Sunday, April 11, 2010

MEMAKNAI 500 TAHUN TUAN MA

Oleh: Valery Kopong*

LARANTUKA sepertinya geger oleh perayaan peringatan 500 tahun Tuan Ma. Perayaan ini membawa sebuah titik terang perubahan dan pembaharuan iman. Iman mestinya ditumbuhkan dan dipelihara dari waktu ke waktu. Momentum “perayaan 500 tahun Tuan Ma” menjadi saat teduh untuk melihat kembali peristiwa masa lampau dan memperhadapkan dengan peristiwa masa kini. Perayaan 500 tahun Tuan Ma menjadi simpul iman yang memadukan seluruh peristiwa penting untuk dikemas menjadi sebuah kekuatan yang sangat berharga.
Perayaan ini sebetulnya dilaksanakan secara sederhana namun peristiwa besar ini tidak dibiarkan lewat begitu saja. Karena itu beberapa orang Flores Timur yang berada di luar Flores ingin agar perayaan ini dibuat dengan kemasan yang menarik. Menurut Ketua Panitia Peringatan 500 tahun Tuan Ma, Dr.Jan Riberu, tidak hanya perayaan ini yang difokuskan tetapi aksi yang tidak kalah pentingnya yaitu berbuat sesuatu sesudah perayaan tersebut. “Kita mau meningkatkan kemakmuran spiritual, moral dan jasmani di Keuskupan Larantuka,” tegas Riberu seperti yang dilansir oleh sebuah media cetak nasional.
Apa yang dikonsepkan oleh panitia perayaan peringatan 500 tahun Tuan Ma, menunjukkan kepedulian yang mendalam terhadap masyarakat Flores Timur. Kehidupan masyarakat Flotim tidak hanya diberdayakan dari sisi iman tetapi juga kehidupan ekonomi secara keseluruhan. Itu berarti bahwa keselarasan hidup manusia bertumpuh pada dua aspek penting ini yaitu iman dan kehidupan ekonomi. Dua hal ini menjadi nyawa yang dapat mempertahakan denyut nadi perjalanan hidup masyarakat umumnya dan Flores Timur khususnya.
Apa yang diwacanakan ini dapat memberi spirit bagi masyarakat Flotim dan masukan berharga bagi para pejabat Gereja untuk menata kembali pola pendekatan dan pemberdayaan umat dari sisi ekonomi. “Iman itu mesti tumbuh di atas lahan yang subur.” Kehidupan iman umat katolik Flotim terkesan biasa-biasa saja berjalan bagai air yang mengalir. Demikian juga imam, mereka menjalankan pewartaan seperti biasa. Tetapi apakah sudah menjawabi kebutuhan hidup baik spiritual maupun ekonomi?
Panitia perayaan peringatan 500 tahun Tuan Ma, telah membuat konsep untuk bagaimana mengelola tanah kering menjadi lahan yang subur dengan membangun sekolah kejuruan pertanian lahan kering dan kelautan. Basis konsep ini muncul tentunya memiliki landasan yang kuat, yakni mengarah pada lahan yang tandus dan kehidupan bahari masyarakat Flotim. Dua wilayah yang disoroti ini (pertanian lahan kering dan kelautan) masih sangat jauh dari sentuhan perhatian Keuskupan Larantuka.
Ketika mengikuti kegiatan live in di Kulon Progo, Yogyakarta, saya begitu terkesan dengan apa yang dilakukan oleh seorang pastor paroki. Setiap hari ia bekerja mengembangkan tambak udang lobster yang berada di sekitar pastoran. Apa yang dilakukan oleh pastor ini sangat jarang saya lihat terutama di Flores. Dia melakukan ini sebagai contoh sederhana untuk bagaimana membuka mata umat agar bisa mengembangkan tambak sebagai salah satu lahan yang mendatangkan nilai ekonomis.
Di sini, saya melihat bahwa apa yang dilakukan pastor merupakan sebuah terobosan dan sekaligus menawarkan jalan pada umat, bagaimana memberdayakan diri sendiri dengan usaha yang ada. Tambak yang dibuat di pastoran, hanyalah sebuah miniatur dan sebagai contoh ketika pastor itu sendiri berbicara tentang pemberdayaan ekonomi. Apa yang dikatakan pastor bukanlah sebuah utopia melainkan sebuah nilai praksis ekonomis yang sanggup mengajak umat untuk bekerja menata kehidupannya sendiri.
Tawaran untuk membuka sekolah kejuruan pertanian lahan kering dan kelautan pasti akan menelan biaya begitu besar dan mungkin juga hanyalah wacana. Tetapi langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengirim beberapa imam yang bekerja di Keuskupan Larantuka untuk belajar secara intensif tentang bagaimana bertani yang baik di lahan kering serta pemanfaatan sumber-sumber laut. Para imam terutama yang bekerja di Keuskupan Larantuka tidak perlu merasa hina kalau dikirim studi tentang pertanian lahan kering dan kelautan karena pada akhirnya dapat memberi kontribusi yang produktif pada masyarakat. Ketika imam yang menggeluti tentang pertanian lahan kering dan kelautan, ia (imam) menjadi sahabat dekat dan tempat yang paling baik bagi umat untuk menanyakan tentang persoalan ekonomi.

Memaknai perayaan peringatan 500 tahun Tuan Ma dalam terang iman, terbersit sebuah gagasan kepedulian dari orang-orang yang mau agar Keuskupan Larantuka perlu maju, baik dari sisi iman, moral maupun ekonomi. Devosi kepada Maria merupakan ungkapan ketakberdayaan umat dan menaruh harapan penuh pada belas kasihnya. Bunda Maria selalu peduli kepada siapa saja yang berani meminta kepadanya.
Ketika membaca kisah perkawinan di Kana, Maria berperan penting untuk menyelamatkan situasi tuan pesta yang mengalami kekurangan. “Mau apakah engkau dari Aku, ibu? Saat-Ku belum tiba.” Tentang “saat” seperti yang tertulis dalam Injil Yohanes memang perlu dipahami secara mendalam terutama dalam dimensi waktu yang selalu mengitari kehidupan Yesus. Yesus selalu menyebut waktu ketika perutusan-Nya sebagai “saat”-Nya. Dalam peristiwa perkawinan di Kana, kata “saat” ini muncul lagi sebagai pemenuhan tawaran dari ibu-Nya untuk menyelamatkan tuan pesta yang kehabisan anggur. Jawaban Yesus terhadap permintaan yang diberikan oleh ibu-Nya kedengaran aneh. Tetapi apakah ini merupakan jalan dan saat yang tepat bagi-Nya untuk memperkenalkan diri-Nya di hadapan publik?
Yesus menggunakan kata “saat” untuk membahasakan misteri iman yang hidup dan perlu mendapat penggenapannya. Rekaman pertama penggunaan kata ini oleh-Nya adalah pada kisah kehabisan anggur di Kana yang dialami oleh tuan pesta. Peristiwa ini mendorong naluri keibuan Maria untuk berbuat suatu sebagai ungkapan nyata terhadap mereka yang kekurangan. Apa yang harus dilakukan? Maria meminta Puteranya Yesus. “Mereka kehabisan anggur.” Yesus menjawab, “Mau apakah engkau dari Aku, Ibu? Saat-Ku belum tiba” (Yoh 2:3-4).
Mencermati apa yang dikatakan Yesus dalam teologi Yohanes memanglah sulit dan seperti mengawang, karena itu tidak mengherankan bila Injil Yohanes dilambangkan dengan burung rajawali. Seperti burung rajawali yang terbang mengawang, demikian juga dengan teologi Yohanes yang sulit untuk digapai maknanya. Untuk memahami pernyataan Yesus, “Saat-Ku belum tiba,” kita akan menangkap pola pemikiran dasarnya. Dengan menjawab demikian, sepertinya Yesus sedang membentengi diri dan mengantisipasi suatu “saat” ketika sesuatu yang lebih penting yang akan terjadi. Tetapi saat itu sekarang belum tiba.
Menyimak apa yang dikatakan Yesus terutama “saat” yang menjadi titik sentral lebih berpihak pada tiga dimensi waktu yang harus dilalui oleh Yesus yaitu saat sengsara, kematian dan kebangkitan-Nya. Apa yang dikatakan Yesus tentang “saat” yang akan melengkapi tiga dimensi waktu yang didalamnya termuat peristiwa tragis dan kemuliaan.
Hanya dengan mengatakan, “mereka kehabisan anggur,” sebetulnya Yesus sendiri terdesak supaya saat berahmat untuk melakukan sebuah tanda mesti terlaksana. Yesus akhirnya tahu kalau saat-Nya sudah tiba, Ia akan menyediakan anggur-anggur yang paling baik. Namun perlu disadari bahwa “saat”-Nya sudah tiba tetapi “saat definitif” belumlah tiba. “Saat” di Kana merupakan titik awal pengenalan Yesus ke hadapan publik walau mukjizat yang dilakukan hanyalah tuan pesta yang tahu. Kita semua pun diundang menjadi tuan pesta agar tahu memahami arti mukjizat itu.***

Monday, September 21, 2009

PENGALAMAN SYUKUR SI KUSTA
Oleh: Valery Kopong*

Kehidupan orang-orang kusta adalah kehidupan yang jauh dari sentuhan masyarakat. Eksistensi mereka terdepak dari pergaulan umum karena penyakit kusta yang menyelimuti diri mereka. Mereka lalu memahami diri sebagai kaum buangan dan masyarakat menilai mereka sebagai manusia yang terkutuk. Stigma ini sepertinya melembaga dalam masyarakat dan setiap orang yang terkena penyakit berbahaya ini menjadi ancaman bagi yang lain dan karenanya perlu ada upaya penyingkiran diri mereka, jauh di luar kehidupan umum. Mereka terpaksa mengalienasi diri sambil menunggu mati secara perlahan. Terhadap persoalan yang dihadapi ini, memunculkan sebuah pertanyaan sederhana. Masih mungkinkah seorang kusta yang tersembuhkan dapat bergabung kembali dalam kehidupan umum?
Peristiwa penyembuhan kesepuluh orang kusta seperti yang terkisah dalam Lukas 17:11-19, menjadi titik awal bagi mereka dalam merombak pola pandang masyarakat terhadap penyakit yang dianggap kutukan tersebut. Dekonstruksi pemahaman ini dibarengi dengan pentahiran diri mereka oleh Yesus. Yesus, sang Tabib sejati secara revolusioner menyembuhkan diri mereka dengan kuasa Allah. Peristiwa pentahiran ini memberikan pemahaman kepada kesepuluh orang kusta akan arti kehadiran Yesus. Kehadiran Yesus menjadikan diri mereka menjadi bernilai dan sekaligus membangun kesadaran baru tentang “bagaimana membuat orang lain menjadi penting” di mata masyarakat.
Setelah melewati penderitaan yang panjang, orang-orang kusta pada akhirnya menemukan titik cerah ketika berhadapan dengan Yesus. Peristiwa yang menggembirakan ini menjadikan alasan utama untuk bergembira setelah menemukan “sebuah permata” tubuh yang tertahirkan. Tetapi mengapa hanya satu orang saja yang bersujud syukur kepada Tuhan? Di manakah kesembilan yang lain yang juga tersembuhkan?
Allah dalam pelawatan-Nya terhadap orang-orang yang tersisihkan, berani memasuki dunia mereka bahkan mengambil titik lemah mereka sebagai bentuk kekuatan dalam mematahkan pola pandang masyarakat. Seorang kusta yang kembali bersyukur menunjukkan bahwa ia menyadari betapa Allah, lewat putera-Nya telah mentahirkan dirinya dan tidak ada alasan lain baginya untuk menengadahkan rasa syukurnya. Sedangkan kesembilan yang lain, yang umumnya dinilai sebagai orang-orang yang tidak tahu berterima kasih, tetapi justeru di sini, secara implisit diperalat oleh Allah untuk menunjukkan diri mereka kepada imam-imam. Mengapa mereka harus menunjukkan diri kepada imam-imam dan bukan kepada orang lain yang tidak memiliki kedudukan penting dalam masyarakat?
Imam-imam adalah mereka yang memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam masyarakat. Mereka juga turut berperan dalam menentukan, apakah seseorang yang pernah terkena kusta dan tersembuhkan dapat diterima kembali dalam pergaulan umum atau tidak. Dengan menunjukkan diri kepada imam-imam, secara implisit mereka mewartakan tentang Yesus yang menjadi utusan Allah yang datang ke dunia untuk menyelamatkan seluruh umat manusia. Dalam pola pikir orang-orang kusta terutama kesepuluh orang yang disembuhkan, keselamatan sudah dan sedang terjadi dalam diri mereka. Allah datang mentahirkan diri sekaligus memulihkan kehidupan mereka kembali setelah sekian lama berada dalam penderitaan. Di sini, Allah mau bersolider, terlibat dengan pergumulan hidup mereka sendiri.
Bersyukur a la orang-orang kusta adalah bersyukur setelah melewati sebuah perjuangan yang panjang. Dalam proses perjuangan yang panjang itu, menempatkan kehidupan mereka ke dalam garis ketidakpastian. Ada beban psikologis dan fisik menjadi tanggungan pribadi. Derita yang mereka alami adalah derita kolektif sekaligus memperlihatkan jeritan “perlawanan dalam diam” saat kehidupan mereka tergusur dari pergaulan umum. Keluhan yang dipertunjukkan adalah keluhan kritis dari mereka yang menderita dengan mulut yang membungkam.
Di tengah masyarakat Indonesia yang plural, kehidupan masyarakat (kaum minoritas) merasa diri selalu tersisihkan karena label “katolik”. Menjadi pengikut Kristus berarti bersedia menjadi “manusia kusta” yang terdepak dari pola pikir dan tindakan dari mereka yang menamakan diri sebagai mayoritas. Salahkah aku bila dilahirkan sebagai orang katolik? Menjadi katolik berarti bersedia untuk membuka diri bagi yang lain. Dan dalam keterbukaan itu, seperti kita (orang katolik) menjadi “keranjang sampah” yang siap menerima dan menampung segala resiko, baik positif maupun negatif. Menjadi pengikut Kristus dan katolik memperlihatkan sebuah keterlibatan yang tak pernah mencapai titik akhir. Tetapi dalam perjuangan mempertahankan iman akan Yesus, kita siap dialienasi, dikucilkan dan semakin kita dikucilkan, kita semakin berarti dan nama Kristus sedang dimuliakan.***