Sebenarnya kita
(orang Katolik) bisa mengadakan / menghadirkan
kembali kisah penyembelihan anak domba. Kalau seperti Om Eko yang
muslim, mereka mengenangkan kembali Ibrahim yang mau mengorbankan Ismail
anaknya sebagai kurban. Ujian dari Allah terhadap Ibrahim ini tidak terlaksana dan sebagai gantinya adalah mengurbankan
domba.
Orang-orang Katolik juga mestinya menghidupkan kenangan
itu yakni peristiwa Abraham
mempersembahkan Ishak puteranya. Sebenarnya kita sama-sama menyembelih anak domba untuk
mengenangkan Ishak (versi Kristen) dan Ismail (versi Islam). Hanya kita yang
Katolik tidak perlu mengorbankan hewan sebagai bentuk persembahan kepada Allah karena
Kristus telah menjadi kurban utama untuk menebus manusia.
Tidak hanya dikenangkan dalam Idul Adha ini adalah penyembelihan
hewan kurban sebagai sebuah seremoni belaka, tetapi makna terdalam adalah nilai
sebuah pengorbanan yang utuh. Apa yang perlu kita kurbankan, selain dari hewan
kurban? Yang kita kurbankan adalah: egoisme,
kerakusan, dendam dan iri hati yang muncul dari dalam diri dan mengemuka pada
permukaan hidup sosial manusia. Mengurbankan aspek terdalam yang negatif dan
melekat dengan kehidupan manusia, maka suatu ketika kita akan menuai
nilai-nilai kebaikan untuk membangun diri, keluarga dan masyarakat luas. Dengan
mengurbankan sisi negatif ini berarti melepaskan diri dari belenggu-belenggu yang
menjerat kita dalam membangun sebuah toleransi. Toleransi antaragama, terutama
Islam-Kristen bisa dibangun secara baik apabila sama-sama memahami makna
terdalam dari peristiwa Idul Kurban ini. Idul Kurban menjadi tonggak utama untuk
menarik kita kembali mengenang kisah kurban yang tak pernah selesai.***(Valery
Kopong)
0 komentar:
Post a Comment