PENDIDIKAN

Guru, antara Profesionalitas dan Pengabdian
Sunday, 28 November 2010 15:51 chun

Oleh Angelus Li Dato*

Dekade perjalanan pemerintahan era reformasi telah memberikan prioritas teoretik pada dimensi esensialitas guru dan tenaga kependidikan dalam stagnasi teleologis sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Stigmatisasi pilihan menjadi guru tetap dipandang sebagai bentuk panggilan luhur dan pengabdian untuk memanusiakan manusia muda. Idealisme profesionalitas disertai sertifikasi masih menuai pro-kontra, karena terjadi praktik ketidakadilan antara tenaga swasta dan negeri. Harapan untuk mendapat kesejahteraan dan perbaikan kualitas guru hanya dibumbui oleh berbagai aktivitas edukatif partial.



Kesejahteraan menjadi tuntutan mutlak setiap insan dalam mempertahankan hidup. Kita semua, tanpa memandang profesi pendidikan, baik para petani, buruh tetap memertahankan martabat individu, dihargai dan kelangsungan hidup tetap terjaga. Kemiskinan menjadi momok yang memertaruhkan martabat bangsa dalam publikasi eksistensi global. Menjadi persoalan besar, bila para pendidik dan guru dinyatakan dan dikategorikan dalam masyarakat pra-sejahtera. Bukankah loyalitas dan karier yang diemban selama in telah mengangkat kelayakan hidup? Mengapa para guru dan pendidik masih memiliki “aneka” profesi tambahan demi melancarkan asap dapur?

Pemerintah dan lembaga legislatif masih belum menunjukkan keseriusan memperbaiki nasib para guru. Undangan-undang Guru dan Dosen belum memberikan prioritas kepada peningkatan kualitas hidup. Bagaimana bangsa ini bisa sejahtera, bila pejuang yang melahirkan kader potensial dan kapabel hanya dijadikan subyek diskusi anggota dewan dan pemerintah karena keterpurukan pendidikan; kurang disertai implementasi perbaikan kualitas hidup. Peningkatan karier tidak diimbangi dengan imbalan yang diterima. Hal ini mengakibatkan banyak guru harus pulang larut malam, khususnya di kota, demi mengais rejeki mempertahankan hidup keluarga.

Fenomena lama, para guru mencari pundi-pundi amal dengan membuka les privat dan mendatangi siswa untuk memberikan pengetahuan tambahan. Kalau diajarkan terlalu jelas pasti siswa tidak akan mencari pelajaran tambahan. Dari profesi tambahan para guru bisa membiayai hidup dan keluarganya. Semuanya dilakukan semata mempertahankan dan perbaikan hidup yang layak. Apalagi menjelang ujian akhir Sekolah dan Nasional, para siswa mendatangi para guru untuk memberikan tambahan pengetahuan. Tindakan tersebut dinyatakan profesional, karena di luar koridor aturan Sekolah. Tetapi bila yayasan bonafit, secara tegas melarang para guru untuk memberikan pelajaran tambahan. Bagaimanapun juga guru memiliki akal, yakni mengadakan les privat silang dengan rekan dari Sekolah lain.

Sementara di pihak lain, guru dituntut profesional. Profesionalitas membantu peningkatan karier dan kesejahteraan guru. Peningkatan karir guru tidak memiliki batas yang jelas. Karier lebih dihubungkan dengan profesionalisme guru. Dapat dikatakan bahwa karier guru sudah stagnan. Hanya peningkatan dan kenaikan golongan, dibarengi dengan kenaikan gaji dan tunjungan fungsional atau struktural. Persoalan pokok adalah kriteria dari sebuah profesionalitas tetap menjadi idealisme dan konsepsi absurd, karena labelisasi pahlawan tanpa tanda jasa dan tuntutan pengabdian telah menjadi atribut abadi.

Prioritas perhatian antara guru swasta dan negeri masih mengalami pembedaan. Permasalahan pokok adalah mendudukkan profesionalitas guru pada porsi yang tepat dan signifikan dalam pembangunan karakter bangsa. Mendudukan sebuah profesi berarti pula menempatkan profesi tersebut sebagai bagian penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemuliaan profesi guru dan pendidik dapat diukur pula oleh keberhasilan dan inovasi pendidikan. Ukuran tersebut terarah kepada persoalan aktual seperti; dekadensi moral dan pengangguran terdidik. Barometer tersebut diimbangi dengan standar kesejahteraan; diharapkan mendapat kesetaraan. Selama ini anggaran pendidikan kurang dimanfaatkan secara optimal. Kompetisi dunia pendidikan kita belum ‘bergairah’. Standar kelulusan kerap diributkan; sejatinya standar kelulusan menjadi pemetaan untuk menginjeksi semangat dan ‘gairah’ baru; sembari memacu kaum muda untuk berkompetisi. Peran serta orang tua dapat diberi ruang cukup dan diarahkan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup pendidik dan peserta didik.

Kita tidak perlu berandai-andi dan berteori tentang guru. Profil guru sekarang harus lebih realistis, dan sesuai dengan tuntutan masyarakat global. Masyarakat, orang tua khususnya menuntut keteladan moral, peka terhadap kebutuhan jaman, memahami permasalahan psikologis kaum muda, tanggap terhadap berbagai permasalahan dan isu global, keamanan dan penyetaraan gender, integritas moral. Hal ini diharapkan karena masyarakat menyaksikan kebohongan publik, pemiskinan struktural dan marginalitas masyarakat, serta ketidakasilan sosial yang terus dipertontonkan pemegang kekuasan eksekutif maupun legislatif. Pendidikan dan guru dapat mengangkat permasalahan tersebut untuk dapat mengelimir dan mereduksir dampak generasi mendatang. Dari sinilah loyalitas profesi guru mendapat prioritas.Guru sebagai garda depan memotivasi anak didik untuk memiliki karakter, sikap dan perilaku yang pantas. Keberhasilan diperoleh bukan karena pertimbangan akademis semata yang syarat kontroversial.

Tuntuan publik seharusnya memperbaiki citra guru yang tengah terpuruk. Profesionalitas guru kurang mendapat respek publik. Hal ini karena guru bertindak layaknya buruh yang harus banting tulang, mengais rejeki dan keberuntungan untuk keluarga. Pekerjaan yang tidak halal kerap dibenarkan demi keutuhan hidup. Permasalahan tersebut harus menjadi prioritas pemerintah dan badan legislatif. Pemerintah tidak hanya mengelu atas publikasi keterpurukan, sembari Dewan Perwakilan Rakyat terus berkoar menyampaikan janji untuk berjuang meningkatkan kesejahteraan umum.

Pemerintah dan parlemen memerlukan otokritik dan refleksi secara kontinyu. Saat ini masyarakat sedang membutuhkan perbaikan hidup yang layak. Kesejahteraan umum tidak hanya sebuah cita-cita UUD 1945, tetapi diwujudnyatakan dari aneka kebijakan yang pro-rakyat bukan penguasa. Fakta kasat mata terus-menerus dipertontonkan oleh wakil rakyat kita; tanpa memiliki hati nurani dalam merevisi UU no 37. Dewan harus lebih peka, karena mayoritas masyarakat membutuhkan perbaikan kualitas hidup. Untuk itu kita perlu belajar dari pengalaman bangsa lain, yang mampu keluar dengan aneka keterpurukan, bermula dari perhatian dan perjuangan para guru.

Sejak jaman Orde Baru, kualitas pendidikan hanya dinikmati oleh kalangan birokrat. Profesi guru dikebiri melalui marginalitas hirarkis, agar bangsa ini tetap menjadi “kuli” dan mengabdi negara yang maju. Kenyataan tetap terjadi kendati profesionalitas dan peningkatan mutu guru berkumandang bertalu-talu. Banyak guru di pedalaman harus rela berkorban dan loyal dalam menjalankan tugas, kendati gaji tidak dibayar dan tertunda sekian bulan. Pengalaman ini mirip dengan sekolah-sekolah swasta dengan kemampuan keuangan pas-pasan tapi tetap eksis. Demi sebuah eksistensi, guru harus rela mendapatkan gaji standar minimal regional. Kelayakan untuk kualitas hidup berkontribusi pada loyalitas, dedikasi, dan profesionalitas.

(*Penulis adalah Guru di International Standard Education High School, Ciputra Surabaya)