamanya dan boleh mengagumi pribadinya yang tidak pernah marah dan pandai berdiplomasi. Ada juga yang menceritakan keterlibatan Bapak Wilhelmus David selama hidupnya, membaktikan diri untuk kepentingan gereja. Ia lebih banyak bergulat dengan kelompok-kelompok katekis dan pada saatnya meninggalnya, ia masih menjabat sebagai wakil ketua Dewan Paroki Kutabumi – Gereja Santo Gregorius Agung.   

 

Ketika saya juga diminta untuk memberikan komentar seputar pengenalanku dengan Bapak Wilhelmus David, ada banyak hal yang bisa saya belajar dari beliau. Saya mengenalnya, pertama-tama saat gereja Gregorius masih menjadi stasi. Saat itu saya terlibat di komsos yang membidangi pewartaan dan penyebaran kabar gembira melalui media. Saya terlibat mengelola “Voluntas,” sebuah media yang terbit di masa gereja menjadi stasi. Dari tulisan-tulisanku yang dimuat di media gereja itu, ternyata menarik perhatian dari Bapak Wilhelmus David, yang saat itu masih bekerja pada penerbit Fidei Press. Tulisan-tulisanku yang dibacanya membawa kami pada pertemuan yang begitu akrab.

 

Dalam pertemuan itu ia menceritakan kisah perjalanan hidupnya, yang pada awalnya menapaki panggilan hidup sebagai calon imam namun gagal. Setelah lulus dari Seminari Kisol, ia masuk ke C.I.C.M.   C.I.C.M. adalah singkatan dari Congregatio Immaculata Cordis Mariae, artinya Kongregasi Hati Suci St Perawan Maria, suatu tarekat imam dari Belgia. Mereka masuk dan bekerja di Indonesia pada tahun 1937 di wilayah misi Makasar. Oleh Propaganda Fide (Vatikan) pembinaan umat di wilayah misi Makasar diserahkan kepada C.I.C.M., hingga kemudian berkembang menjadi Keuskupan Agung Makassar. Kini mereka hadir dan bekerja di keuskupan-keuskupan MakasarJakartaJayapura. C.I.C.M. didirikan P. Theophile Verbist seorang imam Praja dari Keuskupan Agung Mechelen pada tahun 1862 di Scheut (Arderlecht, dipinggiran Brussels, Belgia) dengan pertama-tama hendak mengirim misionaris ke China (dilaksanakan sejak tahun 1865). Pelayanan mereka meluas ke Zaire (1888), Filipina (1907), Taipei, Hongkong, Jepang dan Singapura. Kemudian ke beberapa negara di Amerika Latin dan Afrika.

 

Dengan masuk ke tarekat misi C.I.C.M memungkinkan Wilhelmus David menggeluti panggilan dan membawanya sampai ke Filipina. Beberapa tahun ia belajar di Filipina. Ia fasih berbahasa inggris dan juga bahasa Tagalog. Dengan kefasihan berbahasa asing ini memberinya modal untuk bisa membangun komunikasi. Sepulangnya dari Filipina, Wilhelmus David memutuskan untuk keluar dari biara. Karena itu ia mencari arah hidup baru dengan bekerja pada beberapa penerbit, yakni Obor, Fidei Press dan Orbit Media. Dengan bekerja pada penerbit dan menerbitkan buku-buku rohani Katolik, sebenarnya ia mengarahkan umat dan para pembaca untuk memahami tentang siapa itu Yesus yang sebenarnya melalui buku-buku rohani.

 

Allah yang kita imani adalah Allah yang imanen, Bapa yang bersemayam di bumi, dalam diri Yesus Putera-Nya. Dengan mengantar pembaca untuk memahami tentang apa makna Bapa yang membumi, mengingatkan kita juga akan peristiwa inkarnasi, Allah yang menjelma menjadi manusia. Allah yang kita imani bukanlah Allah yang transenden, jauh dari kita melainkan Allah yang terlibat dengan kehidupan kita melalui Yesus Sang Putera. Allah itu begitu dekat dan karena terlalu dekat maka terkadang kita kurang menyadari kehadiran-Nya.***(Valery Kopong)

 

 

 

 

 

 

Wednesday, July 14, 2021

“Wasit Agung”

 

Petrus Canisius Sumanto

Dia hadir dalam setiap kedukaan orang-orang Katolik di wilayah Paroki Kutabumi- Gereja Santo Gregorius Agung.  Keterlibatannya bukanlah sesaat tetapi jauh sebelum gereja itu menjadi sebuah paroki mandiri. Ia dikenal murah senyum dan berlaku baik terhadap siapa saja yang ia jumpai.  Dengan penampilan yang bersahaja dan diperkuat dengan pelayanannya di gereja maka hampir semua orang mengetahui tentang siapa dia sebenarnya. Karena membantu begitu banyak orang yang kesusahan maka kepergiannya pada dini hari tadi, Rabu 14 Juli 2021 membuat banyak orang menjadi kaget.

 

Memang, hari-hari ini, Petrus Kanisius Sumanto, atau lebih akrab dipanggil Pakde Manto mengalami sakit tua. Terkadang sesak nafas dialaminya tetapi sakit yang dideritanya bukanlah halangan baginya untuk bisa beraktivitas. Menurut bude Manto (isterinya) saat ditemui di rumah duka menuturkan bahwa, Pakde Manto belakangan ini di musim bola, ia kurang istirahat karena selalu menyempatkan diri untuk menonton bola. Menarik bahwa saat menonton bola, ia selalu membawa secarik kertas untuk mencatat scor dan tim mana yang keluar sebagai pemenang.

 

Melihat kehidupan Pakde Manto dan memperhadapkan dengan hobinya yang menonton bola, mengingatkan kita bahwa hidup itu juga dilihat sebagai sebuah permainan. Dalam permainan bola, yang menjadi perhatian utama adalah gerak-gerik bola yang menggelinding mengitari arena permainan itu. Bola menjadi fokus perhatian para penonton dan bahkan penonton sendiri berani bertaruhan dari permainan yang menarik itu. Sebagai penonton bola, ia bebas berbicara dan berani untuk menganalisis, tim mana yang keluar sebagai pemenang. Sebagai penonton yang cerdas, seakan ia menempatkan diri sebagai penjaga gawang yang harus berkonsentrasi penuh agar bola tidak membobol gawang. Sering juga, penonton bisa menempatkan diri, entah sebagai libero atau pun juga sebagai gelandang tengah.

 

Hidup itu adalah permainan dan sebagai permainan, sangat ditentukan oleh wasit yang menjadi wasit  utama dalam permainan itu. Dalam sejarah perjalanan hidupnya, Pakde Manto menempatkan diri sebagai pengurus PSE Paroki Kutabumi untuk mengurus kematian orang lain. Kedukaan orang lain sepertinya bisa teratasi dengan baik, bila ditangani oleh Pakde Manto. Ia berusaha mengurus peti jenazah sampai dengan pemakaman terakhir. Selama hidupnya, ia tidak hanya mengurus orang-orang yang hidup saja tetapi juga mengurus orang yang sudah meninggal. Namun pada titik terakhir hidupnya, ia harus diurus oleh orang lain karena ia tak bisa mengusung jenazahnya sendiri. Seperti pemain bola, Pakde Manto sudah mengakhiri hidupnya di dunia ini dan pada akhirnya menghadap pada sang “wasit Agung” yang selama ini memantau permainan hidup.

 

Para pelayat yang menghantarkan jenazahnya ke pekuburan Selapajang, menghantar dalam aroma kesedihan. Ketika peti jenazah hendak diturunkan ke perut bumi, terdengar pula suara deru pesawat terbang yang mau mendarat di bandara Soekarno-Hatta, yang tidak jauh dari pekuburan itu. Bila pesawat yang bertugas mendaratkan para penumpang namun tidak tahu ke mana para penumpang itu pulang ke rumah masing-masing. Tetapi perjalanan jiwa Pakde Manto tertuju jelas pada Sang Guru Agung Yesus Kritus, yang diimani selama hidupnya. Pakde Manto sudah memasuki rumah abadi dan boleh menikmati kebahagiaan surgawi.***(Valery Kopong)

 

Tuesday, July 13, 2021

Kesetiaan-Nya



Beberapa hari ini, bersama kelompok doa di lingkungan Maximilianus Maria Kolbe, kami terus mendaraskan doa-doa untuk memohon perlindungan Tuhan agar umat manusia terhindar dari virus yang mematikan ini. Dalam doa-doa itu juga kami “melangitkan doa” untuk salah satu anggota lingkungan Max.Kolbe yang lima hari lalu dipanggil oleh Tuhan. Pada rentang waktu yang belum sampai sebulan, suami isteri harus meregang nyawa di ujung maut. Si isteri meninggal karena sakit yang cukup lama, sedangkan si bapak meninggal dunia karena terkena covid 19. Dalam kondisi yang tidak memungkinkan itu, pada akhirnya kami semua berdoa secara daring melalui google meet. “Kami tidak meninggalkan keluarga yang sedang berduka tetapi kami hanya menjaga jarak,” demikian pesan singkat dari ketua lingkungan kepada keluarga yang berduka.

 

Memang, harus dipahami bahwa orang-orang yang terkena Covid 19 bukanlah aib yang harus ditanggung dan sesama sekitarnya juga tidak perlu harus menjauhi, apalagi mengusir keluarga. “Siapa yang pernah meminta sakit dan penyakit dari Allah?” Tak ada yang dalam doa-doanya meminta diberikan sakit dan penyakit dari Allah tetapi inilah mungkin Allah memberikan cobaan terhadap manusia. Dalam doa-doa yang dilantunkan itu, sebagai pemimpin doa sekaligus membawakan renungan, saya memilih teks Injil yang berbicara seputar kebangkitan Yesus. Kisah kebangkitan Yesus menjadi menarik dan sekaligus juga memberikan penguatan pada kita semua yang percaya pada Kristus. Kebangkitan Kristus adalah puncak iman kita dan di sini, Yesus menunjukkan keberhasilan misi penyelamatan terhadap manusia. Misi penyelamatan manusia tidak hanya ditunjukkan dalam peristiwa kelahiran-Nya di kandang hina tetapi justeru Ia mengalami sengsara, wafat dan bangkit dari alam maut.

 

Dalam konteks tertentu, misi itu terus berproses dan Yesus menunjukkan kesetiaan-Nya untuk berada dalam proses itu. Karena dalam berproses untuk menggenapi misi penyelamatan itu, Yesus sepertinya  diam membisu ketika diolok-olok oleh para prajurit. “Jika Engkau Anak Allah, turunkanlah diri-Mu dari salib.” Yesus tidak mau menunjukkan ke-Allah-an-Nya ketika berada di kayu salib dan tidak menanggapi olokan itu. Tetapi jika dilihat dalam konteks kaca mata awam, bisa dikatakan bahwa Yesus bisa membuktikan olok-olokan para prajurit ketika berada di atas kayu salib, dengan turun dari atas salib. Dapatkah kita membayangkan, keselamatan itu pasti tidak terlaksana bila Yesus turun dari salib. Misi penyelamatan belum tuntas, bila Ia (Yesus) turun dari atas salib. Dalam kepasrahan yang total, Yesus menyerahkan seluruh diri-Nya dalam penyelenggaraan Ilahi. Ketaatan-Nya pada Bapa dan kesetiaan-Nya terhadap manusia, ditunjukkan oleh Yesus dengan “memendam rasa sakit” tanpa mengeluh terhadap tragedi yang menimpah-Nya. Kesetiaan-Nya sampai puncak Golgota, mengingatkan kita sebagai pengikut-Nya bahwa menjadi murid Yesus tidak harus berada pada zona nyaman tetapi justeru dalam situasi tapal batas, kesetiaan kita pada-Nya perlu diuji.*** (Valery Kopong)