Friday, October 4, 2013

Imam Yesuit di Suriah berjuang di tengah peperangan, kelaparan dan ketakutan



Imam Yesuit di Suriah berjuang di tengah peperangan, kelaparan dan ketakutan thumbnail

 

 

 

 

  

Imam Belanda Pastor Frans Van der Lugt SJ telah memberikan kesaksian pengalamannya yang dramatis di Bustan al-Diwan, Homs, Suriah, yang telah dikendalikan oleh para pemberontak sejak Juni 2012, tetapi dikepung oleh pasukan pemerintah Suriah.
“Selama 15 bulan terakhir kami telah bertahan dengan persediaan darurat yang kami miliki di ruang bawah tanah dan di rumah-rumah yang ditinggalkan tetangga. Semua kami akan mengalami kehabisan persediaan. Dan kami tidak tahu berapa lama lagi pengepungan ini akan berakhir.”
Vatikan Insider menulis tentang Pastor Van der Lugt dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada awal Agustus. Provinsial Yesuit Timur Tengah, Pastor Victor Assouad SJ menyatakan keprihatinan atas nasib imam Belanda itu dan Pastor Paolo Dall’Oglio SJ, imam Italia, yang diculik sekitar dua bulan lalu di Suriah bagian utara.
Pada Juni 2012, saat Homs  jatuh, ada sekitar  satu juta penduduk, namun kini tinggal 200.000 orang, dan Pastor Van der Lugt memutuskan untuk tetap tinggal bersama orang-orang tersebut yang tidak dapat melarikan diri dari Bustan al-Diwan.
Imam itu telah tinggal bersama para korban tak berdosa akibat konflik yang dilakukan kubu pemberontak selama 15 bulan. Suara tembakan artileri Assad bergema di atas mereka tanpa pandang bulu, terlepas dari apakah target adalah orang Kristen atau Muslim.
Bustan al- Diwan masih terputus dari dunia luar, demikian Pastor Ziad Hilal SJ menyampaikan pada pertemuan di Jenewa belum lama ini. Pastor Hilal adalah imam Yesuit lain yang tinggal di bagian Homs yang dikendalikan oleh pasukan pemerintah Suriah.
“Sekitar 900 meter jarak antara Pastor Frans dan saya, tapi jarak ini tidak bisa menghentikan kami dari berkomunikasi satu sama lain atau saling mendukung,” katanya.
Bersama Pastor Hilal berasal dari Eropa, Pastor Van der Lugt mengisahkan kesaksiannya, yang telah dipublikasikan di situs LSM Katolik Perancis, L’Oeuvre d’Orient. Kesaksiannya menggambarkan situasi dramatis yang dihadapi oleh komunitas Kristen minoritas sekitar 80 orang yang sedang mengalami kemiskinan yang ekstrim akibat perang.
“Kami akan mengalami kekurangan makanan karena pasokan belum datang selama 15 bulan,” kata Yesuit Belanda itu.
“Kami berterima kasih kepada Tuhan atas tepung yang kami menerima (satu kilo per orang setiap minggu). Tapi, kami tahu kami tidak bisa terus hidup dengan keadaan ini dalam waktu lama. Kami merasa sangat prihatin dengan musim dingin. Kami semua mengalami kedinginan, kurangnya air, gas dan minyak. Kami menggunakan kayu bakar. Rumah-rumah kami sebagai tempat berlindung dari kedinginan, kini semua pintu dan jendela rusak. Dan tidak mungkin untuk pergi keluar dari lingkungan kami. Kami benar-benar dikepung”.
Meskipun menghadapi semua kesulitan ini, Pastor Van der Lugt berbicara tentang kehidupan masyarakat: “Pertemuan mingguan kami setiap hari Minggu berlangsung dalam semangat kasih, keterbukaan dan saling mendukung. Kami merasa bersatu sebagai sebuah komunitas dan membantu satu sama lain dalam keadaan yang sulit ini membuat kami menjadi lebih kuat.”
Sumber: Dutch Jesuit in Syria battles war, hunger and fear

Elizabeth Widjaja, peduli pendidikan anak-anak miskin


Elizabeth Widjaja, peduli pendidikan anak-anak miskin thumbnail

03/10/2013



Sikap belarasa dan rendah hati adalah kata-kata yang bisa disandangkan kepada Elizabeth Widjaya, seorang ibu rumah tangga yang mendirikan Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak (KBTK) Pelangi di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Pada usia 18 tahun, Elizabeth merasa terpanggil menjadi pekerja sosial dan tahun 2003 ia mengorbankan sebagian rumahnya, mengubahnya menjadi kelas untuk anak-anak kurang mampu. Kini  KBTK Pelangi menyediakan para guru dengan latar belakang pendidikan guru, memiliki kualifikasi, berpengalaman mengajar anak-anak usia dini dan TK, meskipun ia mengalami kendala keuangan.
Berikut ini petikan wawancaranya dengan The Jakarta Globe:

Ceritakan kepada kami tentang KBTK Pelangi?
TK Pelangi didirikan pada Juni  2003 dan sesuai dengan kurikulum nasional. Kami merekrut para guru yang tahu tentang kurikulum dan materi untuk mengajarkan kepada anak-anak.
Kami adalah sekolah sosial sehingga guru kami dibayar murah dibandingkan dengan sekolah formal, tetapi para guru ini sangat berdedikasi.
Apa yang menginspirasi Anda memulai KBTK Pelangi? Apa tujuan Anda?
Saya benar-benar tidak pernah berencana untuk mendirikan KBTK ini. Saya lebih cenderung mendirikan panti asuhan. Namun, membangun sebuah panti asuhan membutuhkan rumah, sangat sulit dan mahal.
Setelah melihat anak-anak yang tidak mampu membayar pendidikan yang layak, saya bertanya kepada diri sendiri, ‘Mengapa saya tidak mulai dari sana?”
Saya merasa kasihan dengan anak-anak yang tidak bisa bersekolah.
Keluarga kaya bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah yang mereka inginkan, tetapi keluarga berpenghasilan rendah harus berjuang dan bahkan untuk makan saja sulit.
Jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan, mereka tetap miskin. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk memutus siklus kemiskinan.
Anak-anak tidak bersalah, juga orang tua. Itu adalah situasi yang mereka hadapi. Jika kita tidak memberi mereka kesempatan, mereka tak akan mendapatkan kesempatan untuk menikmati pendidikan berkualitas bahwa setiap anak berhak untuk menerima pendidikan semacam itu.
Bagaimana reaksi awal keluarga dan anak-anak Anda tentang KBTK Pelangi?
Sebelum mendirikan KBTK Pelangi, suami saya memahami keterlibatan saya dalam karya sosial ini dan ia tidak berkeberatan dengan pekerjaan itu.
Namun, ia enggan untuk mengorbankan ruang di rumah untuk membuat kelas prasekolah. Semua orang berpendapat, sebuah rumah dimaksudkan untuk rumah keluarga, hal yang privasi.
Kami memulai pendidikan prasekolah gratis dengan fasilitas yang berkualitas dan guru yang mengajar juga bagus.
Kini kami meminta para murid membayar dan hal itu tergantung kemampuan keluarga untuk membayar. Sejumlah keluarga tidak membayar sama sekali sedangkan ada beberapa membayar maksimal Rp 200.000  per tahun.
Apa tantangan yang Anda hadapi selama mengelola KBTK Pelangi?
Kami tidak menghadapi banyak tantangan pada awalnya, tetapi seiring dengan perjalanan waktu kami mulai menghadapi masalah keuangan. Semuanya mahal: harga perlengkapan sekolah naik setiap tahun dan gaji tidak turun juga.
Ada saat-saat ketika saya bertanya pada diri sendiri, ‘Bagaimana jika kami tidak memiliki cukup dana untuk menutupi biaya? Apakah kami akan menutup?’
Jika kami menutup sekolah itu, anak-anak tidak akan bisa pergi ke sekolah.
Bagaimana cara Anda memperoleh bantuan keuangan?
Ada banyak cara yang kami lakukan untuk mendapatkan dana, tapi jumlahnya tidak banyak. Sekitar 90 persen berasal dari saya dan 10 persen dari para donatur. Kami juga memiliki orang-orang yang menyumbang alat-alat sekolah dan juga susu. Namun karena harga naik seperti yang disebutkan sebelumnya, beberapa donatur telah berhenti memberikan bantuan.
Mengelola sekolah seperti itu ada banyak tantangan. Apa saran yang akan Anda berikan kepada orang-orang yang akan mengikuti jejak Anda?
Mencari para guru berkualitas yang memahami kurikulum tidak gampang karena mereka perlu memiliki profesionalisme untuk menjalankan tugas mereka. Hal yang juga penting adalah menemukan guru yang memiliki motivasi untuk membantu, bukan hanya untuk mendapatkan uang.
Memberikan para murid dengan fasilitas berkualitas dan memberikan mereka kesempatan untuk membaca!
Terakhir, jika Anda memiliki masalah uang, jangan menyerah!