Wednesday, May 18, 2011

Paguyuban Sumarah

Sumarah adalah filsafat hidup dan suatu bentuk meditasi yang awalnya berasal dari Jawa. Praktek ini didasarkan pada pengembangan kepekaan dan penerimaan melalui relaksasi tubuh, perasaan dan pikiran. Tujuannya adalah untuk menciptakan ruang di dalam diri kita, batin dan kesunyian, yang diperlukan untuk mewujudkan jati diri.
Paguyuban ini berdiri di Yogyakarta pada 8 September 1935. Tercatat sebagai Pendiri dan Guru pertama Sumarah ialah R.Ng. Soekirnohartono, seorang pegawi Kesultanan Yogyakarta (Pak Kino). Penyebaran ajaran kebatinan Sumarah bermula ketika R.Ng. Soekirnohartono merasa menerima wahyu yang diturunkan padanya dari Tuhan YME. Setelah itu ia berkewajiban untuk menyampaikan ajaran sumarah kepada semua manusia.
Pada awal munculnya, Paguyuban Sumarah mengenal istilah Trio Pinisepuh yaitu Pak Kino, Pak Hardo, dan Pak H. Sutadi. Ketiganya mempunyai tugas berbeda namun tetap dalam koridor Sumarah. Pak Kino sebagai pengemban tugas Penerima dan sekaligus penjaga kemurnian Dawuh/Tuntunan Tuhan YME, Pak Hardo bertugas di bidang pendidikan warga dan Pak H. Sutadi sebagai pengembang organisasi.
Sejak tahun 1950, Paguyuban Sumarah membentuk sebuah organisasi. Inti kegiatan Organisasi Paguyuban Sumarah, tak lain mempelajari, mempraktekkan, sekaligus memerdalam ke-sumarah-an bagi seluruh anggotanya melalui bentuk ritual peribadatan rohani dan secara bersama-sama.
Perkembangan selanjutnya, Sumarah juga melahirkan banyak tokoh, baik pusat (sentral) maupun daerah. Tokoh-tokoh itu adalah sebagai berikut:

a. Tokoh sentral Organisasi:
1. Dari tahun 1935 - 1950 : Bp. R. Ng. Soekino Hartono, Pak Suhardo, Pak H. Sutadi
2. Dari tahun 1950 - 1966 : Bp. dr. Soerono ( selaku Pengurus Besar Paguyuban Sumarah)
3. Dari tahun 1966 - 1982 : Bp. Drs. Arymurti (selaku Ketua Umum DPP Pag. Sumarah)
4. Dari tahun 1982 - 1992 : Bp. Brigjen Zahid Husein (selaku Ket.Umum Pag. Sumarah)
5. Dari tahun 1992 - 1997 : Bp. Brigjen Soemarsono(selaku Ket. Umum Pag. Sumarah)
6. Dari Tahun 1997 -.......(kini) : Bp. Ir. Soeko Soedarso (selaku Ket.Umum Pag. Sumarah)
b. Tokoh daerah :
1. Bapak Soewondo (Surakarta) bersama Bapak Sri Sampoerno tokoh penghimpun WNA
2. Bapak Kyai Abdoel Hamid (Banjarsari - Madiun)
3. Bapak May. Purn. Soekardji (Jawa Timur)
4. Bapak Moestar (Gresik)
5. Bapak Sichlan dan Bapak Suyadi ( Ponorogo )

Selain tersebut di atas, menurut sumber yang pemakalah baca, masih banyak tokoh-tokoh lain di paguyuban ini.

B. Makna Sumarah

Kata Sumarah berarti menyerah total, menyerah percaya diri dan sadar ego ke diri universal. Penyerahan total pada kehidupan. Dalam bahasa Jawa, Sumarah memiliki arti pasrah atau berserah diri. Jika dikaitkan dengan perilaku hubungan antara manusia dengan Tuhan YME, maka sikap sumarah mengandung arti sikap batin yang pasrah total kepada Tuhan YME (Allah).
Sikap semacam ini tidak selalu harus berarti apatis atau masa bodoh, sebagaimana prinsip kaum Jabariyah dalam Islam. Namun lebih tepatnya sikap Paguyuban Sumarah ini diartikan sebagai sikap tunduk, takluk dan patuh (manut mbangun miturut) kepada Tuhan YME.
Sikap batin yang demikian hanya akan terwujud pada manusia yang memiliki keyakinan akan adanya Tuhan YME, yang telah memberi kita hidup dan kehidupan, Tuhan yang menciptakan dunia raya seisinya.
Tentu saja kadar ke-sumarah-an masing-masing orang akan berbeda satu sama lain, hal ini kiranya terjadi karena faktor tingkat keyakinan, tingkat kedewasaan jiwa, dan juga tingkat kesadaran yang dimiliki oleh masing-masing pribadi. Demikian pula latar belakang kondisi lingkungan, tingkat intelegensia serta keluasan wawasan juga ikut mempengaruhi kadar ke-sumarah-an tersebut disamping faktor-faktor yang lain.

C. Ajaran dan Ritual Paguyuban Sumarah

1. Konsep Manusia Sumarah

Manusia yang pertama kali diciptakan oleh Tuhan YME adalah Adam dan Hawa. Namun keduanya tidak dipandang sebagai manusia riil, tetapi mereka adalah roh suci yang berasal dari Zat Yang Maha Esa dan badan nafsu yang berasal dari iblis.
Firdaus sebagai alam kehidupan Adam dan Hawa yang pertama, menurut ajaran Sumarah, diartikan sebagai Alam Suci. Godaan Iblis kepada Adam dan Hawa ketika masih bermukim di Firdaus, pada dasarnya adalah godaan badan nafsu untuk kepada roh suci agar menyekutukan Tuhan. Kemudian setelah iblis berhasil menggoda Adam dan Hawa (roh suci dan badan nafsu), maka mereka diusir dari Alam Suci (Firdaus) dan masuk ke dalam alam rahim (kandungan) wanita. Adam dan Hawa setelah keluar dari Firdaus dalam keadaan telanjang bulat (sebagai lelaki dan perempuan), diartikan bahwa sesudah bayi lahir dalam keadaan telanjang baru dapat diketahui jenis kelaminnya.
Manusia menurut ajaran Sumarah terdiri dari: badan wadah (jasmani), badan nafsu, dan jiwa (roh). Badan wadah, merupakan unsur jasmani atau fisik manusia yang tersusun dari empat anasir, yaitu tanah, air, dan udara. Badan nafsu (emosiaonal body) merupakan percikan Tuhan dengan perantara iblis. Menurut ajaran Sumarah, manusia emiliki empat macam nafsu, pertama nafsu mutmainah, sebagai sumber semua perbuatan baik dan alat untuk menemukan Tuhan. Kedua, nafsu Amarah, yaitu sumber kemarahan dan kedurhakaan. Ketiga, nafsu Suwiyah, merupakan sumber erotik, pengundang birahi. Dan keempat, nafsu lawamah, sumber egoisme dalam diri manusia.
Disamping kelengkapan nafsu, manusia juga memiliki jiwa atau roh yang berasal dari Roh Suci (Tuhan). Rasa (dzauq) sangat terkait dengan jiwa, terdapat di dalam dada. Di dalam dada jantung, di dalam jantung terdapat Masjidil Haram, tempat Baitullah. di dalam Baitullah terdapat budi, nur. Dengan demikian, hakekat manusia bukan hanya wujud jasmani saja, tetapi juga memiliki wujud gaib dan wujud yang gaib lagi.

2. Sujud Sumarah

Sujud Sumarah adalah bentuk perilaku peribadatan (ritual) bagi para warga Paguyuban Sumarah dalam rangka berkomunikasi dengan Tuhan YME yang pada hakekatnya merupakan aktivitas batin/rohani/spiritual/jiwa si manusia untuk bermohon, menghaturkan bakti/sembah, menghaturkan puja dan puji serta serah diri total kepada Tuhan YME, melalui kehendak dan tuntunan /bimbingan Tuhan YME sendiri.
Karena sifatnya yang sangat spiritual (rohani) maka dalam pelaksanaannya Sujud Sumarah sama sekali tidak memerlukan persyaratan lahiriah baik tempat, waktu, pakaian, bebauan, gerakan-gerakan khusus ataupun persyaratan lain, seperti hafalan mantra dan sebagainya. Namun tentu saja sebagai manusia yang berbudaya, dalam berbusana maupun sikap tata lahir dalam sujud akan selalu mengikuti norma kewajaran dan kepantasan demikian pula akan selalu memperhatikan norma-norma sosial dan etika yang berlaku di sekelilingnya tanpa harus menonjolkan dirinya.
Sujud Sumarah memiliki jenjang atau tingkatan yang harus dilakukan oleh para pengikut secara bertahap. Adapun tingkatan tersebut adalah :

Tingkat pamagang, yaitu sujud yang dilakukan oleh para pemula sebelum resmi menjadi anggota, untuk menenangkan panca indra.
Tingkat satu, sujud ini merupakan sujud awal yang dilakukan oleh pengikut Sumarah setelah resmi dibaiat mengadi anggoata.
Tingkat dua, dilakukan setelah mahir pada sujud satu.
Tingkat tiga, dilakukan setelah mahir dalam sujud kedua.
Tingkat keempat, dilakukan setelah anggoat mahir sujud tingkat tiga.
Tingkat lima, sebagai tingkat paling akhir yang langsung dibimbing dan diimami oleh pemimpin (guru utama).

Dari jenjang atau tingkat sujud itu, para pengikut Sumarah dapat dikelompokkan dalam tiga martabat. Pertama. Martabat Tekad, yaitu martabatnya para pemagang, tingkat satu dan tingkat dua. Kedua, Martabat Imam, yaitu para pengikut yang sudah memasuki tingkat sujud tiga dan empat. Ketiga, Martabat Sumarah, yaitu mereka yang sudah memasuki tingka sujud kelima.

3. Etika Hidup Sumarah

Dalam kehidupan sehari-hari, ajaran Sumarah mengajarkan pada umatnya untuk dituntut berbuat baik terhadap siapa saja, tanpa memandang agama, ras, etnis, atau bangsa. Berbuat baik terhadap siapa saja berarti berbuat baik terhadapa diri sendiri dan juga Tuhan. Oleh sebab itu ajaran etika yang sekaligus menjadi keyakinan Sumarah adalah mereka percaya penuh adanya karma (buah dari amal perbuatan).
Istilah karma (dari bahasa Sansekerta) yang berarti perbuatan dan pahala (hasil), akan didapat oleh setiap orang sesuai perbuatannya. Hasil atau karma dari setiap perbuatan akan diterima oleh si pelaku bahkan sampai keturunannya, baik dalam kehidupan di dunia sekarang atau setelah mati.
Selain ajaran karma, etika hidup Sumarah juga dilandaskan pada konsep reinkarnasi (kelahiran kembali). Ajaran reinkarnasi yang bermula dari ajaran agama Hindu, yaitu samsara yang berarti kelahiran manusia yang berulang-ulang atau disebetu juga menitis. Manusia akan mengalami kelahiran kembali ke alam dunia ini karena selama hidup di dunia dia lebih banyak bebuat buruk atau jahat. Inti jiwa manusia (jiwatman) yang masih lekat dengan urusan keduniaan tidak akan dapat bersatu kembali dengan asal mula hidupnya, yaitu Tuhan YME. Jika seseorang sudah mampu memebaskan jiwatman-nya maka dia akan mampu moksa, mencapai pelepasan untuk bersatu kembali dengan Tuhab sang sumber hidup.

4. Meditasi Sumarah

Sebagaimana tertera di pendahuluan, Sumarah merupakan filsafat hidup dan suatu bentuk meditasi. Dalam praksisnya, meditasi Sumarah mengembangkan kepekaan dan penerimaan melalui relaksasi tubuh, perasaan dan pikiran, agar tercipta ruang di dalam diri, batin dan kesunyian. Tujuannya tak lain untuk mewujudkan jati diri.
Pada dasarnya, menurut Paguyuban Sumarah, meditasi adalah sebuah alat untuk membantu kita berjalan di dunia dan melalui hidup dengan cara terbaik. Meditasi adalah alat yang berharga untuk membantu kita berhenti dan ingat bahwa memang hanya diam dan hanya secangkir teh.
Tapi yang dilakukan Paguyuban Sumarah, berbeda dengan meditasi pada umumnya, sebagaimana terdapat dalam agama dan kepercayaan lain. Tidak ada peran tetap, seperti cara tertentu pernapasan, teknik untuk membantu konsentrasi, posisi spesifik untuk terus, sambil meditasi dan sebagainya. Meditasi Sumarah hanya didasarkan pada penerimaan apa adanya. Maksudnya, berawal dari penerimaan bahwa kita tidak akan pernah menjadi sempurna dan bahwa kita akan selalu melakukan kesalahan. Hal ini mengajarkan bahwa komitmen diperlukan, tetapi upaya yang berlebihan tak bukan hanyalah wajah lain dari ambisi kami.
Paguyuban Sumarah berpandangan, hidup adalah gerakan yang berkelanjutan dan perubahan realitas sepanjang waktu. Karenanya, kita harus belajar untuk tahu dan menghargai apa yang ada bagi kita, dan dalam waktu yang sama untuk tidak terlalu melekat padanya. Sumarah tidak menawarkan solusi, tidak menjanjikan keselamatan, tidak menjamin kesuksesan.
Meditasi Sumarah adalah jalan, alat hidup, untuk hidup dan dalam kehidupan, bukan tujuan itu sendiri. Jadi, meditasi diibaratkan suatu alat yang membantu kita menuju ke suatu tempat. Begitu kita sampai di tujuan, maka alat tersebut harus kita lepaskan.
Praktek Sumarah tidak mengajarkan isolasi atau menghindari hal-hal duniawi. Sebaliknya hal itu mengajarkan kita untuk menerima hidup dalam totalitasnya, membenamkan diri di dalamnya untuk baik dan buruk. Inilah sebabnya mengapa Sumarah suka menggunakan ungkapan rame tapa, mundur bising, cara untuk belajar praktek yang benar perdamaian di tengah medan perang dan diam di tengah-tengah kebingungan bising.
Sumarah membagi meditasi menjadi dua, yakni meditasi khusus dan harian. Yang pertama, disebut 'khusus' untuk membedakannya dari kehidupan normal sehari-hari. Ini adalah waktu tertentu di mana kita duduk, santai dan terbuka untuk menerima energi ilahi. Ini adalah kesempatan untuk latihan dan melepaskan ketegangan dan pikiran. Membiarkan diri kita menyadari perasaan dan melepaskan konsep-konsep yang terlalu sering merupakan kendala bagi pengembangan diri sebenarnya.
Tapi meski disebut ‘khusus’, tetap saja tak ada aturan baku terhadap meditasi ini. Semua diserahkan kepada masing-masing individu, berapa kali atau berapa lama dalam sehari ia perlu melakukan meditasi.
Di sisi lain, meditasi harian adalah upaya memertahankan meditasi khusus. Dengan cara ini manusia belajar melihat kualitas luar biasa saat-saat biasa dan kualitas biasa saat-saat yang luar biasa. Biasanya antara meditasi khusus dan harian ada jurang yang nyata. Karenanya, praktek adalah tepat tentang mengurangi kesenjangan tersebut.
Keinklusifan cara meditasi Sumarah juga didasarkan atas kritiknya terhadap meditasi pada umumnya. Umumnya, para penganut agama atau kepercayaan tertentu menggunakan meditasi sebagai pelarian dari kenyataan setiap kali menemukan hal-hal yang tak disukai, saat dalam kesukaran atau takut pada malapetaka. Selain itu meditasi menjadi terlalu terikat dengan sebuah negara interior yang dengan mudah berubah menjadi kepuasan diri.
Sebaliknya, meditasi dalam kondisi sulit dan tidak menguntungkan, dalam keheningan maupun keramaian adalah pelatihan yang sangat baik. Setelah kita telah dalam gelap untuk sementara waktu, kita mulai melihat dan menghargai bahkan lampu kecil. Apa yang baik untuk ego biasanya buruk bagi jiwa, dan sebaliknya.

Menurut Sumarah, berada di meditasi berarti pertama-tama berada dalam keadaan kesadaran tinggi. Hal itu berarti santai secara fisik, emosional, dan mental. mengurangi hambatan yang biasanya datang di antara kita dan visi kita yang terbatas tentang diri kita sendiri dan realitas di sekitar kita.
Seringkali, ketika seseorang duduk untuk bermeditasi, benaknya penuh terisi harapan, berat dengan keinginan. Kondisi tersebut dengan sendirinya telah mencegah dari benar-benar bersantai. Sebuah kondisi dalam non-resistensi dan relaksasi bersatu dengan perhatian dan keterbukaan adalah syarat mutlak untuk kedua jenis meditasi.
Paguyuban Sumarah tidak punya kitab suci. Kitab suci kami adalah Hidup, Begitu kata mereka. Namun menurut Sumarah, orang sering kali lupa akan kehidupan itu sendiri. Sumarah berpegang pada prinsip, bahwa hidup hanya sebentar. Laksana orang istirahat di perjalanan untuk numpang minum saja. Di situlah ibarat meditasi berlaku. Semacam rehat dari jalan panjang mengingat perjalanan yang masih sangat panjang.
Diposkan oleh MS. WIBOWO di 5/28/2010 01:05:00 PM

0 komentar: