Membaca arah perpolitikan dalam skala NTT menjelang
Pilgub, masih terlihat tingkat ketidakstabilan para pemilih yang
bakal menentukan sikap dan memberikan suara untuk calon Pilgub tertentu. Opini publik
masih menerawang dan pertanyaan penting
yang sedang menghantui masyarakat Nusa Tenggara Timur adalah calon Gubernur dan
calon Wakil Gubernur mana yang pantas untuk dipilih? Seberapa jauh komitmen Cagub dan Cawagub NTT dalam upaya
untuk membangun masyarakat NTT yang miskin dan mengarah ke kehidupan yang lebih
baik?
Thursday, March 29, 2018
Tuesday, March 27, 2018
Pendidikan Itu Memerdekakan
(Sebuah
catatan untuk dunia pendidikan)
Oleh: Valery Kopong*
Ketika merayakan acara pelepasan
dan perpisahan kelas VI SD di salah satu sekolah Katolik, adakah yang
bertanya, sudah berapa orang anak didik
yang sudah menyelesaikan pendidikan?
Berapa jumlah orang-orang sukses yang lahir dari tangan dingin seorang
guru? Inilah pertanyaan-pertanyaan penting ketika berhadapan dengan acara
perpisahan ini. Tetapi di sini, pada
moment bersejarah ini merupakan ‘titik
henti sementara’ untuk berefleksi
tentang perjuangan, dan proses
pendidikan itu berlangsung serta bagaimana berusaha untuk mengembangkan
persekolahan Katolik itu.
Thursday, March 22, 2018
Guru
“Hanya satu yang saya tahu yaitu saya
tidak tahu apa-apa.”
Sedari
dulu, guru dilirik sebagai sosok yang menyimpan ilmu dan pemberi teladan bagi
siswa. Tumpuan kepintaran para siswa sangat bergantung pada guru, si pemberi
ilmu. Ilmu yang didalami guru selama di bangku kuliah, seakan menuntut
“penetasan” kembali pada “sangkar sekolah” sebagai bukti keterbukaannya pada
siswa yang dengan setia menyadap ilmunya. Melirik konsep publik tentang guru
yang selalu mengada dalam waktu, membuat penulis melahirkan sebuah pertanyaan
tuyul. Masih relevankah bila guru dianggap sebagai pengajar dan pendidik?
Di
mata siswa, guru menjadi salah satu tumpuan di mana mereka boleh menimbah ilmu.
Di hadapan siswa pula, guru adalah cerminan masa depan siswa yang masih berada
dalam mayanda suram. Masa depan siswa yang masih dalam taraf impian, seakan
disibaki oleh guru. Di sini, guru boleh tampil sebagai gembala tradisi dan nabi
untuk masa depan siswa.
Wednesday, March 21, 2018
NILAI PENGORBANAN SANG GURU
Judul : Salib: Mengenang Sang Korban
Penulis : Valery
Kopong
Penerbit: Adonara Press (bekerja sama dengan www.nulisbuku.com)
“Hidup yang tidak pernah
direfleksikan adalah hidup yang tidak pantas untuk dijalani.” Hidup dan
merefleksikan tentang kehidupan itu sendiri merupakan cara sederhana dalam memaknai hidup itu. Tanpa refleksi,
kehidupan itu berjalan secara monoton, tanpa makna dan manusia tak pernah
berhenti untuk melihat, sejauh mana ia telah melangkah dan berapa daya hidup
yang terkuras dalam melakoni hidup itu.
Sebagai
orang beriman akan Kristus, seluruh kepingan hidup kita bergantung pada-Nya dan
terutama salib yang menawarkan sebuah pengorbanan yang utuh dalam diri Yesus.
Yesus dan salib menjadi ikon yang membahasakan penderitaan dan di balik salib
itu terbersitlah harapan baru. Ketika manusia tidak berdaya, ada kecemasan dan
pemberontakan, ingin lari dari kenyataan. “Harapan” membuat manusia untuk
bertahan dalam situasi apa pun.
Monday, March 19, 2018
Paulus dan Pengalaman Passing Over (Wawancara Imajiner)
Pengantar Redaksi: Paulus
yang sebelum pertobatannya dikenal sebagai Saulus, lahir di Tarsus, Kilikia,
sebuah pusat perdagangan terkenal di bagian Tenggara Asia Kecil (sekarang
wilayah Turki). Tanggal lahir Paulus tidak diketahui secara pasti tapi
diperkirakan ia dilahirkan sekitar tahun
10 sesudah Masehi. Paulus adalah seorang
Israel dari suku Benyamin dan disunat pada hari kedelapan (Filipi 3:5). Dalam
teks yang sama ini Paulus mengatakan bahwa ia adalah seorang Farisi yang
berpendirian teguh. Dikatakan bahwa Paulus menyandang dua nama yakni nama
Romawi (Paulus) dan nama Yahudi (Saulus) (Kis 7:58; 8:1). Melalui proses tawar-menawar waktu yang sangat lama, tim Redaksi Voluntas
berhasil mewawancarainya di selah-selah keheningan. Sayangnya, fotografer tidak
bisa membidik wajahnya karena memang ia tak kelihatan lagi di muka bumi ini.
Friday, March 16, 2018
Janda
Ilustrasi foto diambil dari Merdeka |
Yesus mengadakan banyak mukjizat, salah satunya
adalah membangkitkan anak muda di Nain. Mukjizat yang diperlihatkan oleh Yesus adalah
cara sederhana untuk mengingatkan manusia akan datangnya kerajaan Allah . Kerajaan Allah yang ditawarkan oleh Yesus
bukanlah kerajaan yang akan terjadi tetapi sedang terlibat dan dirasakan oleh
manusia sendiri. Peristiwa Yesus membangkitkan anak muda di Nain merupakan
tanda yang menghadirkan Allah dan kasihnya di tengah dunia.
Monday, March 12, 2018
TARIAN “HEDUNG”: CERMIN KEBUASAN MANUSIA
( Sebuah Analisis Sosio-kultural)
Oleh: Valery Kopong*
Friday, March 9, 2018
Kerinduan Seorang Narapidana
“Sebuah
jubin lantai rumahku terpecah. Terlihat, seekor jangkrik keluar dari retakan jubin sambil mengibas
sayap, pratanda ada kebebasan baru yang dialami.”
Langit kota Tangerang-Banten semakin cerah. Sinar mentari pagi perlahan
menyusup menembusi dedauan yang masih
melekat rapih di pohonnya. Kecerahan langit tak secerah langit jiwa sang kelana yang kini mendekap di hotel
prodeo. Langkahku semakin merapat pada pintu besi di Lembaga Pemasyarakatan
Tangerang. Deru mesing-mesin kota dan semburan asap dari knalpot, sepertinya
tidak mengganggu kehidupan mereka yang sangat terbatas. Kerinduan untuk bebas
selalu menggema setiap saat tetapi itu hanya kerinduan. Waktulah yang
menentukan dan memungkinkannya untuk keluar dari arena tak bebas itu.
Di
depan pintu besi Lapas yang sulit didobrak itu, saya menitipkan HP, KTP dan tas
ranselku juga digeledah. Di ruang itu saya menyuruh petugas Lapas untuk
memanggil Didik, (bukan nama sebenarnya) dan beberapa rekannya untuk kami
ngobrol bersama di ruang tunggu. Cukup lama saya menunggu dan tiba-tiba ia dan
beberapa temannya yang Katolik datang dari arah kapel. Di tangan Didik,
tergenggam Injil dan didahinya diberi tanda salib dengan abu. Ketika masuk di
ruangan, beberapa temannya menanyakan soal arti pemberian diri dengan abu di
dahi. Dengan penuh keyakinan, Didik menjelaskan
pada teman-teman narapidana yang muslim, bahwa tanda abu yang dikenakan
pada dahi mengingatkan kita sebagai manusia lemah yang diciptakan dari tanah,
suatu saat akan kembali ke tanah. Mendengar penjelasan itu, saya hanya manggut
sebagai cara untuk mengapresiasi terhadap apa yang dikatakan sebagai kebenaran
dari ajaran yang diterimanya.
Ruang tunggu itu tak beda jauh dengan “ romantic room.” Semua nara pidana yang saya jumpai sedang memeluk isteri atau
anaknya dengan penuh kasih sayang. Kerinduan itu tersembul dari sorotan mata
yang tak bisa menipu realita. Sambil menikmati coca-cola, saya mengobrol
bersama beberapa napi yang katolik. Ketika saya tanya, apakah banyak napi
katolik? Dengan penuh kepastian, ia menjawab, sekitar 30-an orang napi katolik.
Mereka masuk atau dipaksa masuk ke situ dengan beragam masalah. Ada yang
dihukum karena melakukan tindakan kriminal, ada yang terjerat masalah narkoba
dan banyak lagi kasus yang menimpah mereka yang pada akhirnya menyeret mereka
ke Lembaga Pemasyarakatan itu.
Socrates
pernah berujar, “apabila banyak sekolah didirikan maka suatu saat,
penjara-penjara bisa ditutup.” Ungkapan Socrates ini membahasakan bahwa
keberadaan sekolah menjadi jaminan bahwa pola perilaku manusia bisa tertata
rapih dan kejahatan perlahan lenyap dari bumi ini. Tetapi apa realita yang
muncul saat ini? Pendirian sekolah hampir bersamaan dengan pendirian penjara
atau sekarang disebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Di depan papan
pengumuman itu aku melihat data-data terutama jumlah orang yang ada dalam
penjara sekitar 1000 lebih orang. Ini belum terhitung dengan jumlah nara pidana
di Lapas wanita dan anak-anak. Sebuah
angka yang menggila dan fantastis. Tetapi apakah mereka adalah orang-orang
terbuang dari pergaulan umum karena ulah tingkah dan salah mereka? Melihat
jumlah napi yang semakin menanjak, menjadi sebuah sindiran bagi lembaga
keluarga, sekolah dan agama yang selalu mendengungkan moralitas dan nilai cinta
kasih. Masing-masing institusi mempertanyakan diri. Seberapa jauh nilai cinta
kasih dan moralitas ditanamkan dalam diri anak-anaknya?
Dalam
rentang waktu yang tidak mengenal titik habis, kita terus bertanya, mengapa
mereka terhempas dan dihempas dalam penjara? Sampai kapan mereka mengalami
pertobatan yang berarti? Inilah pertanyaan yang sederhana terus menggeliat
dalam lika-liku waktu. Didik, walau dianggap sebagai pembunuh kelas kakap,
tetapi beberapa tahun terakhir menunjukkan diri ke arah perubahan yang lebih
baik. Menurut penuturannya dengan saya,
dengan berbekal pengalaman yang tidak bebas di Lapas, ia selalu menasihati
keluarganya agar menghindari hal-hal yang bersentuhan dengan tindakan kriminal.
Pengalaman di Lapas adalah pengalaman yang tidak mengenakkan dan ruang gerak
kebebasan selalu dipantau.
Apa
yang harus dilakukan sebagai upaya dalam mengatasi pelbagai persoalan? Baginya,
hanya satu cara yang ditempuh yaitu mengikuti proses hukum dan menjalaninya
secara normatif. Cara ini memperlihatkan
sebuah upaya untuk bersahabat dengan keputusan hakim yang telah mengetuk
palu. Menghitung hari-hari hidup dibalik
jeruji adalah menghitung sebuah kesia-siaan. Mengapa kesia-siaan? Karena
setelah menghitung, berapa lama lagi saya mendekap dalam penjara, saya tetap
menjalani hidup sebagai napi dan masih menunggu waktu untuk suatu saat keluar
dari penjara. Memang, penjara (Lapas) hanya memenjarakan saya secara fisik
tetapi kerinduan saya tak bisa terpenjara. Kebanyakan napi hidup dalam kerinduan,
rindu untuk pulang rumah, untuk ada bersama dengan anggota keluarga.
Semangat
dan kerinduan menjadi spirit yang menggerakkan kesadaran mereka untuk bertahan
dalam penjara. Tanpa harapan dan kerinduan maka pupus sudah makna hidup yang
dijalaninya. Memang penjara, di mata kebanyakan orang adalah tempat pembuangan
bagi mereka yang menyalahi aturan normatif. Namun penjara juga dilihat sebagai
wadah yang membentuk atau mendaur kembali kehidupan orang-orang yang sudah jauh
dari sentuhan moralitas. Di ujung pertemuan itu, Didik semakin menguatkan diri
dengan melihat figur Paulus, yang dulu dikenal sebagai penjahat dan membunuh
orang-orang yang menamakan diri sebagai pengikut Yesus, tetapi setelah
mengalami pertobatan, ia menjadi rasul terbesar dalam Gereja Katolik. Ia tidak
hanya mewartakan Yesus di kalangan orang Yahudi tetapi melampaui kelompoknya
sendiri.
Penjara
(Lapas) bisa dikatakan sebagai tempat untuk memurnikan kembali nurani agar
setelahnya para mantan napi dapat bertindak secara baik. Seperti emas yang
disepuh dalam tanur api, di sanalah kita temukan kemurnian emasnya. Demikian
juga penjara, telah menyepuh para napi dalam tanur peradaban agar kelak, para
mantan napi menjadi manusia yang utuh kembali.***(Valery Kopong)
Thursday, March 8, 2018
Belajar Dari Sang Guru
KETIKA mengunjungi teman yang
sakit, ia selalu mengeluh sakit terutama setelah operasi. Pada operasi pertama
yang dianggap gagal, ia kemudian dipindahkan ke rumah sakit lain dan dianjurkan
oleh dokter untuk dioperasi lagi karena kondisinya semakin parah. Tindakan
dalam pengoperasian ulang dilakukan karena dokter bedah pada rumah sakit
sebelumnya salah meletakkan posisi usus yang sebenarnya dalam tubuh si pasien.
Awalnya ia menolak saat diminta untuk dioperasi ulang tetapi setelah diberi
penguatan oleh teman-teman, ia pada akhirnya meyakinkan diri untuk dioperasi.
Friday, March 2, 2018
"Orang-Orang Kalah"
Beberapa
waktu yang lalu, saya menerima sebuah pesan singkat dari seorang teman yang
memberitakan pada saya mengenai judul
bukunya yang mau diterbitkan di Yogyakarta. Judul bukunya “Orang-orang Kalah.” Saya lalu bertanya, kira-kira apa isi
dari buku yang diberi judul orang-orang
kalah? Dia lalu memberikan jawaban bahwa bukunya itu menceritakan tentang seluruh pewartaan dan pengorbanan Yesus yang
selalu mengendepankan diri sebagai
orang yang mengalah pada situasi, demi
sebuah nilai yang lebih tinggi. Ketika kehadiran Yesus sebagai Mesias (penyelamat dunia) di dunia, Ia ditolak oleh orang-orang
Israel karena konsep kemesiasan orang Israel adalah seorang pemimpin yang tampil dengan gagah
perkasa dan bisa menumpas para penjajah
agar mereka terhindar dari tekanan kolonial.
Thursday, March 1, 2018
"Bapa Kami Yang Ada di Bumi"
“Bapak kami
yang ada di surga.” Itulah penggalan awal doa Bapak Kami, sebuah doa yang
diajarkan oleh Yesus sendiri kepada kita. Ketika mendaraskan doa ini, terasa
Bapa itu masih jauh dari hadapan manusia, Allah yang transenden. Sepertinya ada
paradox antara pemahaman Katolik tentang Allah yang imanen, yang menetap di
hati kita tetapi pada saat yang sama ketika doa Bapa Kami itu didaraskan, orang
merasa bahwa Allah itu masih jauh, kurang terlibat dengan kehidupan manusia.
Doa menjadi titik simpul setiap
manusia yang memohon keberpihakkan Allah dalam hidupnya. Permohonan konkret
yang dibuat manusia melalui doa Bapa Kami adalah memohon kerajaan Allah yang
berpihak dan rejeki yang berlimpah. Kerajaan Allah bukanlah kerajaan utopia,
tetapi Allah sedang hadir dan ada dalam kehidupan manusia ketika pesan
pewartaan Yesus yang berpihak pada yang lemah, miskin dan tersingkir.
Subscribe to:
Posts (Atom)