Wednesday, October 8, 2008

MUDIK
(catatan di akhir mudik)
Oleh: Valery Kopong*

Sabtu, 27 September 2008 kami mengadakan perjalanan (mudik) ke kota Gudeg, Yogyakarta. Kami menempuh perjalanan selama 19 jam dari Purwakarta menuju Yogya. Jarak tempuh yang secara normal hanya 9 jam, tetapi karena kemacetan maka perjalanan semakin tersita. Lama kami berada dalam suasana kemacetan. Tetapi orang pada bertahan dalam antrean panjang untuk kemudian beralih dari ruang kemacetan.
Para pemudik, mengadakan perjalanan tahunan secara unik. Ada yang menggunakan mobil pribadi, mulai yang termewah sampai dengan yang sederhana. Ada juga yang menggunakan truk ataupun mobil box. Yang lebih ramai adalah para pemudik yang menggunakan sepeda motor. Memang, dalam perjalanan itu terlihat bahwa resiko sangat tinggi untuk terjadinya kecelakaan. Seperti yang aku saksikan sendiri pada dini hari, seorang pengendara motor terjatuh dalam suasana yang gelap. Ia mungkin ngantuk dan kecapaian sehingga pada akhirnya terjatuh bersama motor kesayangannya.
Dalam suasana hiruk pikuk seperti itu, terlintas sebuah pertanyaan sederhana. Untuk apa orang melakukan mudik? Apakah peristiwa ini menjadi show religius karena perjalanan ini dilakukan untuk menyambut kedatangan lebaran, hari nan fitri? Kalau ini merupakan sebuah show religius maka yang melakukan mudik hanya orang-orang muslim. Tetapi justeru saat ini merupakan moment yang baik, tidak hanya untuk orang-orang muslim tetapi juga untuk orang-orang non muslim. Lebaran dalam konteks Jawa merupakan saat teduh untuk bersilahturami dengan keluarga, tanpa membeda-bedakan agama.
Keluarga-keluarga non muslim terutama orang-orang tua menyiapkan uang recehan untuk dibagikan kepada anak-anak yang datang menyalami mereka. Pada kesempatan itu mereka bersungkeman dengan orang tua sembari memohon maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan pada hari-hari sebelumnya. Aku yang bukan orang Jawa juga turut bersungkeman untuk memohon maaf dan meminta berkat dari mereka.
Lebaran, dalam konteks sosio-kultural merupakan peristiwa yang menyatukan semua pihak bahkan menyatukan orang yang sebelumnya tinggal dalam jarak yang jauh. Rumah induk mereka adalah keluarga batih, di mana mereka menggapainya dengan susah payah. Mereka tidak memikirkan resiko-resiko yang muncul di perjalanan. Yang ada pada benak para pemudik adalah berkumpul bersama keluarga. Bagi mereka, tempat kerja yang jauh adalah kesempatan sementara untuk mengalienasi diri dan pada akhirnya berkumpul dengan keluarga pada hari yang dinantikan itu. Rumah mereka di kampung merekam sejarah, imajinasi, hasrat dan biografi hidup mereka. Di rumah Joglo nan sederhana itu sudah tertanam kuat nilai nostalgia dan utopia di masa lalu.
Rumah sebagai tempat terakhir kami berlabuh setelah berjuang dalam kisaran ruang dan waktu, juga menjadi tempat pertemuan manusia dengan identitas masing-masing serta pola pikir yang sudah terkontaminase dengan glamournya kehidupan kota. Kota telah memperlihatkan daya tariknya pada manusia sehingga mereka dapat dengan leluasa mencari sepenggal hidup di “ruang polusif” itu. Tetapi separoh nafas mereka berada di jantung desa yang senantiasa menunggu untuk merangkulnya. Rumah telah merangkulnya kembali setelah sekian lama didera oleh belenggu kota, “sebuah kemesraan yang menindas.”***

JURNALIS
Oleh: Valery Kopong*

KETIKA terpilihnya Yosef Lagadoni Herin sebagai wakil bupati Flores Timur, ada sebagian masyarakat yang mengumbar sikap pesimis terhadap pola kepemimpinan yang akan dibangun untuk Flores Timur. Alasan munculnya sikap pemismistik ini adalah bahwa seorang pemimpin yang terpilih (Bupati / wakil bupati) biasanya berlatar belakang birokrat atau pengusaha dan diharapkan nantinya bekerja secara maksimal. Tetapi latar belakang pemimpin, baik dari birokrat maupun pengusaha yang selama ini terlaksana belum menjawabi kebutuhan masyarakat. Yang birokrat, dalam bekerja terlihat kaku dan lebih banyak bekerja menghasilkan arsip. Ia lebih suka hal-hal praktis yang bisa mendatangkan uang.
Sebuah gebrakan bernuansa bisnis ini pada bulan-bulan pertama masa kepemimpinan Fernandez mendapat tanggap baik dari sebagian besar masyarakat. Tetapi peluang bisnis ini rupanya disalahkangunakan dan karena kalkulasi yang salah maka ia kemudian tidak berdaya di hadapan uang. Ia dicurigai (kalau tidak mau dituduh) korupsi uang rakyat berkenaan dengan pembelian kapal fery cepat yang telah karam. Pemimpin yang berwawasan bisnis lebih banyak memanipulasi rakyat untuk meraup keuntungan demi kepentingan pribadi dan rakyat menjadi korbannya.
Apa yang diharapkan dibalik kepemimpinan Lagadoni Herin yang seorang jurnalis? Dunia jurnalistik, oleh kebanyakan orang adalah dunia yang serba tak pasti. Sebagai jurnalis, hidupnya serba pas-pasan dan selalu berkutat dengan pena dan berita. Tentang seorang jurnalis, Goenawan Mohammad dalam “Catatan Pinggir”-nya pernah menulis tentang Gus Dur saat menjabat sebagai presiden. Menurutnya bahwa Gus Dur dengan latar belakang sebagai seorang penulis, telah membentuk dia sebagai seorang yang otoriter. Gus Dur dan apa yang dikatakannya mesti dituruti oleh masyarakat. Ia hanya tunduk pada ide yang dilahirkan sendiri dari rahim pemikirannya.
Mungkin ada benarnya, yaitu bahwa pada masa pemerintahannya ia terkesan cuek dengan omongan orang lain. Tentang keotoriteran Gus Dur, saya teringat peristiwa pada waktu dia mengunjungi Jepang. Di negeri Sakura itu ia menyempatkan diri untuk bertemu dengan orang-orang Indonesia yang ada di sana. Dalam pertemuan itu seorang peserta bertanya padanya, bagaimana kalau Bapak diminta mundur dari jabatan oleh rakyat Indonesia? Apakah Bapak bersedia mundur? Dengan santainya, ia menjawab, “mau maju saja dituntun, apalagi mundur.” Suatu jawaban dalam nada humoralia tetapi memendam keotoriterannya yang jelas terlihat saat ia dipaksa mundur tetapi masih berusaha untuk bertahan di istana.
Lain Gus Dur, lain Lagadoni. Walaupun latar belakang sebagai seorang jurnalis tetapi ia pasti menunjukkan sikap terbuka terhadap masyarakat yang dengan susah payah memilihnya. Ia memanfaatkan moment ini dan memadukan sikap sebagai seorang jurnalis yang peka terhadap seluruh persoalan yang dihadapi masyarakat. Dengan telinga sebagai seorang wartawan, ia berani mendengar keluhan masyarakat Solor yang sering menderita kelaparan. Dengan pena seorang jurnalis ia mencatat, berapa bangunan sekolah dan jalan raya yang rusak sebagai akibat kurang diperhatikan pemerintah sebelumnya.
Lagadoni telah terpilih sebagai wakil bupati namun kepekaannya sebagai seorang jurnalis tak akan “terkubur” oleh jabatan duniawi itu. Memangku suatu jabatan tidak berarti memaksanya untuk memenjarakan kebebasan dia untuk menulis tentang pelbagai peristiwa. Kegelisahannya tetap terbangun saat berhadapan dengan realitas. Di sini, seorang jurnalis diasah kesadarannya untuk menginternalisasikan seluruh problem masyarakat dan pada akhirnya mencarikan jalan terbaik untuk memecahkan persoalan itu.
Seorang jurnalis mirip seorang seniman. Sebagai seorang pelukis atau penyair, ada saat-saat tertentu yang memungkinkan mereka untuk membangun rasa puas dalam dirinya. Tetapi itu cuma sekejap. Apakah seseorang yang menamakan diri sebagai penyair yang hidup sekian tahun hanya menghasilkan satu puisi? Ataukah seorang pelukis yang hanya menghasilkan satu lukisan di atas kanvas hanya karena dibatasi oleh rasa puas?
Tingkat kepuasan seorang pemimpin yang juga jurnalis tidak hanya berhenti ketika ia sudah meraih jabatan dan mendulang jutaan rupiah. Jabatan yang diemban menjadi lebih bermakna apabila ia padukan dengan dunia jurnalistik. Karenanya dalam pola kepemimpinan seperti ini, yang dihasilkan tidak hanya arsip mati yang terdokumentasi secara rapih, melainkan bagaimana ia mengolah pelbagai problema itu menjadi sebuah “buku yang hidup,” yang sanggup memberi daya juang dan inspirasi secara kolektif bagi masyarakat. Lagadoni Herin, Lewo tana (kampung halaman) Flores Timur sangat membutuhkan ketajaman penamu untuk menggoreskan kehidupan masyarakat yang serba terpuruk dan janganlah tunduk pada idemu sendiri seperti Gus Dur tetapi tunduklah pada idemu dan aspirasi masyarakat, sumber suara yang telah mengantarmu untuk menggenggam jabatan terhormat itu.***

Thursday, September 25, 2008

AMIR HAMZAH DAN KESADARAN HISTORIS

(Telaah Atas Puisi “Hanya Satu”)

Oleh: Valery Kopong*

PUISI sebagai bagian dari karya sastra yang dihasilkan oleh para penyair, mengedepankan pelbagai aspek yang membentuk bangunan puisi dan seluruh aspek yang membentuknya menarik untuk dikaji. Dikatakan menarik karena di dalam puisi itu termuat pelbagai dimensi kehidupan yang terangkum dalam penggalan kata. Pemilihan kata (diksi) oleh penyair merupakan suatu seni untuk memperhadapkan dua realitas berlawanan, yakni realitas batin dan realitas sosial. Walaupun berlawanan tetapi keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Realitas sosial membentangkan kenyataan dan sekaligus memberikan inspirasi pada penyair untuk mengakumulasikan realitas itu ke dalam olahan jiwa.

Untuk memahami lebih jauh tentang puisi dengan penggalan kalimat yang pendek sekaligus mewakili realitas sosial, membutuhkan sebuah penafsiran yang mendalam. Dalam interpretasi subjektif, seorang penafsir dapat menemukan unsur batin dan unsur sosial yang masih tersembunyi bagi pembaca. Penafsiran yang dilakukan terhadap puisi harus dilihat secara komprehensif tentang latar belakang kehidupan seorang penyair dan alasan penulisan puisi tersebut. Hal ini berarti bahwa seorang penafsir mestinya masuk ke kedalaman wilayah pribadi seorang penyair.

Amir Hamzah dan puisi-puisinya sulit dipahami oleh para pembaca. Kesulitan pembaca dalam menafsir puisinya dikarenakan oleh penggunaan kata-kata lama dan kata-kata dalam bahasa daerah mengkonstruksi puisinya. Dalam tulisan ini, penulis hanya membatasi diri pada puisi berjudul “Hanya Satu” untuk ditelaah dari aspek teologis, sosiologis dan filosofis.

Kekuatan Makna Puisi

Seorang penyair memiliki kesanggupan untuk membahasakan alam semesta hanya dengan beberapa penggalan kalimat. Setiap kalimat yang dipakai memiliki makna dan mewakili sisi tertentu dari objek yang diimajinasikan. Pada momen ini seorang penyair berkutat dengan daya ratio yang dibangkitkan untuk berimajinasi dan mempertemukan pelbagai unsur dalam suatu kerangka kalimat.

Penyair tidak hanya membangun relasi dengan sesama lewat puisi yang dihasilkannya tetapi juga ia menjalin hubungan vertikal-transendental dengan Yang Maha Ada.

Dalam puisi “Hanya Satu”, karya Amir Hamzah terdiri dari dua bagian, bagian pertama melukiskan kebesaran dan kekuasaan Tuhan.

HANYA SATU

Timbul niat dalam kalbumu:

Terban hujan, ungkai badai

Terendam karam

Runtuh ripuk tamanmu rampak

Pada bait pertama ini Amir Hamzah menggambarkan kehendak Tuhan yang bebas. Kebebasan ini nampak ketika Tuhan sendiri menurunkan hujan dan mendatangkan sebuah bencana. Walaupun Tuhan tahu bahwa bencana itu menyiksa manusia tetapi toh Ia anugerahkan juga sebagai pemusnahan tingkah laku dan pribadi manusia sendiri yang telah membangun sebuah hidup di luar kontrol peringatan Tuhan.

Membiarkan manusia untuk berada dalam kebinasaan adalah suatu keharusan bagi Tuhan dan sebagai tindakan purifikatif. Dunia telah dinodai manusia yang ditempatkan oleh Tuhan dan atas kehendak Tuhan yang sama diadakan sebuah pemulihan. Pemulihan tidak berarti dilakukan dengan jalan damai, melainkan dengan sebuah konfrontasi. Bencana lalu menjadi sarana penyapaan Tuhan terhadap manusia yang selama itu telah menutup pintu batinnya terhadap intervensi Tuhan. Bencana yang diturunkan Tuhan mendatangkan ketakutan mendalam dari manusia seperti dilukiskan penyair pada bait yang kedua.

Manusia kecil lintang pukang

Lari terbang jatuh duduk

Air naik tetap terus

Tumbang bungkar pokok purba

….

Sebagai manusia biasa, tentunya mereka lari dari bencana untuk dapat meluputkan diri. Manusia boleh berusaha tetapi kehendak Tuhan lebih mendominasi untuk berusaha melenyapkan nyawa manusia. Manusia boleh lari namun pelariannya menemukan titik kulminasi keberakhiran. Pada momen yang mendebarkan itu, Tuhan, dengan bantuan air bah melenyapkan nyawa manusia. Peristiwa pemusnahan manusia ini memunculkan suatu ketakutan yang mendalam sebagai gambaran manusiawi manusia.

Teriak riuh redam terbelam

Dalam gegap gempita guruh

Kilau kilat membelah gelap

Lidah api menjulang tinggi

….

Harapan akan keselamatan nyawa manusia yang meninggal akibat bencana menjadi serba suram. Kematian yang tragis tidak menjadikan mereka untuk meraih sebuah keselamatan sebagai upah terhadap hidup yang pahit tetapi malah Tuhan sendiri, di dalam kegelapan peristiwa tragis itu memberikan tanda bahwa mereka akan ditempatkan di neraka, yang di dalam puisi dilambangkan dengan api yang membara. Di sini, penulis melihat kemarahan Tuhan yang mendendam terutama kepada manusia yang sudah ditegur oleh Tuhan namun tidak mau bertobat. Tuhan hanya mementingkan pribadi seorang Nuh dan keluarganya yang bersikap tanggap terhadap bisikanNya ketimbang nyawa orang banyak. Pada peristiwa ini Tuhan mengedepankan kualitas iman dan bukannya kuantitas manusia yang mengingkarinya.

Terapung naik jung bertudung

Tempat berteduh Nuh kekasihmu

Bebas lepas lelang lapang

Di tengah gelisah, swara sentosa

….

Kisah Nuh pada bait di atas ini mengingatkan kita akan keberpihakan Tuhan pada orang yang dikasihinya. Mengasihi manusia, bagi Tuhan memiliki hubungan relasional. Itu berarti bahwa ketika manusia dikasihi Tuhan, pada saat yang sama ia menunjukkan partisipasi aktif, ada tanggap balik di dalam hubungan relasional itu. Tuhan menegur dengan suatu harapan untuk menata kehidupan manusia dan di sini dituntut kepekaan hati untuk mendengar dan menanggapi bisikan Tuhan.

Nabi Nuh dalam relasinya dengan Tuhan diibaratkan oleh Amir Hamzah sebagai kekasih. Sebagai kekasih berarti sama-sama menunjukkan suatu keterlibatan secara penuh dan aktif. Nuh dalam kerangka perlindungan pada akhirnya menuai keselamatan. Keselamatan Nuh dimengerti sebagai upah yang ditanam olehnya pada tahun-tahun selama keberadaannya dengan Tuhan.

Dalam bait yang terakhir, Amir Hamzah menyatakan rahmat Tuhan kepada nabi Ibrahim serta kedua puteranya, Ishak dan Ismail.

Bersemayam sempana di jemala gembala

Duriat jelita bapaku Ibrahim

Keturunan intan dua cahaya

Pancaran putera berlainan bunda

….

Amir Hamzah dalam puisi ini menampilkan tokoh-tokoh dalam Perjanjian Lama yang mempunyai kharisma dan kesalehan untuk kemudian dijadikan sebagai panutan dalam kehidupan publik. Ibrahim (Abraham) dipilih oleh Allah menjadi Bapa Bangsa. Penunjukkan dirinya menjadi Bapa Bangsa berarti bersedia menanggung apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Tuhan (Yahwe) memberikan cobaan yang menunjukkan bukti kesetiaannya pada Tuhan. Pengorbanan anaknya Ismail (menurut teologi Islam) memperlihatkan keterbukaannya pada Tuhan. Baginya, memberikan sesuatu kepada Tuhan merupakan suatu keharusan dan wujud ketaatan, walau pemberian itu berupa nyawa sekalipun. Ibrahim yang dicobai dengan mempersembahkan puteranya tidak menampilkan prinsip “do ut des” (saya memberi untuk kemudian saya menerima). Tetapi di sini berlaku hukum loyalitas-spiritual, di mana seluruh ketaatan selalu terpancar dari spiritualitas hidup.

Amir Hamzah dan Kesadaran Historis

Penyair Amir Hamzah selalu berada dalam waktu dan daya imajinasinya cukup fleksibel untuk masuk ke dalam ruang-ruang waktu. Dalam puisinya “Hanya Satu”, Amir Hamzah menampilkan keterlibatannya secara imajinatif bersama tokoh-tokoh dan peristiwa masa lampau yang tidak dialaminya secara langsung. Melalui kisah biblis, ia mengembangkan sebuah “teologi puisi” yang memiliki nilai teologis dan sosiologis. Untuk memahami masa lampau peristiwa ini, seorang penyair, secara khusus Amir Hamzah mencoba mengasah kesadaran historis untuk melihat masa lampau dan turut terlibat di dalamnya.

Kehebatan Amir Hamzah dalam puisi ini adalah mengedepankan masa lampau dan memperhadapkan dengan masa kini serta memberikan suatu proyeksi untuk masa yang akan datang. Tiga dimensi waktu ini dikaitkan secara berantai untuk ditemukan multi makna. Baginya, saat sekarang (masa kini) menyatukan masa silam dan masa depan. Pada masa kini, masa lampau dilihat sebagai kenangan dan berdasarkan kenangan itu orang bisa membuat ‘retrospeksi’ dan ‘retrodiksi’ (mengatakan sesuatu tentang masa lampau)

Melalui cerita biblis, Amir Hamzah menghidupkan kembali peristiwa yang menyejarah itu lewat penggalan puisi. Puisi menampilkan ‘bahasa kesadaran’ masa lampau dan dengannya para pembaca menerima peristiwa dan nilai masa lampau itu sebagai yang terberi. Di sini, seorang penyair sekaligus dilihat sebagai sejarahwan yang membangkitkan ingatan masa lampau penuh kenangan. Terhadap peristiwa ini, aliran idealisma dalam filsafat menegaskan bahwa masa silam harus diterima sebagai sesuatu yang hidup dan diperbaharui lagi untuk memenuhi tuntutan masa kini.

Dalam kaitan dengan pandangan yang diberikan oleh aliran idealisme, memunculkan suatu perbedaan yang tajam antara ‘historie’ dan ‘geschichte’. Historie menunjuk pada himpunan fakta-fakta historis yang menjadi bahan mentah untuk diteliti dan diberi arti agar manusia dapat memahaminya. Sedangkan ‘geschichte’ menunjuk pada usaha menafsirkan dan memahami perjalanan manusia dalam waktu, sejauh itu terungkap dalam kejadian-kejadian. Geschicte merupakan cara khusus untuk menjawabi tuntutan-tuntutan untuk memahami pertanyaan menyangkut arti eksistensi yang berakar pada masa lampau, dihayati pada masa kini dan terarah ke masa depan.

Puisi “Hanya Satu” milik Amir Hamzah dilihat sebagai puisi bernilai sejarah. Originalitas puisi menggagas manusia dalam tindakannya, yang satu menunjukkan keberpihakan dengan Tuhan dan yang lainnya membelok dari hadapanNya. Seluruh perilaku manusia dilukiskan lewat kata yang membentuk kalimat dan menunjukkan kebermaknaan. Martin Heidegger, filsuf eksistensialis menegaskan kekuatan kata-kata yang sanggup memberikan arti tertentu berdasarkan zamannya. Komunikasi verbal dalam puisi sengaja dibangun untuk mengantar orang sebagai mitra bicara agar terlibat dengan kehidupan imajinasi seorang penyair. Penyair adalah sosok yang menghidupkan kembali masa lampau, mengungkapkan pesan-pesan tertentu dari zaman yang jauh dan menghadirkannya pada masa kini dengan nilai sejarah berharga lewat untaian kata.***