Monday, September 21, 2009

PENGALAMAN SYUKUR SI KUSTA
Oleh: Valery Kopong*

Kehidupan orang-orang kusta adalah kehidupan yang jauh dari sentuhan masyarakat. Eksistensi mereka terdepak dari pergaulan umum karena penyakit kusta yang menyelimuti diri mereka. Mereka lalu memahami diri sebagai kaum buangan dan masyarakat menilai mereka sebagai manusia yang terkutuk. Stigma ini sepertinya melembaga dalam masyarakat dan setiap orang yang terkena penyakit berbahaya ini menjadi ancaman bagi yang lain dan karenanya perlu ada upaya penyingkiran diri mereka, jauh di luar kehidupan umum. Mereka terpaksa mengalienasi diri sambil menunggu mati secara perlahan. Terhadap persoalan yang dihadapi ini, memunculkan sebuah pertanyaan sederhana. Masih mungkinkah seorang kusta yang tersembuhkan dapat bergabung kembali dalam kehidupan umum?
Peristiwa penyembuhan kesepuluh orang kusta seperti yang terkisah dalam Lukas 17:11-19, menjadi titik awal bagi mereka dalam merombak pola pandang masyarakat terhadap penyakit yang dianggap kutukan tersebut. Dekonstruksi pemahaman ini dibarengi dengan pentahiran diri mereka oleh Yesus. Yesus, sang Tabib sejati secara revolusioner menyembuhkan diri mereka dengan kuasa Allah. Peristiwa pentahiran ini memberikan pemahaman kepada kesepuluh orang kusta akan arti kehadiran Yesus. Kehadiran Yesus menjadikan diri mereka menjadi bernilai dan sekaligus membangun kesadaran baru tentang “bagaimana membuat orang lain menjadi penting” di mata masyarakat.
Setelah melewati penderitaan yang panjang, orang-orang kusta pada akhirnya menemukan titik cerah ketika berhadapan dengan Yesus. Peristiwa yang menggembirakan ini menjadikan alasan utama untuk bergembira setelah menemukan “sebuah permata” tubuh yang tertahirkan. Tetapi mengapa hanya satu orang saja yang bersujud syukur kepada Tuhan? Di manakah kesembilan yang lain yang juga tersembuhkan?
Allah dalam pelawatan-Nya terhadap orang-orang yang tersisihkan, berani memasuki dunia mereka bahkan mengambil titik lemah mereka sebagai bentuk kekuatan dalam mematahkan pola pandang masyarakat. Seorang kusta yang kembali bersyukur menunjukkan bahwa ia menyadari betapa Allah, lewat putera-Nya telah mentahirkan dirinya dan tidak ada alasan lain baginya untuk menengadahkan rasa syukurnya. Sedangkan kesembilan yang lain, yang umumnya dinilai sebagai orang-orang yang tidak tahu berterima kasih, tetapi justeru di sini, secara implisit diperalat oleh Allah untuk menunjukkan diri mereka kepada imam-imam. Mengapa mereka harus menunjukkan diri kepada imam-imam dan bukan kepada orang lain yang tidak memiliki kedudukan penting dalam masyarakat?
Imam-imam adalah mereka yang memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam masyarakat. Mereka juga turut berperan dalam menentukan, apakah seseorang yang pernah terkena kusta dan tersembuhkan dapat diterima kembali dalam pergaulan umum atau tidak. Dengan menunjukkan diri kepada imam-imam, secara implisit mereka mewartakan tentang Yesus yang menjadi utusan Allah yang datang ke dunia untuk menyelamatkan seluruh umat manusia. Dalam pola pikir orang-orang kusta terutama kesepuluh orang yang disembuhkan, keselamatan sudah dan sedang terjadi dalam diri mereka. Allah datang mentahirkan diri sekaligus memulihkan kehidupan mereka kembali setelah sekian lama berada dalam penderitaan. Di sini, Allah mau bersolider, terlibat dengan pergumulan hidup mereka sendiri.
Bersyukur a la orang-orang kusta adalah bersyukur setelah melewati sebuah perjuangan yang panjang. Dalam proses perjuangan yang panjang itu, menempatkan kehidupan mereka ke dalam garis ketidakpastian. Ada beban psikologis dan fisik menjadi tanggungan pribadi. Derita yang mereka alami adalah derita kolektif sekaligus memperlihatkan jeritan “perlawanan dalam diam” saat kehidupan mereka tergusur dari pergaulan umum. Keluhan yang dipertunjukkan adalah keluhan kritis dari mereka yang menderita dengan mulut yang membungkam.
Di tengah masyarakat Indonesia yang plural, kehidupan masyarakat (kaum minoritas) merasa diri selalu tersisihkan karena label “katolik”. Menjadi pengikut Kristus berarti bersedia menjadi “manusia kusta” yang terdepak dari pola pikir dan tindakan dari mereka yang menamakan diri sebagai mayoritas. Salahkah aku bila dilahirkan sebagai orang katolik? Menjadi katolik berarti bersedia untuk membuka diri bagi yang lain. Dan dalam keterbukaan itu, seperti kita (orang katolik) menjadi “keranjang sampah” yang siap menerima dan menampung segala resiko, baik positif maupun negatif. Menjadi pengikut Kristus dan katolik memperlihatkan sebuah keterlibatan yang tak pernah mencapai titik akhir. Tetapi dalam perjuangan mempertahankan iman akan Yesus, kita siap dialienasi, dikucilkan dan semakin kita dikucilkan, kita semakin berarti dan nama Kristus sedang dimuliakan.***

No comments: