Saturday, November 16, 2019

PESAN-PESAN BERMAKNA DARI BALIK JERUJI BESI


Setiap hari Selasa, saya dan dua teman penyuluh Agama Islam mengadakan kunjungan ke Polsek Pamulang-Kota Tangerang Selatan-Banten. Sasaran kunjungan kami adalah kelompok tahanan sementara  yang  mendekam di sel tahanan yang berukur kecil itu. Sekitar duapuluhan orang yang setiap minggu di tahan di Polsek Pamulang dengan kasus yang begitu beragam. Ada yang ditangkap karena narkoba, pencurian  motor,  perkelahian dan beberapa kasus lain. Selama berkunjung ke tahanan, saya dan dua teman penyuluh muslim memberikan bimbingan rohani kepada para tahanan. Memang, disadari bahwa bimbingan yang dilakukan itu tidak memberikan perubahan yang maksimal, tetapi yang terpenting adalah mereka (para tahanan) merasa dikunjungi dan disapa oleh kami.  Seberapa jauh para tahanan menyadari diri dan mengadakan sebuah perubahan dari balik jeruji besi? 
salah seorang penghuni tahanan di Polsek Pamulang
Bimbingan dari Balik Jeruji Besi
                Pola pembinaan yang kami laksanakan terhadap para tahanan di Polsek Pamulang dan mungkin juga di polsek-polsek lain, sedikit berbeda dengan para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Selain karena tempatnya yang tidak terlalu luas, tetapi secara psikologis, para tahanan sementara di polsek tidak diperbolehkan keluar dari ruang jeruji yang pengap. Kondisi kejiwaan mereka masih labil dan memberontaki situasi. Para tahanan tidak menerima diri sebagai tahanan yang terpenjara, tidak bebas bergerak.  Memang harus dipahami bahwa manusia sebagai makhluk yang bebas tetapi karena kesalahannya maka ia ditangkap dan dipenjara.
Penulis bersama Haji Ahmadi saat memberikan bimbingan
               

Friday, November 15, 2019

Tuhan Tidak Adil


Suatu sore yang sedikit mendung, tepatnya pada Selasa, 12 November 2019. Sepulang kerja, aku mendapatkan berita duka dari tetangga bahwa anaknya Clarisa yang masih setahun usianya harus meregang nyawa saat berada bersama dengan pembantu yang momong. Tragedi ini di luar dugaan dan sulit dicerna dengan nalar manusia. Kedua orang tuanya yang saat itu masih berada di tempat kerja, seakan disambar petir di siang bolong karena mendengar berita kematian puteri mereka yang lucu. Orang tuanya Clarisa terus memberontak  bahkan menyalahkan Tuhan tidak adil terhadap mereka. Tuhan tidak membiarkan puteri mereka bertumbuh di tengah-tengah keluarga  dan “terpaksa layu” di tengah harapan.

Thursday, November 14, 2019

Tanah Air Mata


 (Sebuah telaah puisi kontemporer
dari sudut sosiologi Sastra)

Oleh: Valery Kopong*

Sutardji Calzoum Bachri dikenal sebagai penyair kontemporer yang menggagas sekaligus mengedepankan pola penulisan baru pada puisi. Ketika membaca puisi-puisinya,ciri khas terasa kental. Dia lebih banyak mempermainkan kata yang baginya merupakan sebuah kekuatan, dan menjadi daya dobrak bagi seluruh bangunan puisinya. Bangunan puisi-puisi lama yang terkesan kaku, baik dari tata aturan maupun jumlah barisnya, kehadiran Sutardji membawa angin perubahan bagi mereka yang berani “merobek” pola-pola yang dogmatis-puitis. Perjuangan dan upaya seorang Bachri mendobrak kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata dan tata bahasa dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia dan sekaligus menawarkan konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi. Terhadap perjuangan yang penuh dengan daya dobrak ini, memunculkan pertanyaan untuk direnungkan bersama. Apakah Sutardji sebagai pahlawan puisi kontemporer dan nabi bagi mereka yang mengenyam kebebasan dalam mengekspresikan diri melalui puisi?  

Wednesday, November 13, 2019

Sastra dan Seksualitas, Keindahan yang Tercemar

MEMBACA beberapa karya sastra berupa novel, para sastrawan terkadang secara vulgar menampilkan suatusituasi riil yang sering dialami oleh manusia. Tulisan yang mengangkat masalah biasa yakni seksualitas yang sering menimbulkan suasana luar biasa ini tidak lain merupakan bentuk revolusi dari sastrawan yang menggunakan pintu kesusastraan sebagai jalur penyadaran bagi masyarakat tentang penghargaan terhadap perempuan dan terutama menghargai seksualitas sebagai yang terberi dari Sang Pencipta. Menelusuri penulisan ini muncul suatu pertanyaan nakal untuk direnungkan. Mengapa para sastrawan harus memilih jalur kesusastraan sebagai media penggugah nurani penghuni kolong langit ini? Masih kurangkah tulisan-tulisan yang termuat dalam pelbagai pers yang umumnya menyertakan data dan dilengkapi foto-foto yang akurat yang berbicara tentang seksualitas? 

Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk misalnya, telah menggambarkan suatu kondisi dilematis yang menjadi pilihan pahit seorang perempuan yang diwakili oleh Srintil, tokoh utama dalam penceritaan itu. Srintil sebagai penghadir figur lama, yakni peronggeng ulung yang telah meninggal harus menuruti aturan sebelum dikukuhkan sebagai peronggeng baru. Beberapa aturan dalam ritus pengukuhan telah dijalani dengan baik dan terakhir tuntutan yang dipenuhi adalah sayembara pembukaan keperawanan. Sebuah acara bernuansa vulgar begitu memikat pemirsa, terutama laki-laki yang haus akan seks untuk mengikutsertakan diri dalam sayembara bergengsi itu.
Dalam konteks kesastraan, seorang novelis terasah kesadaran untuk membentangkan seluruh refleksi yang bernada sastrawi untuk berpihak pada kenyataan yang ada. Perempuan dalam sosok seorang Srintil, menampilkan sikap penuh lugu dan menuruti acara ritual yang diselenggarakan. Dapat dipahami yaitu bahwa tokoh Srintil yang ditampilkan adalah seorang gadis bocah yang apabila dilihat dari kebutuhan biologis, ia belum meminati untuk dipenuhi kebutuhan itu. Tetapi mengapa, dengan latar kesusastraan yang suram dan seram ini, Srintil dicebloskan ke dalam “malam sayembara keperawanan” yang menuruti orang yang dikorbankan tidak tahu sama sekali tentang seksualitas.
Seksualitas dalam catatan seorang sastrawan tidak dilihat sebagai aib publik, melainkan menunjukkan sebuah keterbukaan masyarakat untuk secara jernih melihat aib ini sebagai sebuah kebutuhan ritual yang diterima sebagai tuntutan yang mesti dijalani. Di sini, Ahmad Tohari dengan kekuatan daya susastra seakan menggiring kesadaran para peminat sastra untuk memahami secara detail tentang makna acara ritual pengukuhan seorang peronggeng baru yang dilihat sebagai suatu keharusan yang mendakwa. 

Tuesday, November 12, 2019

Jejak Kaki


Ketika melakukan pembinaan di beberapa sekolah, biasanya saya mengamati fasilitas sekolah dan pola perilaku siswa/siswi yang bisa mencerminkan wajah sekolah yang sebenarnya.  Dari sekian banyak sekolah yang saya kunjungi itu, umumnya biasa-biasa saja dan tidak memberikan sebuah “daya kejut” bagi siapapun yang datang. Namun ketika diminta untuk datang ke sekolah Insan Teratai pada tanggal 17 Juli 2018, saya berjumpa dengan pelbagai keunikan di sekolah ini. Siswa-siswi yang mengenyam pendidikan di Insan Teratai umumnya dari latar belakang kehidupan ekonomi yang kurang mapan dan orang tua siswa/i merasa memiliki sekolah bahkan menjadi bagian dari Insan Teratai. Orangtua terlibat di dapur dan membersihkan lingkungan sekolah karena merasa sebagai bagian dari keluarga besar Insan Teratai.  

Monday, November 11, 2019

Barnabas (Anak Penghiburan)


Sebanyak 460 ketua-ketua lingkungan dari paroki yang ada di Dekenat Tangerang I mengikuti rekoleksi bersama Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo, bertempat di gedung pastoral, Paroki Curug, Gereja Santa Helena. Di hadapan para ketua lingkungan, Kardinal mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan terutama para ketua lingkungan telah mengambil bagian dalam pelayanan umat di wilayah Keuskupan Agung Jakarta. Bapak/ibu sudah berkorban waktu dan menjalankan tugas perutusan ini. “Sampaikan juga salam untuk para mitera kerja di lingkunganmu dan juga keluargamu.”

Monday, October 28, 2019

Mencontohi Paulus


Minggu, 27 Oktober 2019 merupakan hari yang istimewa bagi Paroki Kutabumi, Gereja Santo Gregorius Agung, Tangerang. Paroki Kutabumi mendapatkan kunjungan dari Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo untuk menerimakan sakramen krima bagi 282 calon krisma yang sudah dipersiapkan secara baik oleh para katekis. Walaupun kedatangan Bapak Kardinal ke paroki tepat pukul 07.00 tetapi anak-anak calon krisma dan para pendamping sudah siap di gereja mulai pukul 06.00.
Setibanya di area paroki dan saat turun dari mobil, Bapak Kardinal disambut dengan tarian penjemputan yang dibawakan oleh kelompok Ikatan Keluarga Sumatera Utara (IKSU) yang ada di Gereja Santo Gregorius Agung. Setelah tarian khas Batak Karo dan Toba disuguhkan, Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo dikalungi dengan ulos oleh Bapak Jaipin Simarmata dan Ibu Frida Sinaga. Seusai pengalungan dengan ulos, Bapak Kardinal diperkenankan untuk berdoa di depan gua Maria yang terletak tidak jauh dari tempat penjemputan.

Gereja Perlu Bermimpi

Beberapa waktu lalu, Keuskupan Agung Jakarta sudah mencanangkan gerakan “Ayo Sekolah.” Gerakan ini lahir dari suatu keprihatinan di mana banyak orang-orang Katolik belum mengenyam pendidikan karena terganjal oleh persoalan perekonomian yang sulit. Gerakan ini juga merupakan jawaban atas  tema prapaskah yang dua tahun berturut-turut diusung, yakni  “Mari Berbagi.” Banyak umat bertanya, apa yang mau dibagi? Atas pertanyaan yang sederhana ini bisa dijawab lewat gerakan “Ayo Sekolah,” yang tidak lain adalah ajakan bagi setiap umat untuk membuka diri dan membuka “dompet” untuk membantu para siswa-siswi yang tidak mampu.

Apakah gerakan “Ayo Sekolah” merupakan jalan terakhir menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi umat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya? Ataukah gerakan ini hanyalah bentuk penyadaran sesaat  dan kemudian lenyap? Harus diakui bahwa dunia pendidikan sekarang begitu mahal. Terlebih lagi sekolah Katolik yang menawarkan mutu pendidikan  yang baik, sekaligus biaya sekolahnya begitu mahal. Sekolah berlabel “Katolik” tidak memberikan keberpihakkan pada orang Katolik sendiri. Akibatnya orang-orang katolik tidak mampu menyekolahkan anaknya, terpaksa mencari  sekolah-sekolah negeri. Dampak dari anak yang disekolahkan di sekolah negeri adalah tidak mendapat pelayanan pelajaran agama Katolik. Anak menjadi buta terhadap agama dan doa-doa pokok gerejani. Iman anak menjadi rapuh di tengah pusaran pergaulan dengan orang-orang lain bahkan banyak yang memilih berpindah ke agama lain karena lebih sering disentuh dengan ayat-ayat suci agama lain.


Wednesday, October 23, 2019

Kepulan Asap

Di traffic lightdengan lampu-lampunya kian redup itu. Deru knalpot-knalpot kota terus membahana mengusik ketenangan manusia-manusia puntung. Deburan asap membubung ke langit semesta, membuat kota itu semakin kabut lantaran jemari sang mentari sulit menggapai bumi. Tetapi apakah di tengah hiruk-pikuk kota yang semrawut semakin memastikan mereka dengan tangan terulur terus meminta-minta? Sampai kapankah tangan mereka berhenti meminta?Hanya waktulah yang memastikan denyut nadi kehidupan mereka, entah kapan.
Tak pernah sepi ruas jalan utama memasuki gerbang ibu kota itu. Ibu kota kian keras menantang kehidupan mereka. Baginya, sejahat-jahatnya ibu tiri, jauh lebih jahat dari ibu kota. Ibu kota yang tidak memberi rasa aman, tidak memberikanperlindungan yang manusiawi. Di tangan mereka hanya tergenggam harapan kosong. Yang ada adalah jeritan luka yang terus menganga menanti harap untuk dipenuhi. 

Hampir setiap hari, orang-orang kusta tidak pernah sepi menjejali jalan utama. Mereka terbuang dari bibir nestapa dan penyakit yang terus menggerogoti hidup yang kian kejam. Orang-orang kusta sepertinya sudah ditakdirkan sebagai manusia sisa yang terkena kutuk dari Allah. Mereka tersingkir dari pergaulan umum karena masyarakat jijik dan takut terjangkit penyakit yang parah itu. Saya melihat dan membandingkan kehidupan orang kusta di Tangerang dan Lembata (Flores) yang terhimpun pada Rumah Sakit Lepra, Santo Damian, terkesan ada perbedaan yang sangat tajam. Perbedaan itu terlihat dari perhatian dan pemberian hidup yang layak bagi mereka yang sudah menjadi eks kusta. 

Saturday, September 14, 2019

FILOSOFI BOLA KAKI DAN IDEOLOGI GOL


Oleh: Valery Kopong

“Setiap detik adalah final bagi kehidupan,” demikian Penyair Frans Kafka. Ketika setiap orang melihat lini kehidupan adalah final maka masing-masing orang mempersiapkan diri secara matang dalam proses pertarungan hidup. Frans Kafka memposisikan diri sebagai bek kanan untuk mempertahankan gawang dari bobolan lawan yang mungkin juga menembus kelambu yang terlilit rapih melalui tendangan pisang (babana kick). Tetapi untuk meraih titik kulminasi (final) perlu adanya kegesitan. “Mereka yang lambat tak ikut bermain, demikian kata Plato, si filsuf dari Yunani, negara pendekar demokrasi pertama. Plato, dalam susunan the dream team ala Kolumnis Thomas Grassberger, ia mendapat kehormatan sebagai kapten kesebelasan. Ia terpilih karena menyukai tempo yang tinggi, sekaligus idealis dan desainer dalam menata pola permainan yang artistik. Dalam pola penataan permainan, barangkali ia tersulut oleh pendamping Kafka di sektor kiri yakni Arno Schmidt. Arno Schmidt dikenal sebagai pendekar apokaliptik yang terus menuntut manusia untuk tergesa-gesa. Bagi Schmidt, setiap hari Sabtu adalah musim kompetisi di mana setiap manusia harus bertanding dan bertanding. Dan di arena permainan, kata Charles Baudelaire, Pelapis Schmidt di bagian depan, selalu mengingatkan para pemain bahwa hidup hanya mempunyai sebuah pesona tunggal yakni permainan. Dan jika kita masuk atau terperangkap masuk dalam pola permainan maka masing-masing orang harus mengantongi pertanyaan filosofis ini: “Maukah Anda menang atau kalah?”

Wednesday, September 11, 2019

Tawa Sang Guru


Setiap orang yang masuk ke biara tua itu, pertama-tama yang diperhatikan adalah lukisan wajah Yesus yang sedang tertawa. Memandang lukisan itu secara mendalam terus melahirkan pertanyaan-pertanyaan seputar lukisan itu. Mengapa Yesus tertawa? Apa yang membuat Yesus tertawa? Adakah teks kitab suci yang mengisahkan Yesus sedang tertawa? Inilah pertanyaan-pertanyaan sederhana yang lahir dari kedalaman batin para tamu di biara itu. Lukisan yang terpampang di dinding biara tua itu sepertinya menawarkan nalar refleksi untuk mempertanyakan lukisan yang tidak umum itu.  Memang, Yesus sendiri seperti yang tertulis dalam kitab suci Perjanjian Baru, kita tidak pernah menemukan teks yang berbicara tentang Yesus yang tertawa saat berhadapan dengan murid-murid-Nya maupun kelompok-kelompok yang membenci kehadiran-Nya. Tertawa seperti yang terlukis itu mengisahkan kemanusiaan seorang Yesus yang tidak dihadirkan oleh penulis kitab suci. Yesus terkesan sangat serius menghadapi situasi di tengah karya pewartaan-Nya. Karena itu yang lebih ditonjolkan adalah kehidupan doa dan ajaran-ajaran-Nya.

Friday, August 23, 2019

Sepotong Doa

Di Getzemani dalam balutan ketakutan
Engkau bersandar pada sepotong doa
“Ya, Bapa, kalau mungkin, biarlah piala ini berlalu daripada-Ku
Tetapi bukan atas kehendak-Ku melainkan kehendak-Mu”

Dalam peluh-Mu berdarah
Kutemukan kemanusiaan-Mu terdalam
Namun atas kehendak Bapa-Mu
Engkau mereguk perintah-Nya
dan melumat kebenaran
Pasrah-Mu membawa selamat bagi kami

Tangerang, 20 Agustus 2019
Valery Kopong

Tuesday, August 20, 2019

Hidup Di Alam Kemerdekaan


Bangsa pilihan Allah bertahun-tahun hidup dan menetap di Mesir. Sejak Yusuf menjadi petinggi di negeri itu dan pada peristiwa kelaparan, Yusuf menyuruh saudara-saudaranya serta orang tuanya untuk segera ke Mesir agar terbebas dari ancaman kelaparan. Titik awal untuk tinggal di Mesir,  memberikan peluang bagi mereka untuk bisa hidup.  Semakin lama mereka semakin berkembang bahkan menyaingi jumlah penduduk Mesir. Apakah mereka hidup di Mesir maka mereka berada pada situasi yang menyenangkan? Tidak!! Banyak perlakuan di luar batas kemanusiaan dan bahkan mereka tetap diminta untuk kerja paksa. Sebagai bangsa pilihan Allah, Israel tidak dibiarkan untuk tetap berada dalam penindasan.

Friday, August 16, 2019

Jadilah Kehendak-Mu


Berbicara tentang Bunda Maria, berarti berbicara tentang tawaran keselamatan. Allah  mengutus malaikat Gabriel untuk menyampaikan kabar gembira bahwa Maria dipilih oleh Allah untuk menjadi ibu Tuhan. Kabar gembira ini bisa dikatakan juga sebagai “kabar yang membawa kegalauan” bagi Maria.  Mengapa Maria mengalami kegalauan saat menerima tawaran untuk menjadi ibu Tuhan? Karena menerima tawaran ini penuh dengan pelbagai resiko, yakni bersedia mengandung seorang anak yang akan diberi nama Yesus walaupun belum bersuami. Resiko sosial  menjadi titik pergulatan seorang Maria dalam menerima tawaran menjadi ibu Tuhan. Menerima kabar dari malaikat Gariel berarti menerima “tawaran keselamatan” sekaligus berani menghadapi resiko sosial yang akan menimpahnya.
 Kesannya kabar yang diterima Maria sederhana. Seolah-olah Maria sekedar mengatakan “ya” atas tawaran itu. Kitab suci tidak mendeskripsikan secara detail tentang bagaimana pergulatan batin seorang Maria sebelum memutuskan diri untuk menerima tawaran itu. Namun dalam kepasrahan penuh pada Allah, Maria akhirnya juga mengatakan “Fiat Voluntas Tua.” Jadilah kehendak-Mu menjadi sebuah bentuk kepasrahan diri Maria pada kehendak Allah dan sekaligus membiarkan Allah bekerja dalam dirinya. “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.” Kalimat ini mengungkapkan kehampaan diri Maria di tengah pergulatan dan menentukan sikap.

Thursday, August 15, 2019

Atas Nama Cinta Untuk Berkorban


Ketika pertama kali terbentuknya lingkunganku sekitar empat belas tahun silam, saya diminta untuk mencari nama orang-orang kudus untuk menjadi nama pelindung lingkungan. Ada beberapa nama  orang kudus dan latar belakang kehidupannya menjadi bahan pertimbanganku, apakah bisa dijadikan sebagai nama pelindung atau tidak. Menarik bahwa ada nama Zakheus dalam pusaran pemilihan nama-nama itu. Saya sendiri tertarik apabila nama Zakheus menjadi nama lingkunganku. Alasan sederhana bahwa Zakheus, walaupun diberi label sebagai manusia pendosa tetapi berani membuka diri di hadapan Yesus. Berkat keterbukaannya maka ia mendapat pengampunan dari Tuhan.
         

Friday, July 26, 2019

“Kematian Penulis Katolik”


Arswendo 
Pater A.Heuken, SJ
Mendengar berita meninggalnya Arswendo dan Pater Heuken, SJ . Kepergian mereka untuk selamanya, tidak sekedar meninggalkan duka bagi keluarga yang ditinggalkan tetapi lebih dari itu ada “kematian” penulis. Bagi saya, dua orang yang meninggalkan ini merupakan representasi dari penulis-penulis Katolik yang selama ini mewartakan kasih dan kebaikan Kristus melalui tulisan-tulisan, entah buku-buku maupun artikel lainnya. Kehadiran mereka di dunia kepenulisan membawa pengaruh yang luar biasa. Pater Adolf Heuken, SJ misalnya berusaha menulis tentang Jakarta dan membuat kamus Jerman – Indonesia. Sedangkan Arswendo adalah seorang wartawan dan sastrawan yang tulisan-tulisan berupa novel diangkat ke layar lebar, seperti ”Keluarga Cemara.”
          Apa peran para penulis Katolik? Berapa penulis Katolik yang masih aktif menulis di media maupun buku-buku? Dua pertanyaan ini menjadi pertanyaan kunci dalam menggumuli peran penulis dan nilai-nilai pewartaan  yang harus disampaikan ke hadapan publik. Dengan cara yang unik mereka mewartakan nilai-nilai Injili kepada para pembaca  yang setia. Kemasan tulisan yang ditawarkan kepada para pembaca dibungkus dengan nilai-nilai cinta kasih yang bersumber pada Kristus sendiri. Dan kemasan yang tidak menonjolkan Kekatolikan ini membuat masyarakat umum bisa menerima secara baik.
         

Thursday, July 18, 2019

Genggam Hening

Kugenggam keheningan dalam balutan dingin
Bukit-bukit berdiri tegak menatapmu penuh harap
Aku hanya diam menyapamu dibalik bukit dan keheningan
Aku akan kembali menjumpamu dalam gelak tawa ria

Tangerang, 18 Juli 2019


Wednesday, July 17, 2019

MIMPI-MIMPI LIAR


Malam kini larut dalam hening
Anak-anak lahir dari rahim masa lampau
Merantau mengail rezeki
Hingga ke  benua tak bertepi

Pada titik akhir sebuah perhentian
Ketika hati ini bergolak rindu
Aku menimbah inspirasimu

Ketika masih tegar
Engkau mengembara di padang
Dengan gagah engkau memanggul tombak
Memburuh hewan-hewan liar

Di tanganmu yang dingin
Engkau ajarkan aku
Tentang cara unik menakluk mimpi
Merengkuh binatang liar

Aku pun belajar tentang cara menjinakkan mimpi-mimpi  liar
Jadi cita penuh makna


Tangerang, 17 Juli 2019



Tuesday, June 25, 2019

Sang Penari Itu Telah Pergi


“Gong bawa nape alan golo-golo. Alan golo tiro leim maan hedun gole  kuan tukan.”  Bunyi gong gendang bertalu-talu dan sang penari menghentakkan kaki berirama. Ia sedang menarikan tarian hedung, sebuah tarian perang yang  memperlihatkan nilai-nilai kepahlawanan. Saya coba mengidentikkan tarian perang, tarian “hedung” ini dengan karakter dasar “Opu Gole” yang selalu memperlihatkan karakter yang garang. Namun kegarangannya lebih diperlihatkan pada tarian, seolah “Opu Gole” memainkan peran penting sebagai “deket lewo tanah.”

Wednesday, June 19, 2019

Jan Ethes


Jan Ethes, cucu Presiden RI, Joko Widodo selalu menarik perhatian publik. Kehadiran Jan Ethes di tengah panasnya suhu politik nasional seolah membawa kesejukan tersendiri. Dengan gayanya yang polos dan atraktif, ia mampu mencuri perhatian publik dan sekaligus menurunkan tensi politik nasional, sebelum dan sesudah pemilu. Beberapa hari yang lalu, ketika digelar sidang perdana sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi dan publik seakan tergiring dengan analisis para advokat yang membela masing-masing paslon, pada saat yang sama, Jan Ethes sedang berada di Bali bersama Jokowi. Sempat terekam oleh kamera saat Jan Ethes bersama Jokowi berjalan menyusuri pematang sawah yang terlihat hijau dan indah.
Dari pematang sawah yang satu ke pematang sawah yang lain, Jan Ethes bersama Jokowi sepertinya mengelilingi sambil menikmati keindahan alamnya. Yah, pematang sawah. Jika dilihat dalam konteks keindonesiaan maka tiap pematang yang satu ke pematang yang lain membahasakan kebhinekaan Indonesia. Sebuah pematang yang hanya dibatasi oleh gundukan tanah dan menginformasikan kepemilikan yang berbeda, namun mereka bekerja pada hamparan tanah yang sama untuk menghidupi keluarga. Hamparan padi yang menghijau selalu mengingatkan kita akan petani yang selalu rajin untuk merawat dan pada akhirnya bisa memetik hasil yang berlimpah.  

Monday, June 17, 2019

Nenek Yang Lapar

Sumber foto: www.sabdaspace.org

Hari ini Senin, 17 Juni 2019. Seperti biasa ketika jam makan siang, saya berkesempatan untuk makan di salah satu warung padang yang terletak di Tigaraksa, dekat dengan pusat pemerintahan. Setelah makan, saya masih duduk melihat pesan-pesan yang masuk ke WAku sambil menikmati secangkir kopi yang menjadi langgananku. Memang, menyeruput segelas kopi sepertinya berada dalam aroma kenikmatan hidup. Rasa lelah sepertinya terbayar oleh pekatnya hitam kopi dan bangunan imajinasi mulai muncul secara bernas ketika bersentuhan dengan aroma kopi.

Friday, June 14, 2019

Menyimpan Foto: Memendam Rasa


Sekitar tahun 2003, saya mengenalmu dan tahun 2004 pengenalanku denganmu lebih dekat karena perkawinan yang dilangsungkan antara saya dan Yuni, puterimu sendiri. Sejak menikah dengan anakmu, saya terhitung sebagai menantu dan komunikasi yang dibangun selama ini sangat baik. Ada spirit dan nasihat-nasihat bijak yang diberikan oleh bapa Hardi Utomo kepada saya dan keluarga saya. Kata-kata menegakkan kami untuk menjalani hidup ini tatkala kami merasa lesuh dan jenuh saat menapaki hidup ini. Kata-kata menyejukkan seperti setetes air yang tengah berada pada “gurun kembara.”
Tidak hanya kata-kata bijak dan nasihat lembut yang telah engkau tinggalkan pada kami. Namun tindakan nyata yang pernah dilakoni olehmu menjadi teladan hidup terbaik bagi kami. Ketika sedang bermusuhan dengan siapa pun, engkau ajarkan kepada kami agar selalu “menyapa” walau yang disapa adalah musuh kita. Ajaranmu ini mencontohi Sang Guru Agung yang selalu mencintai siapa pun, termasuk musuh. Musuh-musuh pun harus disapa dan didoakan agar “jembatan relasi” yang sempat ambruk oleh buruknya komunikasi bisa terbangun kembali. Menjadi pertanyaan penting bagi saya, apakah ajaranmu untuk menyapa musuh bisa saya terapkan? Pertanyaan ini penting bagi saya karena kita berada pada dua budaya yang berbeda. Saya menganut budaya Lamaholot dan Adonara khususnya, konsep menyapa seperti yang ditawarkan bapa, terkesan bertolak belakang dengan latar budaya saya bahwa seorang musuh harus diberanguskan dan tidak ada ruang komunikasi dalam setiap perjumpaan. Atau meminjam bahasa kitab suci, “mata ganti mata, gigi ganti gigi.”

Monday, June 10, 2019

Aku Menulis Tentangmu



Kurang lebih dua tahun lalu ketika menyelesaikan paket C pada pendidikan sekolah menengah atas, keputusanmu untuk “memburuh” panggilan menjadi calon imam semakin menggebu-gebu. Sebuah niat baik dan ini direspons oleh keluarga. Tanggal 27 Agustus 2017, bersama bu Yuni, kami mengantarmu ke Tunas Xaverian di Pandega Asih Yogyakarta. Ketika mengantarmu masuk ke kamar pribadi, rasanya bahwa Tuhan pasti memanggilmu dengan cara yang unik. Dikatakan unik karena Helson pernah dikeluarkan dari Seminari San Dominggo – Hokeng. Walaupun tidak selesai menyelesaikan pendidikan di panti imam yang penuh aroma kopi itu, engkau hadir di ibu kota – Jakarta dengan bermodalkan nekad.
foto ketika masuk  KPA di Wisma Tunas Xaverian-Yogyakarta
            Aku menjemputmu di sebuah panti asuhan milik suster-suster PRR di Depok. Di sana engkau begitu akrab dengan anak-anak yang tidak pernah mengenyam rasa kasih saya dari orang tua mereka. Setelah menghadap suster pimpinan panti asuhan itu, saya pada akhirnya membawamu pulang ke rumah di Tangerang. Sore harinya kami membawamu untuk daftar di lembaga yang menyediakan paket C.  Hampir setahun, engkau mengenyam pendidikan dan berhasil mengantongi ijazah SMA paket C. Setelah dinyatakan lulus, sepertinya ada nuansa baru mewarnperjalanan hidupmu. Niatmu untuk menjadi imam terbongkar kembali.
            Setelah menyelesaikan pendidikan di KPA Xaverian Yogyakarta dan menyelesaikan masa novisiat tahun pertama, kami sangat mendukung segala usahamu agar cita-citamu menjadi imam bisa tercapai. Namun pergulatanmu barangkali harus berakhir di Novisiat Xaverian Bintaro. Refleksi-refleksi harianmu seakan tidak bermakna lagi ketika lamaranmu untuk menerima jubah, pakaian kebiaraan itu ditolak. Tanggal 3 Juni 2019, pkl.21.24, lewat SMSmu dengan menggunakan Hp biara, engkau mengabarkan bahwa anda ditolak dan harus keluar dari biara. Memang, mendengar berita ini sungguh tidak mengenakan, apalagi saat kami masih menghabiskan waktu liburan lebaran di Yogyakarta.