Thursday, May 26, 2011

Menyulut Dian di Bukit Tandus (1)

Oleh Charles Beraf
Langit belum kunjung benderang. Sejak awal Maret 2011, seminggu yang lewat, hujan tak berhenti mengguyur. Di bilangan pesisir utara Maumere, dari Wolomarang hingga Magepanda, genangan air bercampur lumpur masih tampak menyolok serupa kubangan. Tak cuma di halaman rumah. Juga di lubang - lubang jalan raya Pantura (Pantai Utara), yang belum sempat tersulami aspal.
Jalur Pantura, di hari itu, Sabtu 12 Maret, memang tak seramai biasanya. Cuaca yang kurang bersahabat sepertinya mengenggankan banyak pengendara untuk keluar rumah. Bisa terhitung jari, kendaraan yang melintas hari itu di jalur Pantura. Berkendaraan di musim hujan seperti itu, apalagi di jalur jalan yang banyak menanjak dan berlubang seperti Pantura, memang tak selalu luput dari resiko, atau.....atau..... Atau mandi lumpur atau tertahan lumpur, atau masuk lubang atau tergelincir dari badan jalan.
Tapi di jalan dan di tengah cuaca sesulit itu pun, pick up Panther-nya Om Fendy bernopol EB 2172 B meluncur dengan entengnya. Meski cuma dengan gigi persneling yang lebih sering berkisar dua - tiga, Om Fendy (42), warga Wolomarang yang sudah malang melintang dalam dunia otomotif itu, bisa mengatur lajunya Panther.
“Kita sudah tiba”, kata Om Fendy sesaat setelah melewati batas kampung, memasuki Reroroja.
Reroroja, desa di ujung utara Kabupaten Sikka itu, sepintas barangkali tak cukup menarik di mata banyak orang. Selain terapiti oleh bukit yang kering dan tandus, letaknya yang relatif jauh, kira-kira 40 kilometer dari pusat kota, Maumere, membuat Reroroja sepertinya jauh dari lirikan. “Jarang kami dikunjungi pejabat dari kabupaten”, kata Nong Sil (26), warga Dusun Koro, Desa Reroroja.
Desa berpenduduk 3652 jiwa itu pun hanya menyandarkan hidupnya cuma dari hamparan ladang dan laut. Dari 788 kepala keluarga (KK), 30 % penduduk bekerja menjadi nelayan atau pun sebagai penampung ikan hasil tangkapan untuk dijual kembali, dan 70 % lainnya bertaruh dengan jengkalan-jengkalan tanah di bawah kaki bukit berbatu. “Itu pun tak tentu hasilnya. Kadang hanya cukup untuk makan”, ungkap Amina (36), dari perkampungan Bajo, Reroroja.
Dengan nada sedikit memelas, Kepala Desa (Kades) Reroroja, Cyrilinus Badjo mengamini itu. Dia mengaku, petani jagung di daerahnya hanya mampu menghasilkan 2,4 ton/hektare. Kalau pun terjual, sekilo cuma seharga Rp.1500. Belum lagi dikurangi pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja.
Tentu bisa dibayangkan, untuk petani jagung saja, berapa pendapatan bisa dikantongi dalam setahun? Sebulan? Seminggu? Atau bahkan sehari? Kalau itu “cukup untuk makan”, bagaimana dengan pena dan buku tulis anak-anak sekolah? Bagaimana dengan investasi jangka panjang?
Urusan ‘kampung tengah’ saja sudah repot. Apalagi yang lain. Kondisi infrastruktur yang memprihatinkan, sanitasi yang jauh dari harapan dan pendidikan yang tak selalu menjanjikan seakan-akan mengusir mimpi akan kecerahan di Reroroja. Mungkin bagi banyak orang, memilih tinggal di sana seolah-olah, seperti kata Filosof Heidegger, memilih untuk pelan-pelan mati di hamparan ladang yang berbatu dan kering .
Tapi rupanya itu tidak bagi warga Reroroja dan Kades Cyrilinus yang terkenal militan itu. Cyrilinus berkisah, selain bertaruh dengan hamparan laut dan ladang yang ada, beternak dan ekstensifikasi lahan pertanian menjadi pilihan yang tidak main-main.
Menurut Cyrilinus, selama bertahun-tahun, pada September hingga Oktober warga Reroroja secara intensif membersihkan dan menyiapkan lahan – lahan tidur. “Ini pun tak susah urusnya. Cuma dengan tebas dan bakar, lahan sudah siap dipakai di musim hujan. Cara semacam ini tak butuh banyak tenaga. Dengan membakar, rumput baru kesukaan ternak bisa tumbuh saat datang hujan”, katanya.
Tapi apakah dari lahan-lahan tidur dan dengan pola tebas – bakar tahunan ini sudah cukup bagi warga Reroroja untuk bisa keluar dari belitan “cukup untuk makan”?
Kegelisahan malah tak kunjung berujung. Pola tebas – bakar justru berbuah petaka: bukit kian gundul, curah hujan semakin menurun, debit air pun ikutan turun. Di Kabupatan Sikka yang bercurah hujan rata-rata hanya 173 mm di puncak musim penghujan dengan intensitas rata-rata 20an hari, pola tebas - bakar ala Reroroja ini tentu tak bisa mengubah keadaan. Malah makin memperparah. Makin menggelisahkan warga Reroroja.
Kegelisahan itulah sempat tercuat saat Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) tingkat Kecamatan Magepanda pada 2007 lalu. Dan tak satu pun bisa menyangka, bahwa api kesadaran warga pun cepat tersulut saat Musrenbang itu.
“Saat itu masyarakat mulai sadar. Menggunduli hutan bisa datangkan masalah baru. Tebas-bakar bukanlah jalan terbaik. Sebaliknya, langkah yang mesti diambil warga adalah menghijaukan”, kisah Cyrilinus.
Tapi dengan apakah daerah perbukitan seluas 150 hektare itu dihijaukan? Lalu, apakah hanya cukup dengan menghijaukan, perkara “cukup untuk makan” bisa menguap pergi dari tanah Reroroja?
Bak ditawari barang bagus, gayung pun bersambut. Selepas Musrenbang, akhir September 2008 Asian People’s Exchange (APEX), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Jepang bekerja sama dengan Yayasan Dian Desa pun melancarkan proyek “Environmentally Friendly Development by Multiple Use of Jatropha curcas in Indonesia“ (Pengembangan Ramah Lingkungan dengan aneka pemanfaatan Jarak Pagar (Damar) di Indonesia) di Reroroja.
Ujung-ujungnya? Tak cuma hijaunya bukit Reroroja, tapi juga keluarnya warga Reroroja dari belitan kemiskinan. “Proyek yang didukung kementrian luar negeri Jepang ini bertujuan menciptakan model pengembangan ramah lingkungan dengan aneka pemanfaatan jarak pagar”, kata Petrus S. Swarnam, Pimpinan Yayasan Dian Desa Perwakilan NTT.
Awalnya, kisah Petrus, warga ragu-ragu. Menghijaukan areal seluas 150 hektare itu tentu tak jauh berbeda dengan proyek lamtoronisasi untuk pengembangan usaha pertanian tanah kering. Proyek yang gencar di tahun 1980-an itu memang berbuah hasil. Selain erosi teratasi, Lamtoro pun bisa meningkatkan kesuburan tanah. Tapi perkara Lamtoro mengeluarkan warga dari belitan kemiskinan, rupanya perlu diskusi panjang lagi. “Awalnya kami ragu. Jangan-jangan proyek Jarak Pagar ini pun senasib Lamtoro. Ini mimpi siang bolong”, kisah Cyrilinus.
Tapi siapa bisa menyangka, mimpi di siang bolong itu bisa mewujud di Reroroja? Dalam sosialisasi, APEX dan Yayasan Dian Desa selalu meyakinkan warga akan nilai ekonomis Jarak Pagar. Tak cuma untuk menghijaukan lahan kritis, tapi juga warga bisa memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi.
Ini luar biasa. Petrus menjelaskan, selain menghijaukan, potensi Jarak Pagar pun bisa difungsikan sebagai bahan bakar bio-diesel. Biji Jarak, yang terdiri dari 60 % berat kernel (daging biji) dan 40 % berat kulit, mengandung minyak yang tidak main-main. Melalui proses rendering (teknik pengepresan secara mekanis, bisa didapatkan rendemen minyak 25 %-35 %. Selanjutnya melalui proses pemurnian (purifikasi), bisa didapatkan minyak dengan kualitas terbaik. Proses purifikasi ini terdiri dari deguming ( pemisahan getah yang masih terkandung dalam minyak jarak), netralisasi (pemisahan asam lemak bebas), pencucian yang diikuti dengan bleaching dan deodorisasi (pemurnian minyak untuk menghasilkan zat-zat warna pada minyak dan menghilangkan bau pada minyak).
Minyak yang telah diolah dengan proses pemurnian bisa langsung dipakai sebagai bahan bakar atau bisa juga diolah dengan proses trans-esterifikasi untuk memproduksi bio-diesel. “Inilah nilai tambah Jarak Pagar. Tak hanya untuk penghijauan. Tapi juga untuk bahan bakar, pengganti Solar 100 persen ”, tegas Petrus.
Di tengah merosotnya produksi minyak dalam negeri, ditambah naiknya harga minyak dunia, bukan tak mungkin minyak Jarak Pagar jadi alternatif. Kalau tidak ada alternatif semacam ini, krisis Bahan Bakar Minyak (BBM) bisa berefek fatal. Harga bahan pokok meningkat. Sejumlah usaha kecil dan menengah (UKM) bisa gulung tikar. Listrik tak bisa nyala maksimal. Pengendara, serupa Om Fendy dengan Panther-nya, pun “ciut” untuk keluar rumah. Dan, pengangguran pun bakal merajalela.
Menurut hasil penelitian Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI), akibat krisis BBM 2008, dalam rentang dua bulan saja, di Indonesia bertambah angka pengangguran sebanyak 7.000 orang dan orang miskin baru bertambah 110.000 jiwa. Bisa dibayangkan, betapa stganan-nya perekonomian Indonesia kalau krisis terus menyeruak.
Lalu? Apa Jarak Pagar terus dipandang sebelah mata? Di tengah krisis BBM seperti sekarang ini, usaha serupa punya warga Reroroja bukanlah hal remeh – temeh. Mereka perlu didukung. Mereka tidak bisa sendiri (disendirikan). Tak bisa juga hanya bergantung pada APEX dan Yayasan Dian Desa.
“Kalau pemerintah Jepang bisa bantu masyarakat, kenapa pemerintah sendiri tidak bisa bantu”, tukas Cyrilinus. Pemerintah mesti juga punya tanggungan. Sekurang-kurangnya bisa mendanai proyek Jarak Pagar ini.
Dengan pemerintah, hingga kini memang masyarakat Reroroja masih tetap berharap-harap cemas. Kalau – kalau di hadapan pemerintahnya sendiri, mereka tak senasib dengan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi). Aprobi, yang mulai berkibar di tahun 2007 bernasib apes, gara-gara kurang didukung pemerintah. Meski sudah lima dari 22 anggota Aprobi memiliki pabrik pengolahan biofuel berkapasitas 1,1 juta ton per tahun, cuma 15% kapasitas dari itu yang terpakai, karena permintaan dan bahan baku dalam negeri terbatas. Pemerintah toh masih tetap memilih diam dengan usaha Aprobi.
Lalu, apakah ini juga nanti terjadi dengan masyarakat Reroroja yang sudah mulai bertaruh dengan Jarak Pagar di bukit tandus itu? ###

Menyulut Dian di Bukit Tandus (2/habis)
“Ini namanya Desa Jarak Pagar”, kata Om Fendy dengan sedikit berguyon saat Panther-nya mulai merangkak pelan-pelan di jalan tengah Desa Reroroja. “Kalau Gubernur Lebu Raya bisa juluki NTT Provinsi Jagung, Provinsi Ternak dan macam-macam, Reroroja pun punya julukan sendiri”, tambahnya.
Tapi di Reroroja bukan sekedar perkara nama atau julukan. Nama, ya, selalu mesti jadi tanda, Nomen Est Omen. Dan, masyarakat Reroroja sudah membuktikan itu. Sudah sejak tiga tahun yang lalu, 2008, bersama APEX dan Yayasan Dian Desa, mereka mengendus nasib, mengusir ketandusan hamparan bukit dan kemiskinan yang sekian lama membelit. “Ternyata dari Jarak Pagar kami bisa hidup. Dari seember buah Jarak Pagar saja, sudah lumayan hasilnya. 2.500 rupiah per ember”, kata Kades Cyrilinus.
Dari hasil Riset dan Analisa Komersial Industri Minyak Jarak yang dipublikasikan oleh Majalah Damar dari PUSPHA (Pusat Teknologi Tepat Guna Jatropha) (Vol 1 tahun 2009), ditunjukkan bahwa tanaman Jarak Pagar di NTT menghasilkan persentase minyak yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang ditanam di daerah lain. “Tanaman ini prospeknya luar biasa. Ini hal yang amat menjanjikan bagi peningkatan pendapatan petani di NTT”, kata Alexander F Rego, Project Manager Lokal PUSPHA.
Selain itu, pada 3-5 tahun awal, setiap tanaman Jarak Pagar menghasilkan 4 kilogram biji per tahunnya. Di setiap hektare-nya, dengan jarak tanam 2 x 2 meter, dapat ditanam 2500 pohon. Dengan kandungan minyak pada tiap kilogram Jarak sebesar 35 % maka akan dihasilkan 3500 kg atau 3850 liter crude oil per hektarenya. Bila satu liter crude oil dihargai Rp.2500, maka omzet per hektare dari tanaman Jarak Pagar bisa mencapai Rp. 9,625 juta. Jumlah ini akan terus meningkat sejajar dengan peningkatan areal tanam Jarak Pagar.
Sungguh luar biasa! Bisa dibayangkan, betapa banyaknya untung yang diraup di Reroroja dengan 150 hektare areal tanam Jarak Pagar itu. Betapa terangnya kehidupan masyarakat Reroroja dari bukit yang tak lagi tandus itu. “Kalau ini dari dulu, warga Reroroja bukan seperti sekarang”, imbuh Cyrilinus.
Tapi akhirnya ‘masa gelap’ itu pelan-pelan terusir dengan Jarak Pagar. “Hampir tiap hari warga di sini, termasuk anak-anak selalu cari buah Jarak untuk dijual. Buah Jarak kan masak setelah 5-6 bulan, jadi cepat panen”, imbuh Cyrilinus.
Apalagi, kata Cyrilinus, di Reroroja sudah ada Gathering Center (Pusat Pengumpulan Biji dari Pusat Teknologi Tepat Guna Jatropha) yang diresmikan pada tanggal 10 April 2010. Gedung Gathering Center, yang terletak di kaki bukit Reroroja ini digunakan sebagai pos pengumpulan biji atau buah Jarak Pagar. Tidak hanya dari Desa Reroroja, tetapi juga dari desa-desa lain yang ikut mengumpulkan biji, seperti dari Kabupaten Sikka, Kabupaten Ende dan sekitarnya.
Tak hanya itu. Pada tanggal 26 Agustus 2010 lalu, di Wairita, Desa Wairbleler, Kecamatan Waigete, Sikka, oleh Gubernur Lebu Raya diresmikan Jatropha Center yang berfungsi sebagai pusat pengolahan biji dan pemasaran produk minyak Jarak Pagar. Jatropha ini terdiri dari Gudang Biji seluas 288 meter persegi, Gudang Produksi dengan fasilitas ekstraksi dan pemurnian minyak seluas 128 meter persegi, tempat penyimpanan minyak seluas 192 meter persegi, tempat pengolahan limbah seluas 96 meter persegi dan laboratorium seluas 57 meter persegi.

Itu berarti petani Jarak Pagar di Reroroja tidak susah-susah cari pasar. Tinggal saja petik, kumpul dan jual ke Gathering Center. Semudah menimbang Kemiri dan Kopra kepada para pengusaha lokal, menimbang buah Jarak Pagar pun bak perkara membalik tangan. “Tapi menyadarkan warga soal ini memang butuh waktu. Mereka sudah lama terbiasa dengan komoditi lain. Jadi ketika di daerah lain kami menawarkan untuk budidaya Jarak Pagar, warga masih susah terima”, kata Alex F Rego.
Menyadarkan warga soal serupa budidaya Jarak Pagar ini memang gampang-gampang susah. Mentalitas “liat dulu hasilnya, baru buat” sudah lama mengidapi warga. Padahal, menurut Petrus S. Swarnam, budidaya Jarak tidak susah. “Memang Yayasan Dian Desa dan APEX memperkenalkan upaya perbanyak bibit melalui cara Kloning Ex Vitro, klon dari pohon unggul dan propagasi akar. Tapi dengan menanam biji dan stek pun hasilnya lumayan. Tapi itulah, orang-orang kita selalu mau liat bukti dulu”, kata Petrus
Karena itu, menurut Petrus, selain Proyek Jarak Pagar di Reroroja dengan teknik biji dan Kloning Ex Vitro, Memorandum of Understanding (MoU) antara PT. PLN Wilayah NTT dan PUSPHA (APEX dan Yayasan Dian Desa) bisa jadi pemicu kesadaran warga. MoU yang ditandatangani pada 25 Agustus 2010 ini didasarkan atas hasil ujicoba pemakaian minyak Jarak Pagar di subranting PLN di Kecamatan Magepanda pada bulan Juli 2010. Karena hasil uji coba itu terbukti memadai, maka dalam MoU tersebut telah ditetapkan bahwa PLN bersedia membeli minyak Jarak Pagar dari PUSPHA. “Ini yang harus warga sadari. Terbukti, PLN sudah mau pakai minyak Jarak Pagar, kenapa warga belum mau gencar dengan budidaya Jarak Pagar”, kata Petrus.
Menurut Petrus, 20 tahun kemudian krisis BBM akan berpuncak. Pasokan minyak dari hasil endapan fosil akan habis. “Kita membutuhkan sumber minyak alternatif. Jarak Pagar salah satunya”, katanya.
Dan di Reroroja, yang alternatif itu sudah dimulai warga, APEX dan Yayasan Dian Desa. Mereka telah menyulap bukit tandus menjadi bukit Jarak Pagar. Dengan upaya luar biasa itu, mereka tidak hanya menyulut api kesadaran kita, tetapi juga menyulut dian kehidupan. @@@

No comments: