Friday, August 8, 2014

Sebuah sekolah tinggi di Timor Leste berusaha mengakhiri hukuman fisik


Sebuah sekolah tinggi di Timor Leste berusaha mengakhiri hukuman fisik thumbnail

07/08/2014
Ketika Helio Ramos, 25, memutuskan untuk mengikuti pelatihan guru selama tiga tahun di sebuah perguruan tinggi Katolik di Baucau, kota terbesar kedua di negara termuda Asia itu,  berharap ia akan menjadi bagian dari guru baru yang akan membantu mengubah Timor Leste.
Sektor pendidikan di negara itu dihancurkan oleh milisi pro Indonesia yang didukung TNI, pada Oktober 1999, setelah sebagian besar warga Timor Timur memilih lepas dari Indonesia dalam sebuah referendum yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Lima belas tahun kemudian, negara itu masih terlihat lamban dalam membangun kembali sektor pendidikan, dan Ramos ingin menjadi bagian untuk membangun sektor ini. Dia lulus dari Sekolah Tinggi Guru Katolik tahun lalu dan sekarang mengajar di sebuah sekolah dasar di Baucau.
“Mengajar saat ini tidak mudah,” kata Ramos kepada ucanews.com. Mengajar bukan hanya transfer pengetahuan, katanya, tapi bagaimana cara terbaik menghadapi siswa dari keluarga yang dibesarkan dalam bayang-bayang masa lalu akibat kekerasan di Timor Leste.
Ramos mengatakan negara ini masih terluka oleh sejarah ini. Gejala-gejala stres masih muncul dan sering diwujudkan dalam bentuk hukuman fisik dan pelecehan anak.
Banyak guru di sekolah-sekolah Timor Leste melakukan kekerasan fisik terhadap anak-anak, yang disulut oleh trauma masa lalu.
Ramos mengatakan kepada ucanews.com bahwa dia berharap generasi guru baru yang lulus dari Sekolah Tinggi Guru Katolik akan membantu memutuskan siklus trauma dan pelecehan tersebut.
Maria Sidalia de Oliveira, lulusan tahun 2011, mengatakan bahwa sebelum dia mendaftarkan diri di Sekolah Tinggi Guru Katolik itu, ia diberitahu bahwa ia “harus bertindak kasar” terhadap siswa agar mereka menjaga ketertiban.
“Ini adalah masalah lain yang dihadapi oleh banyak guru di Timor Leste. Mereka sering mengatakan bahwa anak-anak sangat nakal maka guru juga harus keras,” katanya.
“Saya sangat tidak setuju. Karena seorang guru harus bisa berjalan dan bermain bersama anak-anak, mereka membangun rasa saling percaya. Anak harus diperlakukan dengan baik oleh guru, dengan itu mereka akan mencintai kita dan mengikuti apa yang kita katakan kepada mereka,” katanya.
Sebagai bagian dari kurikulum di sekolah tinggi tersebut, para calon guru diajarkan untuk menghindari hukuman fisik, menekankan bahwa cara tersebut bukan bentuk hukuman yang efektif.
Bruder Fons van Rooij, direktur sekolah tinggi itu, mengatakan bahwa dalam jangka panjang, perguruan tinggi ini berharap untuk membantu memberantas kekerasan dalam masyarakat Timor Leste dengan memproduksi guru lebih berkualitas.
“Anak-anak sekolah di Timor Leste sering memiliki alasan khawatir akibat hukuman fisik yang keras dan tindakan menakutkan lainnya oleh sebagian guru. Anak-anak tidak akan belajar apa-apa ketika mereka takut terhadap guru-guru mereka, dan lebih buruk lagi, mereka tidak akan datang ke sekolah,” kata Bruder Van Rooij kepada ucanews.com.
“Salah satu masalah besar di negara ini adalah trauma. Banyak orang Timor Leste telah menyaksikan salah satu anggota keluarga mereka yang ditembak. Trauma dari pengalaman ini dapat dengan mudah memicu kekerasan. Itulah mengapa kami menekankan hukuman non-fisik di dalam kelas. Kami menciptakan hubungan saling menghormati. Para siswa akan takut ke sekolah, akibatnya mereka berhenti sekolah,” katanya.
Sekolah itu didirikan tahun 2001 oleh Bruder Marist atas permintaan Uskup Basilio do Nascimento dari Baucau dan berafiliasi dengan Australian Catholic University.
Sebelum merdeka, 90 persen guru di negara setengah pulau itu berasal dari Indonesia. Setelah merdeka, sangat sedikit guru yang tersedia.
Kampus ini telah meluluskan atau melatih sekitar 450 guru yang berkualitas yang tersebar di seluruh negeri itu.
Bruder Van Rooij mengatakan banyak mahasiswa di sekolah tinggi itu adalah putra-putri dari para petani. Mereka memiliki sedikit sumber daya untuk mengejar pendidikan tinggi, tetapi menunjukkan karakter yang baik dan kapasitas untuk mengajar.
Mariano dos Santos, wakil direktur sekolah tinggi itu dan juga dosen, mengatakan, sekolah itu menekankan partisipasi siswa.
Dia mengatakan lulusan belajar bagaimana berinteraksi dengan para siswa, bukan hanya menyajikan serangkaian fakta untuk menghafal.
Mendorong interaksi sehari-hari, ini membangun kepercayaan dan membantu hubungan yang lebih dekat di antara guru dan murid.
“Jika kekerasan terhadap anak terus terjadi, maka mereka akan meniru apa yang telah mereka pelajari,” katanya.
Dos Santos mengatakan banyak guru di Timor Leste, khususnya di desa-desa, masih menggunakan rotan untuk mengajar disiplin kepada para siswa, praktek yang ia alami bertahun-tahun saat ia bersekolah.
“Cara itu tidak efektif karena menciptakan perasaan balas dendam. Budaya kekerasan yang dominan berarti kita melanggengkan lingkaran kekerasan,” katanya.
“Saya yakin para guru dapat memutuskan rantai kekerasan dengan mempersiapkan siswa dengan benar selama tahun-tahun pembinaan mereka.”
Siktus Harson, Baucau, Timor Leste

No comments: