Thursday, April 28, 2016

BUTA

Udara di pesisir Yogyakarta masih terasa sejuk. Pohon-pohon bamboo  yang tumbuh di sekitar rumah yang terkesan asri itu, terus bergesek, seakan menyambut kehadiran kami. Gesekan bambu itu perlahan-lahan mengeras seirama dengan hembusan bayu yang kian kejam. Tapi di dalam rumah itu tampak sepi, hanya orang tua menjadi penghuni terakhir rumah ini. Maklum, anak-anaknya merantau ke ibu kota, menjaring nasib bersama derunya mesin-mesin kota yang terus menderu. Saminem, nama ibu itu, yang walaupun kondisi matanya buta tetapi terus bercerita tentang kehidupan yang dialaminya. Kebutaannya bukanlah bawaan sejak lahir. Ia baru buta sejak beberapa bulan lalu. Kondisi mata yang buta ini memperlihatkan sebuah situasi lain, ia pasrah dengan keadaannya. Rekaman peristiwa hidup dan lingkungan sekitar yang telah dikenalnya sejak matanya masih normal, kini tinggallah sebagai kenangan belaka.
            Buta baginya adalah sebuah kondisi yang menyiksa. “Saya tersiksa sekali dengan mataku yang buta ini. Saya tidak bisa melihat cucu-cucuku, terutama Edmund yang baru lahir,” tuturnya.   Cucu-cucuku yang lain, yang sudah saya kenal sejak mataku masih baik, wajah mereka masih kebayang. Inilah kondisi manusiawi yang mau tidak mau diterima sebagai bagian dari proses hidup yang kian menua. Buta menjadikan hidup saya menyempit. Suatu ketika, di pagi hari minggu, saat prodiakon melayani komuni di rumahnya, ia bercerita banyak tentang hidup yang dialami sekarang. “Andaikata Yesus datang secara fisik saat ini, pasti……pasti…… “ Itulah sepenggal keluhan yang dilontarkan oleh ibu Saminem. Keluhan ini merupakan keluhan  ketakberdayaan, dan membersitkan sebuah harapan akan situasi yang bakal merubah dirinya, yakni bisa melihat kembali.