Tuesday, September 29, 2020

Nama Adalah Tanda

 

Pada hari Sabtu, 26 September 2020 merupakan hari bahagia bagi Bapak Panut karena setelah melewati perjuangan panjang, ia telah mencapai titik awal untuk hidup secara baru yang ditandai dengan peristiwa pembaptisan secara Katolik. Baginya, pilihan ke Katolik merupakan suatu kesadaran iman yang kuat dan pilihan itu dilewati dengan mengikuti bimbingan yang selama ini diikutinya. Menjadi seorang Katolik melewati proses panjang dan di sini seseorang diuji, seberapa jauh tingkat keseriusan dalam menentukan sikap untuk menjadi pengikut Kristus.

Dalam homilinya, Romo Sulis memberikan pemahaman tentang pokok iman yang harus dihayati dan juga tentang gambaran Bapa yang ada dalam kitab suci. Menurutnya, Allah digambarkan sebagai Bapa yang penuh belas kasih. Kasih yang terdalam dari Bapa akan anak-anaknya ketika Ia mengutus Putera-Nya ke dunia untuk menebus dosa manusia dan menjadi penyelamat. Dalam khotbah itu diselingi dengan pertanyaan yang ditujukan pada Pak Panut yang mau dibaptis. “Sebelum Yesus menjalani sengsara-Nya, apa yang dilakukan-Nya bersama dengan murid-murid?” Tanya romo Sulis. Dengan santai Pak Panut menjawab, setelah Ia mengadakan malam perjamuan terakhir. 

“Di mana Yesus berdoa?” Tanya romo sulis lagi. Setelah mendengar bisikanku, Pak Panut menjawab, di taman Getzemani. Dari pertanyaan-pertanyaan singkat ini Romo Sulis mau menggiring baptisan baru untuk memahami misteri penyelamatan Allah terhadap manusia melalui Yesus Putera-Nya. Pengorbanan diri Yesus menjadi perwujudan kasih terdalam dari Allah terhadap manusia. Kehadiran Yesus di dunia ini membawa misi penyelamatan manusia dan Ia tetap berkomitmen untuk taat kepada Allah dan setia kepada manusia. Kesetiaan ini ditunjukkan melalui sebuah proses panjang dan penuh tragedi. Karena taat kepada Bapa-Nya dan kesetiaan kepada manusia, Yesus rela menjalani kisah tragis ini sebagai cara yang harus ditempuh untuk menyelamatkan manusia.

Menderita sengsara sampai kematian-Nya di atas salib, menunjukan cinta paripurna Yesus terhadap Allah dan manusia. Begitu pentingkah manusia sehingga Allah, melalui Putera-Nya Yesus Kristus, rela untuk menjalani kisah pilu ini? Pertanyaan retoris ini menjadi titik pergumulan seorang kristiani dan juga menjadi daya tarik bagi mereka yang belum mengenal Kristus. Kebesaran cinta seorang Yesus terhadap manusia, tidak hanya mengisahkan tentang ceritera gembira tetapi jauh lebih penting adalah pengalaman pahit yang harus dilalui-Nya. Yesus telah mengajarkan kepada kita arti dari sebuah peziarahan hidup yang panjang dan melewati pelbagai tantangan.  Setiap tantangan mesti dihadapi dengan sikap bijaksana dan di balik tantangan itu, tersembunyi pesan-pesan penting. Ketika Yesus menerima salib untuk menjalani hukuman, tetapi di atas puncak salib, tempat Ia digantung bukanlah simbol frustrasi tetapi dibalik salib itu, harapan baru tentang kebangkitan yang mulia mulai diperlihatkan kepada dunia.

Pada peristiwa pembaptisan itu, Panut, lelaki 50-an tahun itu memilih nama baptis Paulus. Sebelum mengalami pertobatan, Paulus dikenal sebagai Saulus mengejar dan menganiaya orang-orang yang menamakan diri sebagai pengikut Kristus. Tetapi pada perjalanannya ke Damsyik, ia mengalami pengalaman baru, sebuah titik awal membalikan hidup Saulus. Ia jatuh dari kuda setelah sorot sinar mengenai matanya. Pengalaman Damsyik adalah pengalaman pertobatan Saulus. Ia kemudian mengenakan nama baru, Paulus. Dalam sejarah penyebaran ajaran tentang Kristus, Paulus memainkan peranan yang sangat penting. Paulus, dalam mewartakan kabar gembira, ia tidak hanya berpusat pada kelompok orang-orang Yahudi saja tetapi justeru ia berusaha untuk mewartakan Injil tanpa sunat kepada kelompok-kelompok bukan Yahudi.


Pengalaman pertobatan Paulus dan kemudian menjadi pewarta, barangkali tidak bisa disejajarkan dengan Panut, yang bersedia mengikuti Kristus karena pengalaman masa lampau ketika ia dibentuk di sekolah-sekolah Katolik. Lingkungan pendidikan memberikan dampak pada pengalaman orang yang pernah mengenyam pendidikan Katolik dan pada akhirnya memutuskan diri untuk menjadi pengikut-Nya. Panut tidak pernah mengalami pengalaman Damsyik tetapi setidaknya ia mengalami pergolakan batin untuk pada akhirnya menentukan sebuah pilihan untuk ada bersama Kristus. Memilih untuk mengikuti Kristus berarti bersedia untuk memanggul salib-Nya.***(Valery Kopong)

Malaikat Agung

 Hari ini kita memperingati pesta para malaikat Agung,yaitu Mikael,Gabriel dan Rafael.Para malaikat ini mempunyai tugas masing-masing.Malaikat Mikael mempunyai tugas sebagai panglima perang surgawi dalam melawan Lucifer.Malaikat Gabriel mempunyai tugas sebagai utusan khusus unuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada manusia. Malaikat Rafael mempunyai tugas sebagai utusan untuk menyembuhkan penyakit.  

Peran para malaikat Agung ini baiklah kita lanjutkan dalam tugas kehidupan kita sebagai umat beriman.Dalam kehidupan nyata setiap hari kita menghadapi banyak tantangan,godaan, "iming-iming" yang disebabkan oleh gerakan roh-roh jahat.Marilah kita menjadi panglima perang melawan itu semua dengan semangat doa,kebaikan dan cinta kasih.Kita mohon pertolongan malaikat Mikael. 

Bulan September adalah Bulan Kitab Suci Nasional.Kita diajak untuk mengenal,mendalami dan mencintai Firman Tuhan sebagai pesan pedoman dan penunjuk jalan menuju keselamatan.Marilah kita gunakan BKSN sebagai waktu  khusus untuk menyampaikan pesan-pesan Firman Tuhan kepada sesama kita,sehingga kita bisa berjalan bersama menuju keselamatan kekal.Kita mohon pertolongan malaikat Gabriel.


Dalam masa pandemi ini,marilah kita gunakan waktu khusus untuk mendoakan bagi saudara-saudari kita yang sedang sakit dan mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk mengatasi virus corona 19,agar mereka mendapat rahmat kesembuhan dan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.

(YOH.1: 47-51, 29 September,Suhardi)

Monday, September 28, 2020

Aku Ada Untuk Orang Lain

 

12 Juli ulang tahun kelahiramu. Setiap tahun, ketika berada pada tanggal ini, kami semua merayakan hari lahirmu, dan engkau mengenang untuk pertama kali hadir di dunia ini dengan tangisan sebagai sapaan pertama untuk dunia ini. Sembilan bulan sepuluh hari, begitu nyaman berada dalam rahim sang ibu. Enam puluh tiga tahun engkau berada dalam pergumuluan hidup di bawah terik matahari abadi. Ada tawa dan senyum ceria menghiasi perjalanan hidupmu. Ada pula suka dan duka meniti hari-hari hidupmu. Enam puluh tiga tahun, engkau menyusuri lorong-lorong perjuangan hidup.

Mengenang ulang tahun kelahiranmu, kami yang hadir disini berusaha menyalahkan lilin, tidak hanya  sebagai cara untuk mengambil bagian dalam suka cita ini. Lilin bernyala adalah simbol dirimu  yang tidak pernah mengutuki kegelapan yang datang menghampiri. Lilin yang bernyala, berusaha untuk membakar dirinya agar kegelapan di sekitarnya tidak dikuasai oleh kegelapan berkepanjangan. Kehidupanmu tak lebih dari sebuah lilin yang selalu mengorbankan diri untuk orang lain.

Selama dua puluh lima tahun, engkau berperan sebagai orang tua asuh bagi mereka yang nyaris kehilangan harapan saat mereka duduk di bangku sekolah. Dari tangan dinginmu, engkau mengantarkan mereka pada titik kesuksesan. Engkau  telah mengubah ratap tangis mereka menjadi tawa dan suka cita penuh kegembiraan tatkala mereka meraih mimpi-mimpi mereka. Dan genap dua puluh lima tahun mengabdi sebagai orang tua asuh, engkau membangun sebuah lembaga pendidikan dengan penuh susah payah. Sekolah yang dibangun itu diberi nama Teratai, untuk mengingatkan dan menyambungkan kisah yang sama, kisah hidup orang-orang pinggiran yang perlu mendapatkan perhatian. Mengapa memilih Teratai untuk memberi nama pada sekolah ini? Apakah tidak ada bunga lain yang lebih bagus saat bermekar? Memilih teratai dengan filosofi sederhana bahwa Teratai bisa hidup pada lumpur-lumpur yang kotor tetapi tetap menampilkan mekarnya kembang yang indah.

Hari ini kembali mengulang kisah. Tidak hanya mengenang kelahiran semata-mata tetapi jauh lebih penting adalah lahir untuk mengabdi orang lain. Atau meminjam bahasa filsuf Martin Heidegger, “Aku ada untuk Aku-ku yang lain.” Aku hadir di dunia ini karena orang lain. Hidupku yang aku alami saat ini karena terbentuk oleh begitu banyak tangan. Pada momentum, merayakan ulang tahun ini, tidak sekedar mengingat berapa usiamu, tetapi yang jauh lebih penting adalah, seberapa besar kebaikan yang telah engkau bagikan kepada orang-orang lain terutama dalam bidang pendidikan. Kepeduliannya pada dunia pendidikan, merupakan pintu masuk untuk mengentas ketertinggalan yang dialami oleh mereka yang lemah dan tersingkir. Melalui jalur pendidikan, engkau sedang menyediakan sebuah masa depan yang cerah bagi generasi yang sedang terlibat.

Hidup, tidak sekedar menarik nafas sebagai pratanda bahwa ada kehidupan di dalam diri. Tetapi jauh lebih penting adalah seberapa besar kasih yang telah diperoleh dari Sumber Kasih itu telah dibagikan kepada orang lain. Kasih menjadi inti terdalam dari nilai-nilai keagamaan. Untuk apa berbicara tentang nilai-nilai agama tetapi nilai yang tertanam dalam diri itu belum tersalur kepada orang lain melalui tindakan nyata? Hanya dengan berbuat baik, kita sedang memaknai diri di tengah orang-orang yang kita layani.***(Valery Kopong)

 

 

 

 

Orang Yang Terbesar

 Tuhan Yesus bersabda, " BARANGSIAPA MENERIMA ANAK INI DEMI NAMAKU, DIA MENERIMA AKU. DAN BARANGSIAPA MENERIMA AKU, MENERIMA DIA YANG MENGUTUS AKU. SEBAB YANG TERKECIL DI ANTARA KALIAN, DIALAH YANG TERBESAR." Saya tertarik dengan sabda Yesus," BARANGSIAPA MENERIMA ANAK INI DEMI NAMAKU"  Menerima anak ini berarti kita diajak untuk memberi perlindungan, memberi perhatian dan cinta kasih, memberi pelayanan dan memberi pengorbanan. " Barangsiapa menerima anak ini demi namaKu" Artinya perlindungan, perhatian dan cinta kasih, pelayanan dan pengorbanan yang kita berikan adalah ditujukan demi kemuliaan dan keagungan Tuhan kita Yesus Kristus. 

Jika kita ingin menjadi orang besar, maka kita hendaknya mau dan mampu memberi perlindungan, perhatian dan cinta kasih, pelayanan dan pengorbanan bagi umat /masyarakat yang dipercayakan kepada kita.  Santa Theresia dari Calcuta adalah salah tokoh orang besar dalam sejarah Gereja Katolik karena dia mempersembahkan hidupnya untuk memberi perlindungan, perhatian dan cinta kasih, pelayanan dan pengorbanan untuk umat/masyarakat yang dipercayakan kepadanya.


Apakah Anda dan saya ingin menjadi orang yang terbesar ? Siap-sedialah selalu untuk bisa memberi perlindungan, perhatian dan cinta kasih, pelayanan dan pengorbanan bagi umat / masyarakat yang dipercayakan kepada kita. YESUS ADALAH TELADAN UTAMA KITA.
(Inspirasi Lukas 9:46-50,  28 September, Suhardi)

Friday, September 25, 2020

Merawat Sejarah

 

Pada usia 30 tahun Yesus  tampil di depan umum untuk mewartakan  Kerajaan Allah dan kabar gembira.  Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus merupakan sebuah kerajaan yang berpihak pada mereka yang lemah,  tersingkir dan juga mereka yang dilupakan oleh masyarakat.  Yesus hadir sebagai seorang penyelamat tetapi kehadiran-Nya di dunia sebagai manusia biasa.  Ia lahir di kandang hewan, hal ini mau menunjukkan kepada kita bahwa Yesus mau menghambakan diri-Nya dan pada akhirnya mau solider  dengan manusia.

 

Ia sangat menghargai tradisi-tradisi atau adat istiadat yang telah berkembang di dalam masyarakat Yahudi.  Yesus sendiri juga merupakan warga Yahudi karena itu Ia menghargai tradisi-tradisi yang ada,  salah satunya, yaitu tradisi yang setiap tahun dilakukan oleh umat Israel untuk berkumpul di Yerusalem, kota suci  yang bisa mempersatukan bangsa Israel yang tersebar di beberapa tempat.  Dengan berkumpulnya mereka di Yerusalem pada setiap tahun mengingatkan mereka akan nenek moyang mereka yang  telah berhasil keluar dari tanah Mesir dan dari tanah Mesir,  Allah pada akhirnya menuntun mereka untuk kemudian mengembara di padang gurun selama 40 tahun.  Di sini mau menunjukkan kepada kita tentang kesetiaan yang diperlihatkan oleh Allah kepada bangsa pilihan-Nya Israel. 

 

Setiap tahun mereka diingatkan kembali akan peranan Allah dalam seluruh sejarah keselamatan yang mereka alami dan terutama yang dialami oleh nenek moyang mereka.  Yesus sebagai salah seorang Yahudi juga mengikuti seluruh ritual kegiatan yang ada di Yerusalem.  Kedua orang tuanya membawanya untuk pergi ke Yerusalem  dan berusaha untuk bisa memahami arti penting dari sebuah makna pembebasan  dalam peristiwa Paskah Yahudi.  Yesus sendiri berusaha untuk bisa memahami,  bagaimana peran pembebasan yang dilakukan oleh Allah terhadap bangsa Israel.

 

Walaupun mereka disebut sebagai bangsa pilihan Allah,  tetapi sikap dan tindakan mereka terkadang jauh dari harapan Allah  sendiri karena itu berkali-kali Allah menunjukkan kemarahan.   Walaupun dalam situasi kemarahan, Allah tetap menunjukkan kesetiaan-Nya terhadap bangsa yang telah dipilihnya menjadi bangsa kesayangan-Nya sendiri. Dalam kaitan dengan tradisi yang telah ada di dalam masyarakat Yahudi,  Yesus tidak pernah melenyapkan tradisi itu di hadapan mereka.  Yesus tidak pernah melenyapkan tradisi yang sudah mengakar di dalam kehidupan masyarakat Yahudi tetapi pengalaman masa lampau coba diingatkan kembali oleh Yesus. 

 

Melalui  tindakan-Nya, Yesus mengingatkan mereka bahwa apa yang dilakukan oleh nenek moyang mereka di masa lampau,  terutama ketika mereka mengalami arti penting peranan Allah di dalam hidup bangsa Israel.  Yesus mau menekankan arti penting dari sejarah itu, sejarah masa lampau dibuka kembali oleh Yesus lewat tindakannya dan melalui tindakan itu Yesus mengingatkan kita tentang makna terdalam dari sejarah yang telah terlewatkan oleh bangsa Israel.  

 

Kita lihat Yesus memilih kedua belas Rasul,  ini mengingatkan kita tentang 12 anak Yakub yang kemudian bisa berkembang menjadi sebuah negara besar. Ini merupakan satu bentuk keterlibatan peranan masa lampau dan kemudian diingatkan kembali lewat tindakan perjanjian baru yang dilakukan oleh Sang Penyelamat yaitu Yesus sendiri.  Kemudian kita juga diingatkan akan puasa yang dilakukan oleh Yesus selama 40 hari 40 malam dan tempat puasa yang di lakukan oleh Yesus,  di padang gurun. Kalau kita melihat sejarah perjalanan masa lampau padang gurun merupakan titik pencobaan yang paling radikal karena di padang gurun tidak ada tanda-tanda kehidupan. Di padang gurun tidak menjanjikan sebuah kehidupan baru tetapi di sinilah Ia memulai berpuasa  sebelum memulai karyanya di hadapan public.  Dia coba untuk mengalienasi  diri, mengheningkan diri di padang gurun agar dia mengalami kekuatan.  

 

Peristiwa puasa Yesus selama 40 hari 40 malam   juga mengingatkan kita akan pengalaman pengembaraan masa lampau yang dilakukan oleh bangsa pilihan Allah selama 40 tahun.  Mereka mengembara di padang gurun,  banyak suka duka yang mereka alami dan pada akhirnya mereka bisa mencapai tanah Kanaan,  tempat yang dijanjikan oleh Allah kepada Abraham.  Apa yang dilakukan oleh Yesus mengingatkan kita akan pentingnya peristiwa masa lampau dan juga mengingatkan nilai-nilai terdalam dari peristiwa itu bahwa dengan memilih padang gurun kita dibiarkan untuk ditantang dan pada akhirnya kita bisa berusaha untuk mencari jalan keluar, bagaimana cara mempertahankan diri di tengah padang gurun itu.  

 

Padang gurun adalah simbol ruang pergulatan hidup dan Yesus mengingatkan kepada kita bahwa hidup tidak semulus yang kita bayangkan. Kita juga harus mengalami cobaan agar kita membiarkan di dalam cobaan itu dan menyerahkan seluruh cobaan  itu di dalam tuntunan Allah sendiri.  Hanya di dalam tuntunan Allah maka semuanya bisa terlaksana secara baik,  apapun tantangan yang kita alami.  Tantangan bisa  terselesaikan secara baik karena intervensi Allah sendiri.  Hidup dan menjalani kehidupan ini bukan berarti kita membiarkan diri untuk lepas bebas dari sang sumber kehidupan itu sendiri tetapi justru hidup kita menjadi bertahan dan penuh makna di dalam genggaman Allah sendiri.  

 

Titian pencobaan itu bisa dilewati  hanya karena kemurahan hati Allah sendiri. Allah sendiri mencobai kita agar kita tahu seberapa jauh kita bertahan di dalam titik pencobaan itu dan pada akhirnya Allah yang sama menatap kita pada saat kita mencapai titik puncak penyelesaian.  Tindakan Yesus mengingatkan kita akan sebuah peristiwa penting pada masa lampau yang penuh makna. Pada akhirnya kita yang hidup juga meninggalkan satu sejarah penuh makna dan generasi berikut akan mengenang sejarah yang pernah kita lewati itu. Kita yang menjadi Israel baru karena baptisan juga merawat sejarah yang sama agar iman pengembaraan kita semakin kuat dan tertuju pada Allah,  Sang Pemberi hidup itu sendiri.***(Valery Kopong)  

 

Thursday, September 24, 2020

Siapakah Aku?

 

Setiap orang yang menamakan diri sebagai anggota Gereja, mestinya selalu bertanya diri. “Siapakah aku dalam Gereja?” Dengan bertanya diri sebagai anggota Gereja maka lambat-laun seorang anggota Gereja memahami pentingnya mengambi peran dalam hidup menggereja. Gereja adalah umat Allah yang sedang berziarah di dunia. Gereja yang dimaksudkan di sini adalah  umat Allah, dan untuk menghidupi Gereja, umat sendiri yang menghidupi. Cara paling sederhana adalah mengambil bagian dalam setiap tugas yang diberikan oleh Gereja. Apa yang menjadi sumbangan saya untuk Gereja?

Dibaptis Untuk Gereja

            Ketika orang dibaptis dalam Gereja Katolik maka ia diterima secara resmi sebagai anggota Gereja. Dengan pembaptisan yang sudah diterima, seorang Katolik punya tugas dan tanggung jawab dalam mewartakan Kristus dan ajaran-Nya. Dibaptis berarti kita mengenakan Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Kristus hidup  dalam diri setiap orang yang sudah dibaptis maka tugas kita adalah menampilkan wajah Kristus dalam keseharian melalui pelayanan yang kita berikan kepada orang lain, baik dalam lingkup Gereja maupun di luar Gereja.

            Melihat peran strategis yang dimainkan oleh seorang anggota Gereja maka dalam konteks tertentu, “sakramen permandian,” dilihat sebagai sakramen imamat awami. Artinya bahwa seorang imam ketika menerima sakramen imamat, pelayanan terhadap umat menjadi prioritas utama. Demikian juga sebagai seorang awam, ketika dibaptis mestinya “semangat melayani” dan mewartakan Kristus sudah menetap dalam diri setiap orang yang sudah dibaptis. Tetapi menjadi problemnya adalah, seberapa jauh orang yang dibaptis itu memahami fungsi dan perannya sebagai orang yang sudah dibaptis?

            Konsep Gereja sebelum Konsili Vatikan II, bentuk Gereja yang nampak adalah Gereja hirarki, artinya keberlangsungan Gereja lebih didominasi oleh peran serta kaum Klerus dan biarawan / wati. Konsep Gereja seperti ini berjalan cukup lama. Namun selama dalam perjalanan Gereja dengan mengedepankan Gereja hirarki, terkesan bahwa model Gereja yang dihidupi seperti ini kurang menyentuh dan tidak melibatkan umat dalam kaitan dengan pelayanan. Umat sendiri tidak punya peranan dalam membangun dan menghidupi Gereja. Umat yang hidup dalam lingkup Gereja seolah-olah sebagai penonton yang pasif dalam pelbagai pelayanan dan pewartaan tentang Kristus.

            Istilah kaum awam, muncul bersamaan dengan munculnya model Gereja hirarki. Istilah kaum awam ini terkesan negatif yakni umat yang tidak tahu apa-apa dalam kaitan dengan kehidupan menggereja. Dengan pemaknaan yang negatif ini maka secara tidak langsung mengesampingkan peran dan terkesan bahwa sebagai umat, anggota Gereja tidak bisa berbuat sesuatu dalam kaitan dengan pelayanan terhadap Gereja. Yang tahu tentang Gereja adalah orang-orang yang tertahbis ataupun juga mereka yang hidup dalam kaul-kaul kebiaraan.

            Dalam refleksi perjalanan Gereja ini, pada akhirnya disadari bahwa umatlah yang memainkan peran penting. Hidup-matinya sebuah Gereja berada dalam tangan umat, sedangkan imam tampil sebagai penggeraknya. Dari refleksi ini, kemudian melahirkan sebuah konsep Gereja yang baru yaitu Gereja umat Allah. Dengan konsep seperti ini maka umat memainkan peranan penting dalam kehidupan menggereja.

 

Sebagai Anggota Gereja, Apa yang Saya Lakukan?

            Ketika ditanya, apa yang bisa dilakukan sebagai anggota Gereja? Jawabannya sederhana, yaitu memberikan kontribusi kepada Gereja sesuai dengan kemampuan. Talenta yang telah kita terima dari Tuhan sejak lahir, menjadi bekal berharga bagi setiap anggota Gereja untuk memberikan kontribusinya kepada Gereja. Gereja menjadi hidup karena peran serta umat yang menyumbangkan talenta ataupun kemampuan yang dimilikinya.  Sejalan dengan ini, lahirlah konsep “Gereja Umat Allah” yang mengedepankan keterlibatan umat sebagai basis utama dalam menghidupi Gereja.

            Sebagai anak dan anggota Gereja, sebenarnya dalam melakukan tugas, tidak terlalu jauh berbeda. Ketika dalam keluarga, masing-masing anggota keluarga memberikan perannya dalam menghidupi keluarga. Sebagai orang tua, memainkan peranan sebagai orang tua dan sebaliknya sebagai anak, memberikan perannya sebagai seorang anak. Pola dalam memainkan peran di rumah, tidak terlalu jauh berbeda dalam memainkan peran di Gereja.  Anak-anak bisa mengambil peran sebagai putera altar ataupun putri sakristi. Apa yang dilakukan ini terkesan sederhana namun peran yang dimainkan oleh para putra altar dan pusakris adalah sesuatu yang luar biasa. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak terlibat dalam salah satu kegiatan di Gereja? Apakah mereka yang tidak memberikan kontribusi untuk Gereja secara langsung dapat dikatakan sebagai orang yang tidak memberikan kontribusi untuk Gereja?

            Bagi mereka yang tidak memberikan sumbangan secara langsung untuk Gereja seperti menjadi putra altar ataupun putri sakristi, bisa memberikan kontribusinya dengan bersikap sopan dan diam dalam mengikuti perayaan Ekaristi dan kegiatan-kegiatan doa yang lain.  Sumbangan yang berharga adalah memberikan rasa nyaman dan aman bagi orang-orang yang kita temui. Dengan memperlihatkan diri secara baik dalam lingkungan Gereja terutama dalam suasana hening, maka kita sedang menyebarkan kebaikan-kebaikan. Dengan mendatangkan suasana yang baik bagi orang lain maka secara tidak langsung, kita sedang menanamkan benih-benih kebaikan.      

Siapakah Aku Bagi Sesamaku?

            Manusia hidup bukan sendirian saja. Manusia hidup dengan orang lain. Karena manusia tidak hidup untuk dirinya sendiri inilah maka manusia dijuluki sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia berani keluar dari dirinya dan menjumpai “aku-nya yang lain.” Dalam perjumpaan itu, ada interaksi yang kondusif yang memperlihatkan bagaimana sikap saling menghargai dan tolong-menolong antara satu dengan yang lain. Apabila sikap tolong menolong dengan mengedepankan cinta kasih maka sebaiknya ada keberanian dari masing-masing orang untuk mengorbankan diri demi orang yang dilayani.

            Kisah orang Samaria yang baik hati, memperlihatkan bagaimana sikap peduli terhadap orang lain. Untuk memperlihatkan sikap baik kepada orang lain, orang Samaria mesti keluar dari dirinya, mengurungkan sikap-sikap primordial agar ia dengan leluasa berjumpa dengan orang lain. Karena tanpa mengurungkan sikap-sikap primordial, seseorang masih terkekang oleh pandangan yang sempit dan pada akhirnya orang enggan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain.

            Membangun sikap peduli kepada orang lain merupakan suatu keharusan bagi kita yang menamakan diri sebagai pengikut Kristus. Kristus telah memberikan diri-Nya untuk sebuah pengorbanan yang utuh kepada manusia. Apa yang kita lakukan untuk orang lain selalu bercermin pada Kristus yang telah mengorbankan diri bagi orang lain. Kristus telah menyatakan ketaatan-Nya kepada Bapa dengan taat sampai mati di kayu salib. Ini merupakan sumber inspirasi bagi kita untuk bertindak, baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.

            Dalam lingkup paling sederhana, seperti di sekolah, setiap kita pasti telah berbuat sesuatu kepada orang lain. Misalnya ketika melihat teman yang tidak mempunyai alat tulis maka kita yang kelebihan alat tulis, berani menawarkan apa yang kita punyai kepada mereka yang kekurangan alat tulis. Inilah contoh sederhana dalam mengambil bagian dari pengorbanan Kristus. Pengalaman sederhana dalam melakukan tindakan “memberi” kepada orang lain, menjadikan kita untuk terus terlibat dalam kisah pengorbanan Kristus.***(Valery Kopong)