Saturday, December 3, 2022

Mafia

 

Ketika berlibur ke kampung halamanku Gelong-Adonara Timur pada Juli 2022 yang lalu, penulis berkesempatan ngobrol dengan orang-orang kampung yang berbicara tentang peluang dari figur-figur yang menjadi capres dan cawapres pada pemilu 2024 nanti. Obrolan kami seputar pentas politik nasional dengan melihat rekam jejak dan kalkulasi peta kekuatan berdasarkan aspek primordial yang melekat pada basis pemili di Indonesia. Diskusi tentang politik ini sempat terhenti ketika salah seorang yang tergabung dalam obrolan itu mendadak bertanya padaku. Apa itu politik? Pertanyaan tentang arti politik menjadi penting terutama untuk warga kampung yang kurang paham tentang arti sesungguhnya dari politik.

Memang, pertanyaan tuyul ini menjadi penting karena setiap orang dan khususnya politisi harus mengerti dan memahami tentang esensi dasar tentang politik. Politik menurut orang-orang kampung yang selama ini dipahami sebagai “seni menipu” masyarakat dan pelakunya adalah para politisi. Apa yang dipahami secara salah tentang politik dalam skala kampung, bertitik tolak dari pengalaman orang-orang kampung yang rajin dikunjungi pada saat menjelang Pilkada maupun Pilpres. Para politisi selalu menjagokan diri dan figur yang mau dicalonkan walaupun pada kenyataannya jauh dari harapan masyarakat. Sikap bombastis yang mengumbar secara berlebihan dan bahkan terjadi proses penipuan secara terbuka untuk mendulang suara pada menjelang Pilkada maupun Pilpres, pada akhirnya mengerucut pada pemahaman yang salah tentang esensi dari politik itu sendiri.

Apa makna sebenarnya dari politik? Secara sederhana, politik adalah seni untuk menata keseimbangan hidup bersama. Ketika melihat makna dasar arti politik yang menata keseimbangan hidup bersama, ada hal yang memiriskan nurani anak bangsa ini karena dalam berpolitik tidak terjadi lagi keseimbangan bahkan situasi masyarakat tercabik-cabik karena perhelatan demokrasi. Situasi menjadi ambigu karena masyarakat terpolarisasi sesaat di musim pilkada maupun pilpres. Ada tarik menarik kepentingan dalam masyarakat dan masyarakat sendiri menjadi korban dari perhelatan itu dan menjadi penonton adalah kaum elite politik. Masyarakat terpolarisasi sesaat karena menjadi bagian dalam mendukung calon tertentu. Banyak pengamat memprediksi bahwa dalam tahun politik ini bisa terjadi konflik horizontal yang mengarah pada perpecahan. Jika terjadi perpecahan karena disebabkan oleh pilihan politik yang berbeda maka esensi dasar politik yang mau menata keseimbangan bersama belum menemukan titik keberhasilan.

Kita bisa saksikan sendiri bahwa sebelum pertarungan politik terjadi di tahun 2024, sudah mulai memanas dengan munculnya pelbagai isu yang menyerang calon tertentu. Anies Baswedan yang telah dideklarasikan menjadi capres sudah mulai melakukan safari politik walaupun itu belum waktunya untuk melakukan kegiatan politik. Komunikasi politik terus dibangun sebagai upaya untuk mendekatkan diri dengan rakyat namun tidak banyak juga yang melemparkan cibiran sebagai bentuk ketidaksukaannya.

Kehadiran Anies sebagai kandidat tidak serta merta memperlihatkan sikap publik yang menerimanya. Ada lawan politik yang mulai mencari-cari isu untuk menumbangkan lawan politiknya.  Politik identitas yang terjadi pada masa lampau dibongkar kembali untuk disajikan pada ruang publik dengan satu tujuan utama adalah menumbangkan lawan sebelum dan saat bertarung. Memang, berpolitik a la Indonesia, sudah masuk ke wilayah abu-abu dan sulit ditebak oleh lawan. Atau meminjam bahasa Ben Anderson: musuh bangsa Indonesia adalah “mafia.”

Ben Anderson melihat bahwa seluruh lini kehidupan bangsa ini sudah dirasuki oleh mafia dan dengan demikian kita sulit untuk membangun peradaban politik yang bersih dan lebih elegan. Demi mengejari kursi kekuasaan, ada “mafia” yang bekerja secara investigatif untuk mencari dosa-dosa masa lampau dari lawan politik. “Mafia” menjadi gerakan masif dalam membangun strategi politik yang bisa mematahkan lawan. Mafia sepertinya menjadi agenda terselubung pada politisi yang ingin menghancurkan lawan politik. Di sini kita bisa membaca kegamangan dalam memahami esensi politik sebenarnya.

Isu yang dihembuskan oleh para politisi dengan memanfaatkan orang lain sebagai penyebar isu, menjadikan mafia politik ini semakin menjijikan dan masyarakat semakin muak dengan tingkah laku para politisi. Mestinya para pendukung maupun partai pengusung harus mengedepankan program-program yang berpihak pada rakyat karena hanya dengan program unggul yang ditawarkan kepada masyarakat, menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat dan pada akhirnya memberikan pilihan yang tepat. Kenyataan berbicara lain, bahwa yang dikedepankan oleh para politisi dan calo pemimpin lebih banyak merancang isu sebagai strategi untuk menjatuhan lawan dan bukannya merancang program yang bisa ditawarkan kepada masyarakat.

sumber gambar: www.silontong.com

Semua figur yang menjadi capres sedang menanti pinangan dari partai koalisi.  Masyarakat diminta untuk menjejali rekam jejak para figur yang akan bertarung. Barisan para capres dan cawapres nanti, mudah-mudahan tidak seperti barisan kafilah padang pasir yang nampak begitu dahaga dan berburu sumber air. Politik praktis dalam skala nasional  masih memperlihatkan hausnya para calon akan kursi kekuasaan yang direbutnya. Publik menanti dengan cemas. Siapa sesungguhnya pemimpin baru untuk Indonesia?*** (Valery Kopong)

No comments: