Udara
di pesisir Yogyakarta masih terasa sejuk. Pohon-pohon bamboo yang tumbuh di sekitar rumah yang terkesan
asri itu, terus bergesek, seakan menyambut kehadiran kami. Gesekan bambu itu
perlahan-lahan mengeras seirama dengan hembusan bayu yang kian kejam. Tapi di
dalam rumah itu tampak sepi, hanya orang tua menjadi penghuni terakhir rumah
ini. Maklum, anak-anaknya merantau ke ibu kota, menjaring nasib bersama derunya
mesin-mesin kota yang terus menderu. Saminem, nama ibu itu, yang walaupun
kondisi matanya buta tetapi terus bercerita tentang kehidupan yang dialaminya.
Kebutaannya bukanlah bawaan sejak lahir. Ia baru buta sejak beberapa bulan
lalu. Kondisi mata yang buta ini memperlihatkan sebuah situasi lain, ia pasrah
dengan keadaannya. Rekaman peristiwa hidup dan lingkungan sekitar yang telah
dikenalnya sejak matanya masih normal, kini tinggallah sebagai kenangan belaka.
Buta baginya adalah sebuah kondisi
yang menyiksa. “Saya tersiksa sekali dengan mataku yang buta ini. Saya tidak
bisa melihat cucu-cucuku, terutama Edmund yang baru lahir,” tuturnya. Cucu-cucuku yang lain, yang sudah saya kenal
sejak mataku masih baik, wajah mereka masih kebayang. Inilah kondisi manusiawi
yang mau tidak mau diterima sebagai bagian dari proses hidup yang kian menua.
Buta menjadikan hidup saya menyempit. Suatu ketika, di pagi hari minggu, saat
prodiakon melayani komuni di rumahnya, ia bercerita banyak tentang hidup yang
dialami sekarang. “Andaikata Yesus datang secara fisik saat ini, pasti……pasti……
“ Itulah sepenggal keluhan yang dilontarkan oleh ibu Saminem. Keluhan ini
merupakan keluhan ketakberdayaan, dan
membersitkan sebuah harapan akan situasi yang bakal merubah dirinya, yakni bisa
melihat kembali.