Salah satu buku terjemahan yang menarik bagi saya adalah “Bapa Kami Yang
Ada di Bumi.” Buku ini diterjemahkan oleh Wilhelmus David, pemilik penerbit
Orbit Media. Buku ini terasa semakin menarik setelah mengikuti dari jauh,
kepergian sang penerjemah sekaligus pemilik penerbit Orbit Media itu. Wilhelmus
David meninggal dunia pada 8 Juli 2021, setelah bertarung melawan Covid yang
menyerang tubuhnya. Selama beberapa minggu, ia bersama keluarga sedang
mengadakan isolasi mandiri di rumah dan keadaannya semakin memburuk. Pada akhirnya ia menghembuskan nafas
terakhir. Sebagai teman diskusi dan juga membantunya untuk mengoreksi beberapa
buku yang hendak diterbitkan, terasa ada beban tersendiri. Saya mau supaya bisa
membantu dia di saat ia mengalami kematian tetapi di sini lain, saya juga harus
menjaga diri dari ancaman virus yang mematikan ini. Dilema terus merasuki diri
tetapi syukurlah bahwa ada relawan yang dengan berani untuk mengenakan APD
seadanya, berusaha mengevakuasi jenazah korban dan menghantarnya ke tempat
pemakaman terakhir.
Pada hari ke tujuh ketika mengikuti doa mengenang kepergiannya yang diselenggarakan
oleh kelompok doa “Adoremus,” diakhir doa, beberapa orang diminta untuk
memberikan kesaksian tentang pengalaman untuk ada berada Bapak Wilhelmus David
selama hidupnya. Ada yang mensyeringkan pengalaman tentang perjumpaan
bersamanya dan boleh mengagumi pribadinya yang tidak pernah marah dan pandai
berdiplomasi. Ada juga yang menceritakan keterlibatan Bapak Wilhelmus David
selama hidupnya, membaktikan diri untuk kepentingan gereja. Ia lebih banyak
bergulat dengan kelompok-kelompok katekis dan pada saatnya meninggalnya, ia
masih menjabat sebagai wakil ketua Dewan Paroki Kutabumi – Gereja Santo
Gregorius Agung.
Ketika saya juga diminta untuk memberikan komentar seputar pengenalanku
dengan Bapak Wilhelmus David, ada banyak hal yang bisa saya belajar dari
beliau. Saya mengenalnya, pertama-tama saat gereja Gregorius masih menjadi
stasi. Saat itu saya terlibat di komsos yang membidangi pewartaan dan
penyebaran kabar gembira melalui media. Saya terlibat mengelola “Voluntas,”
sebuah media yang terbit di masa gereja menjadi stasi. Dari tulisan-tulisanku
yang dimuat di media gereja itu, ternyata menarik perhatian dari Bapak
Wilhelmus David, yang saat itu masih bekerja pada penerbit Fidei Press. Tulisan-tulisanku
yang dibacanya membawa kami pada pertemuan yang begitu akrab.
Dalam pertemuan itu ia menceritakan kisah perjalanan hidupnya, yang pada
awalnya menapaki panggilan hidup sebagai calon imam namun gagal. Setelah lulus
dari Seminari Kisol, ia masuk ke C.I.C.M. C.I.C.M. adalah singkatan dari Congregatio Immaculata Cordis Mariae, artinya Kongregasi Hati Suci St Perawan Maria,
suatu tarekat imam dari Belgia. Mereka masuk dan
bekerja di Indonesia pada tahun 1937 di wilayah misi Makasar. Oleh Propaganda Fide (Vatikan) pembinaan umat di wilayah misi Makasar
diserahkan kepada C.I.C.M., hingga kemudian berkembang menjadi Keuskupan Agung Makassar. Kini mereka hadir dan bekerja di keuskupan-keuskupan Makasar, Jakarta, Jayapura. C.I.C.M. didirikan P. Theophile Verbist
seorang imam Praja dari Keuskupan Agung Mechelen pada tahun 1862 di Scheut
(Arderlecht, dipinggiran Brussels, Belgia) dengan pertama-tama hendak mengirim
misionaris ke China (dilaksanakan sejak tahun 1865). Pelayanan mereka meluas ke
Zaire (1888), Filipina (1907), Taipei, Hongkong, Jepang dan Singapura. Kemudian
ke beberapa negara di Amerika Latin dan Afrika.
Dengan masuk ke
tarekat misi C.I.C.M memungkinkan Wilhelmus David menggeluti panggilan dan
membawanya sampai ke Filipina. Beberapa tahun ia belajar di Filipina. Ia fasih
berbahasa inggris dan juga bahasa Tagalog. Dengan kefasihan berbahasa asing ini
memberinya modal untuk bisa membangun komunikasi. Sepulangnya dari Filipina,
Wilhelmus David memutuskan untuk keluar dari biara. Karena itu ia mencari arah
hidup baru dengan bekerja pada beberapa penerbit, yakni Obor, Fidei Press dan
Orbit Media. Dengan bekerja pada penerbit dan menerbitkan buku-buku rohani
Katolik, sebenarnya ia mengarahkan umat dan para pembaca untuk memahami tentang
siapa itu Yesus yang sebenarnya melalui buku-buku rohani.
Allah yang kita
imani adalah Allah yang imanen, Bapa yang bersemayam di bumi, dalam diri Yesus
Putera-Nya. Dengan mengantar pembaca untuk memahami tentang apa makna Bapa yang
membumi, mengingatkan kita juga akan peristiwa inkarnasi, Allah yang menjelma
menjadi manusia. Allah yang kita imani bukanlah Allah yang transenden, jauh
dari kita melainkan Allah yang terlibat dengan kehidupan kita melalui Yesus
Sang Putera. Allah itu begitu dekat dan karena terlalu dekat maka terkadang
kita kurang menyadari kehadiran-Nya.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment